Anda di halaman 1dari 13

Denpasar, Selasa 4 Mei 2021, Biro Hukum Setda Provinsi Bali beserta 19 (sembilan

belas) Perangkat Daerah terkait di lingkungan Pemerintah Provinsi Bali menggelar


rapat Pemetaan Perda dan Pergub yang berdampak dengan berlakunya Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pelaksanaannya.
Sejumlah saran terkait hasil review Perda dan Pergub yang berdampak dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan
Pelaksanaannya sudah disampaikan dalam rapat tersebut.

Rapat dilaksanakan di Wiswa Sabha Pratama, Kantor Gubernur Bali yang dipimpin
oleh Asisten Pemerintahan dan Kesra Sekda Provinsi Bali didampingi oleh Kepala Biro
Hukum Setda Provinsi Bali, Kepala Bidang Hukum, Kementerian Hukum dan HAM Bali,
Kepala Bagian Peraturan Perundang-undangan Provinsi, Kepala Sub Bagian
Pendokumentasian Produk Hukum dan Naskah Hukum Lainnya beserta staf dan
Kepala Sub Bagian Fasilitasi Penyusunan Produk Hukum Pengaturan beserta
staf.Tujuan dari rapat tersebut adalah untuk melakukan Pemetaan dan Identifikasi
Rancangan Peraturan Daerah dan Rancangan Peraturan Gubernur dalam rangka
sinkronisasi dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja dan untuk percepatan perubahan terhadap Propemperda Tahun 2021 dan
Propempergub Tahun 2021.

berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa perda dan pergub
yang berdampak untuk lebih di cermati lagi dan segera ditindaklanjuti, namun, perlu
juga dipertimbangkan mengingat waktu yang sangat singkat untuk menindaklanjutinya,
untuk perangkat daerah terkait  segera menyampaikan hasil rancangan perda dan
pergub paling lambat awal bulan juni dan Kementerian Hukum dan HAM Bali agar
membantu proses harmonisasi Rancangan dimaksud.
SURABAYA – Kanwil Kumham Jatim kembali menerima konsultasi dan koordinasi
terkait pembentukan peraturan daerah (perda). Hari ini (20/4) rombongan dari DPRD
dan Pemkab Pamekasan berkunjung untuk membahas beberapa perda. Tim
Perancang Peraturan Perundang-undangan menitikberatkan kesesuaian perda dengan
UU Cipta Kerja.

Rapat yang digelar di Ruang Rapat Law and Human Rights Centre itu dipimpin Kabid
Hukum Hari Nasiroedin. Dia diampingi tim perancang per-UU dengan zonasi
Pamekasan. Kegiatan tersebut dihadiri oleh anggota Pansus DPRD Pamekasan dan
OPD Pemrakasa.

Salah satu yang dibahas dalam forum tersebut adalah Perda Nomor 19 Tahun 2019
tentang perubahan atas Perda Nomor 13 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan
bangunan gedung. Salah satu anggota perancang per-UU Anang Wahyu Widodo
menjelaskan bahwa secara kewenangan, pemerintah daerah bisa membentuk suatu
produk hukum daerah. Namun, dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja, maka
setiap produk hukum daerah harus disesuaikan PP No.16 tahun 2021 dalam mengatur
pelakasanaan Undang-undang tentang bangunan gedung. “Di dalam peraturan daerah
perubahan perlu adanya penyesuaian dengan PP bangunan gedung, sehingga perda
yang ada ini perlu dicabut dan disesuaikan dengan PP No.16 tahun 2021,” ujarnya.

Selain itu, forum juga membahas beberapa perda yang perlu penyesuaian dengan
peraturan yang terbaru. Diantaranya Perda Kabupaten Pamekasan Nomor 4 Tahun
2019 tentang Izin Usaha Jasa Konstruksi dan Tanda Daftar Usaha Perseorangan.
Yang memerlukan adanya suatu kewenangan yang akan diatur adalah penemuan
komitmen pada pembinaan dan pengawasan.

Setelah itu ada juga Perda Nomor 2 tahun 2017 tentang badan usaha milik desa.
Perancang Per-UU Ahli Muda Chaerulli menyatakan bahwa pendaftaran badan usaha
milik desa posisinya terletak di Kemenkumham. Namun, pada PP Nomor 11 Tahun
2021 ada syarat tambahan yaitu perlu adanya musyawarah desa di dalam pemenuhan
membuat rencana kerja. “Peraturan daerah ini perlu dicabut dan disusun kembali
dengan mengacu PP Nomor 11 Tahun 2021,” urainya.
Dikenal dengan Omnibuslaw, UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan
Undang-Undang yang fenomenal. Undang-Undang Cipta Kerja atau UU Ciptaker
disusun dengan kecepatan tinggi dan memunculkan pro dan kontra. Ada
ketersinggungan di sana-sini, namun UU Ciptaker tetap melaju kencang dan disahkan.
Implementasi dari UU Cipta Kerja inipun disambut positif dan negatif. Panjangnya UU
ini memungkinkan kita untuk tidak membaca dan memahaminya, saking sulitnya, jika
bukan ahli. Dan rasa-rasanya memang UU ini disebabkan oleh penyakit lama birokrasi
kekuasaan yang sangat akut.

Cipta Kerja dalam UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah upaya penciptaan
kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha
mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan
berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.

Hal yang menjadi urgent sehingga ada UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah
upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan, perlindungan, dan
pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan
ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan
perlindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan melalui perubahan Undang-Undang
sektor yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi dalam menjamin percepatan
cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan hukum yang dapat menyelesaikan berbagai
permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu Undang-Undang
secara komprehensif.

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan Presiden Joko
Widodo di Jakarta pada tanggal 2 November 2020. Undang-Undang Nomor 11 tahun
2020 tentang Cipta Kerja diundangkan Menkumham Yasonna H. Laoly pada tanggal 2
November 2020 di Jakarta.

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja ditempatkan pada


Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245. Penjelasan Atas
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja ditempatkan pada
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573. Agar setiap orang
mengetahuinya.

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Latar Belakang

Pertimbangan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, adalah:

a. bahwa untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia


dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak
warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
melalui cipta kerja;
b. bahwa dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia
yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan
globalisasi ekonomi;
c. bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek
pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan
pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan
ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk
peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
d. bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan
pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan
ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk
peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja yang tersebar di berbagai
Undang-Undang sektor saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk
percepatan cipta kerja sehingga perlu dilakukan perubahan;
e. bahwa upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan, perlindungan,
dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah,
peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional,
termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan
melalui perubahan Undang-Undang sektor yang belum mendukung terwujudnya
sinkronisasi dalam menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan
terobosan hukum yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam
beberapa Undang-Undang ke dalam satu Undang-Undang secara komprehensif;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Cipta
Kerja;

Dasar Hukum

Dasar Hukum Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, adalah:

1. Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 22D
ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi;
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam;

Penjelasan Umum UU Cipta Kerja

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia adalah
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiel
maupun spiritual. Sejalan dengan tujuan tersebut, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945
menentukan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”, oleh karena itu negara perlu melakukan berbagai upaya
atau tindakan untuk memenuhi hak-hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan
dan penghidupan yang layak. Pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak pada prinsipnya merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan
nasional yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya.

Pemerintah Pusat telah melakukan berbagai upaya untuk menciptakan dan


memperluas lapangan kerja dalam rangka penurunan jumlah pengangguran dan
menampung pekerja baru serta mendorong pengembangan Koperasi dan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian nasional yang
akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meski tingkat pengangguran
terbuka terus turun, Indonesia masih membutuhkan penciptaan kerja yang berkualitas
karena:

a. jumlah angkatan kerja yang bekerja tidak penuh atau tidak bekerja masih cukup
tinggi yaitu sebesar 45,84 juta yang terdiri dari: 7,05 juta pengangguran, 8,14
juta setengah penganggur, 28,41 juta pekerja paruh waktu, dan 2,24 juta
angkatan kerja baru (jumlah ini sebesar 34,3% dari total angkatan kerja,
sementara penciptaan lapangan kerja masih berkisar sampai dengan 2,5 juta
per tahunnya);
b. jumlah penduduk yang bekerja pada kegiatan informal sebanyak 70,49 juta
orang (55,72% dari total penduduk yang bekerja) dan cenderung menurun,
dengan penurunan terbanyak pada status berusaha dibantu buruh tidak tetap;
c. dibutuhkan kenaikan upah yang pertumbuhannya sejalan dengan pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan produktivitas pekerja.

Pemerintah Pusat telah berupaya untuk perluasan program jaminan dan bantuan sosial
yang merupakan komitmen dalam rangka meningkatkan daya saing dan penguatan
kualitas sumber daya manusia, serta untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan
dan ketimpangan pendapatan. Dengan demikian melalui dukungan jaminan dan
bantuan sosial, total manfaat tidak hanya diterima oleh pekerja, namun juga dirasakan
oleh keluarga pekerja.

Terhadap hal tersebut Pemerintah Pusat perlu mengambil kebijakan strategis untuk
menciptakan dan memperluas kerja melalui peningkatan investasi, mendorong
pengembangan dan peningkatan kualitas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah. Untuk dapat meningkatkan penciptaan dan perluasan kerja, diperlukan
pertumbuhan ekonomi stabil dan konsisten naik setiap tahunnya. Namun upaya
tersebut dihadapkan dengan kondisi saat ini, terutama yang menyangkut:

a. Kondisi Global (Eksternal)

Berupa ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global dan dinamika geopolitik


berbagai belahan dunia serta terjadinya perubahan teknologi, industri 4.0,
ekonomi digital;

b. Kondisi Nasional (Internal)

Pertumbuhan ekonomi rata-rata di kisaran 5% dalam 5 tahun terakhir dengan


realisasi investasi lebih kurang sebesar Rp721,3 triliun pada Tahun 2018 dan
Rp792 triliun pada Tahun 2019;

c. Permasalahan Ekonomi dan Bisnis

Adanya tumpang tindih regulasi, efektivitas investasi yang rendah, tingkat


pengangguran, angkatan kerja baru, dan jumlah pekerja informal, jumlah UMK-
M yang besar namun dengan produktivitas rendah.

Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan kemudahan dalam berusaha,


termasuk untuk Koperasi dan UMK-M. Saat ini terjadi kompleksitas dan obesitas
regulasi, dimana saat ini terdapat 4.451 peraturan Pemerintah Pusat dan 15.965
peraturan Pemerintah Daerah. Regulasi dan institusi menjadi hambatan paling utama
disamping hambatan terhadap fiskal, infrastruktur dan sumber daya manusia. Regulasi
tidak mendukung penciptaan dan pengembangan usaha bahkan cenderung
membatasi.

Dengan kondisi yang ada pada saat ini, pendapatan perkapita baru sebesar Rp4,6 juta
per bulan. Dengan memperhitungkan potensi perekonomian dan sumber daya manusia
ke depan, maka Indonesia akan dapat masuk ke dalam 5 besar ekonomi dunia pada
Tahun 2045 dengan produk domestik bruto sebesar $7 triliun dolar Amerika Serikat
dengan pendapatan perkapita sebesar Rp27 juta per bulan.

Untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-langkah strategis Cipta Kerja yang
memerlukan keterlibatan semua pihak yang terkait, dan terhadap hal tersebut perlu
menyusun dan menetapkan Undang-Undang tentang Cipta Kerja dengan tujuan untuk
menciptakan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh
wilayah Negara Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan
yang layak. Undang-Undang tentang Cipta Kerja mencakup yang terkait dengan:

a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;


b. peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
c. kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan Koperasi dan UMK-M; dan
d. peningkatan investasi pemerintah dan percepatan proyek strategis nasional.

Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan


peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha paling sedikit memuat
pengaturan mengenai: penyederhanaan Perizinan Berusaha, persyaratan investasi,
kemudahan berusaha, riset dan inovasi, pengadaan lahan, dan kawasan ekonomi.

Penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui penerapan Perizinan Berusaha berbasis


risiko merupakan metode standar berdasarkan tingkat risiko suatu kegiatan usaha
dalam menentukan jenis Perizinan Berusaha dan kualitas/frekuensi pengawasan.
Perizinan Berusaha dan pengawasan merupakan instrumen Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam mengendalikan suatu kegiatan usaha. Penerapan
pendekatan berbasis risiko memerlukan perubahan pola pikir (change management)
dan penyesuaian tata kerja penyelenggaraan layanan Perizinan Berusaha (business
process re-engineering) serta memerlukan pengaturan (re-design) proses bisnis
Perizinan Berusaha di dalam sistem Perizinan Berusaha secara elektronik. Melalui
penerapan konsep ini, pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha dapat lebih efektif
dan sederhana karena tidak seluruh kegiatan usaha wajib memiliki izin, di samping itu
melalui penerapan konsep ini kegiatan pengawasan menjadi lebih terstruktur baik dari
periode maupun substansi yang harus dilakukan pengawasan.

Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan


peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja paling sedikit memuat
pengaturan mengenai: perlindungan pekerja untuk pekerja dengan perjanjian waktu
kerja tertentu, perlindungan hubungan kerja atas pekerjaan yang didasarkan alih daya,
perlindungan kebutuhan layak kerja melalui upah minimum, perlindungan pekerja yang
mengalami pemutusan hubungan kerja, dan kemudahan perizinan bagi tenaga kerja
asing yang memiliki keahlian tertentu yang masih diperlukan untuk proses produksi
barang atau jasa.

Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan


kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M paling sedikit memuat
pengaturan mengenai: kemudahan pendirian, rapat anggota, dan kegiatan usaha
koperasi, dan kriteria UMK-M, basis data tunggal UMK-M, pengelolaan terpadu UMK-
M, kemudahan Perizinan Berusaha UMK-M, kemitraan, insentif, dan pembiayaan UMK-
M.

Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan


peningkatan investasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan percepatan
proyek strategis nasional paling sedikit memuat pengaturan mengenai: pelaksanaan
investasi Pemerintah Pusat melalui pembentukan lembaga pengelola investasi dan
penyediaan lahan dan perizinan untuk percepatan proyek strategis nasional. Dalam
rangka mendukung kebijakan strategis Cipta Kerja tersebut diperlukan pengaturan
mengenai penataan administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi.

Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan strategis penciptaan kerja beserta


pengaturannya, diperlukan perubahan dan penyempurnaan berbagai Undang-Undang
terkait. Perubahan Undang-Undang tersebut tidak dapat dilakukan melalui cara
konvensional dengan cara mengubah satu persatu Undang-Undang seperti yang
selama ini dilakukan, cara demikian tentu sangat tidak efektif dan efisien serta
membutuhkan waktu yang lama.

Ruang lingkup Undang-Undang ini meliputi:

a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;


b. ketenagakerjaan;
c. kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMK-M;
d. kemudahan berusaha;
e. dukungan riset dan inovasi;
f. pengadaan tanah;
g. kawasan ekonomi;
h. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional;
i. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
j. pengenaan sanksi.

Isi UU Cipta Kerja

Berikut adalah isi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, bukan
format asli (dalam beberapa post):

UNDANG-UNDANG TENTANG CIPTA KERJA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan,


perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan
menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan
investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
2. Koperasi adalah koperasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perkoperasian.
3. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disingkat UMK-M adalah
usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
4. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk
memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
5. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil
Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh


Pemerintah Daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah otonom.
8. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan
usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
9. Badan Usaha adalah badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk
badan hukum yang didirikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
10. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah rencana
secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi
dengan peraturan zonasi kabupaten/kota.
11. Persetujuan Bangunan Gedung adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik
bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas,
mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan standar teknis
Bangunan Gedung.
12. Hari adalah hari kerja sesuai dengan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2

1. Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas:


a. pemerataan hak;
b. kepastian hukum;
c. kemudahan berusaha;
d. kebersamaan; dan
e. kemandirian.
2. Selain berdasarkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelenggaraan Cipta Kerja dilaksanakan berdasarkan asas lain sesuai
dengan bidang hukum yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan.

Pasal 3

Undang-Undang ini dibentuk dengan tujuan untuk:

a. menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja dengan memberikan


kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap koperasi dan UMK-M
serta industri dan perdagangan nasional sebagai upaya untuk dapat menyerap
tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya dengan tetap memperhatikan
keseimbangan dan kemajuan antardaerah dalam kesatuan ekonomi nasional;
b. menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan, serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
c. melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan
keberpihakan, penguatan, dan perlindungan bagi koperasi dan UMK-M serta
industri nasional; dan
d. melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan
peningkatan ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan proyek strategis
nasional yang berorientasi pada kepentingan nasional yang berlandaskan pada
ilmu pengetahuan dan teknologi nasional dengan berpedoman pada haluan
ideologi Pancasila.

Pasal 4

Dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ruang lingkup
Undang-Undang ini mengatur kebijakan strategis Cipta Kerja yang meliputi:

a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;


b. ketenagakerjaan;
c. kemudahan, pelindungan, serta pemberdayaan koperasi dan UMK-M;
d. kemudahan berusaha;
e. dukungan riset dan inovasi;
f. pengadaan tanah;
g. kawasan ekonomi;
h. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional;
i. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
j. pengenaan sanksi.

Pasal 5

Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang
diatur dalam undang-undang terkait.

BAB III
PENINGKATAN EKOSISTEM INVESTASI DAN KEGIATAN BERUSAHA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 6

Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) huruf a meliputi:

a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;


b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha;
c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
d. penyederhanaan persyaratan investasi.

Bagian Kedua
Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko

Paragraf 1
Umum

Pasal 7

1. Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf


a dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha
kegiatan usaha.
2. Penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi
terjadinya bahaya.
3. Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
terhadap aspek:
a. kesehatan;
b. keselamatan;
c. lingkungan; dan/atau
d. pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya.
4. Untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat mencakup aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha.
5. Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
dilakukan dengan memperhitungkan:
a. jenis kegiatan usaha;
b. kriteria kegiatan usaha;
c. lokasi kegiatan usaha;
d. keterbatasan sumber daya; dan/atau
e. risiko volatilitas.
6. Penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi:
a. hampir tidak mungkin terjadi;
b. kemungkinan kecil terjadi;
c. kemungkinan terjadi; atau
d. hampir pasti terjadi.
7. Berdasarkan penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5), serta penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha
ditetapkan menjadi:
a. kegiatan usaha berisiko rendah;
b. kegiatan usaha berisiko menengah; atau
c. kegiatan usaha berisiko tinggi.

Paragraf 2
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Rendah

Pasal 8

1. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko rendah sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf a berupa pemberian nomor induk
berusaha yang merupakan legalitas pelaksanaan kegiatan berusaha.
2. Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti
registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan
sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.

Paragraf 3
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Menengah

Pasal 9

1. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf b meliputi:
a. kegiatan usaha berisiko menengah rendah; dan
b. kegiatan usaha berisiko menengah tinggi.
2. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah rendah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa pemberian:
a. nomor induk berusaha; dan
b. sertifikat standar.
3. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa pemberian:
a. nomor induk berusaha; dan
b. sertifikat standar.
4. Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan
pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka
melakukan kegiatan usaha.
5. Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan
sertifikat standar usaha yang diterbitkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar
pelaksanaan kegiatan usaha oleh Pelaku Usaha.
6. Dalam hal kegiatan usaha berisiko menengah memerlukan standardisasi produk
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b, Pemerintah
Pusat menerbitkan sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi
pemenuhan standar yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melakukan
kegiatan komersialisasi produk.
Paragraf 4
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Tinggi

Pasal 10

1. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko tinggi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 7 ayat (7) huruf c berupa pemberian:
a. nomor induk berusaha; dan
b. izin.
2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan persetujuan
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha
yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan
usahanya.
3. Dalam hal kegiatan usaha berisiko tinggi memerlukan pemenuhan standar
usaha dan standar produk, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
menerbitkan sertifikat standar usaha dan sertifikat standar produk berdasarkan
hasil verifikasi pemenuhan standar.

Paragraf 5
Pengawasan

Pasal 11

Pengawasan terhadap setiap kegiatan usaha dilakukan dengan pengaturan frekuensi


pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7)
dan mempertimbangkan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha.

Paragraf 6
Peraturan Pelaksanaan

Pasal 12

Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10, serta tata cara pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha

Paragraf 1
Umum

Pasal 13

Penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 6 huruf b meliputi:

a. kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang;


b. persetujuan lingkungan; dan
c. Persetujuan Bangunan Gedung dan sertifikat laik fungsi.

Paragraf 2
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang

Pasal 14
1. Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 huruf a merupakan kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya
dengan RDTR.
2. Pemerintah Daerah wajib menyusun dan menyediakan RDTR dalam bentuk
digital dan sesuai standar.
3. Penyediaan RDTR dalam bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan sesuai dengan standar dan dapat diakses dengan mudah oleh
masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kesesuaian rencana lokasi
kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR.
4. Pemerintah Pusat wajib mengintegrasikan RDTR dalam bentuk digital
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke dalam sistem Perizinan Berusaha
secara elektronik.
5. Dalam hal Pelaku Usaha mendapatkan informasi rencana lokasi kegiatan
usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah sesuai dengan RDTR,
Pelaku Usaha mengajukan permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan
ruang untuk kegiatan usahanya melalui sistem Perizinan Berusaha secara
elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan mengisi koordinat
lokasi yang diinginkan untuk memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan
pemanfaatan ruang.
6. Setelah memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pelaku Usaha mengajukan permohonan
Perizinan Berusaha.

Pasal 15

1. Dalam hal Pemerintah Daerah belum menyusun dan menyediakan RDTR


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pelaku Usaha mengajukan
permohonan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk
kegiatan usahanya kepada Pemerintah Pusat melalui sistem Perizinan Berusaha
secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Pemerintah Pusat memberikan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan
ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan rencana tata ruang.
3. Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. rencana tata ruang wilayah nasional;
b. rencana tata ruang pulau/kepulauan;
c. rencana tata ruang kawasan strategis nasional;
d. rencana tata ruang wilayah provinsi; dan/atau
e. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

Pasal 16

Dalam rangka penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha serta untuk


memberikan kepastian dan kemudahan bagi Pelaku Usaha dalam memperoleh
kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, Undang-Undang ini mengubah, menghapus,
dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:

a. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
b. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5490);
c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5603); dan
d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5214).

Anda mungkin juga menyukai