Anda di halaman 1dari 86

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI


MUATAN PERATURAN DAERAH

A. Jangkauan dan Arah Pengaturan dalam Rancangan


Peraturan Daerah Magetan tentang Penyelenggaraan
Penanaman Modal dan Pemberian Insentif/Kemudahan
Investasi

Naskah akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan


ruang lingkup materi muatan Rancangan Peraturan Daerah yang
akan dibentuk. Dalam teori penyusunan peraturan perundang-
undangan telah diikuti suatu prinsip bahwa sebuah naskah
akademik harus merumuskan sasaran yang akan diwujudkan dari
penetapan sebuah peraturan perundang-undangan. Sehubungan
dengan itu, dalam upaya penyusunan Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Daerah Magetan tentang Penyelenggaraan Penanaman
Modal dan Pemberian Insentif/Kemudahan Investasi akan
dijabarkan tentang maksud dan tujuan serta sasaran yang akan
diwujudkan.
Sasaran yang akan diwujudkan dari Rancangan Peraturan
Daerah Magetan tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dan
Pemberian Insentif/Kemudahan Investasi adalah untuk
memberikan perlindungan kepada seluruh pihak yang
berkepentingan dalam rangka penanaman modal, mewujudkan
penanaman modal yang berkesinambungan pada segala sektor,
mewujudkan penanaman modal yang melembaga dan terintegrasi
pada segala lini, mengembangkan penanaman modal bagi koperasi
dan UMKM yang menjadi bagian dari kebijakan dasar penanaman
modal, memberdayakan masyarakat, UMKM, Koperasi dan usaha-
usaha kecil dalam rangka penanaman modal di Kabupaten

V-
Magetan, memberikan pedoman kepada seluruh perangkat daerah
di lingkungan pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat
secara umum. Dengan berpedoman peraturan daerah tentang
Penyelenggaraan Penanaman Modal dan Pemberian
Insentif/Kemudahan Investasi itu diharapkan dapat meningkatkan
realisasi penanaman modal atau investasi, peningkatan
pertumbuhan ekonomi daerah, dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat secara umum.
Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Magetan tentang
Penyelenggaraan Penanaman Modal dan Pemberian
Insentif/Kemudahan Investasi ini diharapkan juga dapat didorong
kemajuan dan perkembangan pelayanan bidang perizinan dan non
perizinan khususnya terkait dengan penanaman modal atau
investasi daerah. Perumusan kebijakan, program dan kegiatan,
serta indikator-indikator pembangunan bidang penanaman modal
dapat berdampak pada percepatan pertumbuhan ekonomi dan
kegiatan investasi serta pelayanan kepada masyarakat dalam
bidang penanaman modal yang pada akhirnya nanti dapat pula
mendorong perwujudan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

B. Ruang Lingkup Materi

Kajian mendalam yang telah dilakukan pada bab dan bagian


sebelumnya kemudian dijadikan bahan pertimbangan dalam
melakukan konstruksi pemikiran materi Rancangan Peraturan
Daerah Magetan tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dan
Pemberian Insentif/Kemudahan Investasi. Adapun rumusan secara
rinci Rancangan Peraturan Daerah itu adalah sebagai berikut :

V-
1. Judul Rancangan Peraturan Daerah
“Peraturan Daerah Magetan Nomor …….. Tahun 2022 tentang
Penyelenggaraan Penanaman Modal dan Pemberian
Insentif/Kemudahan Investasi.”

2. Pembukaan
a. Konsiderans ‘Menimbang”.
Perumusan konsiderans “Menimbang” berisi alasan aspek
filosofis, sosiologis dan yuridis dari penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah Magetan tentang Penyelenggaraan
Penanaman Modal dan Pemberian Insentif/Kemudahan
Investasi yang secara rinci adalah sebagai berikut :
- bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat, perlu dilaksanakan pembangunan
ekonomi berkelanjutan yang berlandaskan
demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
- bahwa penyelenggaraan penanaman modal di
daerah merupakan penggerak perekonomian
daerah, pembiayaan pembangunan daerah,
penciptaan lapangan kerja dan peningkatan daya
saing daerah, sehingga perlu diciptakan suatu iklim
penanaman modal yang kondusif, promotif,
kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan
tetap memperhatikan kepentingan ekonomi
daerah;
- bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Magetan
Nomor 6 Tahun 2015 tentang Penanaman Modal,
dianggap sudah tidak sesuai dengan

V-
perkembangan peraturan perundang-undangan
dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c perlu
menetapkan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Penanaman Modal dan Pemberian
Insentif/Kemudahan Investasi.
-

b. Konsiderans “Mengingat” atau Dasar hukum


Dasar hukum penyusunan peraturan daerah ini
dirumuskan sesuai dengan hierarki peraturan perundang-
undangan yang ada. Perumusan peraturan perundang-
undangan yang dicantumkan didalam dasar hukum adalah
ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan penyelenggaraan penanaman modal dan
pemberian insentif/kemudahan investasi. Adapun
perumusan dasar hukum secara keseluruhan dirumuskan
sebagai berikut:
1) Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam
Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 41),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1965 tentang Perubahan Batas
Wilayah Kotapraja Surabaya dan Dati II Surabaya
dengan mengubah Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah
Kabupaten di Lingkungan Propinsi Jawa Timur dan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang

V-
Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten Kota
Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa
Jogjakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2730);
3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724)
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);
4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5038);
5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143);
6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

V-
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 5587), sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2019
tentang Pemberian Insentif dan Kemudahan
Investasi Di Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 63, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6330);
9) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha
Berbasis Risiko (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2021 Nomor 15);
10) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2021 Nomor 16);
11) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021
tentang Kemudahan, Pelindungan, dan
Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2021 Nomor 17);

V-
12) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2012 tentang
Rencana Umum Penanaman Modal (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 42);
13) Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 221);
14) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang
Bidang Usaha Penanaman Modal (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 61)
sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 49 Tahun 2021 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang
Bidang Usaha Penanaman Modal (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 128);
15) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun
2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberian
Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman
Modal Di Daerah (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 930);
16) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun
2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 2036) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun
2018 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 157);
17) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 138 Tahun
2017 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu Daerah (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 930);

V-
18) Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pedoman dan Tata
Cara Promosi Penanaman Modal ((Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 524);
19) Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 3 Tahun 2021 tentang Sistem Perizinan
Berusaha Berbasis Risiko Terintegrasi Secara
Elektronik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2021 Nomor 271);
20) Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pedoman dan Tata
Cara Pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
dan Fasilitas Penanaman Modal (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 272 );
21) Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pedoman dan Tata
Cara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis
Risiko (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2021 Nomor 273);
22) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal Nomor 9 Tahun 2017 tentang Pedoman dan
Tata Cara Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan
Iklim Penanaman Modal (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 1196);
23) Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 12
Tahun 2013 tentang Penanaman Modal (Lembaran
Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2013 Nomor 9
Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa
Timur Nomor 33);
24) Peraturan Daerah Kabupaten Magetan Nomor 8
Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah Kabupaten Magetan Tahun 2005 –

V-
2025 (Lembaran Daerah Kabupaten Magetan Tahun
2009 Nomor 8);
25) Peraturan Daerah Kabupaten Magetan Nomor 15
Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan
Perangkat Daerah Kabupaten Magetan (Lembaran
Daerah Kabupaten Magetan Tahun 2016 Nomor
12);
26) Peraturan Daerah Kabupaten Magetan Nomor 1
Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Kabupaten Magetan Tahun
2018-2023 (Lembaran Daerah Kabupaten Magetan
Tahun 2019 Nomor 1) sebagaimana diubah dengan
Peraturan Daerah Kabupaten Magetan Nomor 12
Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan
Daerah Kabupaten Magetan Nomor 1 Tahun 2019
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah Kabupaten Magetan Tahun 2018-2023
(Lembaran Daerah Kabupaten Magetan Tahun 2021
Nomor 12).

C. Batang Tubuh

Batang tubuh Rancangan Peraturan Daerah Magetan


tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dan Pemberian
Insentif/Kemudahan Investasi dirinci dalam bab, pasal dan
ayat sebagai berikut:

a. Bab I. Ketentuan Umum


Bab I ini memuat 1 (satu) pasal saja tentang ketentuan
umum istilah yang sering disebut dalam batang tubuh
peraturan bupati ini. Adapun secara rinci Pasal 1 ini
memuat ketentuan umum sebagai berikut:

V-
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Magetan.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat
Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya
disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Magetan sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah.
4. Bupati adalah Bupati Magetan.
5. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu yang selanjutnya disebut DPMPTSP
adalah perangkat daerah Pemerintah Daerah
Kabupaten yang mempunyai tugas dan fungsi
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
penanaman modal yang menjadi kewenangan
daerah.
6. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Penanaman
Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kabupaten Magetan.
7. Masyarakat adalah orang atau sekelompok orang
yang merupakan warga negara Republik Indonesia
yang mempunyai dan/atau melakukan kegiatan
usaha sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
8. Penanam Modal atau Investor adalah perseorangan
atau badan usaha yang melakukan penanaman
modal yang dapat berupa penanam modal dalam
negeri dan penanam modal asing.
9. Penanam Modal Dalam Negeri adalah perseorangan

V - 10
warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia,
negara Republik Indonesia, atau daerah yang
melakukan penanaman modal di wilayah negara
Republik Indonesia.
10. Penanam Modal Asing adalah perseorangan warga
negara asing, badan usaha asing, dan/atau
pemerintah asing yang melakukan penanaman
modal di wilayah negara Republik Indonesia.
11. Modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk
lain yang bukan uang dimiliki oleh investor yang
mempunyai nilai ekonomis.
12. Modal Dalam Negeri adalah modal yang dimiliki
oleh warga negara Republik Indonesia, perseroan
warga negara Indonesia, atau badan usaha yang
berbentuk badan hukum atau tidak berbadan
hukum.
13. Modal Asing adalah modal yang dimiliki oleh negara
asing, perseorangan warga negara asing, badan
usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan
hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh
modalnya dimiliki oleh pihak asing.
14. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan
menanam modal, baik oleh penanam modal dalam
negeri maupun penanam modal asing untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik
Indonesia.
15. Penanaman Modal Dalam Negeri yang selanjutnya
disingkat PMDN adalah kegiatan menanam modal
untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik
Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal
dalam negeri dengan menggunakan modal dalam
negeri.

V - 11
16. Penanaman Modal Asing yang selanjutnya disingkat
PMA adalah kegiatan menanam modal untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik
Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal
asing, baik yang menggunakan modal asing
sepenuhnya maupun yang berpatungan dcngan
penanam modal dalam negeri.
17. Rencana Umum Penanaman Modal yang
selanjutnya disingkat RUPM adalah dokumen
perencanaan penanaman modal daerah yang
disusun dan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
sesuai dengan Rencana Umum Penanaman Modal
Provinsi dan prioritas pengembangan potensi
daerah.
18. Badan Koordinasi Penanaman Modal yang
selanjutnya disingkat BKPM adalah Lembaga
Pemerintah yang berada dibawah dan bertanggung
jawab langsung kepada Presiden.
19. Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang selanjutnya
disingkat PTSP adalah pelayanan secara
terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai
dari tahapan permohonan sampai dengan tahap
penyelesaian produk pelayanan terpadu satu pintu.
20. Penyelenggaraan PTSP adalah kegiatan
penyelenggaraan Perizinan dan Nonperizinan yang
proses pengelolaannya mulai dari tahap
permohonan sampai tahap terbitnya dokumen
dilakukan secara terpadu dalam satu pintu dan satu
tempat.
21. Pendelegasian Wewenang adalah penyerahan
tugas, hak, kewajiban, dan pertanggungjawaban
Perizinan dan Nonperizinan, termasuk

V - 12
penandatanganannya atas nama pemberi
wewenang, oleh Bupati kepada kepala Dinas, yang
ditetapkan dengan uraian yang jelas.
22. Perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk
melakukan Penanaman Modal yang dikeluarkan
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang
memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
23. Nonperizinan adalah segala bentuk kemudahan
pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai
Penanaman Modal, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
24. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan
kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan
menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
25. Risiko adalah potensi terjadinya cedera atau
kerugian dari suatu bahaya atau kombinasi
kemungkinan dan akibat bahaya.
26. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko adalah Perizinan
Berusaha berdasarkan tingkat Risiko kegiatan
usaha.
27. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan
Usaha adalah legalitas yang diberikan kepada
pelaku usaha untuk menunjang kegiatan usaha.
28. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik (Online Single Submission) yang
selanjutnya disebut Sistem OSS adalah sistem
elektronik terintegrasi yang dikelola dan
diselenggarakan oleh Lembaga OSS untuk
penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis
Risiko.
29. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang

V - 13
selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga
pemerintah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang koordinasi penanaman
modal.
30. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau
badan usaha yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan pada bidang tertentu.
31. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat
NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran Pelaku
Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan
sebagai identitas bagi Pelaku dalam pelaksanaan
kegiatan usahanya.
32. lzin adalah persetujuan Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan
usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha
sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.
33. Sertifikat Standar adalah pernyataan dan / atau
bukti pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan
usaha.
34. Usaha Mikro dan Kecil yang selanjutnya disingkat
UMK adalah usaha mikro dan usaha kecil
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
35. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang
selanjutnya disingkat UMK-M adalah usaha mikro
dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah.
36. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang
perorangan dan/atau badan usaha perorangan
yang memenuhi kriteria Usaha Mikro.
37. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang

V - 14
berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau bukan cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari
Usaha Menengah atau usaha besar yang memenuhi
kriteria Usaha Kecil.
38. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif
yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung
dengan Usaha Kecil atau usaha besar yang
memenuhi kriteria Usaha Menengah.
39. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia yang
selanjutnya disingkat KBLI adalah kode klasifikasi
yang diatur oleh lembaga pemerintah non
kementerian yang membidangi urusan
pemerintahan dibidang statistic.
40. Fasilitas Penanaman Modal adalah segala bentuk
insentif fiskal dan non fiskal serta kemudahan
pelayanan penanaman modal, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
41. Pemberian Insentif adalah dukungan kebijakan
fiskal dari Pemerintah Daerah kepada Masyarakat
dan/atau Investor untuk meningkatkan investasi di
daerah.
42. Pemberian Kemudahan adalah penyediaan fasilitas
nonfiskal dari Pemerintah Daerah kepada
Masyarakat dan/atau Investor untuk
mempermudah setiap kegiatan investasi dan untuk

V - 15
meningkatkan investasi di daerah.
43. Pengawasan adalah upaya untuk memastikan
pelaksanaan kegiatan usaha sesuai dengan standar
pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan melalui
pendekatan berbasis Risiko dan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh pelaku usaha.
44. Laporan Kegiatan Penanaman Modal yang
selanjutnya disingkat LKPM adalah laporan
mengenai perkembangan realisasi Penanaman
Modal dan permasalahan yang dihadapi pelaku
usaha yang wajib dibuat dan disampaikan secara
berkala.
45. Berita Acara Pemeriksaan yang selanjutnya
disingkat BAP adalah hasil inspeksi lapangan yang
dilakukan terhadap pelaksanaan kegiatan
penanaman modal.
46. Penghentian Sementara Kegiatan Usaha adalah
tindakan administratif yang mengakibatkan
dihentikannya kegiatan usaha untuk sementara
waktu.
47. Pembatalan adalah tindakan administratif yang
mengakibatkan dibatalkannya Sertifikat Standar
atau Izin yang belum memenuhi syarat.
48. Pencabutan adalah tindakan administratif yang
mengakibatkan dicabutnya Perizinan Berusaha
berbasis Risiko berdasarkan permohonan pelaku
usaha, putusan pengadilan dan sanksi.
49. Keadaan Kahar adalah suatu kejadian yang terjadi
diluar kemampuan manusia dan tidak dapat
dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya.
50. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak

V - 16
adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
51. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi
adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas
jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan.
52. Potensi Penanaman Modal adalah ketersediaan
sumber daya yang masih belum tergali yang
terdapat pada suatu daerah yang mempunyai nilai
ekonomi.
53. Peluang Penanaman Modal adalah Potensi
Penanaman Modal yang sudah siap untuk
ditawarkan kepada calon penanam modal.
54. Pengembangan Potensi dan Peluang Penanaman
Modal adalah kegiatan identifikasi dan pemetaan
potensi dan peluang penanaman modal,
ketersediaan lahan, sarana dan prasarana
penunjang Penanaman Modal serta
pendokumentasiannya termasuk secara elektronik.
55. Sistem Informasi Potensi Investasi Daerah yang
selanjutnya disingkat SIPID adalah Sistem
Informasi berbasis situs (website) yang berfungsi
untuk menyediakan informasi mengenai Potensi
Penanaman Modal dan Peluang Penanaman Modal
dalam pengembangan potensi daerah.
56. Pemberdayaan Usaha adalah upaya fasilitasi

V - 17
pembinaan dan penyuluhan, serta pelayanan usaha
nasional, serta kemitraan terhadap pengusaha
kecil, menengah, dan pengusaha besar.
57. Hari adalah hari kerja.

b. Bab II. Asas, Tujuan dan Sasaran


Pasal 2
(1) Penanaman Modal Daerah diselenggarakan berdasarkan
asas :
a. Kepastian hukum;
b. Keterbukaan
c. Akuntabilitas;
d. Perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal
negara;
e. Kebersamaan;
f. Efisiensi berkeadilan;
g. Berkelanjutan;
h. Berwawasan lingkungan dan berkelanjutan;
i. Kemandirian; dan
j. Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
(2) Tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain
untuk:
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah;
b. menciptakan lapangan kerja;
c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan
di daerah dan berwawasan lingkungan;
d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha
daerah;
e. meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi
daerah;
f. mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;

V - 18
g. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan
ekonomi riil dengan menggunakan dana dari
penanam modal yang berasal, baik dari dalam
negeri maupun luar negeri; dan
h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
(3) Sasaran penanaman modal meliputi:
a. meningkatkan iklim investasi yang kondusif;
b. meningkatkan sarana pendukung penanaman
modal;
c. meningkatkan kemampuan sumber daya manusia;
d. meningkatkan jumlah penanam modal;
e. meningkatkan realisasi penanaman modal.

c. Bab III. Kebijakan Dasar Penanaman Modal


Pasal 3
(1) Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan dasar
Penanaman Modal.
(2) Penetapan kebijakan dasar Penanaman Modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:
a. mendorong terciptanya iklim usaha di daerah yang
kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan
daya saing perekonomian Daerah;
b. mewujudkan keseimbangan, kemajuan dan
kesatuan ekonomi Daerah;
c. mempercepat peningkatan dan pemerataan
Penanaman Modal; dan d. meningkatkan
Penanaman Modal yang banyak menciptakan
lapangan kerja dan berwawasan lingkungan.
(3) Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah :

V - 19
a. Memberi perlakuan yang sama bagi setiap
Penanam Modal dengan tetap memperhatikan
kepentingan daerah dan kepentingan nasional;
b. menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha,
dan keamanan berusaha bagi penanam modal
sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan
berakhirnya kegiatan Penanaman Modal sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
c. membuka kesempatan bagi perkembangan dan
memberikan perlindungan kepada usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi.
(4) Kebijakan dasar Penanaman Modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan
dalam bentuk RUPM

Pasal 4
(1) RUPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4)
meliputi:
a. Pendahuluan;
b. Asas dan tujuan;
c. Visi dan misi
d. Arah Kebijakan Penanaman Modal, yang terdiri
dari:
1. Perbaikan iklim Penanaman Modal;
2. Persebaran Penanaman Modal;
3. Fokus Pengembangan Pangan, Infrastruktur,
dan Energi;
4. Penanaman Modal yang Berwawasan
Lingkungan (Green Investment);
5. Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, Menengah,
dan Koperasi (UMKMK);

V - 20
6. Pemberian Fasilitas, Kemudahan, dan/atau
Insentif Penanaman Modal; dan
7. Promosi Penanaman Modal.
e. Peta Panduan (Roadmap) Implementasi Rencana
Umum Penanaman Modal, yang terdiri dari:
1. Fase pengembangan penanaman modal yang
relatif mudah dan cepat menghasilkan;
2. Fase percepatan pembangunan infrastruktur
dan energi;
3. Fase pengembangan industri skala besar; dan
4. Fase pengembangan ekonomi berbasis
pengetahuan.
f. Pelaksanaan
(2) Penyusunan RUPM Daerah mengacu pada RUPM
Nasional dan RUPM Provinsi.

d. Bab IV. Ruang Lingkup


Pasal 5

Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Daerah ini


meliputi:

a. Kewenangan pemerintah daerah;


b. Arah kebijakan penanaman modal;
c. Pengembangan potensi dan peluang penanaman
modal;
d. Pemberian insentif dan kemudahan investasi di Daerah;
e. Pengelolaan data dan sistem informasi penanaman
modal;
f. Pemberdayaan usaha;
g. Peran serta masyarakat;
h. Penyelesaian sengketa; dan
i. Ketentuan sanksi

V - 21
e. Bab V. Kewenangan Pemerintah Daerah
Pasal 6
Kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
penanaman modal daerah meliputi:

a. Penetapan pemberian fasilitas/insentif di bidang


penanaman modal yang menjadi kewenangan daerah;
b. Pembuatan peta potensi investasi;
c. Penyelenggaraan promosi penanaman modal;
d. Pelayanan perizinan dan nonperizinan secara terpadu
satu pintu di bidang penanaman modal di daerah;
e. Pengendalian pelaksanaan penanaman modal daerah;
dan
f. Pengelolaan data dan informasi perizinan dan
nonperizinan yang terintegrasi pada tingkat daerah.

Pasal 7
(1) Bupati menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang
penanaman modal dan PTSP di daerah.
(2) Penyelenggaraan penanaman modal yang berkaitan
dengan pelayanan perizinan dan nonperizinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d
dilaksanakan oleh Kepala Dinas yang membidangi
penanaman modal dan PTSP.
(3) Pelaksanaan pelayanan perizinan dan nonperizinan
oleh Kepala Dinas yang membidangi penanaman modal
dan PTSP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi:
a. Kewenangan menyelenggarakan pelayanan
perizinan dan nonperizinan yang menjadi urusan

V - 22
pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
b. Kewenangan menyelenggarakan pelayanan
perizinan dan nonperizinan yang menjadi urusan
pemerintah pusat atau pemerintah provinsi yang
dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan,
ruang lingkup, prosedur, dan bentuk pelayanan
perizinan dan non perizinan yang dilakukan oleh
Kepala Dinas yang membidangi perizinan dan
nonperizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan (3) diatur dengan Peraturan Bupati.

f. Bab VI. Arah Kebijakan Penanaman Modal

Pasal 8
(1) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 pemerintah
daerah menetapkan arah kebijakan penanaman modal.
(2) Arah kebijakan penanaman modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Perencanaan penanaman modal;
b. Promosi penanaman modal;
c. Pelayanan penanaman modal; dan
d. Pengawasan penanaman modal.

Bagian Kesatu
Perencanaan Penanaman Modal

Pasal 9
(1) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan, Daerah
menetapkan RUPM.

V - 23
(2) RUPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan arah strategi dan kebijakan penanaman
modal di Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai RUPM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.

Bagian Kedua

Promosi Penanaman Modal

Pasal 10
(1) Promosi penanaman modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b, dilakukan dengan cara:
a. Penyusunan strategi promosi penanaman modal
kewenangan Daerah;
b. Pelaksanaan kegiatan promosi penanaman modal
kewenangan Daerah.
Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan promosi penanaman modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dinas secara
mandiri dan/atau secara sinergi dengan Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, Perangkat Daerah, Lembaga Non
Pemerintah dan/atau Badan Usaha.
(3) Penyusunan strategi promosi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a meliputi:
a. penyusunan Analisis negara sumber modal asing;
dan
b. penyusunan Analisis Negara pesaing.

(4) Kegiatan promosi sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) huruf b meliputi:
a. publikasi informasi melalui Sarana Promosi;
b. penyelenggaraan dan/atau partisipasi pada
pameran penanaman modal;

V - 24
c. seminar Penanaman Modal, Forum Bisnis, dan/atau
pertemuan tatap muka;
d. Penerimaan misi dan/atau pendampingan penanam
modal; dan
e. tindak lanjut seluruh kegiatan promosi.

Bagian Ketiga

Pelayanan Penanaman Modal

Pasal 11

Pelaksanaan pelayanan penanaman modal sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c meliputi :

a. PTSP;
b. Pelaksanaan Perizinan Berusaha;
c. Pemohon, Penerbit Perizinan Berusaha dan Ketentuan
Nilai Investasi dan Permodalan;
d. hak, kewajiban dan tanggung jawab penanam modal;
dan
e. lokasi penanaman modal.

Paragraf 1

PTSP
Pasal 12

(1) Penyelenggaraan PTSP bertujuan :


a. meningkatkan kualitas PTSP, mewujudkan
perlindungan dan kepastian hukum kepada
masyarakat;

V - 25
b. memberikan akses yang lebih luas kepada
masyarakat untuk memperoleh pelayanan prima;
dan
c. meningkatkan kemudahan berusaha dan daya
saing Daerah.
(2) Sasaran penyelenggaraan PTSP yaitu terwujudnya
PTSP yang cepat, mudah, transparan, pasti,
sederhana, terjangkau, profesional, berintegritas, dan
meningkatnya hak masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan perizinan dan non perizinan.

Pasal 13
(1) Bupati mendelegasikan kewenangan Pemerintah
Daerah dalam penyelenggaraan perizinan berusaha di
daerah kepada kepala Dinas.
(2) Pendelegasian kewenangan oleh Bupati sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyelenggaraan perizinan berusaha yang menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. penyelenggaraan perizinan berusaha yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat yang dilimpahkan
kepada Bupati berdasarkan asas tugas
pembantuan.

Paragraf 2

Pelaksanaan Perizinan Berusaha

Pasal 14

V - 26
(1) Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah
dilakukan untuk meningkatkan ekosistem investasi dan
kegiatan berusaha.
(2) Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan
berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi :
a. Perizinan Berusaha Berbasis Resiko;
b. Persyaratan dasar Perizinan Berusaha ; dan
c. Perizinan Berusaha sektor dan kemudahan
persyaratan investasi.
(3) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan berdasarkan
penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha
kegiatan usaha.
(4) Persyaratan dasar perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang;
b. persetujuan lingkungan; dan
c. persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik
fungsi.
(5) Perizinan Berusaha sektor sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c yang diselenggarakan di daerah
terdiri atas sektor:
a. kelautan dan perikanan;
b. pertanian;
c. lingkungan hidup;
d. perindustrian;
e. perdagangan;
f. pekerjaan umum dan perumahan rakyat;
g. transportasi;
h. kesehatan, obat dan makanan;
i. pendidikan dan kebudayaan;

V - 27
j. pariwisata;
k. pos, telekomunikasi, penyiaran, dan system dan
transaksi; dan
l. ketenagakerjaan.
(6) Dalam rangka meningkatkan ekosistem investasi dan
kegiatan berusaha pada sektor sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), kepada Pelaku Usaha diberikan
kemudahan persyaratan investasi dan Perizinan
Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai penyelenggaraan
Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(7) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, persyaratan dasar
Perizinan Berusaha, dan Perizinan Berusaha sektor dan
kemudahan persyaratan investasi dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha
Berbasis Risiko dan peraturan perundang-undangan di
bidang tata ruang, lingkungan hidup, dan bangunan
gedung.

Pasal 15
Untuk memulai dan melakukan kegiatan usaha, Pelaku
Usaha wajib memenuhi:
a. persyaratan dasar; dan/atau
b. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Pasal 16
(1) Persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi kesesuaian
kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan,

V - 28
persetujuan bangunan gedung, dan sertifikat laik
fungsi.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dasar Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
masing-masing diatur dalam peraturan perundang-
undangan di bidang tata ruang, lingkungan hidup, dan
bangunan gedung.

Pasal 17
(1) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dilakukan
berdasarkan penetapan tingkat Risiko dan peringkat
skala kegiatan usaha meliputi UMK-M dan/atau usaha
besar.
(2) Penetapan tingkat Risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil analisis Risiko.
(3) Analisis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib dilakukan secara transparan, akuntabel, dan
mengedepankan prinsip kehati-hatian berdasarkan
data dan/atau penilaian professional.
(4) Tingkat Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menentukan jenis Perizinan Berusaha.
(5) Pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
dilakukan secara elektronik dan terintegrasi melalui
Sistem OSS.

Pasal 18
(1) Tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
terdiri atas:
a. rendah;
b. menengah rendah;
c. menengah tinggi; dan
V - 29
d. tinggi.
(2) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan
tingkat risiko rendah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a berupa NIB yang merupakan identitas
Pelaku Usaha sekaligus legalitas untuk melaksanakan
kegiatan usaha.
(3) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk
kegiatan usaha dengan tingkat risiko rendah yang
dilakukan oleh UMK, berlaku juga sebagai Standar
Nasional Indonesia (SNI) dan pernyataan jaminan
halal.
(4) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan
tingkat risiko menengah rendah dan menengah tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan c
berupa:
a. NIB; dan
b. Sertifikat Standar.
(5) Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf b merupakan legalitas untuk melaksanakan
kegiatan usaha dalam bentuk pernyataan Pelaku
Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka
melakukan kegiatan usaha yang diberikan melalui
Sistem OSS.
(6) Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf b merupakan Sertifikat Standar pelaksanaan
kegiatan usaha yang diterbitkan Pemerintah Daerah
berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar
pelaksanaan kegiatan usaha oleh Pelaku Usaha.
(7) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan
tingkat risiko tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d berupa:
a. NIB; dan

V - 30
b. Izin.
(8) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b
merupakan persetujuan Pemerintah Daerah untuk
pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh
Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan
usahanya.
Pasal 19
(1) Dalam hal tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1) terdapat pengaturan oleh lebih dari
1 (satu) kementerian/lembaga, penetapan tingkat
risiko mengacu kepada kementerian/lembaga pembina
utama sektor usaha yang sudah dilaksanakan sebelum
berlakunya Sistem OSS berbasis risiko.
(2) Pemenuhan standar dan/atau persyaratan Perizinan
Berusaha Berbasis Risiko berdasarkan tingkat risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu
kepada Norma Standar Prosedur dan Kriteria
kementerian/lembaga pembina utama sektor usaha.

Pasal 20
(1) Dalam hal diperlukan penunjang kegiatan usaha,
Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan
Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha.
(2) Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
standar usaha dan/atau standar produk yang dapat
diajukan sebelum atau sesudah tahap operasional
dan/atau komersial sesuai dengan ketentuan
kementerian/lembaga.

Paragraf 3

V - 31
Pemohon, Penerbit Perizinan Berusaha dan Ketentuan Nilai
Investasi dan Permodalan

Pasal 21

(1) Pelaku Usaha yang dapat mengajukan permohonan


Perizinan Berusaha terdiri atas:
a. orang perseorangan;
b. badan usaha;
c. kantor perwakilan; dan
d. badan usaha luar negeri.
(2) Orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a merupakan orang yang cakap untuk
bertindak dan melakukan perbuatan hukum.
(3) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b merupakan badan usaha berbentuk badan
hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang
didirikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan
pada bidang tertentu.
(4) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b paling sedikit terdiri atas:
a. perseroan terbatas;
b. persekutuan komanditer (commanditaire
vennotschap);
c. persekutuan firma (venootschap onder firma);
d. persekutuan perdata;
e. koperasi;
f. yayasan;
g. perusahaan umum;
h. perusahaan umum daerah;
i. badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara;
dan

V - 32
j. lembaga penyiaran.
(5) Badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf i berupa
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Lembaga
Pengelola Investasi, Bank Tanah, dan Badan Layanan
Umum.
(6) Penanaman modal yang dilakukan oleh orang
perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dikategorikan ke dalam PMDN.
(7) Penanaman modal yang dilakukan oleh badan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dikategorikan ke dalam PMDN dan PMA.
(8) PMA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dalam
bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum
lndonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain
oleh undang-undang.
(9) Kantor perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c merupakan orang perseorangan warga
negara Indonesia atau orang perseorangan warga
negara asing, atau badan usaha yang merupakan
perwakilan Pelaku Usaha dari luar negeri dengan
persetujuan pendirian kantor di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia
(10) Kantor perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c paling sedikit terdiri atas:
a. kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing;
b. kantor perwakilan perusahaan asing;
c. kantor perwakilan badan usaha jasa konstruksi
asing; dan/atau
d. kantor perwakilan jasa penunjang tenaga listrik
asing

V - 33
(11) Badan usaha luar negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d merupakan badan usaha asing yang
didirikan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan
pada bidang tertentu.
(12) Badan usaha luar negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d yang dapat melakukan kegiatan usaha
di Indonesia paling sedikit terdiri atas:
a. pemberi waralaba dari luar negeri;
b. pedagang berjangka asing;
c. penyelenggara sistem elektronik lingkup privat
asing; dan
d. bentuk usaha tetap.
(13) Bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat
(12) huruf d termasuk kantor perwakilan yang
didirikan untuk melakukan kegiatan usaha di sektor
minyak dan gas bumi.

Pasal 22

(1) Perizinan Berusaha diterbitkan oleh:


a. Lembaga OSS; dan
b. Kepala Dinas atas nama Bupati untuk kegiatan
usaha yang menjadi kewenangan Pemerintah
Daerah.
(2) Kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:
a. penanaman modal yang ruang lingkup kegiatan di
Daerah;
b. yang dipertugasbantukan kepada Pemerintah
Daerah;
c. penanaman modal yang menjadi kewenangan
Daerah berdasarkan peraturan perundang-
undangan; dan/atau

V - 34
d. industri yang diklasifikasikan sebagai industri
menengah dan industri kecil yang lokasi industrinya
berada di Daerah, kecuali untuk jenis industri yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan
pemerintah daerah provinsi.
(3) Kewenangan penerbitan Perizinan Berusaha
mencakup:
a. NIB oleh Lembaga OSS; dan
b. Sertifikat Standar, Izin, dan Perizinan Berusaha
untuk Menunjang Kegiatan Usaha.
(4) Lembaga OSS menerbitkan NIB sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a berdasarkan:
a. tingkat risiko;
b. ketentuan bidang usaha penanaman modal;
c. ketentuan minimum investasi; dan
d. ketentuan permodalan;
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

(1) Ketentuan nilai investasi dan permodalan bagi UMK-M


mengikuti kriteria modal usaha sebagaimana diatur
dalam peraturan pemerintah tentang kemudahan,
pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha
mikro, kecil, dan menengah.
(2) Kriteria modal usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur sebagai berikut:
a. usaha mikro memiliki modal usaha sampai dengan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha;

V - 35
b. usaha kecil memiliki modal usaha lebih dari
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai
dengan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha; dan
c. usaha menengah memiliki modal usaha lebih dari
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai
dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha.

Pasal 24

Usaha besar memiliki modal usaha lebih dari


Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha.

Pasal 25

(1) Selain ketentuan nilai investasi dan permodalan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24,
Pelaku Usaha juga harus memperhatikan:
a. KBLI;
b. bidang usaha yang diklasifikasikan sebagai bidang
usaha prioritas;
c. bidang usaha dengan persyaratan tertentu;
d. bidang usaha yang dialokasikan bagi koperasi dan
UMK-M dan bidang usaha yang terbuka untuk
usaha besar yang bermitra dengan koperasi dan
UMK-M;
e. bidang usaha yang tertutup bagi penanaman
modal;
V - 36
f. bidang usaha khusus (single purpose dan single
majority); dan
g. peraturan perundang-undangan yang terkait.
(2) Bidang usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diatur sesuai
ketentuan dalam peraturan presiden tentang bidang
usaha penanaman modal.
(3) Bidang usaha khusus sebagaimana dimaksud ada ayat
(1) huruf f diatur sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan

Pasal 26

Ketentuan nomenklatur serta tata cara perizinan berusaha


berbasis risiko melalui layanan sistem perizinan berusaha
terintegrasi secara elektronik (Online Single Submission)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 4

Bidang Usaha Penanaman Modal

Pasal 27

(1) Semua Bidang Usaha terbuka bagi kegiatan


Penanaman Modal, kecuali Bidang Usaha:
a. yang dinyatakan tertutup untuk Penanaman
Modal; atau
b. untuk kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh
Pemerintah Pusat.
(2) Bidang Usaha terbuka sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah Bidang Usaha yang bersifat
komersial.
V - 37
(3) Bidang Usaha yang dinyatakan tertutup untuk
Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a adalah Bidang Usaha yang tidak dapat
diusahakan, meliputi:
a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan
peralatan perang;
b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan
tertutup berdasarkan undang-undang;
c. Industri minuman keras mengandung alkohol
(KBLI 11010), industri minuman mengandung
alkohol: anggur (KBLI 11020), dan industri
minuman mengandung malt (KBLI 11031);
d. bidang usaha yang berpotensi mematikan usaha
kecil (usaha modern);
e. bidang usaha yang berpotensi merusak norma,
budaya dan moral masyarakat; dan
f. bidang usaha yang merusak lingkungan.
(4) Bidang Usaha untuk kegiatan yang hanya dapat
dilakukan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah kegiatan yang
bersifat pelayanan atau dalam rangka pertahanan dan
keamanan yang bersifat strategis dan tidak dapat
dilakukan atau dikerjasamakan dengan pihak lainnya

Pasal 28

(1) Bidang Usaha terbuka sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 27 ayat (1), terdiri atas:
a. Bidang Usaha prioritas;
b. Bidang Usaha yang dialokasikan atau kemitraan
dengan Koperasi dan UMKM;
c. Bidang Usaha dengan persyaratan tertentu; dan

V - 38
d. Bidang Usaha yang tidak termasuk dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c.
(2) Bidang Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d dapat diusahakan oleh semua Penanaman
Modal

Pasal 29

(1) Bidang Usaha prioritas sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 28 ayat (1) huruf a merupakan Bidang Usaha
yang memenuhi kriteria, yaitu:
a. program/proyek strategis nasional;
b. padat modal;
c. padat karya;
d. teknologi tinggi;
e. industri pionir;
f. orientasi ekspor; dan/atau
g. orientasi dalam kegiatan penelitian,
pengembangan, dan inovasi.
(2) Bidang Usaha yang dialokasikan atau kemitraan dengan
Koperasi dan UMKM sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) huruf b merupakan:
a. Bidang Usaha yang dialokasikan bagi Koperasi dan
UMKM, dan
b. Bidang Usaha yang terbuka untuk Usaha Besar
yang bermitra dengan Koperasi dan UMKM.
(3) Bidang Usaha dengan persyaratan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf
c merupakan Bidang Usaha yang dapat diusahakan
oleh semua Penanam Modal termasuk Koperasi dan
UMKM yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

V - 39
a. persyaratan Penanaman Modal untuk Penanam
Modal dalam negeri;
b. persyaratan Penanaman Modal dengan
pembatasan kepemilikan modal asing;
c. persyaratan Penanaman Modal dengan perizinan
khusus; atau
d. persyaratan Penanaman Modal lainnya yaitu
bidang usaha yang dibatasi dan diawasi secara
ketat serta diatur dalam peraturan perundang-
undangan tersendiri di bidang pengendalian dan
pengawasan minuman beralkohol.

Paragraf 5

Hak, Kewajiban dan Tanggung Jawab

Penanam Modal (Pelaku Usaha)

Pasal 30

Setiap Penanam Modal/Pelaku Usaha berhak mendapatkan:

a. kepastian hak, hukum, dan perlindungan;


b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang
dijalankannya;
c. hak pelayanan; dan
d. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 31

Setiap Penanam Modal/Pelaku Usaha berkewajiban :

a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;


b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;

V - 40
c. menyampaikan LKPM;
d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi
kegiatan usaha Penanaman Modal;
e. meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara
Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih
teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia
sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi
perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja asing;
g. mengalokasikan dana secara bertahap untuk
pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan
lingkungan hidup bagi perusahaan yang
mengusahakan sumber daya alam yang tidak
terbarukan, yang pelaksanaannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-
undangan
Pasal 32

Setiap Penanam Modal/Pelaku Usaha bertanggung jawab:

a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber


yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat,
mencegah praktek monopoli, dan hal lain yang merugikan
Daerah dan Negara;
c. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
d. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan
kesejahteraan pekerja;
e. menempatkan dana atas nama perusahaan di bank
Daerah khusus bagi penanam modal yang menggunakan

V - 41
aset strategis daerah yang dituangkan dalam perjanjian
kerja sama tentang Pemanfaatan Aset Strategis Daerah;
f. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan
kerugian jika dirinya menghentikan atau meninggalkan
atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
g. menanggung biaya-biaya atas pencabutan izin yang
disebabkan oleh pelanggaran ketentuan; dan
h. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Paragraf 6

Lokasi Penanaman Modal

Pasal 33

Pemerintah Daerah menetapkan wilayah pengembangan


usaha Penanaman Modal berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah Daerah, dan Rencana Detail Tata Ruang dan
Peraturan Zonasi.

Bagian Keempat

Pengawasan Penanaman Modal

Pasal 34

(1) Pengawasan Penanaman Modal sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d, dilakukan
terhadap perkembangan realisasi Penanaman Modal
serta pemberian fasilitas, insentif dan kemudahan
untuk Penanaman Modal, dan/atau kewajiban
kemitraan.

V - 42
(2) Kewenangan kegiatan Pengawasan Penanaman Modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh Daerah yang ruang lingkup kegiatannya di
Daerah.

Pasal 35

(1) Pengawasan Penanaman Modal dilaksanakan


terhadap setiap kegiatan usaha dengan pengaturan
frekuensi pelaksanaan berdasarkan tingkat Risiko dan
tingkat kepatuhan Pelaku Usaha.
(2) Pengawasan dilaksanakan sejak Pelaku Usaha
mendapatkan Perizinan Berusaha bertujuan agar
pelaksanaan kegiatan berusaha sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. pengawasan rutin; dan
b. pengawasan insidental.
(4) Dalam hal Pelaku Usaha melakukan lebih dari 1 (satu)
kegiatan usaha dengan tingkat Risiko kegiatan usaha
yang berbeda di 1 (satu) titik lokasi yang sama,
Pengawasan dilakukan untuk setiap tingkat Risiko.

Pasal 36

(1) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 35 ayat (3) huruf a dilakukan melalui:
a. laporan Pelaku Usaha; dan
b. inspeksi lapangan.
(2) Pengawasan rutin melalui Laporan Pelaku Usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

V - 43
dilakukan atas laporan yang disampaikan oleh Pelaku
Usaha kepada BKPM melalui OSS yang memuat
perkembangan kegiatan usaha.
(3) Laporan perkembangan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) memuat:
a. realisasi Penanaman Modal dan tenaga kerja,
pada tahapan pembangunan dan komersial
setiap 3 (tiga) bulan; dan
b. realisasi produksi, tanggung jawab sosial dan
lingkungan (corporate social responsibility),
pelaksanaan kemitraan usaha pada tahapan
komersial, dan menyelenggarakan pelatihan dan
melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja
Indonesia sebagai pendamping, pada tahapan
komersial setiap 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.
(4) Pemantauan dan verifikasi atas laporan berkala
Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud ayat (3)
dilakukan terhadap LKPM yang mencakup realisasi
Penanaman Modal, realisasi tenaga kerja, realisasi
produksi termasuk nilai ekspor, kewajiban kemitraan
dan kewajiban lainnya terkait pelaksanaan
Penanaman Modal yang disampaikan oleh Pelaku
Usaha orang perseorangan, dan badan usaha.
(5) Inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dilakukan untuk memeriksa kesesuaian
data dan informasi yang disampaikan pada laporan
berkala dengan pelaksanaan fisik kegiatan usaha
melalui:
a. pembinaan dalam bentuk pendampingan dan
penyuluhan meliputi fasilitasi penyelesaian
permasalahan yang dihadapi oleh Pelaku Usaha,

V - 44
pemberian penjelasan, konsultasi, dan/atau
bimbingan teknis mengenai ketentuan
pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
dan/atau
b. pemeriksaan administratif dan/atau fisik meliputi
kegiatan pengecekan lokasi usaha, realisasi nilai
Penanaman Modal, tenaga kerja,
mesin/peralatan, bangunan/gedung, kewajiban
terkait fasilitas, insentif dan kemudahan untuk
Penanaman Modal, kewajiban kemitraan,
dan/atau kewajiban lainnya terkait pelaksanaan
Penanaman Modal.
(6) Dalam hal inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dengan
kunjungan fisik, inspeksi lapangan dilakukan secara
virtual.
(7) Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko bagi
Pelaku Usaha mikro dan Pelaku Usaha kecil dilakukan
melalui pembinaan, pendampingan atau penyuluhan
terkait kegiatan usaha.
(8) Inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) dilaksanakan oleh Dinas secara terkoordinasi
dan dapat didampingi oleh dinas teknis terkait sesuai
kewenangannya

Pasal 37

(1) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 36 ayat (3) huruf b dapat dilakukan karena
adanya keadaan tertentu, yaitu:
a. adanya pengaduan masyarakat;

V - 45
b. adanya pengaduan dan/atau kebutuhan dari
Pelaku Usaha;
c. adanya indikasi Pelaku Usaha melakukan kegiatan
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan/atau
d. kebutuhan yang sangat mendesak berupa
terjadinya pencemaran lingkungan dan/atau hal-
hal lain yang dapat membahayakan keselamatan
masyarakat dan/atau mengganggu perekonomian
nasional maupun perekonomian daerah.
(2) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sewaktu-waktu dan dapat
dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu
kepada Pelaku Usaha.
(3) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan inspeksi lapangan untuk
memeriksa kesesuaian data dan informasi dengan
pelaksanaan kegiatan usaha, melalui:
a. pembinaan dalam bentuk pendampingan dan
penyuluhan;
b. pemeriksaan administratif dan fisik.
(4) Inspeksi lapangan insidental dilaksanakan oleh Dinas
secara terkoordinasi dan dapat didampingi oleh dinas
teknis terkait sesuai kewenangannya.
(5) Surat tugas dan BAP hasil Pengawasan insidental
diinput ke Sistem OSS setelah pelaksanaan inspeksi
lapangan

Pasal 38

(1) Kegiatan Pemantauan atas laporan Pelaku Usaha


dilaksanakan oleh Dinas sesuai kewenangannya sejak

V - 46
Pelaku Usaha mendapatkan Perizinan Berusaha
Berbasis Risiko.
(2) Kegiatan Pemantauan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui pengumpulan, verifikasi,
dan evaluasi terhadap laporan berkala.

Pasal 39

(1) Pelaku Usaha wajib menyampaikan LKPM untuk setiap


bidang usaha dan/atau lokasi.
(2) Penyampaian LKPM sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara daring melalui Sistem OSS.
(3) Penyampaian LKPM mengacu pada data Perizinan
Berusaha, termasuk perubahan data yang tercantum
dalam Sistem OSS sesuai dengan periode berjalan.
(4) Penyampaian LKPM sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disampaikan oleh Pelaku Usaha untuk setiap
tingkat Risiko secara berkala dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. bagi Pelaku Usaha kecil setiap 6 (enam) bulan
dalam 1 (satu) tahun laporan; dan
b. bagi Pelaku Usaha menengah dan besar setiap 3
(tiga) bulan (triwulan).
(5) Penyampaian LKPM sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak diwajibkan bagi:
a. Pelaku Usaha mikro; dan
b. bidang usaha hulu migas, perbankan, lembaga
keuangan non bank, dan asuransi
(6) Penyampaian LKPM sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf a dilakukan dengan ketentuan periode
pelaporan sebagai berikut:

V - 47
a. laporan semester I disampaikan paling lambat
tanggal 10 bulan Juli tahun yang bersangkutan;
dan
b. laporan semester II disampaikan paling lambat
tanggal 10 bulan Januari tahun berikutnya.
(7) Penyampaian LKPM sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf b dilakukan dengan ketentuan:
a. LKPM terdiri atas:
1. LKPM tahap konstruksi/persiapan bagi
kegiatan usaha yang belum berproduksi
dan/atau beroperasi komersial; dan
2. LKPM tahap operasional dan/atau komersial
bagi kegiatan usaha yang sudah berproduksi
dan/atau beroperasi komersial.
b. Periode pelaporan sebagai berikut:
1. laporan triwulan I disampaikan paling
lambat tanggal 10 bulan April tahun yang
bersangkutan;
2. laporan triwulan II disampaikan paling
lambat tanggal 10 bulan Juli tahun yang
bersangkutan;
3. laporan triwulan III disampaikan paling
lambat tanggal 10 bulan Oktober tahun
yang bersangkutan; dan
4. laporan triwulan IV disampaikan paling
lambat tanggal 10 bulan Januari tahun
berikutnya

Pasal 40

(1) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39


ayat (4) huruf a memiliki kewajiban menyampaikan

V - 48
LKPM pertama kali, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang
diterbitkan pada rentang waktu 6 (enam) bulan
pertama periode semester memiliki kewajiban
penyampaian LKPM pertama kali pada periode
semester yang sesuai dengan tanggal penerbitan
Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; atau
b. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang
diterbitkan pada bulan ketujuh periode semester
yang sesuai dengan tanggal penerbitan Perizinan
Berusaha, memiliki kewajiban penyampaian LKPM
pertama kali pada periode semester berikutnya.
(2) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (4) huruf b memiliki kewajiban menyampaikan
LKPM pertama kali, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang
diterbitkan pada rentang waktu 3 (tiga) bulan
pertama periode triwulan memiliki kewajiban
penyampaian LKPM pertama kali pada periode
triwulan yang sesuai dengan tanggal penerbitan
Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; atau
b. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang
diterbitkan pada bulan keempat periode triwulan
yang sesuai dengan tanggal penerbitan Perizinan
Berusaha Berbasis Risiko, memiliki kewajiban
penyampaian LKPM pertama kali pada periode
triwulan berikutnya.

V - 49
Pasal 41

(1) Pelaku Usaha yang siap atau telah berproduksi/


beroperasi komersial wajib menyatakan siap atau
telah berproduksi/beroperasi komersial secara daring
melalui Sistem OSS.
(2) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi ketentuan minimum realisasi
Penanaman Modal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 42

(1) Verifikasi dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 38 ayat (2) dilakukan terhadap perkembangan
realisasi Penanaman Modal yang dicantumkan dalam
LKPM.
(2) Dalam melakukan verifikasi dan evaluasi data
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dinas dapat
meminta penjelasan dari Pelaku Usaha atau meminta
perbaikan LKPM.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha tidak melakukan perbaikan
atas LKPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pelaku Usaha dianggap tidak menyampaikan LKPM.
(4) Hasil verifikasi dan evaluasi data realisasi Penanaman
Modal yang dicantumkan dalam LKPM yang telah
disetujui, disimpan secara daring dalam subsistem
Pengawasan pada Sistem OSS

V - 50
Pasal 43

Untuk meningkatkan kepatuhan Pelaku Usaha terhadap


kewajiban dan tanggung jawab Dinas dapat memberikan
penghargaan kepada Pelaku Usaha terbaik sesuai dengan
kewenangannya.

Pasal 44

(1) Kegiatan inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b dilakukan oleh Dinas
sesuai kewenangannya secara terintegrasi dan
terkoordinasi.
(2) Dalam melaksanakan inspeksi lapangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan
lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau
terakreditasi.
(3) Dalam hal berdasarkan inspeksi lapangan ditemukan
pelanggaran yang dilakukan Pelaku Usaha, lembaga
atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi
melaporkan kepada Dinas yang menugaskan, dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) Hari sejak
lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau
terakreditasi menemukan pelanggaran yang
dilakukan oleh Pelaku Usaha.
(4) Dinas melalui BKPM melakukan penghentian
pelanggaran untuk mencegah dampak yang lebih
besar dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) Hari
setelah menerima laporan lembaga atau profesi ahli
yang bersertifikat atau terakreditasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Dalam hal melaksanakan implementasi penghentian
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4),

V - 51
Dinas dapat bekerjasama dengan aparatur penegak
hukum.
(6) Inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan secara terintegrasi dan terkoordinasi
sesuai dengan rencana jadwal tahunan yang
tercantum pada subsistem Pengawasan pada Sistem
OSS.

Pasal 45

(1) Dalam hal OSS tidak dapat berfungsi karena Keadaan


Kahar (Force Majeure) pelaksanaan Pengawasan
Berbasis Risiko dapat dilakukan secara manual.
(2) Pelaksanaan Pengawasan Berbasis Risiko secara
manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
sebagai berikut:
a. penyampaian laporan Pelaku Usaha tetap
dilaksanakan secara berkala dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Peraturan Bupati;
b. perencanaan inspeksi lapangan tetap
dilaksanakan sesuai jadwal oleh setiap
koordinator Pelaksanaan Pengawasan Perizinan
Berusaha Berbasis Risiko melalui media
komunikasi yang tersedia;
c. hasil inspeksi lapangan dituangkan ke dalam BAP
dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Peraturan Bupati dan pelaksana
inspeksi lapangan menginput hasil inspeksi
lapangan ke dalam Sistem OSS setelah
berakhirnya Keadaan Kahar;

V - 52
d. permohonan tindakan administratif dilengkapi
dokumen serta diterbitkan menggunakan format
sebagaimana tercantum pada Peraturan Bupati;
dan
e. pemberian sanksi dilengkapi dokumen serta
diterbitkan dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Peraturan Bupati.

Pasal 46

Ketentuan pelaksanaan serta tata cara pengawasan perizinan


berusaha berbasis risiko diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Bupati

g. Bab VII. Pengembangan Potensi dan Peluang Penanaman


Modal di Daerah
Pasal 47
(1) Pemerintah daerah wajib memacu pengembangan
potensi dan peluang penanaman modal.
(2) Pengembangan potensi dan peluang Penanaman Modal
di Daerah meliputi:
a. identifikasi Potensi Penanaman Modal;
b. pemetaan Peluang Penanaman Modal; dan
c. pendokumentasian hasil pemetaan peluang
Penanaman Modal di Daerah ke dalam Sistem
Informasi Potensi dan Peluang Investasi Daerah.

Pasal 48
Identifikasi potensi penanaman modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a, dilakukan melalui:
a. pengumpulan data informasi potensi Penanaman Modal
berupa profil daerah (kondisi geografis, demografis,

V - 53
ekonomi, sarana dan prasarana pendukung investasi
serta komoditi unggulan); dan
b. analisis hasil pengumpulan data informasi potensi
Penanaman Modal.

Pasal 49
Pemetaan peluang Penanaman Modal di Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf b, dilakukan melalui:
a. pengumpulan data informasi Potensi Penanaman Modal
di wilaya daerah kabupaten/kota;
b. verifikasi hasil pengumpulan data informasi Potensi
Penanaman Modal di wilayah kabupaten/kota;
c. analisis hasil verifikasi Potensi Penanaman Modal yang
telah didapatkan sebelumnya didukung dengan hasil
studi yang diperoleh berdasarkan kunjungan lapangan
di wilayah daerah kabupaten/kota;
d. hasil pemetaan Peluang Penanaman Modal di daerah
yang dilakukan oleh DPMPTSP kabupaten/kota
didokumentasikan ke dalam SIPID.

Pasal 50
Pendokumentasian hasil pemetaan peluang penanaman
modal di daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
ayat (2) huruf c dilakukan melalui perekaman dan
pembaharuan hasil pemetaan potensi usaha dan data
berupa profil daerah (kondisi geografis, demografis,
ekonomi, sarana dan prasarana pendukung investasi serta
komoditi unggulan), yang dilakukan oleh DPMPTSP
kabupaten/kota.

V - 54
h. Bab VIII. Pemberian Insentif dan Kemudahan Investasi di
Daerah
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 51
Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dan/atau
kemudahan investasi di daerah kepada Masyarakat dan/atau
Investor sesuai kewenangannya.

Pasal 52
Pemberian Insentif/Kemudahan Investasi berdasarkan prinsip:
a. Kepastian hukum;
b. Kesetaraan;
c. Transparansi;
d. Akuntabilitas; dan
e. Efektif dan efisien.

Pasal 53
Tujuan pemberian insentif dan/atau pemberian kemudahan
investasi adalah:
a. Menciptakan daya Tarik dan daya saing bagi investor
maupun calon investor;
b. Memperluas akses dunia usaha atas data dan informasi
penanaman modal;
c. Mendorong dan mengembangkan kawasan industri;
d. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah;
e. Menciptakan lapangan kerja;
f. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
g. Mendorong meningkatnya investasi; dan
h. Meningkatkan kemitraan usaha.

V - 55
Bagian Kedua
Kriteria
Pasal 54
Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan diberikan
kepada Masyarakat dan/atau Investor yang memenuhi
kriteria:
a. memberikan kontribusi terhadap peningkatan
pendapatan masyarakat;
b. menyerap tenaga kerja;
c. menggunakan sebagian besar sumber daya lokal;
d. memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan
publik;
e. memberikan kontribusi yang signifikan dalam
peningkatan produk domestik regional bruto;
f. berwawasan lingkungan dan berkelanjutan;
g. pembangunan infrastruktur;
h. melakukan alih teknologi;
i. melakukan industri pionir;
j. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan
inovasi;
k. bermitra dengan usaha mikro, kecil, atau koperasi;
l. industri yang menggunakan barang modal, mesin, atau
peralatan yang diproduksi di dalam negeri;
m. melakukan kegiatan usaha sesuai dengan program
prioritas nasional dan/atau daerah; dan/atau
n. berorientasi ekspor.

Pasal 55
(1) Pemerintah Daerah dapat memprioritaskan pemberian
insentif dan/ atau pemberian kemudahan untuk jenis
usaha tertentu atau kegiatan tertentu.

V - 56
(2) Jenis usaha tertentu atau kegiatan tertentu terdiri
atas:
a. usaha mikro, kecil, dan/atau koperasi;
b. usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan;
c. usaha yang dipersyaratkan kepemilikan
modalnya;
d. usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi
tertentu;
e. usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan
khusus;
f. usaha yang terbuka dalam rangka penanaman
modal yang memprioritaskan keunggulan daerah;
g. usaha yang telah mendapatkan fasilitas
penanaman modal dari Pemerintah Pusat;
dan/atau
h. usaha lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pemerintah Daerah memberikan insentif dan/atau
kemudahan investasi di daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada rencana
umum penanaman modal daerah atau hasil kajian
yang mempertimbangkan potensi daerah dan nilai
tambah di daerah.

Pasal 56
Jenis usaha atau kegiatan Penanaman Modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi sektor:
a. sektor pariwisata;
b. sektor pendidikan dan kebudayaan;
c. sektor pertanian;
d. sektor peternakan;
e. sektor perikanan dan kelautan;

V - 57
f. sektor perdagangan dan jasa;
g. sektor energi;
h. sektor perumahan dan Kawasan permukiman;
i. sektor industri;
j. sektor konstruksi;
k. Sektor teknologi informasi;
l. Sektor telekomunikasi;
m. sektor transportasi;
n. Sektor ketenagakerjaan;
o. Sektor pertambangan
p. sektor perkebunan;
q. dan sektor lain yang potensial di Kabupaten Magetan.

Bagian Ketiga
Bentuk Insentif dan Kemudahan
Pasal 57
(1) Pemberian Insentif dapat berbentuk :
a. pengurangan, keringanan, atau pembebasan
pajak daerah;
b. pengurangan, keringanan, atau pembebasan
retribusi daerah;
c. pemberian bantuan Modal kepada usaha mikro,
kecil, dan/atau koperasi di daerah;
d. bantuan untuk riset dan pengembangan untuk
usaha mikro, kecil, dan/atau koperasi di daerah;
e. bantuan fasilitas pelatihan vokasi usaha mikro,
kecil, dan/atau koperasi di daerah; dan/atau
f. subsidi bunga pinjaman rendah.
(2) Pemberian Kemudahan dapat berbentuk :
a. penyediaan data dan informasi peluang
penanaman modal;
b. penyediaan sarana dan prasarana;

V - 58
c. fasilitasi penyediaan lahan atau lokasi;
d. pemberian bantuan teknis;
e. penyederhanaan dan percepatan pemberian
perizinan . melalui pelayanan terpadu satu pintu;
f. fasilitasi akses pemasaran hasil produksi;
g. kemudahan investasi langsung;
h. kemudahan investasi di kawasan strategis yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
yang berpotensi pada pembangunan daerah;
i. pemberian kenyamanan dan keamanan
berinvestasi di daerah;
j. fasilitasi proses sertifikasi dan standardisasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
k. fasilitasi akses tenaga kerja siap pakai dan
terampil;
l. kemudahan akses pasokan bahan baku; dan/atau
m. fasilitasi promosi sesuai dengan kewenangan
daerah.
(3) Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diberikan sesuai dengan kemampuan daerah dan
peraturan perundang-undangan.
(4) Pemberian insentif dalam bentuk bantuan modal
sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) huruf c
dapat berupa uang atau barang.
(5) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Keempat
Tata Cara Pemberian Insentif dan Kemudahan Investasi

V - 59
Pasal 58
Tata cara pemberian insentif dan/atau pemberian kemudahan
kepada masyarakat dan/atau investor dilakukan melalui
tahapan:
a. pengajuan permohonan;
b. verifikasi dan penilaian; dan
c. pelaksanaan pemberian.

Pasal 59
(1) Masyarakat dan/atau Penanam Modal mengajukan
permohonan Pemberian Insentif dan/atau
Kemudahan Investasi secara tertulis kepada Bupati.
(2) Bupati wajib menindaklanjuti pengajuan permohonan
Pemberian Insentif dan/atau Kemudahan Investasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Masyarakat dan/atau Penanam Modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Penanam Modal baru yang akan membuka usaha
mengajukan permohonan yang memuat:
1. Profil perusahaan;
2. Rencana usaha; dan
3. Bentuk insentif dan/atau kemudahan yang
dimohonkan.
b. Penanam Modal lama yang akan melakukan
perluasan usaha, mengajukan permohonan yang
memuat:
1. Kinerja perusahaan;
2. Perkembangan usaha;
3. Lingkup usaha; dan
4. Bentuk insentif dan/atau kemudahan yang
dimohonkan.

V - 60
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan
Koperasi cukup dengan menyampaikan surat
permohonan yang memuat kebutuhan insentif
dan/atau Kemudahan Penanaman Modal
(5) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara permohonan
insentif dan Kemudahan Investasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Bupati.

Pasal 60
(1) Permohonan Pemberian Insentif dan/atau Kemudahan
Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (1) diverifikasi oleh Tim Verifikasi dan Penilaian.
(2) Keanggotaan Tim Verifikasi dan Penilaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Perangkat
Daerah terkait dan dikoordinasikan oleh Dinas.
(3) Pembentukan Tim Verifikasi dan Penilaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Bupati.

Pasal 61
Tim Verifikasi dan Penilaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 memiliki tugas:
a. melakukan verifikasi dan penilaian atas pengajuan
permohonan Pemberian Insentif dan Kemudahan
Investasi;
b. melakukan peninjauan lapangan;
c. melakukan penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan
Penanaman Modal oleh Masyarakat dan/atau Penanam
Modal sesuai kriteria berdasarkan variabel penilaian;

V - 61
d. menentukan bentuk dan besaran Pemberian Insentif
dan/atau Kemudahan Investasi berdasarkan hasil
penilaian;
e. menyampaikan rekomendasi penerima insentif dan/atau
Kemudahan Penanaman Modal kepada Bupati;
f. melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap
pelaksanaan Pemberian Insentif dan Kemudahan
Investasi di Daerah; dan
g. melaporkan hasil pemantauan dan evaluasi terhadap
pelaksanaan Pemberian Insentif dan Kemudahan
Investasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun
kepada Bupati.

Pasal 62
(1) Bupati menetapkan penerima Pemberian Insentif
dan/atau Kemudahan Investasi berdasarkan
rekomendasi Tim Verifikasi dan Penilaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf e.
(2) Penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(3) Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling sedikit memuat:
a. Nama;
b. Alamat pemohon;
c. Jenis usaha atau kegiatan investasi;
d. Bentuk insentif dan/atau kemudahan;
e. Jangka waktu insentif; dan
f. Hak dan kewajiban penerima insentif dan/atau
kemudahan investasi.

Bagian Kelima

V - 62
Dasar Penilaian, Jangka Waktu dan Frekuensi Pemberian
Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan
Paragraf 1
Dasar Penilaian
Pasal 63
(1) Pemerintah Daerah dalam melaksanakan penilaian
pemberian insentif dan kemudahan kepada penanam
modal didasarkan pada:
a. Jenis usaha; dan
b. Kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54
ayat (2).
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menentukan bentuk dan besaran insentif dan/atau
kemudahan yang akan diberikan kepada penanam
modal.
(3) Bentuk dan besaran insentif dan/atau kemudahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan
pada banyaknya kriteria yang dipenuhi oleh penanam
modal.

Pasal 64
(1) Pemerintah Daerah melaksanakan penilaian dengan
menggunakan variabel dan skala prioritas untuk
menetapkan bentuk insentif dan/atau kemudahan
yang akan diberikan kepada penanam modal.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai variabel dan skala
prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 2

V - 63
Jangka Waktu dan frekuensi Pemberian Insentif dan/atau
Kemudahan
Pasal 65
Pemberian Insentif dan Kemudahan Penanaman Modal
dilakukan dalam jangka waktu dan frekuensi tertentu.

Pasal 66
Jangka waktu pemberian insentif dan kemudahan ditetapkan
sebagai berikut:
a. Penanam modal baru diberikan paling banyak 4 (empat)
kali dalam jangka waktu 5 tahun sejak memperoleh
Nomor Induk Berusaha;
b. Penanam modal lama diberikan paling banyak 2 (dua)
kali saat usaha penanam modal mengalami kerugian
dan/atau mengalami kepailitan;
c. Pemberian kemudahan Penanaman Modal kepada
Penanam Modal lama diberikan paling banyak 1 (satu)
kali.

Bagian Keenam
Standar Operasional Prosedur
Pasal 67
(1) Bupati menetapkan standar operasional prosedur
pelaksanaan Pemberian Insentif dan/atau Pemberian
Kemudahan kepada Masyarakat dan/atau Investor.
(2) Dalam pelaksanaan Pemberian Insentif dan/atau
Pemberian Kemudahan kepada Masyarakat dan/atau
Investor, Kepala Daerah melakukan verifikasi.
(3) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikoordinasikan oleh perangkat daerah yang
membidangi urusan penanaman modal.

V - 64
Pasal 68
Pelaksanaan pemberian Insentif dan/atau Pemberian
Kemudahan kepada Masyarakat dan/atau Investor ditetapkan
dengan Keputusan Bupati.

Bagian Ketujuh
Evaluasi dan Pelaporan
Pasal 69
(1) Investor yang menerima insentif harus menyampaikan
laporan kepada Bupati atau pejabat yang ditunjuk
setiap 1 (satu) tahun sekali.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat:
a. Laporan penggunaan insentif dan/atau
kemudahan;
b. Pengelolaan usaha; dan
c. Rencana kegiatan usaha.
(3) Format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Bupati.

Pasal 70
(1) Bupati melakukan evaluasi terhadap efektivitas
pelaksanaan Pemberian Insentif dan/atau Pemberian
Kemudahan yang telah diberikan kepada Masyarakat
dan/atau Investor.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling sedikit 1 (satu) tahun sekali.

Pasal 71
Pemberian Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan dapat
ditinjau kembali apabila berdasarkan evaluasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 tidak lagi memenuhi kriteria atau

V - 65
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 72
Bupati menyampaikan laporan pelaksanaan Pemberian Insentif
dan/atau Pemberian Kemudahan di daerahnya kepada
Gubernur setiap 1 (satu) tahun sekali.

Pasal 73
Pelaksanaan Pemberian Insentif dan/atau Pemberian
Kemudahan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.

Bagian Kedelapan
Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 74
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pemberian
insentif dan pemberian kemudahan penanaman
modal dikoordinasikan oleh Bupati atau pejabat yang
ditunjuk.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi pengawasan atas
pemanfaatan pemberian insentif dan/atau pemberian
kemudahan penanaman modal serta kendala yang
dihadapi.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikoordinasikan oleh aparat pengawasan intern di
lingkungan Pemerintahan Daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian
insentif dan kemudahan penyelenggaraan
penanaman modal diatur dalam Peraturan Bupati.

V - 66
i. Bab IX. Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Penanaman
Modal

Pasal 75

(1) Pengelolaan data dan sistem informasi penanaman


modal dilaksanakan melalui sistem pelayanan
informasi perizinan investasi secara elektronik yang
terintegrasi antara DPMPTSP dengan BKPM sesuai
ketentuan Peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam upaya peningkatan pelayanan perizinan,
pengembangan iklim penanaman modal, promosi dan
kerja sama serta pengendalian pelaksanaan
penanaman modal, perlu dukungan data yang
berkualitas dan penggunaan teknologi informasi yang
optimal.
(3) Untuk mendukung upaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan melalui:
a. pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan
Teknologi Informasi Penanaman Modal;
b. pengelolaan data dan informasi penanaman
modal;
c. pengembangan dan integrasi aplikasi pelayanan
perizinan daerah dan pusat;
d. pengembangan sumber daya manusia;
e. analisis dan evaluasi terhadap perkembangan
penanaman modal berdasarkan data dan informasi
yang berbeda; dan/atau
f. pengkajian terhadap perkembangan yang
mempengaruhi aktivitas penanaman modal.
(4) Kegiatan analisis dan pengkajian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f, dapat

V - 67
dilakukan secara mandiri maupun bekerja sama
dengan pihak atau lembaga yang berkompeten.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan data
yang berkualitas dan penggunaan teknologi informasi
yang optimal diatur dalam Peraturan Bupati.

j. Bab X. Pemberdayaan Usaha

Pasal 76

(1) Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan usaha


dalam Penanaman Modal di Daerah.
(2) Pemberdayaan usaha dalam Penanaman Modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. fasilitasi pelaksanaan pembinaan manajemen
usaha kepada pengusaha mikro, kecil, dan
menengah berkaitan dengan pemberdayaan
Penanaman Modal;
b. fasilitasi pelaksanaan kemitraan usaha mikro,
kecil, dan menengah dengan perusahaan PMA
dan/atau PMDN; dan
c. fasilitasi peningkatan kapasitas usaha mikro, kecil,
menengah berkaitan dengan Penanaman Modal.

Pasal 77

(1) Fasilitasi pelaksanaan pembinaan manajemen usaha


kepada pengusaha mikro, kecil, dan menengah
berkaitan dengan pemberdayaan penanaman modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf
a, dilakukan melalui:
a. koordinasi pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan
pembinaan manajemen usaha kepada pengusaha
V - 68
mikro, kecil, dan menengah berkaitan dengan
pemberdayaan Penanaman Modal dengan
Pemerintah Daerah; dan
b. peningkatan kapasitas manajemen produksi,
manajemen keuangan dan pemasaran.
(2) Fasilitasi pelaksanaan pembinaan manajemen usaha
berkaitan dengan Penanaman Modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk
menaikkan kelas skala usaha mikro, kecil, dan
menengah menjadi usaha besar serta siap untuk
dimitrakan dengan perusahaan PMA dan/atau PMDN
di seluruh wilayah Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 78

(1) Fasilitasi pelaksanaan kemitraan usaha mikro, kecil,


dan menengah dengan perusahaan PMA dan/atau
PMDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat
(2) huruf b, dilakukan melalui:
a. melaksanakan fasilitasi Kemitraan Usaha antara
usaha mikro, kecil, menengah, dan usaha besar;
dan
b. penyiapan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan
Kemitraan Usaha antara usaha mikro, kecil,
menengah, dan usaha besar.
(2) Fasilitasi pelaksanaan kemitraan usaha mikro, kecil,
dan menengah dengan perusahaan PMA dan/atau
PMDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan untuk mencapai kesepakatan kemitraan
peningkatan ekonomi yang berkeadilan.

Pasal 79

V - 69
(1) Fasilitasi peningkatan kapasitas usaha mikro, kecil,
dan menengah berkaitan dengan Penanaman Modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf
c, dilakukan melalui:
a. pelaksanaan dan pelaporan fasilitasi peningkatan
kapasitas usaha mikro, kecil, dan menengah;
dan
b. penggalian masukan, saran, pandangan,
pemikiran, pertimbangan, rekomendasi dan
permasalahan dari dunia usaha nasional di
tingkat daerah.
(2) Fasilitasi peningkatan kapasitas usaha mikro, kecil,
dan menengah berkaitan dengan Penanaman Modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
untuk memberikan solusi dalam peningkatan usaha
untuk siap dimitrakan dengan perusahaan PMA
dan/atau PMDN di seluruh wilayah Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

k. BAB XI. Peran Serta Masyarakat

Pasal 80

(1) Masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan


seluas-luasnya untuk berperan serta dalam
penyelenggaraan penanaman modal dengan cara:
a. berperan aktif menciptakan iklim usaha yang
kondusif dan berdaya saing;
b. Melakukan kemitraan dengan pengusaha
PMA/PMDN;
c. membantu kelancaran pelaksanaan penanaman
modal; dan/atau
d. penyampaian informasi potensi daerah.

V - 70
(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan untuk:
a. mewujudkan keberlanjutan penanaman modal;
b. menunjang pencegahan pelanggaran atas
peraturan perundang-undangan;
c. menunjang pencegahan dampak negatif akibat
penanaman modal; dan
d. menumbuhkan kebersamaan antara masyarakat
dengan penanam modal.
(3) Untuk menunjang terselenggaranya peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), Dinas memfasilitasi peran serta
masyarakat.

l. BAB XII. Penyelesaian Sengketa

Pasal 81

(1) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman


modal antara Pemerintah dengan penanam modal,
para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa
tersebut melalui musyawarah dan mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian
sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase
atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman
modal antara Pemerintah dengan penanam modal
dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan
sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan
kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian

V - 71
sengketa melalui arbitrase tidak disepakati,
penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di
pengadilan.
(4) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman
modal antara Pemerintah dengan penanam modal
asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa
tersebut melalui arbitrase internasional yang harus
disepakati oleh para pihak.

m. BAB XIII. Ketentuan Sanksi

Pasal 82

(1) Setiap penanam modal yang melakukan usaha


penanaman modal tanpa memiliki izin atau
melanggar ketentuan dan/atau kewajiban
sebagaimana tercantum dalam Peraturan Daerah ini
dapat dikenakan sanksi administrasi berupa :
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas
penanaman modal; atau
d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas
penanaman modal.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
(3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau
usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

n. BAB XIV. Ketentuan Peralihan

V - 72
Pasal 83

(1) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku,


Penanam Modal harus menyesuaikan dengan
Peraturan Daerah ini.
(2) Perizinan dan nonperizinan Penanaman Modal yang
sudah ada sebelum Peraturan Daerah ini, tetap
berlaku sampai dengan habis masa berlaku perizinan
dan nonperizinan.
(3) Perizinan dan nonperizinan Penanaman Modal yang
telah habis masa berlakunya sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), wajib mendaftarkan perizinan
berusaha melalui OSS.

o. BAB XV. Ketentuan Penutup

Pasal 84

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua


peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Magetan
Nomor 6 Tahun 2015 tentang Penanaman Modal (Lembaran
Daerah Kabupaten Magetan Tahun 2015 Nomor 12)
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.

Pasal 85

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku Peraturan


Daerah Kabupaten Magetan Nomor 6 Tahun 2015 tentang

V - 73
Penanaman Modal (Lembaran Daerah Kabupaten Magetan
Tahun 2015 Nomor 12) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 86

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

D. Penjelasan
Penjelasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Magetan tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dan
Pemberian Insentif/Kemudahan Investasi dibagi menjadi dua
bagian, yaitu : (i) Penjelasan secara Umum; dan (ii)
Penjelasan Pasal demi Pasal. Penjelasan secara umum
Kabupaten Magetan tentang Penyelenggaraan Penanaman
Modal dan Pemberian Insentif/Kemudahan Investasi adalah
sebagai berikut:
Kabupaten Magetan memerlukan sumber pembiayaan
alternatif mengingat kondisi pendapatan fiskal daerah belum
cukup menyediakannya. Untuk itu Pemerintah Kabupaten
Magetan terus memicu dan merangsang adanya arus
penanaman modal yang masuk sebagai sumber pembiayaan.
Dengan kondisi seperti itu maka peran penanaman modal
sangatlah strategis yang berdampak pada pertumbuhan
ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan pembangunan
infrastruktur. Bahkan dewasa ini peran penanaman modal
semakin strategis yaitu sebagai ukuran kemampuan daya
saing sebuah daerah dalam menggali potensi dan sumberdaya
yang dimiliki sekaligus mempromosikannya kepada calon
investor.
Pemerintah Kabupaten Magetan terus mendorong
agar penanam modal datang dan menanamkan modalnya di
Kabupaten Magetan dengan memperbaiki semua instrumen
V - 74
kebijakan. Diantaranya dengan menyusun kebijakan untuk
menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif guna
meningkatkan daya saing ekonomi daerah. Salah satu
kebijakan yang dibangun adalah menyusun Peraturan Daerah
Penyelenggaraan Penanaman Modal dan Pemberian
Insentif/Kemudahan Investasi kepada Masyarakat dan/atau
Penanam Modal. Tujuannya adalah memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan/atau penanam
modal untuk mengembangkan produk, usaha, dan
berinvestasi di Kabupaten Magetan. Jenis penanaman modal
dan lokasi pengembangannya harus tetap mengacu kepada
peraturan tata ruang yang ditetapkan.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan,
pemerintah daerah berkewajiban mewujudkan pembangunan
ekonomi daerah dan pertumbuhan perekonomian daerah yang
semakin kokoh dan sehat berdasarkan demokrasi ekonomi.
Sementara untuk mewujudkan pembangunan ekonomi daerah
dan pertumbuhan perekonomian daerah diperlukan
pengembangan penanaman modal dengan berpedoman pada
peraturan perundang-undangan. Untuk pelaksanaan
percepatan penanaman modal perlu diberikan kepastian dan
perlindungan hukum secara adil kepada pihak-pihak yang
mengembangkan penanaman modal. Kepastian hukum ini
akan menjadi pedoman dalam upaya mengakselerasi
terwujudnya penanaman modal di Kabupaten Magetan
sehingga dapat mempercepat pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi daerah sekaligus untuk lebih
meningkatkan pendapatan daerah. Penyusunan Perda tentang
Penyelenggaraan Penanaman Modal dan Pemberian
Insentif/Kemudahan Investasi adalah menindaklanjuti amanat
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

V - 75
Daerah. Dalam ketentuan Pasal 278 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 mengamanatkan sebagai berikut:
1. Penyelenggara Pemerintahan Daerah melibatkan peran
serta Masyarakat dan sektor swasta dalam
pembangunan daerah.
2. Untuk mendorong peran serta Masyarakat dan sektor
swasta sebagaimana dimaksud ayat (1), Penyelenggara
Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dan/atau
kemudahan kepada Masyarakat dan/atau Penanam
Modal yang diatur dalam Perda dengan berpedoman
pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, beberapa Pasal/ayat/huruf yang perlu
dijelaskan pada penjelasan demi pasal ini dijelaskan secara
rinci yaitu:
a. Penjelasan Pasal 2:
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum”
adalah asas dalam negara hukum yang
meletakkan hukum dan ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagai dasar dalam
setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang
penanaman modal.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan”
adalah asas yang terbuka terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang
benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
kegiatan penanaman modal.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas”
adalah asas yang menentukan bahwa setiap

V - 76
kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan
penanaman modal harus
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas tidak
diskriminatif” adalah asas perlakuan pelayanan
nondiskriminasi berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan, baik antara
penanam modal dalam negeri dan penanam
modal asing maupun antara penanam modal
dari satu negara asing dan penanam modal dari
negara asing lainnya.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan”
adalah asas yang mendorong peran seluruh
penanam modal secara bersama-sama dalam
kegiatan usahanya untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas efisiensi
berkeadilan” adalah asas yang mendasari
pelaksanaan penanaman modal dengan
mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam
usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil,
kondusif, dan berdaya saing
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas berkelanjutan”
adalah asas yang secara terencana
mengupayakan berjalannya proses

V - 77
pembangunan melalui penanaman modal untuk
menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam
segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini
maupun yang akan datang.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas berwawasan
lingkungan” adalah asas penanaman modal
yang dilakukan dengan tetap memperhatikan
dan mengutamakan perlindungan dan
pemeliharaan lingkungan hidup. Dibuktikan
dengan ketaatan terhadap ketentuan dan
kesanggupan dalam dokumen lingkungan yang
dimiliki pada saat proses perijinan.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas kemandirian”
adalah asas penanaman modal yang dilakukan
dengan tetap mengedepankan potensi bangsa
dan negara dengan tidak menutup diri pada
masuknya modal asing demi terwujudnya
pertumbuhan ekonomi.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi daerah”
adalah asas yang berupaya menjaga
keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah
dalam kesatuan ekonomi daerah.

b. Penjelasan Pasal 3:
Ayat (2)
Huruf a
Iklim usaha yang kondusif adalah keadaan yang
menjamin kemudahan dan keberlangsungan

V - 78
investasi baik yang bersifat makro seperti
politik dan keamanan, serta yang bersifat mikro
seperti sinkronisasi dan harmonisasi antara
kebijakan industri, investasi dan perdagangan
maupun perlunya adanya dukungan kebijakan
penyediaan infrastruktur dan kerangka
kelembagaan yang menyehatkan dan kebijakan
pembiayaan yang kompetitif.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perlakuan yang sama”
adalah bahwa Pemerintah tidak membedakan
perlakuan terhadap penanam modal yang telah
menanamkan modalnya di Indonesia, kecuali
ditentukan lain oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf c
Dalam bentuk memberikan kemudahan-
kemudahan pelayanan/prioritas dalam segala
kegiatan usaha UMKM.

c. Penjelasan Pasal 21:


Ayat (1)
Huruf a
Orang perseorangan adalah orang yang cakap
melakukan perbuatan hukum sebagaimana
diatur dalam kitab Undang-undang hukum
perdata.
Huruf b
Badan usaha adalah kesatuan yuridis, teknis,
dan ekonomis yang bertujuan mencari laba
atau keuntungan.

V - 79
Ayat (4)
Huruf i
Yang termasuk badan hukum lainnya yang
dimiliki oleh negara antara lain lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia, Lembaga
Pengelola Investasi, Bank Tanah dan badan
layanan umum.

d. Penjelasan Pasal 30:


Huruf a
Yang dimaksud dengan “kepastian hak” adalah
jaminan Pemerintah bagi penanam modal untuk
memperoleh hak sepanjang penanam modal
telah melaksanakan kewajiban yang ditentukan.
Yang dimaksud dengan “kepastian hukum”
adalah jaminan Pemerintah untuk
menempatkan hukum dan ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagai landasan utama
dalam setiap tindakan dan kebijakan bagi
penanam modal. Yang dimaksud dengan
“kepastian perlindungan” adalah jaminan
Pemerintah bagi penanam modal untuk
memperoleh perlindungan dalam melaksanakan
kegiatan penanaman modal.

e. Penjelasan Pasal 31:


Huruf b
Yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial
perusahaan” adalah tanggung jawab yang
melekat pada setiap perusahaan penanaman
modal untuk tetap menciptakan hubungan yang

V - 80
serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya
masyarakat setempat.
Huruf c
Laporan kegiatan penanam modal yang
memuat perkembangan penanaman modal dan
kendala yang dihadapi penanam modal
disampaikan secara berkala kepada Badan
Koordinasi Penanaman Modal dan pemerintah
daerah yang bertanggung jawab di bidang
penanaman modal.

f. Penjelasan Pasal 36:


Ayat (5)
Huruf a
Pembinaan dalam bentuk pendampingan dan
penyuluhan meliputi fasilitasi penyelesaian
permasalahan yang dihadapi oleh Pelaku Usaha,
pemberian penjelasan, konsultasi, dan/atau
bimbingan teknis mengenai ketentuan
pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis
Risiko.
Huruf b
Pemeriksaan administratif dan/atau fisik
meliputi kegiatan pengecekan lokasi usaha,
realisasi nilai Penanaman Modal, tenaga kerja,
mesin/peralatan, bangunan/gedung, kewajiban
terkait fasilitas, insentif dan kemudahan untuk
Penanaman Modal, kewajiban kemitraan,
dan/atau kewajiban lainnya terkait pelaksanaan
Penanaman Modal.

V - 81
g. Penjelasan Pasal 52:
Huruf a
Yang dimaksud dengan "kepastian hukum"
adalah asas yang meletakkan hukum dan
ketentuan peraturan perundang-undangan
sebagai dasar Pemerintah Daerah dalam setiap
kebijakan dan tindakan dalam Pemberian
Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan
investasi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kesetaraan" adalah
perlakuan yang sama terhadap investor tanpa
memihak dan menguntungkan satu golongan,
kelompok, atau skala usaha tertentu.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "transparansi" adalah
keterbukaan informasi dalam Pemberian
Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan
kepada Masyarakat dan/ atau Investor.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "akuntabilitas" adalah
bentuk pertanggungjawaban atas Pemberian
Insentif dan/atau Pemberian Kemudahan
investasi.

Huruf e
Yang dimaksud dengan "efektif dan efisien"
adalah pertimbangan yang rasional dan
ekonomis serta jaminan yang berdampak pada
peningkatan produktivitas serta pelayanan
publik.

V - 82
h. Penjelasan Pasal 54:
Ayat (1)
Huruf k
Yang dimaksud dengan "usaha mikro dan kecil"
adalah orang perseorangan atau badan usaha
yang memiliki kriteria usaha sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai
usaha mikro, kecil, dan menengah.

i. Penjelasan Pasal 55:


Ayat (2)
Huruf d
Yang dimaksud dengan “lokasi tertentu” antara
lain usaha yang berada di daerah terpencil,
daerah tertinggal, daerah perbatasan, dan/atau
berada di Kawasan strategis tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “perizinan khusus”
antara lain usaha yang memerlukan perizinan
dari kementerian/lembaga tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

j. Penjelasan Pasal 56:


Huruf h
Sektor perdagangan dan jasa diprioritaskan
pada usaha yang mendukung ekspor.

k. Penjelasan Pasal 57:

V - 83
Ayat (1)
Huruf a
Pengurangan, keringanan, atau pembebasan
pajak daerah antara lain berupa:
a. penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NJOPTKP) dan Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) tanah dan
bangunan;
b. pemberian pengurangan, keringanan,
atau pembebasan dalam hal-hal tertentu
atas pokok pajak daerah dan/atau
sanksinya;
c. pemberian pengurangan, keringanan,
atau pembebasan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan
d. pembayaran bertahap pajak daerah.
Huruf b
Pengurangan, keringanan, atau pembebasan
retribusi daerah antara lain berupa retribusi izin
mendirikan bangunan rumah umum bagi
masyarakat berpenghasilan rendah.
Ayat (2)
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penyediaan sarana dan
prasarana” adalah bentuk kemudahan
memperoleh sarana dan prasarana yang
menunjang, antara lain prasarana umum,
penyediaan fasilitas air minum dan sanitasi,
pemadam kebakaran, pelayanan kesehatan,
pengelolaan persampahan, dan penyediaan
infrastruktur industri dan penunjang.
Huruf c

V - 84
Yang dimaksud dengan “fasilitasi penyediaan
lahan atau lokasi” antara lain bentuk
kemudahan dalam memproses kepemilikan
lahan, penyediaan data dan informasi terkait
lahan dan lokasi, dan mediasi penyelesaian
sengketa.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pemberian bantuan
teknis” antara lain berupa bimbingan teknis,
pelatihan, tenaga ahli.
Huruf e
Penyederhanaan dan percepatan pemberian
perizinan melalui pelayanan terpadu satu pintu
dilaksanakan secara bertahap menggunakan
sistem perizinan berusaha terintegrasi secara
elektronik.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “kemudahan investasi di
kawasan strategis yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan yang
berpotensi pada pembangunan daerah” antara
lain Kawasan Strategis sesuai Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW).

Ayat (5)
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud
adalah yang berkaitan dengan penanaman
modal.

l. Penjelasan Pasal 65:

V - 85
Yang dimaksud dengan “jangka waktu tertentu”
adalah penentuan jangka waktu dan frekuensi yang
ditetapkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan
pada bentuk insentif dan kemudahan yang diberikan
kepada Masyarakat dan/atau Penanam Modal.

Selanjutnya penjelasan untuk Pasal demi Pasal yang


sudah jelas diberikan penjelasan setiap pasalnya dengan
keterangan “Cukup jelas”.

V - 86

Anda mungkin juga menyukai