Anda di halaman 1dari 27

BUPATI KEDIRI

PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEDIRI


NOMOR … TAHUN….

TENTANG

PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KEDIRI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


BUPATI KEDIRI,

Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat,


perlu dilaksanakan pembangunan ekonomi berkelanjutan
yang berlandaskan demokrasi ekonomi berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa penanaman modal memegang peranan penting
dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi dan
penguatan daya saing Daerah, serta penciptaan lapangan
kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat
sehingga perlu diciptakan suatu iklim penanaman modal
yang kondusif, promotif, kepastian hukum, keadilan, dan
efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan
ekonomi daerah;
c. bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Kediri Nomor 7
Tahun 2012 tentang Penanaman Modal di Kabupaten
Kediri, dianggap sudah tidak sesuai dengan
perkembangan peraturan perundang-undangan dan
kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti;
d. bahwa berdasarkan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Penanaman Modal di Kabupaten Kediri.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang


Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten Dalam
Lingkungan Propinsi Djawa Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1950)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
(2)

Nomor 2 Tahun 1965 (Lembaran Negara Republik


Indonesia Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2730);
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5049);
7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahu 2019
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019
Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6398);
8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5492);
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
10. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
(3)

Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun


2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6573);
11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah;
12. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2019 tentang
Pemberian Insentif dan Kemudahan Investasi di
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2019 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6330);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021
Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6617);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Di Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021
Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6618);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021
Nomor 17 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6619);
16. Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 Perubahan
Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021
Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal;
17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun
2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
2036) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia
Tahu 2018 Nomor 157);
18. Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 Tentang
Pedoman Dan Tata Cara Pengawasan Perizinan
Berusaha Berbasis Risiko
19. Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2021 Tentang
Sistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
Terintegrasi Secara Elektronik
20. Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2021 Tentang
(4)

Pedoman Dan Tata Cara Pelayanan Perizinan


Berusaha Berbasis Risiko Dan Fasilitas Penanaman
Modal.

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KEDIRI
dan
BUPATI KEDIRI

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENANAMAN MODAL

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:


1. Daerah adalah Kabupaten Kediri.
1. Bupati adalah Bupati Kediri.
2. Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang
selanjutnya disebut DPMPTSP adalah unsur pembantu Bupati
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang membidangi
penanaman modal.
3. Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal,
baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal
asing untuk melakukan usaha di Daerah.
4. Rencana Umum Penanaman Modal yang selanjutnya disingkat
RUPM adalah dokumen perencanaan penanaman modal Daerah.
5. Perizinan berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku
usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau
kegiatannya
6. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko adalah Perizinan Berusaha
berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha
7. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha adalah
legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk menunjang
kegiatan usaha
8. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang selanjutnya
disebut Lembaga OSS adalah lembaga pemerintah non kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi
penanaman modal.
9. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online
Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem OSS adalah
sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan
(5)

oleh Lembaga OSS untuk penyelenggara Perizinan Berusaha


Berbasis Risiko
10. Usaha Mikro dan Kecil adalah usaha produktif milik orang
perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi
kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
11. Usaha Menengah dan Besar adalah usaha produktif milik orang
perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi
kriteria Usaha Menengah dan Besar sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
12. Pelaku Usaha adalah perseorangan atau non perseorangan yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
13. Pemberian Insentif adalah dukungan kebijakan fiskal dari
Pemerintah Daerah kepada Pelaku Usaha untuk meningkatkan
investasi di daerah.
14. Kemudahan berusaha adalah penyediaan fasilitas nonfiskal dari
Pemerintah Daerah kepada Pelaku Usaha untuk mempermudah
setiap kegiatan investasi dan untuk meningkatkan investasi di
daerah.
15. Modal Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat PMDN adalah
kegiatan menanam Penanaman modal adalah segala bentuk
kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri
maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di Daerah.
16. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal,
baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal
asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik
Indonesia.
17. Penanam Modal adalah perseorangan atau badan usaha yang
melakukan Penanaman Modal yang dapat berupa penanam modal
dalam negeri dan penanam modal asing yang selanjutnya disebut
Pelaku Usaha
18. Penanaman Modal Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat PMDN
adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di
wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Pelaku
Usaha dengan menggunakan modal dalam negeri
19. Penanaman Modal Asing yang selanjutnya disingkat PMA adalah
kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah
negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal
asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun
yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri

BAB II
MAKSUD, TUJUAN DAN ASAS
(6)

Pasal 2

(1) Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi


Pemerintah Kabupaten Kediri dan pemangku kepentingan dalam
melaksanakan penyelenggaraan penanaman modal di Daerah

(2) Penyelenggaraan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) bertujuan untuk:
a. meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Daerah;
b. menciptakan lapangan kerja;
c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
d. meningkatkan kemampuan daya saing Daerah;
e. mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan; dan
f. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pasal 3

Penanaman modal di Daerah diselenggarakan berdasarkan asas:


a. kepastian hukum;
b. keterbukaan;
c. akuntabilitas;
d. perlakuan yang sama;
e. kemudahan berusaha;
f. kebersamaan;
g. efisiensi berkeadilan;
h. berkelanjutan;
i. berwawasan lingkungan; dan
j. kemandirian.

BAB III
SASARAN DAN RUANG LINGKUP

Pasal 4

Sasaran Penanaman Modal di Daerah :


a. terciptanya iklim penanaman modal yang kondusif;
b. tersedianya sarana prasarana pendukung penanaman modal;
c. meningkatknya kemampuan sumber daya manusia;
d. meningkatknya jumlah penanam modal;
e. terwujudnya realisasi penanaman modal; dan
f. meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Daerah.

Pasal 5

Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Daerah ini meliputi :


(7)

a. kebijakan dasar penanaman modal;


b. bidang usaha dan bentuk badan usaha;
c. pelayanan perizinan berusaha dan pelayanan perizinan non
berusaha;
d. pengembangan iklim penanaman modal;
e. pemberian Insentif dan Kemudahan Penanaman Modal;
f. promosi penanaman modal;
g. pengelolaan data dan pengembangan sistem informasi penanaman
modal;
h. ketenagakerjaan;
i. hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal;
j. kemitraan;
k. peran serta masyarakat;
l. kemitraan;
m. peran serta masyarakat;
n. pengawasan perizinan berusaha berbasis resiko
o. sanksi administratif

BAB IV
KEBIJAKAN DASAR PENANAMAN MODAL

Pasal 6

(1) Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal.


(2) Penetapan kebijakan dasar penanaman modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk:
a. meningkatkan iklim usaha yang kondusif dan kemudahan
pelayanan bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing
perekonomian Daerah;
b. mempercepat peningkatan dan pemerataan penanaman modal;
dan
c. meningkatkan penanaman modal yang banyak menciptakan
lapangan kerja dan berwawasan lingkungan.
(3) Dalam menetapkan kebijakan dasar penanaman modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah:
a. memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam
negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan
kepentingan nasional dan kepentingan Daerah;
b. menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, kemudahan
berusaha dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak
proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya
kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan; dan
c. membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan
perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi.
(8)

Pasal 7

(1) Kebijakan dasar penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) dijabarkan dalam RUPM.
(2) RUPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
mengacu pada RUPM Nasional, RUPM Propinsi, prioritas
pengembangan Daerah, rencana pembangunan Daerah, Rencana
Tata Ruang Wilayah Daerah, dan kebijakan Pemerintah.

Pasal 8

(1) RUPM ditetapkan dengan Peraturan Bupati yang berlaku selama 20


(dua puluh tahun) dan dapat dilakukan peninjauan setiap 5 (lima)
tahun.
(2) RUPM wajib dijadikan sebagai pedoman bagi Pemerintah Daerah
dalam menyusun kebijakan yang terkait dengan penanaman modal.

BAB V
BIDANG USAHA DAN BENTUK BADAN USAHA

Bagian Kesatu
Bidang Usaha

Pasal 9

(1) Semua Bidang Usaha terbuka bagi kegiatan Penanaman Modal,


kecuali Bidang Usaha:
a. yang dinyatakan tertutup untuk Penanaman Modal; atau
b. untuk kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah
Pusat.
(2) Bupati dapat mengusulkan perubahan bidang usaha yang
dinyatakan tertutup untuk Penanaman Modal kepada Gubernur
sesuai dengan kondisi khusus dan/atau kearifan lokal di daerah.
(3) Usulan perubahan bidang usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dalam rangka melindungi pengusaha lokal dengan
memperhatikan prioritas dan arah kebijakan penanaman modal
Daerah serta kondisi khusus dan/atau kearifan lokal Daerah.

Pasal 10

(1) Penanaman modal diprioritaskan pada bidang usaha yang menjadi


unggulan Daerah.
(2) Bidang usaha yang menjadi unggulan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam RUPM.
(9)

Bagian Kedua
Bentuk Badan Usaha

Pasal 11
(1) PMDN dapat dilakukan dalam bentuk:
c. usaha Perseorangan;
d. badan usaha yang berbadan hukum; atau
e. badan usaha yang tidak berbadan hukum;
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(2) PMA harus dalam bentuk Perseroan Terbatas berdasarkan hukum
Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik
Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan.

BAB VI
PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA

Pasal 12

(1) Setiap penanam modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib
memenuhi Perizinan Berusaha di Daerah berdasarkan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat
(2) Perizinan Berusaha di Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha
b. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan
c. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha
(3) Persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf a meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang,
persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan gedung, dan
sertifikat laik fungsi
(4) Perizinan Berusaha Berbasis Resiko yang menjadi kewenangan
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yang
diselenggarakan di daerah terdiri atas sektor:
a. perikanan;
b. pertanian;
c. lingkungan hidup dan kehutanan;
d. perindustrian;
e. perdagangan;
f. pekerjaan umum;
g. Perumahan rakyat ;
h. transportasi;
i. kesehatan, obat dan makanan;
j. Pendidikan dan kebudayaan;
k. pariwisata;
(10)

l. pos dan telekomunikasi; dan


m. ketenagakerjaan;

(5) Jenis Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Perizinan Berusaha


Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a mengacu pada ketentuan Peraturan Perundang–
undangan yang mengatur tentang Perizinan Berusaha.

Pasal 13

(1) Bupati mendelegasikan kewenangan pelayanan Perizinan Berusaha,


atas urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah
Daerah kepada Kepala DPMPTSP.
(2) Penyelenggaraan Perizinan Berusaha dilaksanakan oleh DPMPTSP.
(3) Penyelenggaraan pelayanan Perizinan Berusaha dilakukan secara
elektronik mengacu pada ketentuan Peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 14
Pemerintah Pusat menyusun dan menetapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha pada setiap sektor dan
menjadi acuan tunggal bagi pelaksanaan pelayanan Perizinan
Berusaha oleh Pemerintah Daerah

BAB VII
PENGEMBANGAN IKLIM PENANAMAN MODAL

Pasal 15

Pengembangan iklim penanaman modal dilaksanakan melalui:


a. deregulasi penanaman modal;
b. pengembangan potensi dan peluang penanaman modal; dan
c. pemberdayaan usaha.

Pasal 16

(1) Deregulasi penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal


13 huruf a dilakukan melalui kajian dan evaluasi jenis perizinan,
rekomendasi dan Standard Operating Procedure yang telah diatur
dalam produk hukum Daerah.
(2) Kajian dan evaluasi jenis perizinan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi khusus
Daerah atau kearifan lokal.
(3) Deregulasi penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui tahapan:
(11)

a. pengklasifikasian;
b. penghapusan;
c. penggabungan;
d. perubahan nomenklatur; atau
e. penyesuaian persyaratan.
(4) Deregulasi penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh:
a. Bupati dengan menugaskan Bagian Hukum; dan
b. DPRD dengan menugaskan Badan Pembentukan Peraturan
Daerah.
(5) Dalam melaksanakan deregulasi penanaman modal, Bupati dan
DPRD melibatkan DPMPTSP.
(6) Hasil deregulasi penanaman modal yang dilakukan oleh Bupati dan
DPRD, dijadikan dasar untuk mengusulkan perubahan atau
pencabutan produk hukum Daerah.

Pasal 17

Pengembangan potensi dan peluang Penanaman Modal di Daerah


sebagaimana dimaksud pada pasal 15 huruf b meliputi:
a. identifikasi Potensi Penanaman Modal;
b. pemetaan Peluang Penanaman Modal; dan
c. pendokumentasian hasil pemetaan peluang Penanaman Modal di
Daerah ke dalam Sistem Informasi Potensi dan Peluang Investasi
Daerah.

Pasal 18

Identifikasi potensi penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 17 huruf a, dilakukan melalui:
a. pengumpulan data informasi potensi Penanaman Modal berupa
profil daerah (kondisi geografis, demografis, ekonomi, sarana dan
prasarana pendukung investasi serta komoditi unggulan); dan
b. analisis hasil pengumpulan data informasi potensi Penanaman
Modal.

Pasal 19

Pemetaan peluang Penanaman Modal di Daerah sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 17 huruf b, dilakukan melalui:
a. verifikasi hasil analisis potensi Penanaman Modal;
b. analisis hasil verifikasi potensi Penanaman Modal yang telah
didapatkan sebelumnya dengan didukung hasil studi yang diperoleh
berdasarkan kunjungan lapangan; dan
c. penyusunan peta peluang Penanaman Modal di Daerah.

Pasal 20
(12)

Pemetaan peluang Penanaman Modal di Daerah sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 17 huruf b, meliputi:
a. pengumpulan data informasi potensi Penanaman Modal Daerah;
b. verifikasi hasil pengumpulan data informasi potensi Penanaman
Modal Daerah;
c. analisis hasil verifikasi potensi Penanaman Modal yang telah
didapatkan sebelumnya didukung dengan hasil studi yang diperoleh
berdasarkan kunjungan lapangan;
d. penyusunan peta peluang Penanaman Modal Daerah; dan
e. hasil pemetaan peluang Penanaman Modal Daerah
didokumentasikan ke dalam Sistem Informasi Potensi dan Peluang
Investasi Daerah.

Pasal 21

Pendokumentasian hasil pemetaan peluang Penanaman Modal Daerah


ke dalam Sistem Informasi Potensi dan Peluang Investasi Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c, dilakukan melalui
perekaman dan pembaharuan hasil pemetaan potensi usaha dan data
berupa profil Daerah.

Pasal 22

Pengembangan potensi dan peluang penanaman modal di Daerah


sebagaimana dimaksud pada pasal 17 dilakukan oleh DPMPTSP
berkoordinasi dengan perangkat daerah yang terkait.

Pasal 23

Pemberdayaan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c


dilaksanakan melalui fasilitasi:
a. pelaksanaan pembinaan manajemen usaha kepada pengusaha kecil
dan menengah terkait pemberdayaan penanaman modal;
b. pelaksanaan kemitraan usaha kecil dan menengah dengan
perusahaan PMA/PMDN;
c. peningkatan kapasitas usaha kecil dan menengah terkait penanaman
modal;

BAB VIII
PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 24
(1) Dalam rangka meningkatkan penanaman modal di Daerah,
Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas penanaman modal
(13)

sesuai dengan kewenangan, kondisi, dan kemampuan Daerah yang


dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
b. Insentif (fiskal dan non fiskal);
c. Kemudahan.

Bagian Kedua
Bentuk Insentif dan Kemudahan

Pasal 25

(1) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2)


dapat berbentuk:
a. pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah;
b. pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah;
c. pemberian bantuan Modal kepada usaha mikro, kecil, dan/atau
koperasi di daerah;
d. bantuan untuk riset dan pengembangan untuk usaha mikro,
kecil, dan/atau koperasi di daerah;
e. bantuan fasilitas pelatihan vokasi usaha mikro, kecil, dan/atau
koperasi di daerah; dan/atau
f. bunga pinjaman rendah.
(2) Pemberian kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (2) dapat berbentuk:
a. penyediaan data dan informasi peluang penanaman modal;
b. penyediaan sarana dan prasarana;
c. fasilitasi penyediaan lahan atau lokasi;
d. pemberian bantuan teknis;
e. penyederhanaan dan percepatan pemberian perizinan melalui
pelayanan terpadu satu pintu;
f. kemudahan akses pemasaran hasil produksi;
g. kemudahan investasi langsung konstruksi;
h. kemudahan investasi di kawasan strategis yang ditetapkan
dalam peraturan perundangundangan yang berpotensi pada
pembangunan daerah;
i. pemberian kenyamanan dan keamanan berinvestasi di
daerah;
j. kemudahan proses sertifikasi dan standardisasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
k. kemudahan akses tenaga kerja siap pakai dan terampil;
l. kemudahan akses pasokan bahan baku; dan/atau
m. fasilitasi promosi sesuai dengan kewenangan daerah.
(14)

Bagian Ketiga
Kriteria Pemberian Insentif dan Kemudahan

Pasal 26
Pemberian insentif dan kemudahan diberikan kepada penanam modal
yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. menyerap banyak tenaga kerja;
b. termasuk skala prioritas tinggi;
c. termasuk pembangunan infrastruktur;
d. melakukan alih teknologi;
e. melakukan industri pionir;
f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan,
atau daerah lain yang dianggap perlu;
g. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
h. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;
i. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi;
j. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau
peralatan yang diproduksi di dalam negeri; dan/atau
k. termasuk pengembangan usaha pariwisata.

Pasal 27

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengajuan


permohonan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 diatur
dalam Peraturan Bupati tersendiri.

BAB IX
PROMOSI PENANAMAN MODAL

Pasal 28

(1) Dalam rangka meningkatkan iklim usaha, Pemerintah Kabupaten


melakukan promosi penanaman modal.
(2) Promosi penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilaksanakan bersama-sama dengan pihak lain
(3) Penyelenggaraan promosi penanaman modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui:
a. pameran;
b. seminar;
c. temu usaha; dan/atau
d. penyebarluasan informasi penanaman modal melalui media
cetak dan elektronik.
(15)

(4) Sasaran promosi penanaman modal sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) adalah untuk meningkatkan minat calon penanam modal
untuk menanamkan modalnya di Daerah.

BAB X

PENGELOLAAN DATA DAN PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI


PENANAMAN MODAL

Pasal 29

(1) Dalam upaya peningkatan pelayanan perizinan, pengembangan


iklim penanaman modal, promosi dan kerja sama serta
pengendalian pelaksanaan penanaman modal, perlu dukungan
data yang berkualitas dan penggunaan teknologi informasi yang
optimal.
(2) Untuk mendukung upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan melalui:
a. pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan Teknologi
Informasi Penanaman Modal;
b. pengelolaan data dan informasi penanaman modal;
c. pengembangan dan integrasi aplikasi pelayanan perizinan
daerah dan pusat;
d. pengembangan sumber daya manusia;
e. analisis dan evaluasi terhadap perkembangan penanaman
modal berdasarkan data dan informasi yang berbeda; dan/atau
f. pengkajian terhadap perkembangan yang mempengaruhi
aktivitas penanaman modal.
(3) Kegiatan analisis dan pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf e dan huruf f, dapat dilakukan secara mandiri maupun
bekerja sama dengan pihak atau lembaga yang berkompeten.

BAB XI
KETENAGAKERJAAN

Pasal 30

(1) Perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi


tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja
asing wajib menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih
teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 31
(16)

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara perusahaan


penanaman modal dan tenaga kerja diselesaikan menurut peraturan
perundang-undangan di bidang penyelesaian hubungan industrial.

BAB XII
HAK, KEWAJIBAN, DAN TANGGUNGJAWAB PENANAM MODAL

Pasal 32

Setiap penanam modal berhak mendapatkan:


a. kepastian hukum dan perlindungan;
b. informasi yang terbuka di bidang penanaman modal;
c. pelayanan penanaman modal; dan
d. kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 33

(1) Setiap penanam modal berkewajiban:


a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
b. melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan;
c. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan
usaha penanaman modal;
d. mengutamakan tenaga kerja dari daerah sekitar lokasi kegiatan
usaha penanaman modal;
e. membuat dan menyampaikan laporan kegiatan penanaman
modal; dan
f. mematuhi ketentuan dan/atau kewajiban yang dipersyaratkan
dalam perizinan di bidang penanaman modal."

(2) Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


bagi penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang
tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap
untuk pemulihan lingkungan yang memenuhi standar kelayakan
lingkungan hidup.

Pasal 34

Setiap penanam modal bertanggung jawab dalam :


a. tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktek
monopoli, dan hal lain yang merugikan Daerah;
c. menciptakan dan menjamin keselamatan, kesehatan, kenyamanan,
dan kesejahteraan pekerja;
d. menjaga kelestarian lingkungan hidup; dan
(17)

e. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban jika


menghentikan, meninggalkan dan/atau menelantarkan kegiatan
usahanya secara sepihak.

BAB XIII
KEMITRAAN

Pasal 35

(1) Penanam modal pada bidang usaha yang terbuka dapat melakukan
kerja sama kemitraan dengan usaha mikro, kecil, menengah dan
koperasi.
(2) Dalam hal penanam modal melaksanakan kemitraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Kabupaten dapat memfasilitasi
kerja sama antara penanam modal dengan usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi.
Pasal 36

(1) Kegiatan penanaman modal yang bermitra dengan usaha mikro,


kecil, menengah, dan koperasi dilakukan berdasarkan prinsip:
a. memerlukan;
b. mempercayai;
c. memperkuat; dan
d. menguntungkan.
(2) Dalam melakukan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penanam modal wajib melakukan alih teknologi.

BAB XIV
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 37

(1) Masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas- luasnya


untuk berperan serta dalam penyelenggaraan penanaman modal
dengan cara:
a. ikut berperan aktif menciptakan iklim usaha yang kondusif dan
berdaya saing;
b. ikut membantu kelancaran pelaksanaan penanaman modal;
dan/atau
c. penyampaian informasi potensi Daerah.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan untuk:
a. mewujudkan peningkatan penanaman modal yang
berkelanjutan;
b. mencegah pelanggaran atas peraturan perundang-undangan
dalam pelaksanaan penanaman modal;
(18)

c. mencegah dampak negatif sebagai akibat pelaksanaan


penanaman modal; dan
d. menumbuhkan kebersamaan antara masyarakat dengan
penanam modal.

BAB XV
PENGAWASAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO

Pasal 38

(1) Pemerintah Daerah berwenang melakukan Pengawasan Perizinan


Berusaha Berbasis Risiko di Daerah.
(2) Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terintegrasi dan
terkoordinasi oleh Pemerintah Daerah melalui subsistem
Pengawasan pada Sistem OSS.
(3) Pelaksanaan Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh
DPMPTSP atas pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah
(4) Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko di Daerah
dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang-
undangan.

Pasal 39

(1) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38


ayat (1) dan (2) dilakukan oleh tim pengawasan yang melibatkan
Perangkat Daerah terkait.
(2) Tim pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Bupati.

BAB XVI
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 40

(1) Setiap penanam modal yang melakukan usaha penanaman


modal tanpa memiliki perizinan atau melanggar ketentuan
dan/atau kewajiban dalam perizinan penanaman modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 30 ayat (1)
Pasal 30 ayat (2) , Pasal 33 ayat (1) Pasal 33 ayat (2), dan Pasal 36
ayat (2) dapat dikenakan sanksi administrasi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. Penghentian Sementara Kegiatan Usaha;
c. Pencabutan Perizinan Berusaha; atau
(19)

d. Pencabutan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan


Usaha.

Pasal 41

Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administrasi


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 42
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, Peraturan Daerah Provinsi
Jawa Timur Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanaman Modal Di
Kabupaten Kediri dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 43
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi
Jawa Timur.

Ditetapkan di Kediri
pada tanggal

BUPATI KEDIRI,

...........................................

Diundangkan di Kediri
Pada tanggal……………..
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN KEDIRI,

ttd.

………………………………………….

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEDIRI TAHUN ….. NOMOR…


(20)

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEDIRI
NOMOR …. TAHUN …..
TENTANG
PENANAMAN MODAL

I. UMUM
Kebijakan-kebijakan pro investasi diperlukan untuk meningkatkan
iklim investasi di Indonesia, maupun di Kabupaten Kediri secara khusus.
Jika mengacu pada indikator kemudahan berbisnis (Ease of Doing
Business) Indonesia yang terus meningkat maka artinya iklim investasi di
Indonesia dinilai cukup kondusif bagi para pengusaha. Sejak 2017 hingga
2019 peringkat kemudahan berbisnis Indonesia naik signifikan dari 106 di
tahun 2016 meningkat ke posisi 91 pada 2017 dan kembali naik ke posisi
72 pada tahun 2018 dan bertahan di posisi yang sama pada tahun 2019.
Upaya meningkatkan kebijakan pro investasi tidak hanya diperlukan
di konteks nasional tetapi juga di daerah. Pemerintah kabupaten/kota
berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga
menangani urusan penanaman modal.
Untuk konteks Kabupaten Kediri, penyelenggaraan penanaman modal
perlu diatur dalam Peraturan Daerah tentang Penanaman Modal yang
mengakomodir perubahan signifikan dalam regulasi terkait investasi.
Legislasi terbaru di tahun 2020, UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja, juga mengatur persoalan penanaman modal dari berbagai aspek.
Situasi tersebut mendorong perlunya Peraturan Daerah Kabupaten Kediri
tentang Penanaman Modal yang nantinya dapat ditindaklanjuti dalam
berbagai peraturan pelaksana.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan "asas kepastian hukum" adalah asas
dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan
ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar
dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang
penanaman modal.
(21)

Huruf b
Yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah asas yang
terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
kegiatan penanaman modal.

Huruf c
Yang dimaksud dengan "asas akuntabilitas" adalah asas yang
menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari
penyelenggaraan penananam modal harus
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Huruf d
Yang dimaksud dengan "asas perlakuan yang sama" adalah
asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas kemudahan berusaha” adalah
kemudahan bagi Pelaku Usaha untuk melaksanakan
penanaman modal tanpa dihalangi oleh prosedur birokrasi.

Huruf f
Yang dimaksud dengan "asas kebersamaan" adalah asas yang
mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-
sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat.

Huruf g
Yang dimaksud dengan "asas efisiensi berkeadilan" adalah
asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan
mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk
mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya
saing.

Huruf h
Yang dimaksud dengan "asas berkelanjutan" adalah asas
yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses
pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin
kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan,
baik untuk masa kini maupun yang akan datang.

Huruf i
Yang dimaksud dengan "asas berwawasan lingkungan"
adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap
memerhatikan dan mengutamakan perlindungan dan
pemeliharaan lingkungan hidup.
(22)

Huruf j
Yang dimaksud dengan "asas kemandirian" adalah asas
penanaman modal yang dilakukan dengan tetap
mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak
menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya
pertumbuhan ekonomi.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
(23)

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.
(24)

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 26
(25)

Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 34
(26)

Cukup jelas.

Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.
(27)

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEDIRI NOMOR ….

Anda mungkin juga menyukai