Anda di halaman 1dari 15

PERBANDINGAN HUKUM KETENAGAKERJAAN DI NEGARA INDONESIA

DENGAN SINGAPORE

Oleh:

Muhammad Revaldi Testarosa

13501810030

International Business Law

Prasetiya Mulya

IBL 9A
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan data yang tersedia yang berasal dari adanya penyelarasan


pendataan terkait dengan banyaknya penduduk pada tahun 2020, didapatkan
sebuah hasil yakni jumlah penduduk di negara Indonesia hingga bulan
Desember tahun 2020 mencapai 271.349.909 jiwa yang mana dalam kurun
waktu selama 10 tahun mengalami peningkatan sebesar 3,2juta jiwa per tahun.
Selain permasalahan penduduk Indonesia yang besar, Indonesia juga memiliki
bonus demografi yang menjadi kekuatan Pemerintah dalam mengupayakan
adanya peningkatan pada kesejahteraan penduduk. Akan tetapi, kondisi dari
bonus demografi tersebut terus mengalami penggerusan semenjak adanya
Pandemi Covid-19.

Akibat dari pandemi covid-19 Pemerintah memberlakukan kewajiban yaitu


pembatasan sosial yang mana menyebabkan berkurangnya seluruh kegiatan
dari masyarakat pada berbagai aspek mulai dari pendidikan, perekonomian,
pariwisata, hingga ketenagakerjaan. Dengan adanya pembatasan sosial
tersebut memiliki dampak yang cukup signifikan pada dunia perdagangan
sehingga menyebabkan pengurangan biaya operasional, salah satunya yakni
dengan cara mengurangi tenaga kerja perusahaan. Pengurangan tersebut
dilakukan dengan pemutusan hubungan kerja atau PHK. Hal ini yang
menyebabkan adanya lonjakan pengangguran secara drastis yang juga
memberikan efek tersendiri bagi masyarakat seperti kecemasan atau
kekhawatiran dalam menjalani kehidupan di masa Pandemi Covid-19.

Dengan kebijakan pemutusan hubungan kerja tentu saja menimbulkan


banyak sekali dampak sosial yang pada akhirnya menyebabkan adanya
perselisihan antara perusahaan dengan tenaga kerja. Dari kondisi inilah
Pemerintah mengupayakan untuk membuat sebuah formulasi yang adil dengan
bentuk sebuah peraturan agar para tenaga kerja memiliki perlindungan hukum
atas hak dan kewajibannya. Peranan dari peraturan perundang-undangan ini
dapat menjadi sangat penting yang digunakan untuk memastikan adanya
perlindungan hukum bagi tenaga kerja. Selain tujuan untuk menyejahterakan
kehidupan rakyat, hal ini dibentuk juga untuk memberikan sebuah jaminan
kelangsungan hidup untuk masyarakat.

Peraturan perundang-undangan mengenai Tenaga Kerja ini disahkan


pada tanggal 5 Oktober 2020. Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan
tersebut memberikan pembatasan mengenai UMR setiap kota atau kabupaten
hingga memformulasikan sebuah kebijakan untuk menghadapi inflasi hingga
melakukan pertumbuhan ekonomi. Pada UU Ciptaker tersebut tersirat tujuan
dari Pemerintah yakni untuk dapat meningkatkan berbagai macam investasi
sehingga kualitas industrialisasi di negara Indonesia ini dapat semakin maju
dan berkembang. Akan tetapi, dari proses pembuatan rancangan hingga
disahkannya UU Ciptaker ini mengalami berbagai macam kontrovensi yang
diakibatkan terbelenggunya aspirasi rakyat. Meski demikian, UU ini tetap
disahkan sebagai UU Ciptakerja dan telah mengikat sejak diberlakukan.

Pada dasarnya, UU Ciptaker ini berhasil mengamandemen beberapa


perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan investasi. Penyusunan
UU Ciptaker ini sebagai tujuan dari pemerintah untuk mengupayakan
ketersediaan lapangan kerja yang nantinya dapat membantu rakyat untuk
mendapatkan pekerjaan sehingga dapat mendapatkan kesejahteraan yang
berlandaskan hak dan kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang.
Sehingga, dari hal ini Pemerintah memelihara iklim investasi dengan baik dan
bersifat strategis. Selain itu mengingat adanya permasalahan penting yang
harus diselesaikan oleh Pemerintah mengenai hubungan ketenaga kerjaan
akibat adanya PHK yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan. Sebagai negara
berkembang, Indonesia dituntut untuk dapat melakukan berbagai macam
inovasi untuk berkreasi bagaimana caranya mengembangkan daya saing. Dari
sinilah pemerintah mengupayakan untuk merumuskan Undang-Undang
Ciptakerja sehingga dalam pelaksanannya, dapat memberikan keadilan untuk
masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian yang telah dijabarkan pada bagian latar belakang diatas maka
yang menjadi rumusan permasalahan pada penelitian ini yakni:

a. Bagaimana evaluasi pengimplementasian UU Ciptaker di Indonesia?


b. Bagaimana perbandungan pengimplementasian hukum ketenaga
kerjaan dengan negara Singapore?

1.3 Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah tersebut didapatkan tujuan penulisan diantaranya


yakni:

a. Untuk mengetahui evaluasi pengimplementasian UU Ciptaker di


Indonesia
b. Untuk mengetahui perbandungan pengimplementasian hukum
ketenaga kerjaan dengan negara Singapore
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Evaluasi Pengimplementasian Undang-Undang Ciptakerja di Indonesia

Di Indonesia hukum ketenagakerjaan di atur dalam UU Nomor 13 Tahun


2003 mengenai ketenagakerjaan. Hukum ini mengatur segala sesuatu yang
memiliki hubungan dengan tenaga kerja pada waktu maupun selama dan
sesudah kerja. Berbicara dari tujuan dibentuknya hukum ketenagakerjaan di
Indonesia yakni untuk:

a. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan masyarakat di


Indonesia
b. Mewujudkan adanya pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan
tenaga kerja yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan
nasional dan daerah
c. Memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja
d. Memberdayakan tenaga kerja sesuai dengan keahliannya sehingga
kerja dilakukan secara optimal dan manusiawi.

Di dalam menjalankan aktivitasnya, perusahaan dituntut untuk memenuhi


kewajibannya agar memberikan seluruh hak dari tenaga kerja. Hak pekerja
tersebut dapat merupakan hak untuk mendapatkan perlakuan tanpa adanya
diskriminasi atas dasar apapun sehingga pekerja dapat dengan luwesnya
mengembangkan potensinya, hak untuk melakukan ibadah, hak perlindungan
kesejahteraan dan keselamatan kerja.

Undang-Undang Ciptakerja ini disahkan dengan dilatarbelakangi karena


beberapa hal penting diantaranya yakni :

a. Banyak lapangan kerja yang berpindah ke luar negeri


b. Daya saing masyarakat di Indonesia relatif rendah apabila
disebandingkan dengan tenaga kerja dari negara lain
c. Jumlah penduduk Indonesia yang tidak atau belum bekerja sangat
banyak
d. Indonesia yang terjebak atas pendapatan yang dikategorikan
menengah

Dalam pengupayaan untuk memberikan sebuah kemudahan pada sektor


usaha tentu saja seluruh pihak membutuhkan perubahan terhadap peraturan
yang mengatur untuk mendukung sektor tersebut sesuai dengan kondisi.
Dengan adanya perkembangan teknologi informasi yang dibarengi dengan
perkembangan globalisasi ini, tentu saja hal tersebut mempengaruhi cara
pandang dari negara untuk melakukan penyeimbangan dengan negara yang
lainnya Kepesatan terhadap perkembangan globalisasi yang terjadi di seluruh
dunia saat ini mengakibatkan terjadinya perubahan dalam aspek-aspek
kehidupan manusia. Perubahan tersebut tentu saja juga terjadi di sektor hukum.
Dengan demikian, adanya perubahan pada sektor hukum ini harus dapat
menjadi peraturan yang memiliki peranan untuk menyelesaikan permasalahan
serta dapat mengantisipasi agar sektor-sektor yang lain dapat tetap berjalan
meskipun berada pada kemajuan zaman.

Adanya perubahan hukum dilakukan untuk menjaga ketertiban serta


memberikan kepastian hukum untuk menghadapi perkembangan yang sedang
terjadi, dalam hal ini khususnya untuk menghadapi tantangan pemerintah
dalam mengundang investor sehingga disusunlah UU No. 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja. Dikutip dari Pasal 1 ayat (1) UU Ciptaker ini menjelaskan
bahwa dilakukannya upaya untuk menciptakan lapangan pekerjaan dengan
kemudahan perizinan berusaha, perlindungan serta pemberdayaan UMKM,
meningkatkan iklim investasi, serta melakukan percepatan proyek strategi
nasional.

Dalam ilmu hukum, undang-undang merupakan sumber kepastian hukum


secara formal yang mana dalam artian bahwa terdapat ketentuan yang
mengatur kehidupan manusia di lingkungan masyarakat. Sebagai sumber
hukum, UU Ciptakerja bertanggung jawab atas segala pertanyaan serta
penyelesaian permasalahan yang terjadi dan terkait dengan ketenagakerjaan.
Isu ketenagakerjaan tersebut termasuk salah satu perlindungan yang diberikan
kepada tenaga kerja dimana saat ini menjadi isu yang cukup sensitif dan sering
menjadi perdebatan bagi para pemangku jabatan. Hal ini juga tidak jarang
menyebabkan adanya aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat
khususnya para serikat pekerja dengan tujuan untuk memperjuangkan haknya
yang terabaikan saat penyusunan peraturan perundang-undangan. Dengan
disahkannya UU Ciptaker ini telah merubah tatanan sosial. Berubahnya aturan
hukum yang mempengaruhi tatanan sosial ini selaras dengan salah satu fungsi
hukum yakni sebagai sarana dalam perubahan sosial. UU Ciptaker ini harus
dapat menjawab tantangan yang akan terjadi di masa yang akan datang guna
untuk melakukan perubahan menuju ke arah yang lebih baik dan berguna bagi
seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah khususnya dalam perlindungan
tenaga kerja

Tanggung jawab dari pemerintah dalam pembuktian bahwa sebagai


sarana pendorong pemberdayaan tenaga kerja yang masih belum bisa
dikatakan terwujud secara sempurna apabila dihadapkan dengan pengesahan
UU Ciptaker ini justru cenderung mengabaikan hak-hak dari para pekerjanya.
UU Ciptaker masih berada pada posisi yang sangat rentan ketika tengah
dihadapkan dengan permasalahan diskriminasi maupun eksploitasi di
lingkungan kerja seperti hak dari tenaga kerja khususnya wanita sebagaimana
yang sebelumnya telah tersurat pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan. Terkait dengan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan UU
Ciptaker yang dinilai terdapat beberapa pemangkasan pada bagian hak pekerja
yang cukup signifikan yakni pada pasal 93 ayat (1) dimana di UU sebelumnya
ditata mengenai hak upah apabila pekerja tidak masuk kerja.

Beberapa hal yang dililai masih perlu diperbaiki kembali dalam pokok
pembasahan UU Ciptaker yang mana dapat merugikan para pekerja
diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)


Padal pasal 81 angka 15 UU Ciptaaker menyebutkan bahwa pekerjaan
yang yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama. Kata “terlalu lama” disini dapat menimbulkan salah
persepsi sehingga dapat dijadikan sebagai senjata perusahaan dalam
melakukan pengurangan tenaga kerja dan semakin menipisnya
kepastian kerja bagi para pekerja.
b. Sistem outsourcing yang semakin meluas
Di dalam UU Ciptaker tersebut tidak mengatur mengenai batasan
kriteria dari pekerjaan yang didapatkan dari sistem outsourcing.
c. Waktu kerja yang bersifat eksploitatif
Pada bagian ini dibahas mengenai batasan jam lembur yang mana
guna untuk menjaga kesehatan pekerja serta besaran upah lebur yang
diterima oleh pekerja yang tidak sebanding.
d. Adanya pengurangan hak cuti dan istirahat
Dalam peraturan UU Ciptaker, aturan mengenai istirahat bagi para
pekerja hanya dapat diperoleh yakni satu kali setiap minggunya.
Sehingga, pengusaha tidak memiliki kewajiban dalam memberikan
waktu istirahat dua hari dalam sepekan.
e. Sangat rentan terjadi PHK
Para pekerja saat ini sangatlah rentan mengalami PHK salah satunya
ketika pekerja mengalami kecelakaan kerja dan sakit yang
berkepanjangan sehingga tidak dapat lagi melakukan pekerjaannya
melampaui batas waktu yakni 12 bulan. Sementara itu, pada Pasal 172
UU Ketenagakerjaan juga dinyatakan bahwa pekerja memiliki hak
untuk mendapatkan dua kali pesangon apabila mengalami sakit yang
berkepanjangan lebih dari 12 bulan.

Dalam hal pemutusan hubungan kerja, UU Ciptaker tidak mengatur


mengenai pelarangan PHK oleh perusahaan. Hal ini dinilai dapat terjadi karena
ada undang-undang tersendiri dalam aturannya. Apabila pekerja mengalami
kondisi yakni PHK, sesuai dengan pasal 158 UU Ketenagakerjaan maka tenaga
kerja akan mengalami kesulitan apabila perusahaan melakukan PHK. Selain itu
akan muncul perlakuan diskriminatif bagi calon pekerja dan pekerja yang telah
bekerja pada perusahaan apabila melihat dari peraturan dalam UU
ketenagakerjaan yang diatur kembali dalam rumusan UU Ciptaker.
Jika dilihat perbandingannya dengan UU No. 13 Tahun 2003 ada
beberapa hal yang tidak diakomodasikan secara jelas pada UU Ciptaker.
Seperti pada pasal 93 UU Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pekerja
akan tetap menerima upah meski tidak sedang bekerja yang menurut ketentuan
sebelumnya. Akan tetapi, pada UU Cipta kerja tidak diatur mengenai upah bagi
para pekerja meskipun pekerja tidak sedang melakukan pekerjaan
sebagaimana yang telah diatur pada peraturan ketenagakerjaan yang
sebelumnya. Dengan demikian, apabila tenaga kerja tersebut melakukan
pekerjaan dengan adanya keterbatasan, maka dapat dipotensikan bahwa
pekerja tersebut tidak akan mendapatkan upah. Hal ini tentu saja akan
merugikan pekerja karena berpotensi terhadap adanya diskriminasi terutama
bagi tenaga kerja perempuan yang sedang cuti melahirkan yang mana hal
tersebut dianggap tidak bisa dan akan memiliki pengaruh terhadap upah yang
diterima.

Salah satu upaya yang diperuntukan bagi para pekerja dalam hal PHK
yakni telah diatur pada pasal 164 ayat 3 UU ketenagakerjaan. `yang mana
tenaga kerja memiliki hak pesangon 2 kali. Hal ini sangat perlu dilakukan
perhatian secara mendetail mengenai pengadilan terhadap hubungan industrial
untuk dapat menyelesaikan perkara PHK karena adanya faktor efisiensi adalah
para hak untuk dapat menerima pesangon sebanyak 2 kali menurut UU yang
berlaku. Apabila langkah dari perusahaan untuk melakukan PHK tidak dapat
dihindari dengan alasan keadaan darurat terutama seperti adanya wabah
pandemi dan hal tersebut diluar kehendak dari perusahaan maka perusahaan
harus membuktikannya dengan laporan keuangan selama dua tahun terakhir
yang telah diaudit oleh akuntan publik, sehingga dapat dinyatakan bahwa
dalam kegiatan operasionalnya perusahaan terindikasi mengalami kerugian.
Dalam hal ini tentu saja dibutuhkannya pengawasan dari pemerintah.

Dengan diberikannya perlindungan hukum kepada pekerja merupakan


salah satu pemenuhan hak dasar yang dimiliki oleh tenaga kerja oleh konstitusi
sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Sudah sewajarnya apabila negara
memiliki perlindungan hukum terhadap warga negara. Apabila dalam
pelaksanaannya UU Ciptaker ini menimbulkan distorsi maka hal ini termasuk
pelanggaran karena sesungguhnya UU Ciptaker bukan diciptakan hanya untuk
memberikan kemudahan dalam investasi akan tetapi juga harus dapat
memberikan sebuah kesejahteraan khususnya bagi warga negara.
Pelanggaran terhadap hakl dasar yang telah dilindungi oleh konstitusi dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam pelaksanaannya, UU Ciptaker ini sebenarnya bukan menjadi hal


baru di sebuah negara. Tujuan pengesahannya sudah dijabarkan di penjelasan
diatas bahwa dengan kehadiran UU Ciptakerja ini dapat sesuai dengan visi misi
dari presiden untuk memangkas perizinan yang rumit dalam suatu kebijakan
sehingga para investor dapat menemukan kemudahan dan tertarik untuk
melakukan investasi di perusahaan maupun negara Indonesia. Dimana hal ini
tentu saja akan mempengaruhi perekonomian di Indonesia karena dapat
membantu warga negara dalam hal penciptaan lapangan pekerjaan. Akan
tetapi sejauh ini UU Ciptaker ini masih belum dilaksanakan secara maksimal
karena mengingat perumusannya dilakukan sangat cepat dan tidak melibatkan
partisipatif dari masyarakat.

2.2 Perbandingan Hukum Ketenagakerjaan antara Indonesia dengan


Singapore

Ketentuan ketenagakerjaan di negara Indonesia dan di negara Singapura


memiliki kesamaan pada jenis PHK yakni dengan tujuan bahwa perusahaan
atau pemberi kerja memberhentikan karyawannya dengan alasan
ketidakhadiran serta adanya kesalahan yang dilakukan oleh karyawan.
Kemudian ketika pemberi kera tidak memberikan hak pekerja atau dengan kata
lain yakni terlambat membayarkan upah, serta adanya hal yang
membahayakan pekerja sehingga PHK dapat dilakukan dengan alasan hukum
bahwa telah berakhirnya batas waktu yang ditetapkan oleh pemberi kerja atas
perjanjian kerja dengan tenaga kera. Selain itu, di negara Indonesia maupun di
Singapura juga memiliki kesamaan pada jenis tindak pidana yang nantinya
dijatuhkan apabila ada pihak yang melanggar ketenagakerjaan.

Di negara Indonesia, ditetapkan mengenai adanya prioritas untuk


bernegosiasi antar pekerja dengan perusahaan sebagai penyelesaian apabila
terdapat perselisihan, akan tetapi apabila tidak menemukan kata sepakat maka
bisa dilaksanakan di luar pengadilan yakni dengan melalui kegiatan mediasi
antara tenaga kerja dengan perusahaan. Apabila hal tersebut tidak berhasil
maka PHK dapat sah jika naik banding pada MA. Lain halnya dengan negara
Singapura yang mana lembaga arbitrase hukum Hubungan Industrial di
Indonesia tidak mempunyai wewenang dalam rangka menyelesaikan kasus
sengketa pemutusan hubungan kerja.

Di Negara Singapura, upaya pemerintah dalam melakukan pencegahan


serta menyelesaikan sengketa antara pemberi kerja dan pekerja maka
dilakukan dengan prosedur yakni kekeluargaan atau perundingan, selanjutnya
yakni rekonsiliasi dan arbitrase. Proses perundingan tersebut diharapkan dapat
membawa kata sepakat, akan tetapi apabila dalam perundingan tersebut gagal
mediasi tersebut berlanjutkan pada Kantor Komisioner Ketenagakerjaan.

Berkaitan dengan PHK, aturan di Singapura ini mengadopsi tradisi


Common Law yang mana diatur pada The Employment Act 1968 yang
merupakan peraturan perundang-undangan yang dirumuskan untuk
menciptakan iklim yang baik untuk para investor agar memiliki ketertarikan
untuk menanamkan modalnya di negara Singapura. Undang-undang ini
merupakan penyempurnaan sekaligus bentuk dari konsolidasi berbagai macam
ordonasi yang telah dibuat oleh penguasa kolonial yakni bangsa Inggris.

Melalui Undang-Undang tersebutlah pemerintah berupaya untuk


menciptakan sebuah standar bagaimana kondisi kerja yang baik untuk pekerja
diantaranya yakni mengenai hari kerja, upah, waktu lembur dan sebagainya.
PHK tersebut mencakup beberapa kewajiban yang harus dilakukan oleh dua
belah pihak yang mana telah tercantumkan pada kontrak kerja yang di
tandatangani oleh pemberi kerja dan tenaga kerja. Sebelum salah satu pihak
mengambil jalur pemberhentian tenaga kerja penting untuk memperhatikan
beberapa kepentingan yang telah dirincikan di bawah ini:

a. Mengatur mengenai hal yang diatur seperti diperbolehkan dan tidak


diperbolehkan pada larangan PHK di Singapura
b. Memperhatikan mengenai hak, kewajiban tugas, serta tanggung jawab
dari pemberi kerja serta pekerja yang telah atau akan mengakhiri
perjanjian tersebut.
c. Kondisi yang mana pekerja dapat diberhentikan oleh siapa yang dapat
mengakhiri pekerjaan sesuai dengan PHK kapan akan dimulai serta
jenis PHK apa yang dibutuhkan.

Sebagaimana yang telah diatur Pada UU No. 13 tahun 2003 menyebutkan


bahwa PHK yakni telah berakhirnya hubungan kerja antara pembeli kera dan
karyawan. Baik di negara Indonesia maupun di Singapura telah menetapkan
norma-norma untuk menentukan apa jenis PHK serta waktunya. PHK ini dapat
dilakukan oleh lembaga yang berwenang yang kemudian saling melaksanakan
kewajibannya. Seluruh pihak yang dengan represif dapat memperoleh
perlindungan hukum. Kebijakan rekomendasi yang dipilih oleh Pemerintah
Indonesia untuk melakukan perbaikan dengan menambah beberapa serta
menegaskan bahwa pengusaha memiliki kewajiban atas biaya pesangon yang
harus diberikan dan dinikmati oleh pekerja. Kemudian pengaturan mengenai
sanksi pidana dan administratif tersebut dapat diperkuat. Sedangkan yang
dilakukan oleh Pemerintah Singapura dalam kewenangannya mengubah UU
yakni mengenai pesangon, upah, masa kerja, kompensasi hak yang dapat
ditambahkan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Peraturan perundang-undangan mengenai Tenaga Kerja ini disahkan pada


tanggal 5 Oktober 2020. Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan tersebut
memberikan pembatasan mengenai UMR setiap kota atau kabupaten hingga
memformulasikan sebuah kebijakan untuk menghadapi inflasi hingga
melakukan pertumbuhan ekonomi. Pada UU Ciptaker tersebut tersirat tujuan
dari Pemerintah yakni untuk dapat meningkatkan berbagai macam investasi
sehingga kualitas industrialisasi di negara Indonesia. Pada praktik
pelaksanaannya UU Ciptaker ini masih memiliki kelemahan yakni tidak
diaturnya ketentuan yang sebelumnya telah diatur konsepsinya di peraturan
terdahulu. Hal ini tentu saja dapat menyebabkan adanya penyelewengan
kewajiban serta terempasnya hal dari pekerja.

3.2 Saran

Saran dari Penulis terkait dengan permasalahan ini yakni dengan


investigasi secara mendetail untuk dapat memperbaiki sektor-sektor yang
melanggar ketentuan terlebih ini terkait dengan hak permasalahan
ketenagakerjaan. Perbaikan tersebut yakni dapat ditempuh dengan pengkajian
ulang mengenai hukum yang berlaku sehingga dalam sistem hukum dapat
diatur secara satu kesatuan sehingga hak dan kewajiban pada ketenagakerjaan
dapat secara mudah untuk dipahami pihak yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Julio. "Omnibus Is Throwing People and Democracy under the Bus".
Tempo.com 10 Januari 2023.

Ali, Zainuddin & Supriadi. 2014. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Yayasan
Masyarakat Indonesia Baru.

BPS. 5 Mei 2021, “ Februari 2021: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)


Sebesar 6,26 persen”, https://www.bps.go.id/pressrelease/
2021/05/05/1815/februari-2021- -tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--
sebesar-6-26-persen.html,

Esther, Samboh. "Guide to omnibus bill on job creation: 1,028 pages in 10


minutes. The Jakarta Post.10 Januari 2023.

Fauzan, Rahmat.,“UU Ciptaker Disahkan, Ini Urgensi Yang Dijadikan Latar


Belakang Oleh Pemerintah”, 11 Oktober 2020
https://ekonomi.bisnis.com/ read/20201011/12/ 1303557uu-ciptaker-
disahkan-ini-urgensi-yang-dijadikan- latar-belakang-oleh-pemerintah,
Diakses 10 Januari 2023

Ghalia, Gina. "Indonesia passes jobs bill as recession looms". The Jakarta
Post/ 6 Oktober 2020

Gustav, Rizal Jawahir. "Jejak Omnibus Law: Dari Pidato Pelantikan Jokowi
hingga Polemik RUU Cipta Kerja". Kompas.com. 5 Oktober 2020

Karunia, Ade Miranti, "UMK Dihapuskan dalam UU Cipta Kerja? Menaker: Saya
Tegaskan Upah Minimum Kabupaten/Kota Tetap Dipertahankan!".
KOMPAS.com. 7 Oktober 2020.

Manan, Abdul. 2013. Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta: PT. Kharisma


Putera Utama.
Putsanra, Dipna Videlia, "Poin-Poin Isi UU Cipta Kerja Omnibus Law Soal
Pesangon hingga Upah". Tirto.id. 10 Januari 2023

Rahardjo, Sujtipto. 2012. Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Soerjono, Soekanto. 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum. Jakarta:Rajagrafindo Persada.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Yahya, Achmad Nasrudin., "Dari Kontrak Seumur Hidup hingga PHK Sepihak,
Ini 8 Poin UU Cipta Kerja yang Jadi Sorotan Buruh. KOMPAS.com. 7
Oktober 2020.

Anda mungkin juga menyukai