Anda di halaman 1dari 15

IMPLIKASI YURIDIS PEMBAYARAN UPAH MINIMUM PASCA

DIBERLAKUKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG


CIPTA KERJA

DOSEN PENGAMPU :

RUSTIAN MUSHAWIRYA, S.H., M.H.

DISUSUN OLEH :

Septia Rizki Syavanni (B1A121233)

Tazkiya Qatrunnada (B1A121342)

Siti Haryasih (B1A121349)

Dena Fadillah (B1A121356)

Nailah Sahda Desmarani (B1A121357)

Marsella Widya Shafira (B1A121371)

Nindi Zumailia Lubis (B1A121376)

ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JAMBI

2022
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketenagakerjaan ialah seluruh aspek yang berkaitan pada tenaga kerja saat sebelumnya,
sepanjang, juga setelah masa-masa bekerja. Ketenagakerjaan pada pembangunan nasional
ialah aspek dinamis penting dalam penentuan kecepatan perkembangan ekonomi baik pada
kedudukan selaku tenaga kerja produktif ataupun selaku konsumen. Tidak seimbangnya
persebaran penduduk tiap daerah ataupun wilayah menyebabkan tidak adanya proporsi
pemanfaatan tenaga kerja. Pekerja ataupun buruh ialah tulang punggung perusahaan, hal
tersebut layaknya tidak memiliki arti. Namun apabila diteliti mendalam akan terlihat
kebenaran yang ada. Pekerja disebut tulang punggung sebab memiliki peran yang cukup
krusial. Tanpa kehadiran pekerja maka perusahaan tersebut tidak dapat berjalan juga ikut serta
pada pengembangan. Saat melaksanakan pembangunan nasional tenaga kerja memiliki peran
serta posisi krusial selaku pelaku juga cita pembangunan. Merujuk pada peran serta posisi
tenaga kerja, dibutuhkan perkembangan ketenagakerjaan guna peningkatan kualitas tenaga
kerja juga tugasnya pada pembangunan. Pembangunan ketenagakerjaan hendaknya disiasati
dengan maksimal agar dapat memenuhi hak juga perlindungan dasar untuk para pekerja/buruh
yang secara bersama-sama mempu menciptakan situasi yang aman pada perkembangan bisnis.

konflik tenaga kerja maupun buruh ialah konflik yang umum ditemui pada negara
berkembang layaknya Indonesia. Satu diantaranya ialah konflik pemutusan hubungan kerja
(PHK) yang terjadi pada suatu perusahaan. Seperti saat sekarang di mana terdapat banyak
pekerja yang di PHK oleh perusahaan dimana ia menggantungkan hidupnya. konflik
kurangnya lapangan bekerja tersebut menciptakan kondisi tingginya angka pengangguran di
Indonesia. Namun, di sisi lain rendahnya kualitas pekerja Indonesia membuat belum adanya
kelebihan secara kompetitif apabila diperbandingkan pada negara maju. kesediaan lapangan
kerja baru guna memberantas peningkatan permintaan kerja ialah sebuah target yang
hendaknya tercapai oleh pemerintah guna menurunkan tingkat pengangguran pada
pembangunan perekonomian pada pusat ataupun daerah pada aspek pembangunan. Tenaga
kerja ialah orang yang memiliki kesiapan untuk memasuki pasar kerja yang mempunyai
kesesuaian upah yang diberi oleh pemilik lapangan pekerjaan. Total tenaga kerja diakumulasi
melalui penduduk berusia produktif (usia 15–65 tahun) yang tergolong usia angkatan kerja.
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, (seterusnya disebut UU Ketenagakerjaan) menyatakan bahwasanya
Tenaga kerja ialah tiap individu yang mampu bekerja untuk menciptakan sebuah barang jasa
agar terpenuhinya keperluan pribadi ataupun masyarakat, di samping itu pekerja/ buruh ialah
seseorang yang melaksanakan sebuah pekerjaan dan mendapatkan upah ataupun imbalan
berbentuk hal lainnya.

Sejak draft Undang-undang Cipta Kerja beredar ke publik hal tersebut langsung mendapat
respon yang beragam dari masyarakat. Kelompok masyarakat yang sudah sedikit memahami
hukum, mulai membaca dan menganalisis isi aturan yang ada di draft tersebut. Terdapat
banyak pihak masyarakat yang setuju dan ada pula yang juga mendukung inisiatif dari
pemerintah tersebut. Respon penolakan dari sejumlah masyarakat dengan berupa gerakan
demontrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa dan golongan buruh dengan jumlah yang
cukup besar. Mereka melakukan demostrasi guna menyuarakan aspirasi dalam penolakan
adanya UU Cipta Kerja. Perwakilan dari berbagai kota ini bergantian untuk menyampaikan
penolakan terkait UU Cipta Kerja yang dinilai memiliki banyak permasalahan di dalamnya.
Proses pembuatan UU Cipta Kerja dapat dikatakan sebagai UU cacat formil jika dilihat dari
tata cara pembentukan Undang-undang (procedural due process of Law).

Dalam penyusunan UU Cipta Kerja ini juga tidak mengikuti kode etik ketentetuan dari
penyusunan, mulai dari tahapan perancangannya yang dilakukan secara tertutup tanpa
mengikutsertakan masyarakat untuk berpartisipasi seluasluasnya dan sebaliknya justru lebih
banyak menunjang tanggapan dari elit politik dan para pengusaha selain itu subtansi dari
Undang-undang Cipta Kerja ini dirasa lebih memprioritaskan logika ekonomi agar para
investor dapat bebas untuk menginvestasikan modal di Indonesia dan mengabaikan prinsip
mengabaikan hakhak para pekerja yang dinilai dapat merugikan golongan buruh . Namun,
kegiatan demonstrasi yang dilakukan oleh serikat buruh dan para akademisi tidak
mendapatkan hirauan baik dari DPR maupun Pemerintah, justru pada 2 November 2020
bersama-sama DPR dan Pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja dan hal ini tentunya diangap tidak melihat kondisi permasalahan yang
ada di sosial. Salah satu hal yang dipermasalahkan oleh golongan buruh yaitu pada kluster
ketenagakerjaan, salah satunya pada pasal terkait pengupahan yang dianggap banyak
menggerus hak-hak buruh.

Akan tetapi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(seterusnya disebut UU Cipta Kerja) membuat sistem pengupahan yang sebelumnya diuraikan
pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan
mengalami perubahan dimana tata cara pengupahan terhadap tenaga kerja diuraikan pada
pasal 88 C ayat (1) serta Ayat (2) berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
mengenai Cipta Kerja dimana dalam Pasal 88C Ayat (1) menyebutkan gubernur diwajibkan
menentukan upah minimal provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur bisa
menentukan upah minimal kabupaten/kota yang dilengkapi suatu persyaratan.

Menurut Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pemakaian frasa “dapat” pada
ketentuan Upah Minimal Kabupaten/Kota membuat kerugian besar pada buruh. Sebab
ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota bukanlah kewajiban, seperti pada saat gubernur
tidak memutuskan Upah Minimum Kabupaten/ Kota. Hal tersebut menyebabkan upah yang
rendah. Seperti halnya pada Jawa Barat, tahun 2020, Upah Minimal daerah Jawa Barat
sejumlah Rp 1,8 juta. Sedangkan Upah Minimum Kabupaten/Kota Bekasi sejumlah Rp 4,6
juta. Apabila menetapkan Upah Minimum Provinsi, angka upah minimal di Bekasi akan
menurun. Maka, keberlakuan UU Ciptaker kembali pada pengaturan pengupahan rendah.
secara kontradiktif, Indonesia telah 75 tahun sejak kemerdekaannya. dilanjutkan pada
penghilangan upah minimal berdasar pada bidang dalam Provinsi dan Kabupaten/Kota, sebab
UU Ciptaker menghilangkan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan.

Hilangnya Upah Minimal wilayah Kabupaten/Kota serta Upah Minimal wilayah Provinsi
terlihat dengan kasat mata menimbulkan kondisi yang tidak adil. Bagaimana bisa bidang
industrial otomotif layaknya Toyota, Astra, serta lainnya ataupun bidang tambang layaknya
Freeport, Nikel pada Morowali juga lainnya, tingkat Upah Minimalnya serupa pada perusahan
baju ataupun kerupuk. Inilah mengapa, terdapat Upah Minimum Sektoral yang selaras pada
kontribusi nilai lebih setiap industrial pada pendapatan per kapita negara.

Adapun dalam penelitian yang dilakukan, akan berfokus pada suatu hasil analisis tentang
adanya suatu implikasi atau akibat hukum terkait ketentuan-ketentuan pembayaran upah
minimum pasca di berlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta kerja ,
maupun dampak-dampaknya baik secara positif maupun negatif.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, kelompok kami menentukan rumusan


masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana urgensi Pertanggung jawaban hukum bagi Pengusaha yang tidak mampu
membayar upah minimum dalam masa penangguhan, sebelum berlakunya UU No. 11 tahun
2020 tentang cipta kerja?

2. Bagaimana implikasi yuridis ketentuan hukum kewajiban pengusaha terkait pembayaran


upah minimum dalam masa penangguhan pasca berlakunya UU No. 11 tahun 2020 tentang
cipta Kerja ?

BAB 2

ISI DAN PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN

1. Pengertian Ketenagakerjaan

Dalam Bab I pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 13 tahun 2003 disebutkan bahwa
“Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu
sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Jadi ketenagakerjaan ini membahas segala hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja, baik itu sebelum waktu bekerja, maupun setelah bekerja.”
Pada mulanya ketenagakerjaan dikenal dengan istilah ‘perburuhan’ yang berasal dari kata
‘buruh’ yang secara etimologi berarti kondisi memburuh dimana seorang buruh bekerja
dengan orang lain. Istilah buruh memiliki makna yang sama dengan istilah pekerja. Undang-
undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menerangkan pengertian tentang
pekerja/buruh yang disebutkan bahwa “pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam pasal 1 ayat 2
disebutkan bahwa “tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.”

Adanya faktor dalam tenaga kerja yakni faktor homogen dan heterogen. Tenaga kerja itu
sendiri dapat menjadi faktor produksi yang bersifat homogen di sebuah negara, tetapi faktor
produksi yang bersifat heterogen (tidak identik) antar negara dan setiap negara tentunya
mempunyai pembagian tenaga kerja yang bermacam-macam yang disesuaikan berdasarkan
kebutuhan negara itu sendiri. Negara-negara berkembang, seperti Indonesia menilai seseorang
dengan usia 15tahun ke atas sudah dapat di golongkan ke dalam usia produktif untuk bekerja.

2. Pengertian Upah Kerja/Pengupahan


Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, pada pasal 1 angka 30 yang
menerangkan bahwa “Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau perundang-
undangan, termasuk bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan jasa yang
telah dilakukannya. Upah merupakan suatu peranan penting bagi para pekera/buruh dan upah
adalah suatu ciri khas atas sebuah hubungan kerja. Upah dapat dibedakan ke dalam 2 bentuk,
yakni upah berupa bentuk uang dan upah berupa bentuk barang.

3. Pengertian Upah Minimum

Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang ditetapkan setiap tahun sebagai
jaring pengaman di suatu wilayah. Upah minimum menjadi batas bawah nilai upah
karena aturan melarang pengusaha membayar upah pekerjanya lebih rendah dari Upah
Minimum. Upah minimum dapat ditetapkan di Provinsi atau sering kita dengar dengan
sebutan Upah Minimum Provinsi atau ditetapkan di Kabupaten/Kota disebut dengan
Upah Minimum Kabupaten/Kota. 

Menurut pasal 23 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang
Pengupahan (PP 36/2021), upah minimum sebagaimana dimaksud merupakan Upah
bulanan terendah, terdiri atas: 

1. Upah tanpa tunjangan.


2. Upah pokok dan tunjangan tetap.
3. Dalam hal komponen Upah di perusahaan terdiri atas upah pokok dan tunjangan
tidak tetap, upah pokok paling sedikit sebesar upah minimum.

Latar belakang ditetapkannya upah minimum adalah dimaksudkan sebagai kebijakan


yang dibuat oleh Pemerintah untuk melindungi kepentingan pekerja, dimana upah
minimum berfungsi sebagai jaring pengaman agar tidak ada nilai upah yang lebih
rendah dari upah minimum yang ditetapkan Pemerintah. Tidak hanya itu, upah
minimum juga melindungi dan menjamin kelangsungan usaha dan mendorong
pertumbuhan lapangan kerja produktif. 

Pasal 24 ayat (1) PP 36/2021 menegaskan upah minimum hanya berlaku bagi pekerja
dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun. Sementara upah bagi pekerja dengan
masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih harus berpedoman pada struktur dan skala upah
yang wajib disusun dan diterapkan oleh perusahaan. 

B. PENGUPAHAN DALAM UU NO. 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA

Adanya dua pihak dalam hubungan kerja yaitu pengusaha dan pekerja, hubungan kerja
merupakan hubungan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja. Undang-Undang
Ketenagakerjaan memang menyatakan bahwa upah minimum dapat terdiri atas upah
minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan upah minimum berdasarkan
sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Namun ketentuan tersebut sudah tidak
berlaku Adapun ketentuan upah minimum yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja
adalah bahwa gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan dapat menetapkan
upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu yang meliputi pertumbuhan ekonomi
daerah atau inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan. Terkait upah minimum provinsi
atau kabupaten/kota dengan syarat tertentu juga berpotensi merugikan pekerja karena akan
mengurangi penghasilan pekerja di sektor masing-masing. Pemerintah menyatakan formulasi
yang lebih detail terkait upah minimum masih harus diperjelas dan akan dituangkan dalam
regulasi turunan, yaitu Peraturan Pemerintah. Hal itu tentunya menimbulkan kekhawatiran
bagi para pekerja apabila aturan turunan yang akan dibuat akan lebih menguntungkan pihak
pengusaha.

Indonesia akan mengarah pada kondisi yang membaik sepanjang suatu periode ataupun tahap
penaikan angka produksi ekonomi Indonesia yang diciptakan berupa penaikan penghasilan
nasional Indonesia, guna penyelarasan diantara keinginan politik pemerintah tentang hukum
pemberian upah pada Undang-Undang Cipta Kerja serta keinginan golongan pemilik usaha
berbentuk produktivitas dan/atau keuntungan perusahaan, keinginan golongan pekerja/buruh
dengan bentuk pendapatan yang sesuai, keinginan pemerintah dengan bentuk reparasi
ekosistem penanaman modal serta daya persaingan Indonesia, maka pemerintah hendaknya
membuat ketetapan yang strategis juga memberi rekomendasi ataupun ketetapan publik
menciptakan hukum pengupahan Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi bentuk
pewujudan keperluan bersama pada bidang industri (pengusaha, pekerja/buruh, pemerintah).

Pada konstitusi negara, adanya ketetapan yang menyebutkan “setiap individu mempunyai hak
hidup sejahtera lahir dan juga batin, mempunyai tempat tinggal, juga mendapatkan kehidupan
yang sesuai juga aman” seperti yang disebutkan dalam pasal 28H ayat (1) UUD NR Tahun
1945. Demi mencapai kehidupan yang sejahtera, maka sesuai dengan Pasal 28 D ayat (2)
UUD NRI Tahun 1945 dengan rumusan tiap individu mempunyai hak dalam mendapatkan
pekerjaan. Sebab umumnya tiap individu membutuhkan sebuah pendapatan guna menjalankan
kehidupan.

Sedangkan dalam pasal 88B upah ditentukan melalui aspek waktu juga hasil. Upah pada
aspek waktu ditentukan per jam, per hari ataupun per bulan. Penentuan upah perjam diberikan
pada pekerja/buruh dengan pelaksanaan pekerjaan paruh waktu. Perhitungan menggunakan
formula perhitungan upah. Omnibus Law menyebabkan fleksibilitas waktu kerja serta
memberi kenyamanan saat bekerja dalam hal penentuan jam kerja. Pekerja dengan waktu
kerja minimal 8 jam/hari ataupun 40 jam per minggunya akan memperoleh upah bulanan.
Selanjutnya pekerja yang melakukan pekerjaan kurang daripada 35 jam per minggunya akan
mengikuti aturan upah per jam mampu melakukan pekerjaan melebihi satu perusahaan. Akan
tetapi haruslah digaris bawahi di mana upah per jam tidaklah mengganti posisi upah per
bulannya. Upah per jam diberikan dalam rangka mengoordinasikan pekerjaan berbentuk jasa
layaknya konsultan ataupun pekerjaan paruh waktu namun tetap memberlakukan
perlindungan pada pekerjaan (job security). Lain halnya pada pegawai bidang industrial yang
tak mungkin mengalami hal demikian. Susunan tersebut telah umum dilaksanakan pada
negara maju guna meningkatkan investasi serta penumbuhan tempat pekerjaan.

Bisa dikatakan upah berdasar atas aspek waktu juga hasil menjadi parameter penentuan upah,
yang artinya upah yang diterima pekerja tergantung berapa lama kerjanya dan hasil pekerjaan
lebih banyak. Semakin banyak jam kerja yang dihabiskan di perusahaan aka semakin banyak
upah yang diterima. Contohnya supir taxi, ojek online, dimana mereka ketika bekerja
melebihi jam kerja akan mendapatkan penghasilan yang lebih besar.

UU Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 30 menguraikan mengenai upah yakni: “Upah ialah hak
pekerja/buruh yang didapatkan serta dinyatakan dengan berbentuk uang selaku imbalan
daripada pengusaha ataupun penyedia pekerjaan pada pekerja/buruh yang ditentukan serta
dibayar berdasar pada sebuah perjanjian kerja, kesepakatan, ataupun peraturan perundang-
undangan, seperti tunjangan untuk pekerja/buruh juga keluarga dari sebuah pekerjaan
dan/atau jasa yang sudah maupun akan dilaksanakan.”

Pengupahan diuraikan pada Pasal 88 Ayat (1) UU ketenagakerjaan, yang mana pada pasal ini
dijelaskan: “Tiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk mendapatkan pendapatan yang layak
guna pemenuhan hidup yang layak demi kemanusiaan.”
Melalui UU Ketenagakerjaan maka ditetapkannya upah minimal mengacu pada keperluan
kehidupan yang sesuai melalui pemerhatian tingkat produktif serta pengembangan
perekonomian, yang berisi : Upah minimal berdasar pada daerah provinsi ataupun
kabupaten/kota, Upah minimal berdasar pada daerah provinsi ataupun kabupaten/kota.

Namun kemudian Pasal 88: UU Cipta kerja melakukan pengubahan ketetapan tentang
pemberian upah bekerja. Ketetapan tersebut dinyatakan pada pasal 81 angka 24 UU Ciptaker
menggantikan Pasal 88 UU Ketenagakerjaan. Pasal 88 ayat (4) yang dimuat pada Bab
Ketenagakerjaan dengan menyatakan 7 ketetapan pengupahan yang sebelum itu terdapat 11
ketetapan pada UU Ketenagakerjaan. Tujuh ketetapan tersebut yakni upah minimal, susunan
serta perbandingan upah, upah pekerjaan lembur, upah tidak bekerja, serta upaya membayar
upah, hal lain yang dihitung menggunakan upah, serta upah selaku acuan menghitung ataupun
membayar kepentingan juga tanggung jawab yang ada.

Dalam pasal 95 tidak terdapat denda untuk pemilik usaha dengan keterlambatan pembayaran
upah pada pekerja yang di PHK sebab surat peringatan ketiga tak memperoleh pesangon,
pekerja di PHK sebab adanya pengubahan status, penyatuan, ataupun pemisahan kepunyaan
perusahaan tidak memperoleh pesangon, pekerja yang di PHK sebab adanya rugi yang di
derita sepanjang dua tahun ataupun kondisi terpaksa yang tidak memperoleh pesangon,
pegawai yang di PHK sebab telah menginjak umur pensiun sehingga tak diberi pesangon,
pegawai yang di PHK sebab mengalami penyakit yang panjang ataupun saat memperoleh
kecacatan saat bekerja tidak lagi mendapatkan pesangon, membebaskan pekerjaan kontrak
pada seluruh sektor, outsourcing dapat dipergunakan secara bebas pada seluruh pekerjaan
serta tak mempunyai batasan waktu. Pasal 88 ayat (4) menguraikan “Pengaturan lanjutan
berisi kebijakan pengupahan disesuaikan pada Peraturan Pemerintah”. hal lainnya oleh
masyarakat terlebih kelompok buruh ataupun pegawai yakni, Upah Minimal merujuk kepada
Upah Minimum Provinsi (UMP), Pasal 88C UU Ciptaker tersebut ialah Pasal dengan bahasan
Upah Minimum Provinsi, dan Pasal tersebut menguraikan: Gubernur diwajibkan menentukan
upah minimal provinsi. Gubernur mampu menetukan upah minimal kabupaten/ kota melalui
sebuah persyaratan. Upah minimal seperti yang diuraikan dalam ayat (1) serta ayat (2)
ditentukan berdasar atas keadaan perekonomian serta tenaga kerja. Suatu persyaratan seperti
yang terdapat dalam ayat (2) layaknya pengembangan perekonomian daerah ataupun inflasi
dalam kabupaten/kota terkait. Upah minimal kabupaten/kota seperti halnya dalam ayat (2)
haruslah lebih besar daripada upah minimal provinsi. Keadaan perekonomian serta
tenagakerja seperti dalam ayat (3) mempergunakan data dengan sumber dari lembaga yang
memiliki wewenang pada statistik. Ketetapan lanjutan tentang cara penentuan upah minimum
seperti yang dimuat dalam ayat (3) serta suatu persyaratan yang dimuat dalam ayat (4)
disusun pada Peraturan Pemerintah.

Buruh akhirnya merasakan keresahan sebab aspek yang tersorot. Buruh menganggap adanya
PKWT yang bebasnya melebihi batas proses PHK yang sederhana, dihapuskannya cuti
panjang, haid, serta lainnya. Yang mengkhawatirkan apabila Omnibus Law Cipta Kerja
tersebut akan makin menambahkan pemasukan penanam modal, terlebih penanam modal
asing yang bebas tanpa halangan. Lain halnya pada perlindungan untuk pekerja ataupun buruh
di Indonesia yang terus menurun.

Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja memunculkan penolakan di berbagai kalangan


masyarakat yang mana UU tersebut menggunakan metode Omnibus Law yang sifatnya
menghapus, mengubah, merevisi, dan mencabut beberapa pasal yang ada dalam Undang-
Undang. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa pemerintah dan DPR telah sepakat untuk
menghapus, mengubah, merevisi, dan mencabut beberapa ketentuan di dalam ketentuan
Undang-Undang Cipta Kerja. Bentuk penghapusan maupun perubahan yang dikritisi oleh
sejumlah kalangan masyarakat salah satunya yaitu tentang pasal pengupahan yang dinilai
bermasalah dan menjadi pasal yang kontroversial.

Diantara pasal terkait pengupahan yang disoroti sebagai bentuk permasalahan bagi
buruh/pekerja, yaitu Salah satunya adalah

Upah Minimum

Undang-Undang Cipta Kerja menghilangkan pasal 88D tentang kebutuhan hidup yang layak
dalam ketentuan penerapan upah yang ada pada Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan
mengganti ketentuan tersebut dengan penghitungan berdasarkan variabel pertumbuhan
ekonomi/inflansi yang diatur dalam pasal 88D UU Cipta Kerja. Padahal penghitungan upah
minimum dengan variabel pertumbuhan ekonomi/inflasi belum tentu dapat merepresentasikan
kebutuhan hidup yang layak bagi pekerja dan ketentutan tersebut justru hanya akan
memberikan keuntungan bagi pengusaha yang mana hal ini akan menjauhkan tujuan awal
pengupahan yaitu memberikan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 17 Seharusnya,
penetapan upah minimum juga dikaitkan berdasarkan profesionalisme pekerja bukan
ditentukan berdasarkan pertumbuhan ekonomi yang sering kali naik turun.18 UU Cipta Kerja
menghilangkan ketentuan pasal 89 Undang-Undang Ketenagakerjaan dan menambah
beberapa poin pada pasal 88C. Tertuang dalam pasal 88C ayat (1) yang menyatakan bahwa
“Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.” selanjutnya dalam pasal 88C ayat (2)
yang menyatakan bahwa “Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan
syarat tertentu.” Frasa pada kata “dapat” dinilai akan adanya kemungkinan gubernur tidak
menetapkan upah minimum kabupaten/kota, karena penetapannya bersifat tidak wajib dan hal
ini akan memberikan dampak kepada buruh/pekerja dalam penerimaan upah yang bersifat
murah. Ketentuan dalam pasal 88 ayat 2 juga dinilai hanya memberikan kewajiban upah
minimum Provinsi sedangkan upah minimum di Kabupaten/Kota bersifat pilihan atau
opsional. Padahal dari ketiga jenis upah minimum yang meniliki nilai paling rendah adalah
upah minimum Provinsi, karena upah minimum Kabupaten/Kota wajib menetapkan nilai lebih
tinggi dari upah Provinsi. Oleh karena itu, upah minimum Provinsi tidak representatif
terhadap penghidupan layak di suatu Kabupaten/Kota yang akan adanya kemungkinan
disparitas kondisi ekonomi-sosial antar Kabupaten/Kota dalam suatu Provinsi.20 Selain itu
ketentuan upah minimum Kabupaten/Kota yang memiliki syarat tertentu dapat mengakibatkan
potensi merugikan pekerja karena dapat mengurangi penghasilan pekerja di sektor masing-
masing.

Adanya penghapusan ketentuan pada pasal 89 Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka tidak


berlakunya lagi kebijakan upah minimum sektoral dan hanya memberlakukan kebijakan upah
minimum provinsi yang tentunya hal ini akan membuat tidak adanya perbedaan pengupahan
yang disesuaikan dengan spesifikasi keahlian persektor, sehingga adanya kemungkinan nilai
upah minimum pekerja sektor pertambangan atau sektor otomotif disamakan dengan pekerja
sektor makanan atau sektor tekstil yang sebenarnya pekerja sektor pertambangan atau sektor
otomotif mempunyai keahlian khusus yang tentu berbeda dengan pekerja sektor makanan atau
sektor tekstil yang memang berkonsekuensi terhadap upah.

Pemberlakuan upah yang hanya ditentukan pada upah minimum provinsi saja pada suatu
daerah akan memungkinkan potensi ketidaseimbangan, berdasarkan perbedaan tingkat
ekonomi disetiap daerah kabupaten/kota. Penghapusan upah minimum sektoral dengan alasan
yang tidak jelas yang mana diketahui bahwa selama ini upah minimum sektoral dinilai lebih
representatif karena mewakili kondisi pada sektor tertentu, penghapusan tersebut cenderung
merugikan pekerja. Iqbal said selaku presiden KSPI (Konfederesi Serikat Pekerja Idonesia)
mengatakan bahwa subtansi dalam UU Cipta Kerja khususnya pada bab Ketenagakerjaan
yang hampir seluruhnya memberikan kerugian bagi pekerja, salah satunya pada pasal
pengupahan. Kemudian, upah minimum yang hanya diatur dalam upah minimum Provinsi
yang ditetapkan oleh gubernur akan membuat peluang konspirasi antara gubernur dan
pengusaha yang memberi jasa berupa ongkos politik saat kampanye pemelihan gubernur dan
memungkinkan penentuan upah minimum mengikuti kepentingan para pengusaha yang dirasa
memiliki pengaruh kuat dalam kekuasaan gubernur.

C. PERTANGGUNGJAWABAN PENGUSAHA ATAS TIDAK TERPENUHINYA


PEMBERIAN UPAH MINIMUM BAGI TENAGA KERJA.

Di Indonesia banyak pengusaha tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan upah


minimum bagi tenaga kerja. masih banyak tenaga kerja mengadu mendapat upah di bawah
upah minimum. Sedangkan dalam kenyataannya sudah diatur dalam Undang-undang
mengenai pemberian upah minimum. Lalu bagaimana peraturan, pengaturan serta
pertanggungjawaban pengusaha atas tidak terpenuhinya pemberian upah minimum bagi
tenaga kerja berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
sebagaimana hal ini sangat penting karena menyangkut perlindungan kehidupan serta
peningkatan kualitas tenaga kerja. Jika dilihat dari Undang-undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, dapat diketahui bahwa pemerintah sudah melakukan pengaturan
mengenai pengupahan kepada tenaga kerja dengan baik namun masih ada pengusaha yang
tidak membayarkan upah tenaga kerja sesuai dengan upah minimum.

Sesuai dengan kaidah hukum, pada dasarnya pengusaha dilarang untuk membayar upah
tenaga kerja di bawah upah minimum yang telah ditetapkan. Dikarenakan kewajiban umum
dari majikan sebagai timbulnya hubungan kerja adalah membayar upah sesuai dengan upah
minimum yang telah ditetapkan.

Ketentuan mengenai upah minimum tersebut berlaku untuk semua perusahaan namun,
diberikan pengecualikan kepada pengusaha yang belum mampu membayar sesuai upah
minimum yang telah ditentukan. Pengusaha yang belum mampu membayar upah tenaga kerja
sesuai dengan upah minimal yang telah ditetapkan dapat mengajukan permohonan
penangguhan kepada Gubernur melalui Instansi yang bewenang paling lambatnya 10 hari
sebelum tanggalnya upah minimum. Mengenai pengangguhan itu sendiri telah diatur dalam
Pasal 90 UU Ketenagakerjaan. Pemerintah sendiri beranggapan Pasal 90 UU Ketenagakerjaan
yang dalam penjelasannya memberikan penangguhan kepada pengusaha yang tidak mampu
membayar upah sesuai dengan upah minimum adalah untuk melindungi tenaga kerja
diperusahaan agar para tenaga kerja tetap bekerja diperusahaan yang sedang mengalami
kondisi sulit.

Dalam Penjelasan Pasal 90 UU Ketenagakerjaan terdapat frasa “tetapi tidak wajib membayar
pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberi penangguhan” dirasa
bertentangan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor: 72/PPU-XIII/2015
dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Yang artinya, MK menegaskan selisih kekurangan pembayaran upah yang dibayar tidak
sesuai dengan upah minimum selama masa penangguhan tetap wajib dibayar oleh pengusaha
tersebut.

Dengan kata lain, pemerintah melalui UU Ketenagakerjaan telah memberikan permakluman


kepada perusahaan yang belum mampu membayar upah tenaga kerjanya sesuai dengan upah
minimum yang telah diatur, berupa penangguhan kepada instansi yang berwenang mengenai
ketenagakerjaan. Namun penangguhan pembayaranan upah yang tidak sesuai dengan upah
minimum tersebut tidak langsung menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar
selisih upah yang tidak sesuai dengan upah minimum selama masa penangguhan yang
diberikan. Selisih upah yang tidak sesuai dengan upah minimum tersebut merupakan utang
yang sifatnya harus dibayar kepada para tenaga kerjanya.

Penangguhan pembayaran upah minimum berdasarkan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan,


bahwa perusahaan yang mana dikatakan tidak mampu untuk membayar upah dapat diberikan
kesempatan untuk tidak membayar upah minimum dalam kurun waktu tertentu. Namun pada
Pasal 90 ayat (1) menjelaskan Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah
minimum. Pada Pasal 90 ayat (1) ketentuan a-quo dimaksud untuk memberikan perlindungan
dan penghidupan secara layak pada buruh. Secara implisit dalam arti melindungi pekerja,
sehingga tidak terdapat pengecualian atau memperbolehkan seorang pengusaha untuk
membayar dibawah Upah Minimum. Sebaliknya dalam Pasal 90 ayat (2) terdapat
pengecualian bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum tersebut sehingga
tujuan dari Pasal 90 ayat (1) tersebut dilemahkan. Selanjutnya dikatakan dalam Pasal 28D
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengartikan
bahwa setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan yang layak pada setiap perusahaan yang
tentunya orang tersebut mempunyai hak mendapatkan imbalan yang adil dan sesuai dengan
tanggung jawabnya. Prinsip yang terkandung dalam ketentuan konstitusional diatas berkaitan
dengan upaya perlindungan bagi tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar
pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas
dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan buruh dan keluarganya dengan tetap
memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Sehingga kebijakan penangguhan upah
melahirkan ketidakpastian terhadap upah minimum yang ditetapkan pemerintah dengan tujuan
untuk memberikan penghidupan yang layak kepada pekerja.
BAB 3

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Substansi dari UU Cipta Kerja khususnya pada kluster ketenagakerjaan dalam pasal
pengupahan hampir seluruhnya mengakibatkan kerugian pada buruh/pekerja. Penghapusan,
perubahan, penambahan yang terdapat dalam pasal-pasal pengupahan hanya memberikan
keuntungan bagi pengusaha dan mengabaikan kepentingan maupun hak-hak dari
buruh/pekerja. Sehingga, adanya ketidakadilan yang menjadi point permasalahan dalam
ketentuan pengupahan dalam UU Cipta Kerja.

Pemerintah melakukan perubahan ketetapan pengupahan pada Undang-Undang No.11 tahun


2020 mengenai Cipta Kerja. pengubahan tersebut yaitu dihapuskannya upah minimal kab/kota
(UMK) juga upah minimal berdasar atas provinsi ataupun kab/kota. Undang-Undang Cipta
kerja merubah kebijakan mengenai pengupaan pekerja yang sebelumnya diatur oleh Undang-
Undang Ketenagakerjaan. Contoh dari permasalahan tersebut adalah di Kabupaten Bekasi,
Jawa Barat. Tahun 2020, Upah Minimal Provinsi Jawa Barat memiliki besar Rp 1,8 juta.
Sedangkan Upah Minimum Kabupaten/Kota Bekasi memiliki besar Rp 4,6 juta. Bila sebatas
penentuan Upah Minimum Provinsi, maka nilai upah minimum di Bekasi mengalami
penurunan menjadi 1,8 juta. Permasalahan ini berujung pada Putusan MK No. 91/PUU-
XVIII/2020 dimana Mahkamah Konstitusi memberikan pernyataan di mana Undang-Undang
Cipta Kerja cacat formal dan inkonstitusional dengan syarat. Namun demikian, Mahkamah
Konstitusi memberikan pernyataan Undang-Undang Cipta Kerja tetap mempunyai
keberlakuan. Mahkamah memberikan waktu maksimum dua tahun untuk pencipta undang-
undang (DPR dengan pemerintah) guna melakukan perbaikan. Apabila melewati masa yang
sudah ditetapkan, UU Cipta Kerja disebut sebagai inkonstitusionalitas permanen.

Hubungan hukum antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan hukum timbal balik yang
berupa hubungan kerja berdasarkan perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak
(pengusaha dan pekerja) yang mana hubungan tersebut mengandung hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh para pihak. Penangguhan pembayaran upah mininum tidak
menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar selisih upah minimum selama masa
penangguhan sesuai dengan putusan MK No.72/PUU-XIII/2015.
Saran

1. Kepada Lembaga legislatif disarankan agar mengkaji kembali secara mendalam dan tidak
terburu-buru dalam menetapkan suatu kebijakan dan dapat mengikuti prosedur yang ada
sesuai yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

2. Lembaga Legislasi harus meninjau kembali ketentuan Pasal 90 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengenai kewajiban Pengusaha
dalam penangguhan pembayaran upah minimum pekerja agar sesuai dengan putusan MK
No.72/PUU-XIII/2015.

3. Pemerintah perlu memerhatikan pendapat pakar hukum dan aspirasi masyarakat yang
khususnya kelompok yang akan menjadi subjek utama dalam regulasi yang akan dibentuk.
Pemerintah harus dapat menampung dan memikirkan kepentingan-kepentingan buruh/pekerja
dan hak-hak yang perlu diberikan.

4. Pengusaha harus melakukan pembayaran upah minimum pekerja yang tertangguh dan
selisih upah minimum selama masa penangguhan.

Anda mungkin juga menyukai