Anda di halaman 1dari 13

KAJIAN ISU NASIONAL #1

PERPPU CIPTA KERJA: AKAL BULUS PEMERINTAH, OBRAL


KEPENTINGAN DEMI OLIGARKI

DEPARTEMEN SOSIAL DAN POLITIK


BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2023
Perppu Cipta Kerja: Akal Bulus Pemerintah, Obral Kepentingan Demi Oligarki
Sebelumnya, Perppu Cipta Kerja diteken Presiden Joko Widodo pada Jumat, 30
Desember 2022. Keputusan tersebut seperti kado akhir tahun yang tidak diinginkan oleh
masyarakat. Bagaimana tidak? Jika melihat kebelakang, akar permasalahan terhadap produk
hukum tentang cipta kerja telah lama menjadi kontroversi di kalangan masyarakat bahkan
sebelum UU Cipta Kerja itu sendiri disahkan.
Semuanya dimulai sejak RUU Cipta Kerja masuk kedalam prolegnas prioritas pada 22
Januari 2020, muatan UU Ciptaker yang dibahas secara kilat dan minim partisipasi publik tentu
sangat merugikan masyarakat karena dalam pembentukannya sama sekali tidak menerapkan
asas keterbukaan dan proses yang tertutup semakin menguatkan indikasi bahwa aturan ini
adalah akal-akalan pemerintah demi kepentingannya sendiri, sehingga hal ini menjadi titik
balik bagi munculnya berbagai gelombang penolakan yang besar dari elemen masyarakat.
Meski begitu RUU Ciptaker tetap disahkan oleh pemerintah pada tahun 2020.
Menanggapi berbagai penolakan hingga demonstrasi besar-besaran yang menolak
pengesahan undang-undang ini, Presiden Joko Widodo mempersilakan masyarakat yang
keberatan dengan UU Cipta Kerja untuk mengajukan judicial review atau uji materi ke
Mahkamah Konstitusi ("MK"). Pada 25 November 2021, MK membacakan Putusan Nomor
91/PUU-XVIII/2020 sebagai jawaban atas permohonan uji formil yang diajukan oleh Migrant
CARE, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, Mahkamah Adat
Minangkabau, serta Muchtar Said.
Putusan tersebut mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan dan menyatakan
bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan diberikan waktu untuk memperbaiki
dalam jangka waktu dua tahun dan apabila tidak diperbaiki selama tempo waktu tersebut
dinyatakan tidak berlaku dan/atau batal demi hukum karena tidak sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU
12/2011) yang sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Putusan inkonstitusional bersyarat dalam UU Cipta Kerja memiliki makna bahwa
hadirnya undang-undang tersebut jelas bertentangan dengan konstitusi negara dan cacat secara
formil. Namun, undang-undang tersebut dapat kembali konstitusional apabila memenuhi
syarat-syarat yang disebutkan dalam putusan MK tersebut.

1. Kelicikan Hadirkan Perppu Cipta Kerja


Dihadapkan dengan kondisi yang seperti itu alih-alih pemerintah bersama DPR
memperbaiki unsur meaningful participation sebagai amanat pembentukan peraturan
perundang-undangan dalam hal ini pembuatan UU Ciptaker, pemerintah dalam hal ini Presiden
Jokowi justru malah mengeluarkan keputusan kontroversial, yakni menerbitkan Perppu No. 2
Tahun 2022, keputusan tersebut seolah-olah menjadi pembenar proses keliru yang dilakukan
oleh politikus di Senayan, dan semakin memperlihatkan bahwa pemerintah dan politikus di
Senayan seakan tutup mata terhadap argumentasi MK soal Inkonstitusionalnya UU Ciptaker.
Jika melihat dasar hukum pembuatan perppu maka hal ini bisa kita lihat dalam pasal 22
ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan pasal tersebut, hadirnya peraturan pemerintah pengganti
undang-undang dapat diterbitkan oleh presiden dalam hal ihwal kegentingan memaksa.
Penjelasan mengenai “dalam hal kegentingan memaksa” telah dimuat melalui putusan
MK Nomor 138/PUU/VII/2009. Putusan tersebut menjabarkan dan menjelaskan tolak ukur
dari hal-hal yang dapat dijadikan sebagai kegentingan memaksa. Tolak ukur tersebut antara
lain;
1. Adanya “keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum
secara cepat berdasarkan Undang Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan
hukum atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang Undang
secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan
yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Hal yang menjadi catatan dari Perppu Ciptaker ini adalah kehadirannya yang
disebabkan beberapa justru dari indikator subjektif pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi
yang sudah menyatakan bahwa pertimbangan dalam menerbitkan Perppu Ciptaker sudah
sangat matang seperti melihat kondisi ancaman inflasi, stagflasi, krisis multisektor, masalah
suku bunga, kondisi geopolitik, kepastian hukum akan kekosongan hukum berkaitan dengan
cipta kerja, krisis pangan, serta melindungi pelaku usaha dengan pemberdayaan koperasi dan
UMKM, ekosistem investasi dalam hal antisipasi ekonomi global. Walaupun begitu, realitas
yang terjadi sebenarnya sangat kontradiktif dengan anggapan yang diyakini oleh pemerintah.
Merujuk dari penjelasan Bhima Yudhistira selaku Eksekutif Center of Economic and
Law Studies (Celios), kondisi darurat dalam Perppu Ciptaker bertolak belakang dengan asumsi
makro ekonomi APBN 2023, dimana pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen cenderung
tinggi. Kemudian, dalam hal kekosongan hukum, pemerintah melihat perlu diciptakan suatu
peraturan yang mampu menjaga stabilitas negara yang dipengaruhi oleh keadaan hubungan
internasional pada saat ini. Padahal pada waktu bersamaan presiden dan sejumlah menteri,
juga menyatakan pertumbuhan perekonomian meningkat secara signifikan pasca pandemi
Covid-19. Alasan dan indikator subjektif presiden tentu mengundang banyak pertanyaan
atas dasar apa secara basis ilmiah dan rasional dalam keputusan presiden bisa dengan mudah
mengeluarkan dan menerbitkan perppu kontroversial ini karena tidak sepenuhnya bisa
dikatakan bahwa kekosongan hukum menjadi salah satu dasar dalam menerbitkan Perppu
Ciptaker. Jika melihat secara rinci hadirnya Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang
secara substansi-materiil dapat disematkan “bayi kembar” atau memiliki kemiripan yang
serupa dengan UU Ciptaker itu sendiri dan memiliki proses legislasi yang lebih sat-set
dibanding proses legislasi pembuatan undang-undang.
Akademisi sudah banyak yang memberikan isyarat bahwa Perppu ini hanya “akal
bulus” dari presiden saja dan yang perlu dijadikan poin permasalahan adalah, apakah
penerbitan Perppu Ciptaker tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk pembangkangan presiden
terhadap konstitusi dan Putusan MK No. 91 Tahun 2020?
Alangkah lebih bijaknya kita bisa melihat suatu persoalan dari sudut pandang yang
lebih beragam atau multiperspektif dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi empiris
dalam memahami dan merasakan kondisi yang benar-benar nyata terjadi terkhusus yang
memiliki implikasi riil terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat karena Perppu
Ciptaker ini sebenarnya mampu menjawab beberapa permasalahan-permasalahan yang ada
tetapi sejatinya memang perlu dilakukan revisi di dalamnya. Berikut paparan beberapa ulasan
substantif mengenai sisi kebermanfaatan Perppu Ciptaker dan diksi kontroversial yang
“terkandung” di dalam Perppu Ciptaker No. 2 Tahun 2022.

2. Perppu Cipta Kerja Punya Manfaat ?


Walaupun kehadirannya mengundang banyak pertanyaan, kontroversi serta
permasalahan-permasalahan, seperti agraria, ketenagakerjaan, pendidikan, hingga kebebasan
sipil, akan tetapi kehadiran Perppu ini dianggap membawa banyak implikasi positif untuk
perkembangan ekonomi khususnya di bidang UMKM dan juga kancah perekonomian negara.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto,
hadirnya Perppu Ciptaker ini akan memberikan kepastian hukum. Pemerintah mendorong
investasi dan juga untuk menggerakan UMKM yang sebelumnya di sektor informal menjadi
sektor formal, sertifikasi halal juga dipermudah. Kemudian berbagai kebijakan yang fleksibel
di ketenagakerjaan.
Selaras dengan itu Teuku Riefky selaku Ekonom Makroekonomi dan Keuangan
dari Lembaga Penyelidik Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia menilai
bahwa kehadiran Perppu Ciptaker akan berdampak signifikan pada perekonomian kita kalau
kita lihat dari poin-poin yang ada di sana. Menurut Teuku, beragam aturan yang ada di dalam
produk hukum tersebut dapat merangsang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan syarat,
implementasi dari UU Cipta Kerja itu bisa segera dilakukan dengan baik dan konsisten.
Dengan adanya kepastian hukum akan memberi kepercayaan para investor untuk
menanamkan modalnya, sehingga akan mendorong terciptanya lapangan kerja di Indonesia.
Banyak kemudahan juga yang diberikan kepada masyarakat untuk membangun usaha, seperti
kemudahan perizinan dan pembentukan badan usaha, stimulus, kemudahan bagi UMKM, serta
pemberian dan percepatan sertifikasi halal yang diperlukan oleh para pelaku usaha.

3. Akrobat Hukum, DPR Selalu Jadi Lembaga Stempel


Meski terdapat unsur positif Perppu Ciptaker juga menghadirkan banyak kejanggalan
lain, apabila menilik Pasal 22 UUD NRI tahun 1945 yang kembali ditegaskan dalam Undang
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022.
Penjelasan Pasal 52 ayat (1) tersebut, “Yang dimaksud dengan ‘persidangan yang
berikut’ adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang ditetapkan”. Akan tetapi, pada faktanya, perppu ditetapkan pada 30 Desember 2022,
yang mana Masa Sidang III Tahun Sidang 2022-2023 telah dimulai sejak 10 Januari dan
berakhir pada 16 Februari 2023, selama itu pula telah terjadi 3 kali rapat paripurna DPR, dan
belum ada ditemukan pembahasan mengenai pengesahan Perppu Ciptaker tersebut menjadi
Undang-Undang.
Terkait hal ini, Mantan Hakim MK, Jimly Asshiddiqie, berkata bahwa hadirnya
Perpu Cipta Kerja melanggar prinsip negara hukum dan menjadi contoh produk hukum yang
dibuat untuk kepentingan kekuasaan. Ketidakpatuhan penguasa negara terhadap MK semakin
memperlihatkan perilaku DPR dan Presiden yang senang melakukan akrobat hukum yang sarat
akan kepentingan politik, tidak akan pernah bisa menjadi solusi, selain menambah amburadul
dan rusaknya mekanisme pembentukan perundang-undangan kita. Selain itu, mereka yang
melakukan akrobat hukum juga tidak boleh terus duduk di DPR RI karena akan melanggengkan
legislatif sebagai lembaga stempel.

4. Akal-akalan, Cacat Secara Formil dan Materil


Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga
menilai banyaknya penolakan perppu tersebut wajar karena sejak awal memang sudah
bermasalah. Di sisi lain, pemerintah dinilai belum melaksanakan keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK). Namun, tiba-tiba menyerahkan Perppu Ciptaker kepada DPR. Celakanya,
DPR pun menerimanya dengan senang hati dan membahasnya secara tertutup. Pemangku
kepentingan praktis tidak dilibatkan.
Selain ketidaksesuaian antara objektivitas keadaan dan dasar-dasar penerbitan suatu
perppu, banyak permasalahan dalam pembuatan perppu ini baik dari segi formil (prosedural)
dan materiil (substansial). Dari segi formil, pemerintah dalam menyusun peraturan ini tidak
membuka ruang perihal keikutsertaan masyarakat. Dalam menyusun suatu peraturan
perundang-undangan, pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus sesuai dengan asas
keterbukaan yang menyatakan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Dalam proses pembuatan Perppu Ciptaker, pemerintah tidak mempunyai inisiatif untuk
memangku keterlibatan masyarakat dengan tidak membuka ruang sosialisasi bagi masyarakat.
Perppu ini juga tidak mengindahkan putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang
mengamanatkan pemerintah untuk menghadirkan partipasi yang bermakna (meaningful
participation). Dari segi materiil, banyak muatan pasal yang bermasalah. Pasal-pasal yang
mengundang kontroversi mayoritas terletak pada isu ketenagakerjaan isu pendidikan, isu
agraria hingga kebebasan sipil.

5. Obral Kepentingan Demi Oligarki


Pemerintah terus memaksakan keabsahan UU Cipta Kerja melalui penerbitan
Perppu Cipta Kerja demi membuka keran liberalisasi di berbagai sektor. Kesesatan sistem
hukum dan bernegara ditunjukkan pemerintah tanpa malu-malu demi memenuhi
kepentingan elit bisnis dan politik. Praktik pembangkangan konstitusi, prinsip-prinsip
demokrasi dan negara hukum oleh presiden dan DPR RI terkait penerbitan Perppu Ciptaker
ini, serta lahirnya berbagai kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat, penerbitan
Perppu Ciptaker sangat jelas menunjukkan konsistensi kesewenang-wenangan
pemerintahan Presiden Jokowi dalam memfasilitasi kepentingan oligarki, investor dan
pemodal.
Hal ini semakin memperlihatkan bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja tak lain dan
tak bukan merupakan bentuk “pelecehan konstitusi” yang didalangi oleh pemerintah.
Secara membabi buta, pemerintah mengibuli rakyat dengan menjadikan alasan
“kegentingan” sebagai alat untuk melegitimasi lahirnya Perppu Cipta Kerja. Hukum yang
semestinya menjadi norma justru dikebiri. Konstitusi yang semestinya menjadi
staatsfundamentalnorm justru mengkerdil tanpa arah. Lantas menjadi sebuah pertanyaan,
sebenarnya makna “genting” seperti apa yang dimaksud pemerintah? Genting bagi siapa?
Rakyat, kah? atau justru “genting” bagi pejabat yang merangkap sebagai pengusaha?
Perlu disadari bersama kehadiran Perppu Cipta Kerja, nyatanya telah mengancam
berbagai sektor kehidupan rakyat, mulai dari buruh, mahasiswa dan masyarakat rentan di
wilayah perkotaan hingga petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan di wilayah pedesaan
dan pelosok negeri.

6. Pendidikan Ladang Pencerdasan atau Ladang Bisnis?


Mengacu pada Undang-Undang Cipta Kerja yang termuat pada bagian keempat
mengenai penyederhanaan perizinan berusaha sektor serta kemudahan dan persyaratan
investasi khususnya pada Pasal 65 memberikan suatu kontradiksi dari pemahaman makna yang
diberikan. Fokus dari muatan ini memberikan suatu indikasi bahwasannya pendidikan menjadi
asset serta ruang dalam mencari keuntungan. Sedangkan, hakikat dari pendidikan itu sendiri
secara fundamental harus terlepas tanpa adanya liberalisasi dan komersialiasi di dalamnya.
Pendidikan menjadi skala prioritas dalam konstitusi karena ketika wacana restorasi pendidikan
direalisasikan, maka nilai-nilai lokal serta eksistensi dari tujuan pendidikan tidak boleh satupun
dicederai. Hal ini menjadi tamparan keras bagi pemangku kepentingan agar bisa memproteksi
pendidikan dari berbagai dalih-dalih yang mengancam denasionalisasi pendidikan dari
neoliberalisme.
Namun, lagi-lagi pemangku kebijakan tidak merumuskan secara kolektif dari tujuan
pasal ini yang sebenarnya. Mengapa tidak? Jelas ini bertentangan terhadap UU Sisdiknas dalam
ketentuan persyaratan izin satuan pendidikan yang dapat mengartikulasikan bahwa klaster
pendidikan yang berkategori “perizinan berusaha” dalam ruang lingkup “prinsip nirlaba” tidak
adanya aturan yang mengikat satu sama lain antara UU Sisdiknas vs UU Cipta Kerja. Oleh
karena itu, ini menjadi sangat berbahaya jika ruang pendidikan ber-orientasi tanpa adanya
check and balance pada keuntungan semata yang dimanfaatkan investor dalam privatisasi
pendidikan.

7. Resentralisasi Berkedok Otonomi Daerah


Implementasi otonomi daerah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada daerah
dalam merumuskan serta menjalankan good governance sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Namun, dengan eksisnya UU Cipta Kerja memberikan diskresi dalam
penyempitan daripada otonomi daerah itu sendiri. Sejalan dengan hal tersebut, suatu
pernyataan dilontarkan oleh Herman N Suparman seorang Direktur Analisis Kebijakan
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) yang mengatakan bahwa UU
Cipta Kerja ini secara prerogatif mengambil hak-hak istimewa daripada kewenangan daerah
kembali pada pemerintahan pusat. Secara eksplisit hal tersebut menuai kecaman oleh beberapa
pihak. Mengapa demikian? Hal tersebut bertentangan pada rambu-rambu Pasal 18 ayat (5)
UUD NRI 1945 yang menjelaskan bahwa hak prerogatif daripada otonomi daerah harus
dijalankan seluas-luasnya bukan dipangkas dari kewenangannya yang ada.
Momentum resentralisasi ini terlihat ketika beberapa pasal mengalami perubahan yang
di dalamnya terdapat unsur terselubung dalam membatasi kewenangan daerah yang sejatinya
menghilangkan marwah political will. Bukan hanya itu, praksis daripada resentralisasi sangat
mencederai konsep otonomi daerah dan semangat juang reformasi dalam mengaktualisasikan
kebebasan kewenangan yang seluas-luasnya sehingga perlu adanya perbaikan pasal-pasal yang
menjadi tolak ukur dari berkurangnya mekanisme check and balance. Terlebih, pemerintah
pusat tidak memahami kebutuhan serta karakteristik daerah.

8. Beberapa Pasal Yang Bermasalah


Sektor Agraria
a. Pasal 125-135 Perppu Cipta Kerja
Pasal 125 berbunyi :
(1) Pemerintah Pusat membentuk badan bank tanah.
(2) Badan bank tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan
khusus yang mengelola tanah.
(3) Kekayaan badan bank tanah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.
(4) Badan bank tanah berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan,
pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.
Pasal ini menjelaskan masalah bank tanah akan tetapi poinnya masih sama
dengan UU Cipta Kerja. Dalam Perppu Cipta Kerja, bank tanah persis seperti
lembaga penyedia tanah bagi pelaku usaha dan menyelewengkan reforma agraria
sejati. Bank tanah sendiri merupakan lembaga yang mengembalikan praktik-
praktik penjajahan seperti domein verklaring dan menyimpangi hak menguasai dari
negara (HMN) melalui Hak Pengelolaan (HPL). Maka model dan cara kerja bank
tanah bertentangan dengan konstitusi dan UUPA 1960. Bank tanah menjadi
penjamin ketersediaan tanah bagi perusahaan tidak dapat diragukan lagi. Sebab
99% pasal di dalamnya dibuaat untuk melayani pengusaha, bahkan dapat
dipergunakan sebagai cara untuk memutihkan konsesi korporasi yang bermasalah
seperti beroperasi tanpa izin/hak atas tanah, telah kadaluarsa, ditelantarkan, dan
menimbulkan konflik agraria serta kerusakan lingkungan, bahkan melegalkan hak
atas tanah yang diterbitkan dengan cara-cara yang koruptif.
Sektor Ketenagakerjaan
b. Pasal 58 Ayat 1 dan Pasal 59 ayat 1
Pasal 58 ayat 1 berbunyi :
“(1) Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja.”
Pasal ini menjelaskan Perjanjian Tentang Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) tidak dapat mensyaratkan masa percobaan kerja.
Pasal 59 ayat 1 berbunyi :
”(1) Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam
waktu tertentu, yaitu sebagai berikut:
a. pekedaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
c. pekerjaan yang bersifat musiman;
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.”
PKWT Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan
sifatnya ataupun kegiatan pekerjaan yang akan selesai dalam waktu tertentu. Hal ini
tentu menimbulkan kontroversi karena tidak ada batasan aturan seorang pekerja bisa
dikontrak, akibatnya bisa saja pekerja kontrak seumur hidup.

c. Pasal 156
Pasal ini menghapus pasal 164 UU Ketenagakerjaan, dan membuat
berubahnya uang pesangon sesuai masa kerja. Perhitungan mengenai pesangon
merupakan perhitungan yang dibulatkan bukan sebagai batas minimal.

d. Pasal 77
Pasal 77 ayat 1 dan ayat 2 :
(1) Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. 7 (tujuh) jam 1
(satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)
jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Dari pasal tersebut menimbulkan suatu polemik yang sebagaimana memunculkan
suatu diskriminasi terkait ketentuan waktu bekerja serta tidak dibahas secara
jelasnya yang lebih komprehensif.

e. Pasal 64 ayat 1
Pasal 64 ayat 1 berbunyi :
“(1) Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
Perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.”
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lain melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis. Pasal ini membuat
tidak adanya batasan jenis pekerjaan outsourcing. Ketidakpastian nasib
pekerja/buruh sehubungan dengan pekerjaan outsourcing tersebut, tidak memberi
jaminan kepastian bagi pekerja/buruh outsourcing untuk bekerja dan mendapatkan
imbalan serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja dan tidak adanya
jaminan bagi pekerja untuk mendapat hak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan, sehingga esensi utama dari hukum perburuhan to protect
the workers/laborers terabaikan.

f. Pasal 79 ayat 2
Pasal 79 ayat 2 berbunyi :
“(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan
kepada Pekerja/Buruh paling sedikit meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4
(empat) jam terus menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerj a;
dan
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu.
Tidak seperti pada aturan sebelumnya yang juga menyebutkan istirahat dengan
sistem 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja, aturan ini memangkas hak libur para
pekerja menjadi hanya sehari dalam sepekan, memang dalam narasinya terdapat
diksi “paling sedikit” namun tanpa adanya patokan yang jelas tentu aturan ini
menjadi alat legalitas para oligarki untuk memangkas hak para tenaga kerja. Selain
itu, pasal ini juga dinilai tidak sinkron dengan pasal 77 yang membagi hari kerja ke
dalam 5 (lima) dan 6 (enam) hari kerja.

g. Pasal 88 D ayat 2, 3 dan Pasal 88 F


Pasal 88D ayat 2 dan 3 berbunyi :
“(2) Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai formula penghitungan Upah minimum diatur
dalam Peraturan Pemerintah.”
Upah minimum akan mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi,
inflasi, dan indeks tertentu. Ketidakjelasan variabel “indeks tertentu” berpotensi
pada formula penetapan UMP bisa berubah kapan saja.
Pasal 88F berbunyi :
“Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah
minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).”
Selanjutnya pada Pasal 88F diperbolehkan adanya perubahan susunan
perhitungan upah minimum dalam keadaan tertentu tanpa ada penjelasan lanjutan.
Tentu ini menjadi pemaknaan yang syarat subjektivitas, lebih lagi dapat dijadikan
sebagai alat penindas tenaga kerja.

Sektor Pendidikan
h. Pasal 65
Pasal 65 berbunyi :
“(1) Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang ini.”
Pada paragraf 12 Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 65, pemerintah
memberikan perizinan pada pelaksanaan sektor pendidikan dapat dilakukan melalui
perizinan berusaha. Hal ini akan memiliki efek panjang, salah satu dampaknya akan
membuat kampus untuk berlomba bertransformasi menjadi kampus PTNBH
atau modeling corporate university dan negara akan mulai melepaskan tanggung
jawab pembiayaan dan memberikan wewenang kepada kampus untuk mencari
pendanaannya sendiri. Disanalah transaksional profesor kehormatan, honoris causa,
kemitraan, dosen NIDK menjadi lahan pencarian profit dan bargaining politik.
Seperti yang terjadi terhadap kampus-kampus yang telah menerapkan PTNBH.

Kesimpulan
Perppu Ciptaker adalah sebuah peraturan yang meliputi pembahasan dari berbagai
bidang dan bertujuan untuk meminimalisir peraturan yang tumpang tindih serta mejadi payung
hukum yang mengisi permasalahan-permasalahan yang masih mengalami ketidakpastian akan
landasannya. Namun, masih banyak kekurangan yang meliputi mulai dari proses inisiasi
perencanaan hingga penetapan perppu menjadi dasar hukum bagi masyarakat.
Penerbitan Perppu Cipta Kerja terbukti digenting-gentingkan dan dipaksakan
keberlakuannya. Perppu Cipta Kerja merupakan hasil akrobat pemerintah untuk lari dari
Putusan MK 91, yang pada akhirnya membuat mereka membangkang dari konstitusi
setelah sebelumnya presiden dan DPR melawan hukum menyusun UU Cipta Kerja dengan
proses yang tertutup, hingga akhirnya diputus inkonstitusional bersyarat dan harus
diperbaiki baik formil maupun materiilnya secara partisipatif bermakna.
Dengan dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja ini dapat berdampak pada
pesangon/upah/uang penggantian hak yang diterima oleh tenaga kerja atau serikat buruh.
Perppu Cipta Kerja juga telah mengubah Pasal 157 ayat (3) dari UU Ketenagakerjaan yang
berarti pekerja/buruh bisa mendapatkan upah kurang dari ketentuan upah minimum
provinsi atau kabupaten/kota. Perppu Cipta Kerja juga menghapus Pasal 160 ayat (7),
Pasal 161 - 172 dari UU Ketenagakerjaan yang berarti pengusaha tidak wajib membayar
pesangon/upah/penggantian hak kepada pekerja/buruh yang mengalami PHK, bahkan
mempengaruhi sektor agraria dan juga pendidikan tinggi.
Alih-alih manut terhadap MK, pemerintah dan DPR RI justru menunjukkan
Ketidakpatuhan terhadap MK, sehingga semakin memperlihatkan perilaku DPR dan presiden
yang senang melakukan akrobat hukum yang sarat akan kepentingan politik, tidak akan pernah
bisa menjadi solusi, selain menambah amburadul dan rusaknya mekanisme pembentukan
perundang-undangan kita. Adapun kekosongan hukum yang menjadi salah satu alasan
subjektif presiden sehingga menimbulkan terjadinya kegentingan memaksa menurut
Putusan MK Nomor 138/PUU-VIII/2009 sejatinya tidak berlaku dalam penerbitan Perppu
Cipta Kerja. Lantas, dapat ditegaskan bahwa Perppu Cipta Kerja merupakan produk
hukum cacat buatan pemerintah
Daftar Referensi
FH UI. ”Perppu Cipta Kerja: Kado Akhir Tahun yang Tak Diinginkan”
https://law.ui.ac.id/perppu-cipta-kerja-kado-akhir-tahun-yang-tak-diinginkan-oleh-ghunarsa-
sujatnika/. Diakses 20 Maret 2023.
Ekonomi Bisnis.com. Celios: Perppu Cipta Kerja Tak Jamin Dongkrak Investasi.
https://ekonomi.bisnis.com/read/20230223/12/1630900/celios-perppu-cipta-kerja-tak-jamin-
dongkrak-investasi. Diakses 20 Maret 2023.
Hsb, A. M. (2017). Jurnal Legislasi Indonesia. Kegentingan Yang Memaksa Dalam
Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Compelling Circumstances
Of The Enactment Government Regulation In Lieu Of Law), 14 (1), 109-122. Diakses 20 Maret
2023.
Populis ID. “Kritik Perppu Cipta Kerja: Seakan-akan Mengangkangi Putusan MK.”.
https://populis.id/read45754/zainal-arifin-mochtar-kritik-perppu-cipta-kerja-seakan-akan-
mengangkangi-putusan-mk. Diakses pada 20 Maret 2023.
BBC News. “Enam Pasal Perppu Cipta Kerja Dinilai Ciptakan ‘Ketidakpastian
Hukum’: Penentuan Upah Minimum Hingga Pekerja Alih Daya.”.
https://www.bbc.com/indonesia/articles/c893j8qdwj9o. Diakses 20 Maret 2023.
Walhi. ”Perppu Cipta Kerja Batal Demi Hukum, Sudahi Praktik Pembangkangan
Terhadap Demokrasi dan Konstitusi.”. https://www.walhi.or.id/perppu-cipta-kerja-batal-demi-
hukum-sudahi-praktik-pembangkangan-terhadap-demokrasi-dan-konstitusi. Diakses 21 Maret
2023.
Tirto ID. “Perppu Cipta Kerja Jadi UU, DPR Disebut seperti Lembaga Stempel.”.
https://tirto.id/perppu-cipta-kerja-jadi-uu-dpr-disebut-seperti-lembaga-stempel-gDVF.
Diakses 21 Maret 2023
Indonesia. Badan Pusat Statistik. (2023). BERITA RESMI STATISTIK No. 15/02/Th.
XXVI. https://www.bps.go.id/pressrelease/2023/02/06/1997/ekonomi-indonesia-tahun-2022-
tumbuh-5-31-persen.html. Diakses 21 Maret 2023.
Mahkamah Konstitusi. (2009). PUTUSAN Nomor 138/PUU-VII/2009 DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1].
https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_Perkara%20Nomor
%20138-PUU-VII-2009.pdf. Diakses 21 Maret 2023.
Mpr. go. Id. “Gagal Disetujui DPR dan Kehilangan Relevansi, Wakil Ketua MPR:
Sesuai UUD, Perppu Ciptaker Harusnya Dicabut.” https://www.mpr.go.id/berita/Gagal-
Disetujui--DPR-dan-Kehilangan-Relevansi,-Wakil-Ketua-MPR:-Sesuai-UUD,-Perppu-
Ciptaker-Harusnya-Dicabut. Diakses 21 Maret 2023.
FORMAH PK. “Perppu Ciptaker; Kegentingan atau Kelicikan?”
http://formahpk.hukum.ub.ac.id/perppu-ciptaker-kegentingan-atau-kelicikan/. Diakses 21
Maret 2023.
Kumparan. “Perjalanan Panjang Perpu Cipta Kerja yang Baru Saja Disahkan Jadi
UU” https://kumparan.com/tanaya/perjalanan-panjang-perpu-cipta-kerja-yang-baru-saja-
disahkan-jadi-uu-203iNXrZRb1/1. Diakses 21 Maret 2023.
Kumparan. “Perppu Cipta Kerja, Memperbaiki Masalah atau Lari dari Masalah?”.
https://kumparan.com/abdalhaqqms/perppu-cipta-kerja-memperbaiki-masalah-atau-lari-dari-
masalah-1zy5JaYCZXu. Diakses 21 Maret 2023
J.D.I.H. - Undang Undang Dasar 1945 - Dewan Perwakilan Rakyat. (n.d.). DPR RI.
from https://www.dpr.go.id/jdih/uu1945. Diakses 21 Maret 2023.
Mahkamah Konstitusi RI. (2021). MK: Inkonstitusional Bersyarat, UU Cipta Kerja
Harus Diperbaiki dalam Jangka Waktu Dua Tahun | Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia. https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17816. Diakses 21 Maret
2023.
Merdeka.com. “Sederet Manfaat Perppu Cipta Kerja, Termasuk Ciptakan Lapangan
Kerja Baru” https://www.merdeka.com/uang/sederet-manfaat-perppu-cipta-kerja-termasuk-
ciptakan-lapangan-kerja-baru.html. Diakses 22 Maret 2023
Universitas Islam Indonesia. “Dosen UII Berikan Pandangan Mengenai Perppu Cipta
Kerja”. https://www.uii.ac.id/dosen-uii-berikan-pandangan-mengenai-perppu-cipta-kerja/.
Diakses 22 Maret 2023.
Kemenag.go.id. “Perpu Cipta Kerja Disahkan Jadi UU, UMKM Makin Mudah Proses
Sertifikasi Halal”. https://kemenag.go.id/read/perpu-cipta-kerja-disahkan-jadi-uu-umkm-
makin-mudah-proses-sertifikasi-halal. Diakses 22 Maret 2023.
UGM. “Pakar UGM Soroti Pro Kontra UU Cipta Kerja”
https://www.ugm.ac.id/id/berita/20184-pakar-ugm-soroti-pro-kontra-uu-cipta-kerja. Diakses
22 Maret 2023.
Hukum Online. “Melihat Dampak Perppu Cipta Kerja Bila Disetujui Jadi UU”.
https://www.hukumonline.com/berita/a/melihat-dampak-perppu-cipta-kerja-bila-disetujui-
jadi-uu-lt63ecb62b7cc38/. Diakses 23 Maret 2023.
Media Indonesia. “UU Cipta Kerja Beri Dampak Positif bagi Perekonomian”.
https://mediaindonesia.com/ekonomi/567901/uu-cipta-kerja-beri-dampak-positif-bagi-
perekonomian. Diakses 23 Maret 2023.
Mahkamah Konstitusi RI. (2020). “UU Cipta Kerja Dituding Jadikan Pendidikan
sebagai Ladang Bisnis”.
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16739&menu=2. Diakses 24 Maret
2023.
Medcom.id. “Mengupas Pasal Tentang Pendidikan di UU Cipta Kerja”.
https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/ZkeYwDOk-mengupas-pasal-tentang-
pendidikan-di-uu-cipta-kerja?p=3. Diakses 24 Maret 2023.
detikNews. “Mewaspadai Pasal Pendidikan UU Cipta Kerja”.
https://news.detik.com/kolom/d-5230609/mewaspadai-pasal-pendidikan-uu-cipta-kerja.
Diakses 24 Maret 2023.

Anda mungkin juga menyukai