Anda di halaman 1dari 6

PENGESAHAN PERPPU NO.

2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA

Latar Belakang

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau biasa disebut dengan PERPPU


merupakan sebuah akronim dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Perppu juga
merupakan suatu produk hukum yang diterbitkan oleh presiden dengan beberapa prosedur.
Syarat pembentukan PERPPU sudah diatur dalam pasal 22 UUD NRI 1945 yang menyatakan
bahwa:

1) Dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan


pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
persidangan yang berikut
3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Pada tanggal 30 Desember 2022 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Pada akhir tahun
2022 Presiden secara resmi meneken Perppu tersebut. Padahal, Mahkamah Konsitusi (MK)
melalui putusan No.91/PUU-XVII/2020 memutuskan bahwa UU Cipta Kerja merupakan
inkonstitusional bersyarat, dan didalam putusan itu juga ditegaskan bahwa pembentuk Undang-
Undang harus melakukan perbaikan dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan
diucapkan. Perbaikan Undang-Undang harus dilakukan dengan cara yang benar dan dengan
partisipasi bermakna, bukan melalui Perppu yang tak partisipatif.

Undang-Undang ini baru bisa dianggap konstitusional bersyarat selama UU Cipta Kerja
tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan memenuhi persyaratan lainnya yang semuanya telah
ditetapkan oleh MK. Menurut Pasal 22 ayat 1 UUD NRI 1945, Perppu hanya bisa disahkan
apabila ada hal yang genting dan mendesak (Humas FHUI, 2023)

Segala permasalahan mengenai Perppu No.2 Tahun 2022 tidak terlepas dari putusan MK
No.91/PUU-XVII/2020 tentang pembatalan secara formil UU Cipta Kerja. Apakah tepat
pelaksanaan dari putusan MK dengan penerbitan Perppu yang dilakukan oleh pemerintah?

Hal utama yang membuat UU Cipta Kerja dibatalkan adalah karena MK menimbang
bahwa tata cara pembentukan dari UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan asas dan tata cara
pembuatan peraturan perundan-undangan yang telah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011, yang
dimana didalam aturan tersebut tertulis bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan harus ada asas keterbukaan dan “partisipasi bermakna”. Namun, dalam pembentukan
UU Cipta Kerja, nihil akan partisipasi publik.
Mahkamah Konstitusi juga sudah memberikan kesempatan kepada pembuat UU untuk
dapat membuat UU Cipta Kerja yang baru dalam kurun waktu maksimal 2 tahun yang sesuai
dengan UU No.13 Tahun 2022. Bukannya membuat UU baru, Presiden malah menerbitkan
Perppu No.2 Tahun 2022 sebagai jalan pintas untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang telah
dibatalkan oleh MK. Hal ini dapat dinilai sebagai pembangkangan atas putusan lembaga
peradilan dan mengabaikan prinsip dasar demokrasi.

Namun, pada hari Selasa, 21 Maret 2023 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi
mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) menjadi Undang-Undang. Pengesahan Perppu ini
memperlihatkan sikap pembangkangan, pengkhianatan, dan pelecehan terhadap konstitusi.

Pemerintah menerbitkan Perppu dengan berdalih berdasar pada pasal 22 ayat (1) UUD
NRI 1945. Setidaknya ada empat alasan pemerintah dalam menerbitkan Perppu ini, diantaranya:
1. Jumlah angkatan kerja pada Februari 2022 sebanyak 144,01 juta orang atau naik 4,20
juta orang disbanding Februari 2021.
2. Penduduk yang bekerja sebanyak 135,61 juta orang, dimana 81,33 juta orang alias
59,97 persen bekerja pada kegiatan informal.
3. Pandemi covid-19 berdampak pada 11,53 juta orang 5,53 persen penduduk usia kerja
4. Dibutuhkan kenaikan upah yang pertumbuhannya sejalan dengan pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan produktivitas pekerja.
Pemerintah Joko Widodo menganggap bahwa masalah pertumbuhan ekonomi di Indonesia
adalah investasi yang rendah. Investasi yang rendah disebabkan oleh ketatnya regulasi sehingga
harus ada hukum yang dapat mempercepat investasi.

Dari beberapa alasan tersebut bukan berarti dapat melanggengkan Perppu ini secara ugal-
ugalan dan kondisi saat inipun tidak ada menunjukkan desakan dari berbagai lapisan masyarakat
agar Presiden mengeluarkan Perppu terkait Cipta Kerja, mengingat beberapa tahun belakangan
terdapat banyak sekali protes dan penolakan dari berbagai lapisan masyarakat dalam menolak
aturan yang dinilai dapat merugikan masyarakat kecil dan hanya mementingkan oligarki saja.
Sehingga, kondisi saat ini menunjukkan bahwa pembentukan UU harus dilaksanakan
sebagaimana yang telah diamanatkan oleh konstitusi.

Pembahasan

1. Mengenai upah minimum dan pengupahan


Pasal 88
(3) Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. Upah minimum;
b. Struktur dan skala Upah;
c. Upah kerja lembur;
d. Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan
tertentu;
e. Bentuk dan cara pembayaran Upah;
f. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah;
g. Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Pada UU Cipta kerja pasal 88 ayat (3) ini merupakan pangkasan dari UU
Ketenagakerjaan yang kebijakan pengupahannya terdiri dari: 1) Upah minimum; 2)
Upah lembur; 3) Upah tidak masuk kerja karena berhalangan; 4) Upah tidak masuk
kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; 5) Upah karena
menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; 6) Bentuk dan cara pembayaran upah; 7)
Denda dan potongan upah; 8) Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; 9)
Struktur dan skala pengupahan yang proporsional; 10) Upah untuk pembayaran
pesangonl dan 11) Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Tidak terdapat penjelasan yang memadai mengenai alasan pemangkasan
kebijakan pengupahan di UU Cipta Kerja. Sebagai contoh, mengapa kebijakan
pengupahan terkait upah untuk pembayaran pesangon harus dihapuskan, padahal
hal ini sangatlah relevan bagi kepentingan pekerja

Pasal 88C
(1) Gubernur wajib menetapkan Upah minimum provinsi.
(2) Gubernur dapat menetapkan Upah minimum kabupaten/kota.
UU Cipta Kerja hanya memberikan kewajiban penetapan upah minimum di tingkat
provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten/kota sifatnya adalah opsional atau pilihan.
Padahal, upah minimum provinsi adalah upah minimum terendah diantara
keseluruhan upah minimum kabupaten/kota yang ada dalam provinsi tersebut. Hal
ini dikarenakan ketentuan bahwa upah minimum kabupaten/kota wajib ditetapkan
lebih tinggi dari upah minimum provinsi. Artinya, upah minimum provinsi bisa jadi
tidak representatif terhadap kebutuhan hidup layak di suatu kabupaten/kota, karena
adanya kemungkinan disparitas kondisi sosial-ekonomi antara kabupaten/kota di
suatu provinsi.

Pasal 88D
(2) Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Dalam pasal 88D ayat 2 terdapat redaksi “indeks tertentu” hal ini tidak dijelaskan
ukurannya dan batasannya apa, sehingga bisa jadi pasal karet karena tidak ada
ukuran yang jelas.

Pasal 88F
Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah
minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).
Redaksi “keadaan tertentu” rancu karena tidak ada alat ukur yang jelas dalam
menyatakan hal tersebut dan juga menurut pasal 88F seakan-akan memberikan
peluang bagi pemerintah untuk mengubah perhitungan upah kapan saja.

Pasal 90B
(1) Ketentuan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan
ayat (2) dikecualikan lagi usaha mikro dan kecil.
(2) Upah pada usaha mikro dan kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara
Pengusaha dan Pekerja/ Buruh di Perusahaan.
(3) Kesepakatan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
sebesar persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data
yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Upah bagi usaha mikro dan kecil diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Tidak adanya kontrol pemerintah dalam penentuan upah pada UMK justru
menghilangkan esensi jaring pengaman upah minimum itu sendiri. Upah UMK
diserahkan pada mekanisme kesepakatan pekerja dan pengusaha sebagaimana ayat
(2) sehingga tidak akan cukup memberikan perlindungan hukum bagi pekerja,
karena fakta mendasar dalam hubungan kerja bahwa ada hubungan yang tidak
setara antara pekerja dan pengusaha. Hal ini hanya akan menghasilkan upah
rendah yang merugikan pekerja UMK dan jauh dari tujuan UU Cipta Kerja untuk
melindungi pekerja UMK itu sendiri.

2. Mengenai waktu kerja


Pasal perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
Sebelumnya ketentuan jangka waktu PKWT telah diatur dalam UU ketenagakerjaan
pasal 59 tetapi pada UU Cipta Kerja menghapus ketentuan batas waktu PKWT
tersebut. Hal ini dikhawatirkan berpotensi menimbulkan masalah bagi para buruh.

Pasal ketentuan hak libur


UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 79 ayat (2) huruf (b) yang menyebutkan: istirahat
mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua)
hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Pada UU Cipta Kerja hak libur yang telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003
Pasal 79 ayat 2 tentang Ketenagakerjaan dihapuskan. Padahal hak libur adalah hak
yang paling fundamental bagi para pekerja.
3. Mengenai PHK
Pasal 151
(2). Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan
Pemutusan Hubungan Kerja diberitahukan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh
dan/atau Serikat Pekerja/ Serikat Buruh.
Ayat ini memunculkan kekhawatiran adanya kemungkinan PHK sepihak karena PHK
cukup dilakukan melalui pemberitahuan dari pengusaha tanpa harus didahului
dengan perundingan sebelumnya.Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, potensi
kesewenang-wenangan pengusaha dalam melakukan PHK dibatasi oleh ketentuan
bahwa PHK wajib didahului dengan perundingan dan hanya bisa dilakukan setelah
ada penetapan penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI). Dalam UU
Cipta Kerja, perlindungan ini menguap karena Pasal 151 ayat (2) membuka
kemungkinan PHK dilakukan hanya melalui pemberitahuan sepihak dari pengusaha
ke pekerja.

4. Mengenai Sektor Lingkungan


Pasal 162
Setiap Orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari
pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah memenuhi syaratsyarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70, Pasal 86F huruf b, dan Pasal 136 ayat (21 dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
Redaksi “merintangi atau mengganggu kegiatan” tidak jelas dan tidak terukur, pasal ini
dapat dikhawatirkan menjadi alat kriminalisasi bagi masyarakat atau aktivis yang menolak
usaha pertambangan.

Pasal 25
Dokumen Amdal memuat:
a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan;
c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang
relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan;
d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika
rencana usaha dan/ atau kegiatan tersebut dilaksanakan;
e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan
kelayakan atau ketidaklayakan Lingkungan Hidup;
f. rencana pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup.
Pada pasal ini terlihat memangkas partisipasi masyarakat dalam penyusunan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dimana hanya melibatkan
masyarakat yang terdampak langsung.

Anda mungkin juga menyukai