Latar Belakang
Undang-Undang ini baru bisa dianggap konstitusional bersyarat selama UU Cipta Kerja
tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan memenuhi persyaratan lainnya yang semuanya telah
ditetapkan oleh MK. Menurut Pasal 22 ayat 1 UUD NRI 1945, Perppu hanya bisa disahkan
apabila ada hal yang genting dan mendesak (Humas FHUI, 2023)
Segala permasalahan mengenai Perppu No.2 Tahun 2022 tidak terlepas dari putusan MK
No.91/PUU-XVII/2020 tentang pembatalan secara formil UU Cipta Kerja. Apakah tepat
pelaksanaan dari putusan MK dengan penerbitan Perppu yang dilakukan oleh pemerintah?
Hal utama yang membuat UU Cipta Kerja dibatalkan adalah karena MK menimbang
bahwa tata cara pembentukan dari UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan asas dan tata cara
pembuatan peraturan perundan-undangan yang telah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011, yang
dimana didalam aturan tersebut tertulis bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan harus ada asas keterbukaan dan “partisipasi bermakna”. Namun, dalam pembentukan
UU Cipta Kerja, nihil akan partisipasi publik.
Mahkamah Konstitusi juga sudah memberikan kesempatan kepada pembuat UU untuk
dapat membuat UU Cipta Kerja yang baru dalam kurun waktu maksimal 2 tahun yang sesuai
dengan UU No.13 Tahun 2022. Bukannya membuat UU baru, Presiden malah menerbitkan
Perppu No.2 Tahun 2022 sebagai jalan pintas untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang telah
dibatalkan oleh MK. Hal ini dapat dinilai sebagai pembangkangan atas putusan lembaga
peradilan dan mengabaikan prinsip dasar demokrasi.
Namun, pada hari Selasa, 21 Maret 2023 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi
mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) menjadi Undang-Undang. Pengesahan Perppu ini
memperlihatkan sikap pembangkangan, pengkhianatan, dan pelecehan terhadap konstitusi.
Pemerintah menerbitkan Perppu dengan berdalih berdasar pada pasal 22 ayat (1) UUD
NRI 1945. Setidaknya ada empat alasan pemerintah dalam menerbitkan Perppu ini, diantaranya:
1. Jumlah angkatan kerja pada Februari 2022 sebanyak 144,01 juta orang atau naik 4,20
juta orang disbanding Februari 2021.
2. Penduduk yang bekerja sebanyak 135,61 juta orang, dimana 81,33 juta orang alias
59,97 persen bekerja pada kegiatan informal.
3. Pandemi covid-19 berdampak pada 11,53 juta orang 5,53 persen penduduk usia kerja
4. Dibutuhkan kenaikan upah yang pertumbuhannya sejalan dengan pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan produktivitas pekerja.
Pemerintah Joko Widodo menganggap bahwa masalah pertumbuhan ekonomi di Indonesia
adalah investasi yang rendah. Investasi yang rendah disebabkan oleh ketatnya regulasi sehingga
harus ada hukum yang dapat mempercepat investasi.
Dari beberapa alasan tersebut bukan berarti dapat melanggengkan Perppu ini secara ugal-
ugalan dan kondisi saat inipun tidak ada menunjukkan desakan dari berbagai lapisan masyarakat
agar Presiden mengeluarkan Perppu terkait Cipta Kerja, mengingat beberapa tahun belakangan
terdapat banyak sekali protes dan penolakan dari berbagai lapisan masyarakat dalam menolak
aturan yang dinilai dapat merugikan masyarakat kecil dan hanya mementingkan oligarki saja.
Sehingga, kondisi saat ini menunjukkan bahwa pembentukan UU harus dilaksanakan
sebagaimana yang telah diamanatkan oleh konstitusi.
Pembahasan
Pasal 88C
(1) Gubernur wajib menetapkan Upah minimum provinsi.
(2) Gubernur dapat menetapkan Upah minimum kabupaten/kota.
UU Cipta Kerja hanya memberikan kewajiban penetapan upah minimum di tingkat
provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten/kota sifatnya adalah opsional atau pilihan.
Padahal, upah minimum provinsi adalah upah minimum terendah diantara
keseluruhan upah minimum kabupaten/kota yang ada dalam provinsi tersebut. Hal
ini dikarenakan ketentuan bahwa upah minimum kabupaten/kota wajib ditetapkan
lebih tinggi dari upah minimum provinsi. Artinya, upah minimum provinsi bisa jadi
tidak representatif terhadap kebutuhan hidup layak di suatu kabupaten/kota, karena
adanya kemungkinan disparitas kondisi sosial-ekonomi antara kabupaten/kota di
suatu provinsi.
Pasal 88D
(2) Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Dalam pasal 88D ayat 2 terdapat redaksi “indeks tertentu” hal ini tidak dijelaskan
ukurannya dan batasannya apa, sehingga bisa jadi pasal karet karena tidak ada
ukuran yang jelas.
Pasal 88F
Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah
minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).
Redaksi “keadaan tertentu” rancu karena tidak ada alat ukur yang jelas dalam
menyatakan hal tersebut dan juga menurut pasal 88F seakan-akan memberikan
peluang bagi pemerintah untuk mengubah perhitungan upah kapan saja.
Pasal 90B
(1) Ketentuan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan
ayat (2) dikecualikan lagi usaha mikro dan kecil.
(2) Upah pada usaha mikro dan kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara
Pengusaha dan Pekerja/ Buruh di Perusahaan.
(3) Kesepakatan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
sebesar persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data
yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Upah bagi usaha mikro dan kecil diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Tidak adanya kontrol pemerintah dalam penentuan upah pada UMK justru
menghilangkan esensi jaring pengaman upah minimum itu sendiri. Upah UMK
diserahkan pada mekanisme kesepakatan pekerja dan pengusaha sebagaimana ayat
(2) sehingga tidak akan cukup memberikan perlindungan hukum bagi pekerja,
karena fakta mendasar dalam hubungan kerja bahwa ada hubungan yang tidak
setara antara pekerja dan pengusaha. Hal ini hanya akan menghasilkan upah
rendah yang merugikan pekerja UMK dan jauh dari tujuan UU Cipta Kerja untuk
melindungi pekerja UMK itu sendiri.
Pasal 25
Dokumen Amdal memuat:
a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan;
c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang
relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan;
d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika
rencana usaha dan/ atau kegiatan tersebut dilaksanakan;
e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan
kelayakan atau ketidaklayakan Lingkungan Hidup;
f. rencana pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup.
Pada pasal ini terlihat memangkas partisipasi masyarakat dalam penyusunan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dimana hanya melibatkan
masyarakat yang terdampak langsung.