Anda di halaman 1dari 2

POLEMIK DIKELUARKANNYA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI

UNDANG – UNDANG NO.2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA

Peraturan Pemerintah Pengganti Pengganti Undang – Undang (Perpu) merupakan


suatu produk hukum yang diterbitkan oleh presiden dengan prosedur di luar kondisi
normal. Dikatakan demikian karena Perppu merupakan produk yang dikeluarkan
oleh eksekutif, tapi kedudukannya setara dengan undang-undang. Dalam hal ini,
perpu merupakan wewenang penuh presiden sebagaimana diatur dalam pasal 22
ayat (1) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945) yang menyebutkan “ Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang”.
Penegasan tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12
Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 dan
terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyatakan bahwa : “Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
Pada akhir tahun 2022, tepatnya tanggal 30 Desember 2022 Presiden Joko Widodo
menandatangani Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Dilansir dalam
Nasional.kontan.co.id (https://nasional.kontan.co.id/news/resmi-jokowi-terbitkan-
perppu-nomor-2-tahun-2022-gantikan-uu-cipta-kerja-ini-isinya), Perppu Nomor 2
Tahun 2022 tentang Cipta Kerja disampaikan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian Airlangga Hartarto, Jumat (30/12/2022), dalam keterangan pers
bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam)
Mahfud MD serta Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) 
Edward Omar Sharif Hiariej, di Kantor Presiden, Jakarta. “Hari ini telah diterbitkan
Perppu Nomor 2 Tahun 2022 dan tertanggal 30 Desember 2022,” ujar Airlangga.
Airlangga menegaskan, penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi
kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.
“Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait
dengan ekonomi, kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian
ancaman stagflasi,” ujar Airlangga.
Dalam penerbitan Perpu tersebut banyak terjadi polemik yang terjadi di masyarakat.
Kritik pun mulai bermunculan, terutama untuk klaster ketenagakerjaan mengingat
secara prosedur, undang – undang ini dibuat secara terburu – buru, penuh malprakik
dan tanpa melibatkan publik. Beberapa ahli dan juga akademisi berpendapat dalam
penerbitan ini, terutama presiden tidak memiliki itidak baik untuk mematuhi Putusan
MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang dalam amar putusanya memerintahkan untuk
memperbaiki UU cipta kerja yang dinyatankan inkonstitusional. Tetapi dalam hal ini,
pemerintah pengeluarkan perpu tersebut dengan alasan dalam keadaan darurat.
Ahli hukum tata negara Bivitri susanti menyatakan penerbitan perpu nomor 2 Tahun
2022 seharusanya dilakukan pemerintah jika benar – benar terjadi kegentingan yang
memaksa dan kristis, bukan memaksakan kegentingan. Tetapi apakah penerbitan
perpu ini dilakukan karena adanya kadaan darurat atau kegentingan memaksa ?,
jika merujuk pada putusan MK 138/PUU/VII/2009, keadaan tersebut meliputi (1)
adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat,
(2) UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, (3)
terjadinta kondisi kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU
secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama.
Dalam penerbitan perpu nomor 2 tahun 2022, banyak mengalami pro kontra dan
berdampak salah satunya terhadap pekerja perempuan. Tetapi, bukan hanya
pekerja perempuan saja, substansi uu cipta kerja merugikan semua pekerja,
terlepas dari gender apapun, mengingat posisi perempuan berada dilapisan sosial
rentan, dampak negatif dari undang – undang ini jauh lebih merugikan. Salah
satunya mengenai kebijakan untuk memperpanjang waktu kerja dan lembur serta
bersamaan memangkas waktu libur dengan mengingat perempuan berpedan ganda
dalam kerluarga. Hal ini mengakibatkan tenaga perempuan akan benar – benar
tereksploitasi. Selain itu, ada pula dampak dampak lain seperti berubahnya skema
perhitungan upah (upah minimum dihapus), cuti panjang di pangkas, PHK di
permudah dan pesangon dihilangkan. Dalam hal ini, yang paling merugikan bagi
para pekerja perempuan adalah mengenai cuti haid dan melahirkan. Meskipun
dalam hal ketentuan cuti haid dan melahirkan tidak dihilangkan, akan tetapi,
substansi upah per jam menghilangkan esensi dari cuti haid dan cuti melahirkan
karena dalam hal ini,jika pekerja perempuan menjalani cuti, otomatis tidak dihitung
bekerja dan tidak mendapatkan upah cuti. UU ini juga tidak melindungi dan tidak
memberi perlindungan hukum pada pekerja migran perempuan Indonesia, padahal
jumlahnya mendominasi dan berada pada posisi rentan dan kondisi kerja yang buruk
di Indonesia.
Jelaslah bahwa dalam penerbitan Perpu nomor 2 tahun 2022 tentang cipta kerja
berdampak besar, telebih bagi para pekerja/ buruh. Undang – undang seharunya
menjadi pelindung bagi warga negara bukan untuk mempersulit maupun merugikan
bagi masyarakat. Pengesahan yang terkesan buru-buru dan pemerintah terkesan
memaksakan dan terkesan akal – akalan, karena pemerintah terkesan mengabaikan
putusan MK terhadap Undang – undang cipta kerja yang seharusnya memperbaiki
bukan mengeluarkan perpu yang mengakibatkan terjadinya polemik yang terjadi di
masyarakat .

Anda mungkin juga menyukai