Anda di halaman 1dari 15

Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2019, menyampaikan

rencananya mengenai perumusan omnibus law bersama DPR. Ia menyebutkan ada dua
undang-undang yang akan tercakup di dalamnya, yaitu UU Cipta Lapangan Kerja dan UU
Pemberdayaan UMKM.[4] Pada Februari 2020, pemerintah Indonesia mengajukan undang-
undang sapu jagat ke DPR dengan target musyawarah yang selesai dalam tempo 100 hari.[5]
Versi draf RUU dikritik oleh elemen media Indonesia, kelompok hak asasi manusia, serikat
pekerja, dan organisasi lingkungan hidup karena mendukung oligarki dan membatasi hak-hak
sipil rakyat.[6][7][8] Di lain pihak, Kamar Dagang dan Industri Indonesia mendukung RUU ini.[9]

Setelah revisi yang dilakukan terhadap beberapa pasal, RUU Cipta Kerja disahkan DPR pada
Senin, 5 Oktober 2020, tiga hari lebih cepat dari tanggal pengesahan yang dijadwalkan.
Pengesahan RUU juga dilakukan sebelum hari unjuk rasa selanjutnya yang telah
direncanakan oleh serikat pekerja. Beberapa jam sebelum disahkan, 35 perusahaan investasi
mengirim surat yang memperingatkan pemerintah tentang konsekuensi berbahaya dari RUU
tersebut bagi lingkungan.[2]

Pengesahan RUU Cipta Kerja didukung oleh tujuh partai yaitu Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan, Golkar, Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat
Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan sementara dua partai yang menolak adalah
Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera.[10]

Isi
RUU Cipta Kerja merevisi sekitar 79 undang-undang yang telah ada sebelumnya.[11]

Ketenagakerjaan

RUU Cipta Kerja merevisi beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.[12]

Gaji dan waktu kerja

RUU Cipta Kerja membatasi penetapan upah minimum oleh kabupaten dan kota, lalu
memberikan rumus yang didasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi.[13] Upah
Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tetap diatur dalam UU Cipta Kerja, dengan syarat
tertentu. Upah minimum ditetapkan dengan memperhatikan kelayakan hidup pekerja dan
buruh dengan mempertimbangkan aspek pertumbuhan ekonomi atau inflasi.[14] RUU ini juga
mengurangi batas pembayaran pesangon dari gaji 32 bulan menjadi gaji 19 bulan, ditambah
gaji enam bulan yang disediakan oleh pemerintah.[15] Besaran pesangon ditentukan dengan
mengatur nilai maksimalnya, berbeda dari UU Ketenagakerjaan yang mengatur nilai
minimalnya.[14] Batas lembur dinaikkan menjadi empat jam per hari dan 18 jam per minggu,
dan wajib hari libur dikurangi dari dua hari dalam seminggu menjadi hanya satu hari.[9]
Undang-undang tersebut juga menghapus mandat cuti berbayar selama 2 bulan bagi pekerja
yang bekerja selama lebih dari 6 tahun.[15]

Pekerja asing

Aturan dilonggarkan untuk pekerja asing, untuk memudahkan perekrutan tenaga kerja asing.
[10]
Sebelum UU ini disahkan, alih daya hanya diperbolehkan pada pekerjaan yang tidak
berhubungan langsung dengan produksi.[15] Warga negara asing yang tinggal (selama lebih
dari 183 hari setahun) di Indonesia tidak akan dikenakan pajak atas penghasilan yang
diperoleh di luar negeri.[16]

Pemecatan

Aturan pemecatan pekerja dilonggarkan, dan proses yang diperlukan untuk melamar ke
sebuah lembaga ketika memecat pekerja, yang dirancang untuk melindungi hak-hak pekerja,
dicabut.[15]

Perpajakan

Pajak penghasilan badan akan diturunkan secara bertahap dari saat ini 25% menjadi 22%
(mulai 2022) dan akhirnya 20% (mulai 2025).[16] Perusahaan digital seperti Netflix, Steam,
dan Spotify akan diminta untuk menagih pelanggan membayar pajak pertambahan nilai
(PPN) sebesar 10%.[16]

Lingkungan

Peraturan lingkungan untuk bisnis dilonggarkan untuk proyek yang tidak diklasifikasikan
sebagai "berisiko tinggi", meskipun perusahaan berisiko tinggi tersebut masih diharuskan
untuk mengajukan analisis dampak lingkungan.[9] Undang-undang menyerahkan izin
penggunaan dan kewenangan lahan kepada pemerintah pusat, dan menaikkan denda atas
kerusakan lingkungan.[2]

Investasi

Undang-undang tersebut menciutkan daftar industri yang dilarang menerima investasi swasta
dari 300 menjadi enam, antaranya obat-obatan terlarang, perjudian, ikan yang terancam
punah, senjata kimia, dan bahan kimia industri.[2]

Televisi digital

Selain mengatur tentang hal-hal yang telah disebutkan di atas, Undang-Undang Cipta Kerja
juga mengatur tentang penghentian siaran analog atau yang umumnya disebut dengan
peralihan ke televisi digital. Menurut undang-undang ini, penghentian siaran analog akan
terjadi paling lambat 2 tahun sesudah undang-undang ini diberlakukan.[17]

Tanggapan
Unjuk Rasa

Artikel utama: Unjuk rasa Undang-Undang Cipta Kerja

Sejak Februari 2020, berbagai unjuk rasa digelar di beberapa daerah Indonesia dengan titik
orasi berada di depan gedung DPRD dan jalan-jalan lainnya. Beberapa protes berlangsung
damai, sementara yang lain berubah menjadi kekerasan, menyebabkan kerusakan properti,
serta korban jiwa dan penangkapan.[butuh rujukan]
Pengaruh di media sosial

Pada Agustus 2020, beberapa pemengaruh (influencer) media sosial di Indonesia


menggaungkan pesan proundang-undang cipta kerja melalui beragam media sosial. Tanda
pagar #IndonesiaButuhKerja digunakan pada pemengaruh melalui iklan, komik strip, video,
atau konten lainnya untuk mempromosikan keuntungan setelah RUU Cipta Kerja ini
disahkan, sekaligus mengklarifikasi beberapa isu negatif yang beredar.[18] Upaya ini dikritik
keras oleh beberapa pihak, terutama aktivis internet yang sejak awal menolak pembahasan
RUU ini. Beberapa pemengaruh yang mengunggah konten pro-RUU ini kemudian berhenti
mempromosikan pesan tersebut. Salah satunya, musisi Ardhito Pramono, mengaku dibayar
untuk mempromosikan dukungan terhadap RUU ini.[19] Masyarakat kemudian mengaitkan
aktivitas ini dengan pertemuan Jokowi dengan para pemengaruh di Istana Kepresidenan
dengan dugaan bahwa para pemengaruh tersebut direkrut oleh pemerintah secara langsung
untuk membungkam suara oposisi.[20]

Internasional

RUU tersebut dikecam oleh Konfederasi Serikat Buruh Internasional dan 35 lembaga
investasi internasional lainnya yang secara kolektif mengelola aset senilai US$4,1 triliun.[9]

Nasional

Said Aqil Siradj, Ketua Nahdlatul Ulama (organisasi Islam terbesar di Indonesia),
menyatakan penentangannya terhadap RUU tersebut dan mengecamnya karena hanya
menguntungkan kapitalis, investor, dan konglomerat.[9]

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno, dan Gubernur
Kalimantan Barat Sutarmidji, bersama Partai Keadilan Sejahtera, telah meminta Presiden
Joko Widodo untuk mengeluarkan Perppu untuk mengesampingkan RUU tersebut.[21][22]

Massa buruh berjalan kaki di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, menuju kawasan Monas dalam
rangkaian aksi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja, Selasa (20/10/2020). – Antara

Dalam beleid anyar ini, pemberian pesangon menjadi 19 kali ditanggung pengusaha dan
enam kali menjadi tanggungan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan dari BPJS
Ketenagakerjaan. Jumlah ini turun dari sebelumnya 32,2 kali dalam aturan UU No. 13/2003
tentang Ketenagakerjaan

Lalu seiring penetapan omnibus law Cipta Kerja menjadi undang-undang pada 2 November
2020, apakah pesangon bagi karyawan yang kena PHK pada November-Desember atau
sebelum peraturan pemerintah ditetapkan, mengacu kepada UU Cipta Kerja yang secara
eksplisit menyebutkan besaran pesangon?

Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Oce Madril menyebutkan sejak
rancangan undang-undang ditetapkan menjadi undang-undang maka aturan itu mengikat dan
bisa diterapkan. Namun, untuk teknis pelaksanaan masih dibutuhkan beleid turunan.

"Bisa diterapkan tapi kalau aturan pelaksana belum ada sebagai turunan Undang-undang
maka masih separo kaki," katanya, Jumat (6/11/2020).

Dengan kondisi ini, maka perusahaan belum bisa menjadikan Undang-undang Cipta Kerja
sebagai dasar perhitungan pensiun termasuk dalam pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sebelumnya dalam kesempatan terpisah Syarif Yunus, Direktur Eksekutif Perhimpunan Dana
Pensiun Lembaga Keuangan menyebutkan besaran pesangon pekerja dalam UU Cipta Kerja
yang baru disahkan sebesar 19 kali ditambah 6 kali dalam program lainnya, yakni Jaminan
Kehilangan Pekerjaan.

Besaran manfaat ini berubah dari perhitungan pesangon yang menggunakan UU No. 13/2020.

"[Pesangon dalam UU Cipta Kerja] terdiri dari 19 kali upah dan 6 kali dari JKP (jaminan
kehilangan pekerjaan) sehingga menjadi 25 kali. Hal itu diberikan saat terjadi pemutusan
hubungan kerja dengan masa kerja yang ditetapkan sesuai aturan," kata Syarif Yunus,
Direktur Eksekutif Perhimpunan Dana Pensiun Lembaga Keuangan, Kamis (15/10/2020),

JKP adalah program jaminan sosial yang akan dijalankan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan). Layanan ini diberikan kepada pekerja yang
berhenti kerja sebelum memasuki pensiun berupa insentif selama menganggur hingga
pelatihan.

Berikut rumus perbandingan perhitungan pesangon pekerja dalam UU No. 13/2003 dan UU
Cipta Kerja:

UU No. 13/2003:
Untuk masa kerja 24 tahun atau lebih perhitungan pesangon adalah

1.15 x (2 x 9 + 1 x 10) = 32.2 kali upah

UU Cipta Kerja
Dalam UU Cipta Kerja, koefisien 1,15 diturunkan menjadi 1.

Sehingga dengan asumsi rumus sama maka perhitungan pesangon adalah:

1 x (2 x 9 + 1 x 10) = berarti 28 kali


Namun jika koefisien 2 kali ini akan ditetapkan menjadi 1 sehingga perhitungan pesangon
menjadi:

1x (1 x 9 + 1 x 10) = 19 kali

Perincian uang pesangon UU Cipta Kerja sendiri terdiri dari:

Uang Pesangon

Masa kerja kurang dari 1 tahun, mendapatkan uang pesangon sebesar 1 bulan upah
Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, mendapatkan uang pesangon 2 bulan
upah.
Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, mendapatkan uang pesangon 3 bulan
upah
Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, mendapatkan uang pesangon 4 bulan
upah
Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, mendapatkan uang pesangon 5 bulan
upah
Masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, mendapatkan uang pesangon 6
bulan upah
Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, mendapatkan uang pesangon 7 bulan
upah
Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, mendapatkan uang pesangon 8 bulan
upah
Masa kerja 8 tahun atau lebih, mendapatkan uang pesangon 9 bulan upah.

Komponen uang penghargaan masa kerja


Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, mendapatkan uang penghargaan sebesar 2
bulan upah
Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, mendapatkan uang penghargaan sebesar 3
bulan upah
Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, mendapatkan uang penghargaan sebesar
4 bulan upah
Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, mendapatkan uang penghargaan
sebesar 5 bulan upah
Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, mendapatkan uang penghargaan
sebesar 6 bulan upah
Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, mendapatkan uang penghargaan
sebesar 7 bulan upah
Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, mendapatkan uang penghargaan
sebesar 8 bulan upah
Masa kerja 24 tahun atau lebih, mendapatkan uang penghargaan sebesar 10 bulan upah.

Sekilas seperti tidak ada perubahan berarti dari UU Ketenagakerjaan 13/2003, padahal jika
kita lihat, ada penggantian dan penghilangan substansi hingga timpang tindih antara pasal
satu dengan pasal lainnya yang merugikan pekerja dan perempuan. Yuk, kita lihat.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bergerak sangat cepat, secara sembunyi-sembunyi ketika
membuat hingga menetapkan UU Omnibus Law Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020. Semua
merasa terhenyak karena penetapan ini memang tidak sesuai jadwal sidang pada 8-9 Oktober
2020. Sejumlah aktivis mengatakan DPR menerobos ketentuan dalam UU MD3 karena bisa
begitu saja mengganti jadwal sidang.

Inisiatif pemerintah untuk menerbitkan UU Cipta Kerja di akhir tahun 2019 langsung
mendapatkan dukungan secara cepat dari DPR. Kali pertama inisiatif pemerintah tentang
Omnibus Law secara resmi disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikan
periode kedua pada 20 Oktober 2019. Saat itu, Jokowi memperkenalkan RUU Cipta
Lapangan Kerja yang sebagian publik mengkritiknya menjadi RUU Cilaka dan berbuah
penggantian nama undang-undang menjadi UU Cipta Kerja.

Dalam penyusunannya, tidak seperti di banyak Omnibus Law di negara lain, Omnibus Law
biasanya disusun selama bertahun-tahun karena harus menggabungkan banyak UU menjadi
satu UU, tetapi di Indonesia, menggabungkan banyak UU ini hanya butuh waktu dalam
hitungan bulan. 

Kondisi itu berbalik saat DPR didesak untuk membahas undang-undang lain yang sangat
penting bagi perlindungan warga negara. Rancangan Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Seksual (RUU PKS) membutuhkan waktu 6 tahun dan belum juga diundangkan.
Sedangkan, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) lebih lama lagi, sudah 16
tahun diperjuangkan dan belum terwujud hingga sekarang.

Selain penyusunannya yang kilat dan menabrak aturan, substansi UU Cipta Kerja juga
bermasalah dan membawa potensi buruk khususnya bagi pekerja/buruh dan perempuan.
Perspektif dalam substansi UU Cipta Kerja condong pada kepentingan pengusaha, bukan lagi
dilandasi semangat untuk melindungi pekerja/buruh yang relasi kuasanya lebih lemah.

Apa saja kerugian yang dapat dialami buruh dan perempuan dalam UU Cipta Kerja ini? Yuk
kita lihat, intinya kamu jangan terkecoh dengan UU Cipta Kerja karena ada banyak pasal
yang saling menghilangkan pasal yang lain.

1. Waktu kerja dan lembur lebih panjang

Substansi UU Cipta Kerja mengubah waktu kerja yaitu dihilangkannya ketentuan lima hari
kerja dan dua hari istirahat mingguan. Dalam ketentuan Pasal 79 UU Ciptaker ayat 1b
disebutkan bahwa istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja.

Selain bekerja selama 6 hari, pekerja juga dipaksa memperpanjang waktu lembur. Dalam UU
Cipta Kerja disebutkan lembur dilakukan 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam seminggu.
Waktu lembur diperpanjang dari ketentuan UU Ketenagakerjaan 32/2003 pasal 78 disebutkan
bahwa  waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu)
hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

2. Waktu libur dikurangi

Perubahan waktu kerja, juga berdampak pada waktu libur yaitu hanya satu hari dalam
seminggu untuk 6 hari kerja. Di dalam UU Ciptaker pasal 79 ayat 1 b disebutkan bahwa
waktu istirahat mingguan hanya 1 hari untuk 6 hari dalam seminggu. Sementara, libur dalam
UU Tenaga kerja disebutkan istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam
1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

3. Upah minimum hilang

Pada pasal 88 UU Ciptaker menghapus ketentuan rinci mengenai perhitungan upah yaitu
tidak ada lagi ketentuan upah minimum. Perhitungan upah akan berdasarkan kebijakan
pengupahan nasional yang diatur dalam peraturan pemerintah. Dengan ketentuan itu, maka
upah berpotensi jauh dari layak. Ketentuan mengenai upah minimum pada pasal 89 UU
Ketenagakerjaan pun dihapus oleh UU Ciptaker.

Selain itu, perubahan mendasar dalam pengupahan di UU Ciptaker adalah perhitungan


berdasarkan satuan waktu. Meski satuan waktu tidak dirinci, tetapi ketentuan itu akan
berdampak pada upah dihitung per jam. Dengan perhitungan itu, otomatis upah minimum
tidak relevan lagi digunakan untuk pemberian upah. Selain itu, perhitungan upah per jam
akan menghilangkan upah yang biasanya diterima secara tetap perbulannya.

4. Perhitungan upah berubah

Dalam UU Cipta Kerja, upah dihitung berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil
(produktivitas) yang terdapat dalam pasal 88B.  Selain itu, upah dibayarkan sesuai dengan
kemampuan perusahaan dan produktivitas, serta tidak ada pengawasan soal ini. Jika ada
pelanggaran, apa yang bisa pekerja lakukan?

5. Upah Cuti Haid dan Melahirkan akan hilang

Ketentuan UU Cipta Kerja memang tidak menghilangkan pasal dalam UU No 13 tahun 2003
mengenai cuti haid dan cuti melahirkan. Akan tetapi, substansi tentang upah per jam
menghilangkan esensi dari cuti haid dan cuti melahirkan karena jika pekerja perempuan
menjalani cuti tersebut otomatis tidak dihitung bekerja, sehingga tidak mendapatkan upah
cuti.

6. Cuti panjang hilang

Sejumlah cuti seperti cuti panjang tidak lagi diatur oleh pemerintah, tetapi diatur oleh
perusahaan dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan dengan Perjanjian Kerja
Bersama. Jika kamu tidak hati-hati dan siap untuk bernegosiasi dan meminta perusahaan
tempatmu bekerja, maka cutimu akan ditentukan oleh perusahaan secara sepihak.

Di dalam pasal 79 UU Ciptaker ayat 5 juga menghilangkan hak istirahat panjang (cuti
panjang) bagi pekerja. Di mana, cuti panjang hanya ditentukan oleh peraturan
perusahaan/perjanjian kerja, bukan amanat UU seperti yang tertuang dalam UU No 13 Tahun
2003.

7. PHK sepihak dipermudah

Perusahaan dapat memutus hubungan kerja (PHK) secara sepihak melalui Pasal 154A UU
Ciptaker yaitu PHK dapat dilakukan dengan alasan perusahaan melakukan
penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan; efisiensi; tutup
karena rugi, force majeur, menunda utang, dan pailit.

Pemutusan hubungan kerja juga dipermudah lewat pasal 151 UU Ciptaker yang menghapus
ketentuan “segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan
kerja”. Perusahaan juga dapat melakukan PHK tanpa melalui perundingan dengan serikat
pekerja. Selain itu, UU Ciptakerja menghapus ketentuan Pasal 161 UU Ketenagakerjaan yang
sebelumnya mengatur surat peringatan sebelum PHK. Oleh karena itu, perusahaan dapat
melakukan PHK tanpa melalui mekanisme surat peringatan.

8. Jumlah pesangon dikurangi

Ketentuan dalam UU Ciptaker pasal 156 mengurangi jumlah pesangon jika pekerja di-PHK
karena menghapus uang penggantian hak. Dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjan terdapat
penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas
perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi
syarat. Selain itu, UU Ciptaker menghapus pasal 162-166 dalam UU Ketenagakerjaan yang
merinci jumlah pesangon dan perhitungan penghargaan masa kerja serta uang pengganti bagi
pekerja yang mengundurkan.

Kekecewaan Buruh Perempuan


Dian Septi, Sekjend Federasi Buruh Lintas Pabrik/ FBLP yang dihubungi pada 6 Oktober
2020 menyatakan bahwa ketika rakyat makin dihadapkan pada ancaman pandemi yang tak
kunjung menurun, dengan dampak krisis ekonomi yang harus ditanggung mulai dari
Pemutusan Hubungan Kerja/ PHK, hilangnya pendapatan, dipotongnya upah, hingga
menurunnya daya beli, wakil rakyat di Senayan justru memaksakan pengesahan UU Cilaka
Omnibus Law.

Undang-undang itu telah memunculkan gelombang protes sejak dimunculkannya karena


dianggap mengabaikan aspirasi rakyat. Susunan Satgas yang disusun , tak satupun
menyertakan elemen buruh, tani, maupun elemen rakyat lainnya. Sebaliknya, ia dipenuhi
dengan kelompok pengusaha yang punya kepentingan besar mempreteli hak buruh dan rakus
mengeksploitasi alam.

Dalih membuka lapangan pekerjaan adalah omong kosong. Badan Koordinasi Penanaman
Modal/ BKPM mencatat, pada kurun 2013 – 2018 investasi terus naik, tapi tidak linear
dengan penyerapan tenaga kerja. Hal ini terlihat pada data pada 2016, investasi sebesar USD
28,96 miliar hanya menyerap 951.939, dan  pada tri Wulan I 2019 USD 29,31 miliar hanya
mampu menyerap 490.368 tenaga kerja.

Sejatinya, pembukaan lapangan kerja dan pemenuhan kesejahteraan rakyat bukan tanggung
jawab investor tapi pemerintah. Kegagalan pemerintah menyejahterakan rakyat hanya
menunjukkan kepada siapa pemerintah dan wakil rakyat berpihak.

Dimulai dari pengesahan UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 yang mengesahkan kontrak


outsourcing (fleksibilitas tenaga kerja), Peraturan Pemerintah atau PP 78/2015 yang
melegalkan upah murah, hingga RUU Cilaka yang menghapus beragam hak buruh seperti
penghapusan semua hak cuti termasuk cuti hamil melahirkan dan cuti haid, pengesahan upah
khusus padat karya, penghapusan Upah Minimum Sektoral Kota/ UMSK, upah per satuan
waktu per satuan jam. Selain itu, dampak bagi perempuan sektor lain akan dirasakan sebagai
konsekuensi kemudahan perampasan tanah untuk bisnis tambang, sawit dan perpanjangan
Hak Guna Usaha/ HGU selama 90 tahun, pengadaan bank tanah yang semuanya
memperparah monopoli tanah pada segelintir korporasi dan kerusakan lingkungan.

“Ibu bumi sedang menangis, buruh menjerit, petani makin tersingkir, rakyat miskin tergerus,”
ujarnya.

Kongkalikong pemodal dan penguasa telah kesekian kali mempecundangi rakyat. Di tengah
ancaman pandemi yang mengurung kebebasan berekspresi rakyat, pada akhirnya parlemen
jalanan adalah pilihan yang harus diambil. Mari berdansa di jalanan, kita ekspresikan
kemarahan! []

Ditulis oleh Luviana dan Nur Aini, Anggota Sindikasi

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Konde.co

Isi UU Cipta Kerja Omnibus Law Vs UU Ketenagakerjaan, Ini Bedanya

Klaster ketenagakerjaan pada Omnibus Law UU Cipta Kerja paling banyak mendapat
kritikan karena dinilai merugikan kaum pekerja atau buruh. Masalah ketenagakerjaan
sebelumnya diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pihak buruh berpendapat hak-hak mereka dalam UU Ketenagakerjaan akan semakin


berkurang jika UU Cipta Kerja Omnibus Law diteken presiden dan kemudian dijalankan.
Sebaliknya, pemerintah menganggap munculnya ketidakpuasan hingga gelombang penolakan
pada UU Cipta Kerja disebabkan hoax.

"Saya melihat unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja yang pada dasarnya dilatarbelakangi
disinformasi mengenai substansi UU ini dan hoax di media sosial," kata Presiden Joko
Widodo dalam konferensi pers virtual yang ditayangkan di kanal YouTube Sekretariat
Presiden, Jumat, 9 Oktober 2020.

Kedua aturan yang terkait dengan kelangsungan hidup pekerja ini memang memiliki
perbedaan. Perbedaan itu mencakup tentang hak, kewajiban, dan perlindungan pekerja.

Berikut perbedaan UU Cipta Kerja Omnibus Law Vs UU


Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003:
A. Waktu istirahat

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003

Ketentuan dalam pasal 79 menjelaskan:

a. Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2
(dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu
b. Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh
dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6
(enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan
pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun
berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

2. UU Cipta Kerja Omnibus Law

a. Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

b. UU Cipta Kerja Omnibus Law tidak mencantumkan istirahat panjang dua bulan setelah
masa kerja enam tahun berturut-turut di perusahaan yang sama.

B. Upah berdasarkan satuan hasil dan waktu

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003

Tidak ada pengaturan terkait upah berdasarkan satuan hasil dan waktu.

2. UU Cipta Kerja Omnibus Law

Merupakan revisi pasal 88 dan 89 dengan menyelipkan poin pasal 88 B:

1. Upah ditetapkan berdasarkan:


a. satuan waktu dan/atau

b. satuan hasil.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

"Upah yang dihitung per jam ini pernah disampaikan Menteri Ketenagakerjaan, sebagaimana
bisa kita telusuri kembali dari berbagai pemberitaan di media," kata Iqbal.

C. Upah minimum provinsi, kabupaten, dan kota

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003

Ketentuan dalam pasal 89 menjelaskan:

Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas:
a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota

b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

2. UU Cipta Kerja Omnibus Law

Merupakan revisi pasal 88 dan 89 dengan menyelipkan poin pasal 88 C:


1. Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.
2. Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

3. Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan
kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.

4. Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pertumbuhan ekonomi
daerah dan inflasi pada kabupaten/kota yang
bersangkutan.

5. Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus lebih tinggi
dari upah minimum provinsi.

6. Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan
data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

7. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah minimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

UU Cipta Kerja Omnibus Law juga mengatur upah pekerja UMKM dalam Pasal 90 B:
1. Ketentuan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2)
dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Kecil.

2. Upah pada Usaha Mikro dan Kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh di perusahaan.

3. Kesepakatan upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sebesar


persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data yang bersumber dari
lembaga yang berwenang di bidang statistik.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai upah bagi Usaha Mikro dan Kecil diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

D. Uang penggantian hak

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 pasal 156 ayat 4:

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur

b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja

c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas
perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi
syarat

d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
2. UU Cipta Kerja Omnibus Law

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur

b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja

c. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.

Perubahan juga dilakukan pada UU Cipta Kerja Omnibus Law, dengan menghilangkan
kalimat 'paling banyak' pada pasal 156 ayat dua. Pasal ini mengatur besar pesangon atau uang
penggantian hak yang diterima pekerja.

E. Jaminan sosial

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003

a. Pasal 167 ayat 5


Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib
memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat

b. Pasal 184
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5),
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

2. UU Cipta Kerja Omnibus Law

Aturan yang baru merevisi UU Nomor 13 Tahun 2003 dengan menghapus pasal 167 dan 184.
UU Cipta Kerja Omnibus Law juga merevisi jenis jaminan sosial yang diberikan pada
pekerja dengan menambahkan jaminan kehilangan pekerjaan. Ketentuan ini merevisi
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

F. Alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003

Ketentuan menjelaskan beberapa hal yang bisa menjadi penyebab PHK yaitu perusahaan
bangkrut, rugi, berubah status, melanggar perjanjian kerja, melakukan kesalahan, mangkir,
dan mengundurkan diri.

2. UU Cipta Kerja Omnibus Law


Aturan ini merevisi pasal 154 dan 155 dengan memasukkan pasal 154 A yang menjelaskan
pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena:

a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan


perusahaan
b. perusahaan melakukan efisiensi
c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian
d. perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur)
e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
f. perusahaan pailit
g. perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
h. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri
i. pekerja/buruh mangkir
j. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
k. pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib
l. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak
dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan
m. pekerja/buruh memasuki usia pensiun, atau
n. pekerja/buruh meninggal dunia.

G. Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWT)

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003

Aturan ini tidak mengatur PKWT, namun mengatur lamanya kontrak seorang pekerja dalam
pasal 59:

1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya

b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun

c. pekerjaan yang bersifat musiman, atau

d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap.

3. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.

4. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan
untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun.

2. UU Cipta Kerja Omnibus Law


Ketentuan ini merevisi pasal 59 dengan menambahkan PKWT menjadi:

1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya

b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama

c. pekerjaan yang bersifat musiman

d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau penjajakan, atau

e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.

2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap.

3. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan
batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

H. Lama lembur

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003

Pasal 78 ayat 1 butir b:

Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan
14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

2. UU Cipta Kerja Omnibus Law

Aturan ini merevisi sebelumnya menjadi:

Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan
18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

I. Penggunaan tenaga kerja asing

1. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003

Pasal 42:

1. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis
dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
2. Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.

3. Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi
perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai
diplomatik dan konsuler.

4. Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk
jabatan tertentu dan waktu tertentu.

5. Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

6. Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan
tidak dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.

2. UU Cipta Kerja Omnibus Law

Revisi UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 pasal 42 menjadi:

1. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.

2. Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:


a. direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau pemegang saham sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

b. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing, atau

c. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh Pemberi Kerja pada jenis kegiatan produksi yang
terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start-up), kunjungan bisnis, dan
penelitian untuk jangka waktu tertentu.

4. Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk
jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang
akan diduduki.

5. Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia.

6. Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai