Anda di halaman 1dari 36

NOTULENSI WEBINAR HUKUMONLINE 2023

“PERSPEKTIF HUKUM DALAM PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR :

ANALISIS SKEMA KERJA SAMA PEMERINTAH DAN BADAN USAHA (KPBU)”

Hari, Tanggal : Rabu, 20 Desember 2023

Platform : Zoom Webinar

Waktu : 09.30 – 12.00 WIB

MC :

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Shalom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya,


Salam Kebajikan, Salam Sejahtera bagi kita semua. Selamat Pagi Bapak dan Ibu peserta, terima kasih
telah berpartisipasi dalam webinar Hukumonline. Semoga Bapak dan Ibu peserta selalu dalam keadaan
sehat senantiasa. Perkenalkan, saya Juristia yang akan menjadi host pada kegiatan pada hari ini, Rabu,
20 Desember 2023, dalam webinar yang berjudul “Perspektif Hukum dalam Pembiayaan Infrastruktur
: Analisis Skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU)”. Acara webinar hari ini juga
bekerjasama dengan Hermawan Juniarto, atau M-Partners, member of Deloitte Legal Network, dimana
kantor hukum ini termasuk dalam 20 besar kategori Top 100 Indonesian Law Firm Hukumonline 2023.

Selanjutnya, mari kita sapa narasumber kita pada hari ini, yaitu ada Bapak Anthony Pratama
Chandra atau bisa kita sapa dengan Pak Anthony selaku partner dari Hermawan Juniarto & Partners,
dan Bapak Ricardo Nathanael yang juga dari Hermawan Juniarto & Partners. Selamat Pagi. Sebelum
kita lanjut ke sesi pemaparan materi, izinkan saya untuk membacakan sedikit CV dari narasumber kita
pada pagi hari ini.

Bapak Anthony merupakan Partner dari Hermawan Juniarto & Partners (member of Deloitte
Legal Network). Beliau memiliki keahlian kuat di bidang infrastruktur, keuangan proyek, regulasi,
pengadaan umum, pasar modal, masalah-masalah terkait korporasi, dan akusisi tanah. Bapak Anthony
Pratama Chandra meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Pelita Harapan pada tahun 2008, dan
gelar Master dari Universitas Indonesia pada tahun 2010. Pengalamannya melibatkan bantuan hukum
pada pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, dan
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk menciptakan kerangka regulasi di bidang
infrastruktur.

Ia juga membantu perusahaan milik negara terkemuka yang bergerak di sektor pariwisata dan
penerbangan, kereta api, pembiayaan infrastruktur, memberikan nasihat kepada beberapa
perusahaan milik daerah, dan merancang pendirian unit PPP Indonesia di Kementerian Keuangan
Indonesia. Tanpa berlama-lama lagi, mari kita simak pemaparan dari para narasumber pada hari ini.

Narasumber : Anthony Pratama Chandra

(Partner Hermawan Juniarto & Partners, Member of Deloitte Legal Network)

Waktu : 10.05 – 10.45 WIB

Terima kasih. Selamat Pagi Bapak Ibu peserta webinar Hukumonline mengenai perspektif
hukum dalam kerja sama pemerintah dan badan usaha. Tentunya hari ini kita fokus terhadap hal itu
walaupun kemarin kita sempat ada diskusi bahwa sepertinya perlu ada series lanjutan khususnya
terkait dengan beberapa hal yang mungkn akan dibahas lebih detail seperti negosiasi kontrak, masalah
bagaimana pengaturan barang milik negara, dan lain-lain. Tapi, hari ini kita fokusnya terhadap prinsip-
prinsip dasar dulu dan manfaat termasuk regulasi yang saat ini mengatur mengenai KPBU di Indonesia.
Hari ini saya juga bersama dengan Pak Ricardo Nathanael Ginting, jadi di sesi awal saya akan cover
beberapa slide, lalu nanti akan dilanjutkan oleh tim saya.

Kira-kira akan ada 5 hal utama yang akan kita coba uraikan di kesempatan pagi ini. Yang
pertama, masalah kerangka peraturan KPBU di Indonesia, yang kedua ada konsep dasar KPBU, yang
ketiga tinjauan umum KPBU yang kita ambil dari beberapa aspek hukum yang cukup relevan yang
pernah kita lalui, kemudian yang keempat implikasi dari penerbitan regulasi baru-baru ini yaitu Permen
PPN 7/2023 yang menggantikan Permen PPN 4/2020, dan terakhir adalah sengketa KPBU dan
mitigasinya.

Ini gambaran kerangka regulasi saat ini mengenai KPBU. Jadi, payung hukum utama ada di
Peraturan Presiden 38/2015 sebagai inisiasi dari pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk
bagaimana bisa mengakselerasi proses pengadaan atau penyediaan infrastruktur yang berbasis
layanan. Jadi, pada saat itu memang dilihat dari historical sebelumnya, sudah ada peraturan presiden
dalam bentuk kerja sama pemerintah-swasta, tapi dirasa peraturan itu belum cukup untuk meng-
endorse upaya pemerintah untuk melakukan penyediaan infrastruktur untuk layanan Masyarakat, baik
infrastruktur sosial maupun infrastruktur yang sifatnya ekonomis.
Kemudian, melalui penerbitan Perpres 38/2015, pada saat itu juga dibarengi dengan
penerbitan peraturan-peraturan yang ada di bawahnya, yaitu ada peraturan Permen 4/2015 jo.
Permen PPN 2/2020 yang sudah diubah atau sudah diganti dengan Permen Bappenas 7/2023. Itu dari
sisi implementasi turunannya. Jadi, di dalam Permen Bappenas itu lebih menitikberatkan kepada
bagaimana proses tahapan-tahapan yang harus dilalui dan juga ketentuan-ketentuan yang lebih detail
terkait dengan proses KPBU di Indonesia.

Misalnya, di Permen Bappenas itu sudah merincikan kira-kira jenis infrastruktur apa saja yang
sebenarnya bisa dikerjasamakan dengan swasta melalui skema KPBU. Ada infrastruktur sosial, ada
infrastruktur yang sifatnya memang ekonomis. Sosial itu berarti memang infrastruktur yang tidak
menghasilkan tarif atau tidak mengenakan tarif kepada Masyarakat, sementara kalau yang
infrastruktur yang sifatnya ekonomis, misalnya seperti jalan tol, seperti airport atau bandara, itu
sesuatu yang memang bisa memungut tarif atau user charge dari sisi masyarakat sebagai pengguna
layanan.

Kemudian, di dalam Permen Bappenas itu sendiri juga merincikan tahapan-tahapan yang
harus dilalui dalam suatu proses KPBU. Mulai dari tahapan perencanaan, tahapan penyiapan, tahapan
transaksi, kemudian tahapan financial goals, sampai dengan tahapan nanti manajemen kontrak ketika
projeknya bergulir terus sampai dengan tahapan penyerahan aset ketika prosesinya selesai. Itu dari sisi
swasta kepada pemerintah.

Disamping Permen Bappenas tadi, Peraturan Presiden 38/2015 ini juga dilengkapi dengan
peraturan turunan terkait dengan proses pengadaan KPBU-nya sendiri yaitu proses pengadaan badan
usaha pelaksana, bagaimana proses atau mekanisme seleksi yang harus dilakukan oleh pemerintah
ketika pemerintah selaku PJPK itu ingin menenderkan suatu projek KPBU, projek infrastruktur melalui
skema KPBU. Di dalam peraturan itu diatur melalui penerbitan peraturan LKPP 19/2015 yang mana
saat ini memang masih berlaku khusus untuk unsolicited project atau atas prakarsanya pihak swasta.
Tetapi, terkait dengan peraturan pengadaan yang projeknya solicited atau inisiasinya datang dari sisi
pemerintah, itu sudah ada pembaharuan melalui Perlem LKPP 29/2018.

Kemudian, dari sisi KPBU pun ada beberapa aspek yang terkait dengan dukungan-dukungan
pemerintah yang perlu diatur lebih lanjut. Jadi, ketika pemerintah mau menenderkan projek,
dukungan-dukungan ini disediakan untuk mengattract pihak swasta. Ada yang sifatnya merupakan
skema pengembalian investasi melalui APBN sumbernya, yaitu dalam bentuk pembayaran
ketersediaan layanan atau AP. Ada juga dukungan-dukungan lain seperti VGF, dukungan pembayaran
sebagian KPEX atau biaya konstruksi. Kemudian juga ada dukungan-dukungan yang sifatnya berupa
jaminan dari sisi pemerintah.
Itu semua sudah dipayungi dari sisi regulasi, baik dari sisi Peraturan Menteri Keuangan,
kemudian penugasan Perpres melalui pembentukan Badan Usaha Penjaminan Indonesia, yaitu yang
kita kenal sebagai PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia atau IIGF, melalui Perpres 78/2010. Kemudian
juga ada peraturan turunan melalui peraturan-peraturan PMK-nya di 260, 183/2018, dan lain-lain.
Termasuk juga dari sisi pemerintah ketika bagaimana caranya pemerintah meng-attract dari sisi
swastanya, kemudian pemerintah memberikan suatu dukungan-dukungan atau fasilitas yang
disediakan.

Ada juga pemerintah bagaimana dari sisinya Kementerian Keuangan pada saat itu memikirkan
bagaimana dengan pemerintah-pemerintah yang memiliki keterbatasan anggaran terkait dengan
penyiapan projeknya itu sendiri. Makanya oleh Kementerian Keuangan disediakan suatu funding
namanya Project Development Fund atau PDF kita sebutnya, ini biasanya disalurkan melalui BUMN
under Kementerian Keuangan yaitu saat ini ada SMI dan juga PII. Merekalah yang akan mendampingi
nantinya PJPK melalui suatu funding yang disediakan oleh Kementerian Keuangan.

Jadi, segala macam dana yang dibutuhkan untuk penyiapan projek mulai dari penyusunan FS,
pendampingan PJPK pada saat transaksi, dan lain-lain, itu semuanya tidak menggunakan anggaran PJPK
sendiri tetapi PJPK akan enter into atau membuat suatu perjanjian dengan Kementerian Keuangan
terkait dengan penyediaan fasilitas dana PDF ini dan dana PDF itu bisa digunakan oleh PJPK based on
perjanjian antara Kementerian Keuangan dengan PJPK, siapapun PJPK-nya, baik di pusat maupun di
daerah. Beberapa projek yang melalui PDF ini sudah sering dilakukan dan memang sudah proven sejak
tahun 2015, sejak terbentuknya regulasi itu sendiri.

Peraturan-peraturan terkait lainnya yang kita lihat di bawah juga yang memang tidak kalah
penting. Ketika kita bicara kerjasama pemerintah dan juga badan usaha, ada beberapa aspek terkait
dengan aset barang milik negara atau barang milik daerah yang perlu diperhatikan juga. Jadi, ada PP
27/2014 jo. PP 28/2020 dimana skema yang saat ini paling relevan untuk suatu projek KPBU adalah
melalui skema kerjasama pemanfaatan, infrastruktur atau yang kita sering sebut dengan skema KSPI.
Itu mengatur bagaimana mekanisme pemanfaatan aset antara pemerintah dengan badan usaha.

Ketika bicara suatu projek KPBU, biasanya lahan itu menjadi porsi atau tanggung jawabnya
pemerintah untuk dibebaskan, walaupun di beberapa sektor seperti jalan tol misalnya, itu sudah lebih
advance, ada keterlibatan swasta disitu melalui proses, misalnya, skema dana talangan. Tetapi, posisi
tetap aset lahan akan menjadi aset milik pemerintah atau di beberapa downfield project, di dalam
KPBU biasanya ada penyerahan pengelolaan aset yang sudah dicatatkan sebagai barang milik negara
atau daerah kepada pihak swasta.
Penyerahan barang milik negara atau daerah itu merupakan hal yang sensitif karena bicaranya
adalah suatu pencatatan di bukunya pemerintah, oleh karena ituperlu diatur bagaimana
pengaturannya, bagaimana si swasta ini bisa memanfaatkan, persetujuan apa yang diperlukan,
kemudian berapa lama jangka waktunya secara maksimal, apakah memang ada sesuatu yang bisa
didapatkan oleh pemerintah, dan lain-lain. Itu semua diatur di dalam PP 28/2020 dan juga turunan-
turunan yang ada di peraturan Menteri Keuangan itu sendiri.

Tadi saya sudah bicara masalah kerangka regulasinya, semoga dengan penjelasan singkat tadi,
minimal sudah terbayang kira-kira mapping regulasi yang saat ini ada atau kerangka regulasi yang saat
ini sudah ada di Indonesia terkait dengan KPBU itu seperti apa. Saya juga ingin mengajak Bapak Ibu
memahami sebenarnya konsep dasar KPBU. Kenapa belakangan ini khususnya sejak pemerintahan era
Joko Widodo KPBU ini selalu didengungkan, kenapa pemerintah mengambil alternatif pembiayaan
penyediaan infrastruktur melalui skema KPBU, sementara sebenarnya banyak alternatif-alternatif yang
bisa dieksplor.

Jadi, kalau dilihat dari konsep dasarnya, sebenarnya memang ada beberapa manfaat penting
yang bisa diperoleh khususnya dari sisi pemerintah, juga dari sisi swasta, ketika bicara skema KPBU.
Jadi, ketika bicara manfaat, KPBU itu sebenarnya salah satu alternatif pembiayaan penyediaan
infrastruktur. Jadi, memang fokusnya, pengadaannya adalah pada penyediaan layanan infrastruktur. Di
satu sisi, pemerintah punya namanya RJPP, punya RJPM, Rencana Jangka Panjang, kemudian Rencana
Jangka Menengah, dan bagaimana pemerintah bisa achieve terhadap target pembangunan
infrastruktur di Indonesia ini, sementara ada keterbatasan dari sisinya anggaran, dari sisinya APBN
maupun APBD.

Maka, keterlibatan swasta dirasa penting melalui skema KPBU ini, walaupun keterlibatan
swasta juga tidak harus melulu melalui skema KPBU. Keterlibatan swasta bisa juga melalui investasi
langsung yang dilakukan oleh swasta, sementara pemerintah pada saat investasi langsung itu lebih
kepada posisi sebagai regulator saja di masing-masing kementerian atau lembaga sektor terkait.
Dengan adanya KPBU ini, diharapkan ada sharing resiko juga, jadi ketika investasi langsung, resikonya
full di swasta. Tapi ketika menggunakan APBN, resikonya full ada di sisinya pemerintah.

Tapi melalui skema KPBU ini, ada resharing yang dilakukan antara pemerintah dengan badan
usaha, tinggal nanti bagaimana kita mengalokasikan resiko itu supaya ini balance, kemudian proyek ini
bisa diterima, bisa bankable, bisa visible dari sisi swasta tapi bisa juga secure dari sisi pemerintahnya.
Jadi, ketika nanti suatu saat ada proses audit dan lain-lain, bahwa resharing ini tidak menimbulkan
permasalahan baru. Resharing itulah yang memang akhirnya dirasa oleh pemerintah saat ini lebih
tepat untuk mengajak pihak swasta terlibat dalam suatu proses penyediaan infrastruktur di negara
kita.

Kemudian juga manfaat-manfaat lain adalah ketika misalnya pemerintah mengadakan suatu
proyek melalui suatu proses pengadaan barang dan jasa, maka itu akan diadakan suatu proses
pengadaan, misalnya untuk penyediaan infrastruktur bandara, dari sisinya Kementerian Perhubungan,
misalnya. Ketika menggunakan proses pengadaan barang dan jasa biasa, maka pemerintah akan
melakukan pengadaan barang dan jasa secara terpisah, satu-satu, untuk menunjuk kontraktor
misalnya, menunjuk pengembangan area komersial di sekitarnya, dan lain-lain. Jadi, pengadaan itu
berulang dan juga kemungkinan akan ada multi kontrak dengan beberapa pihak. Jadi, kontraknya tidak
hanya satu.

Sementara melalui proses KPBU ini, pemerintah akan lebih terbantu dari sisi kontraknya
karena akan hanya dengan satu pihak atau satu entity. Jadi, memang akan ada kontrak tunggal dengan
badan usaha untuk seluruh kegiatan penyediaan ini. Manfaat dari sisi swasta melalui skema KPBU yang
tidak didapatkan dengan skema investasi langsung atau misalnya melakukan joint venture dengan
pihak swasta lain, adalah adanya dukungan-dukungan pemerintah, dari mulai penyediaan dana PDF-
nya, kemudian dukungan pembayaran ketersediaan layanannya, ada juga kalau misalnya
menggunakan skema tarif, ada dukungan yang tadi PDF, dukungan kelayakan atas sebagian biaya
KAPEX atau konstruksi, kemudian juga ada jaminan pemerintah disitu yang mungkin lebih
meningkatkan comfort dari sisi lenders untuk memberikan pinjaman atau memberikan financing
kepada private sector untuk menjadi proyeknya itu sendiri.

Tadi saya sudah singgung juga masalah risk sharing, bagaimana ketika pada saat penyiapan
proyek mengidentifikasi risiko kemudian mengalokasikan risiko tersebut ada di sisinya pemerintah atau
ada di sisi swasta. Beberapa risiko yang major, yang biasanya kita identifikasi yang pertama adalah
risiko lokasi. Risiko lokasi ini biasanya adanya di sisi pemerintah karena penyiapan lahan, pembebasan,
dan lain-lain. Biasanya untuk mempersingkat waktu dan memberikan kepastian bahwa memang lahan
bisa dibebaskan, sudah ada Undang-Undang Pembebasan Lahan untuk Kepentingan Umum, jadi kita
tidak mengalokasikan risiko itu di sisi swasta.

Kemudian, risiko desain, konstruksi, dan uji operasi. Biasanya memang pemerintah di tahapan
penyiapan proyek itu menyiapkan suatu basic design, tapi basic design itu hanya dipakai untuk
mengukur owner estimate atau mengukur kira-kira berapa nilai CAPEX atau nilai investasi yang
dibutuhkan nantinya pada saat proses pengadaan, sehingga kaitannya nanti untuk menjadi parameter
ketika nanti pemerintah menenderkan proyek tersebut. Tetapi, desain yang lebih detail biasanya akan
dikerjakan oleh pihak swasta. Jadi, risiko desain, konstruksi, dan uji operasi biasanya dialokasikan
kepada pihak swasta saja walaupun nanti memang ada mekanisme acceptance dari sisinya
pemerintah, tapi bukan berarti dengan adanya clearance atau acceptance atas hasil desain, konstruksi,
dan lain-lain itu menyebabkan adanya shifting risiko dari swasta ke pemerintah.

Kemudian, ada risiko sponsor. Disitu kita juga melihat dari sisinya pemegang saham atau
sponsor dari BUP ini. Risikonya biasanya memang dialokasikan semua equity financing-nya dan lain-
lain, itu akan ada disisinya swasta. Kemudian, ada risiko finansial atau pasar. Kita juga
mempertimbangkan dari sisinya lenders, karena biasanya di dalam suatu projek KPBU itu rasio
kebijakannya, equity ratio-nya itu 70-30 atau 80-20. Jadi, risiko finansial atau pasar dalam perspektif
lenders itu penting untuk dipertimbangkan di projek KPBU karena kalau tidak, kalau low equity, tidak
mungkin running project-nya. Tapi kalau misalnya ternyata kita tidak memberikan proteksi, tidak
memberikan kenyamanan kepada lenders pun, akhirnya akan ada kesulitan dari sisinya private sector
untuk mencari financing atau mendapatkan financing dari lenders.

Kemudian, ada risiko operasional, risiko pendapatan. Kalau risiko operasional biasanya
memang akan ada di swasta, kecuali memang ada diskusi yang disebabkan dari government action in
action atau misalnya ada perubahan hukum yang menyebabkan adanya gangguan di sisi operasional
swasta. Risiko pendapatan ini tergantung dari pengembalian investasinya. Kalau misalnya skema
pendapatannya adalah tarif, tentunya risiko pendapatan akan ada di swasta. Jadi, swasta diharapkan
untuk bagaimana dia mencari pendapatannya sendiri selama proses itu diberikan kepada swasta.
Sementara kalau misalnya pengembalian investasi yang dipakai di dalam satu projek itu adalah
pembayaran ketersediaan layanan atau AP, maka risiko pendapatan projeknya akan ada di sisi
pemerintah.

Jadi, parameternya adalah layanan yang diberikan oleh BUP yang sudah diatur di dalam
perjanjian KPBU itu sendiri. Jadi kita akan set parameter-parameternya, sepanjang layanannya bisa
diberikan oleh BUP atau swasta, pemerintah harus bayar sesuai dengan apa yang diperjanjikan
regardless pendapatan projeknya mungkin menurun atau naik dan lain-lain, tapi pembayarannya akan
tetap, karena itu prinsipnya pembayaran ketersediaan layanan.

Berikutnya, risiko konektivitas jaringan. Biasanya juga itu nantinya bisa sharing diantara
pemerintah dan swasta, tergantung nanti penyediaan utilitasnya atau jaringannya seperti apa.
Biasanya di dalam suatu lokasi projek, sambungan-sambungan utilitas dan lain-lain itu akan menjadi
tanggung jawabnya swasta, tapi utilitas umumnya, utilitas besar yang dimana misalnya konektivitas
listrik dan lain-lain untuk sampai ke lokasi projek tersebut, biasanya itu akan menjadi tanggung
jawabnya pemerintah melalui dukungan yang diberikan oleh penyedia utilitas.
Kemudian, ada risiko interface. Ini mungkin lebih relate kalau misalnya ada mix pembangunan
konstruksi antara APBN dengan pihak swasta, kemudian si pihak swastanya ada suatu area yang
dibangun atau suatu infrastruktur yang dibangun melalui skema APBN, kemudian sebagian lainnya
dibangun melalui skema swasta, maka ada kemungkinan ada gap terhadap kualitas pembangunan
yang dilakukan oleh kontraktor APBN dengan pembangunan yang dilakukan oleh pihak swasta melalui
skema KPBU. Risiko interface ini biasanya untuk dialokasikan kepada pihak pemerintah, kalau dalam
case tersebut.

Tetapi, ada juga beberapa case dimana pemerintah merasa itu bisa di-adress melalui suatu
BAST atau serah terima infrastruktur. Sepanjang itu sudah diserahterimakan, sudah dicek oleh BUP-
nya, atau swastanya, maka risiko interface ini harusnya dialokasikan kepada pihak swasta. Tapi, ini
masih sesuatu yang sebenarnya based on case by case basis, jadi sesuatu yang masih bisa didiskusikan
atau dinegosiasikan pada saat penyiapan projek atau pada saat proses pengadaan.

Kemudian, di risiko politik tentunya masuk ke sesuatu yang harus dialokasikan ke pemerintah
karena ini kontrolnya dianggap beyond kontrolnya swasta, tapi masih something yang within
kontrolnya dari sisi pemerintah. Jadi, kalau misalnya ada perubahan hukum yang memenuhi syarat
artinya dia harus diskriminatif biasanya, tapi definisi diskriminatif ini akan berbeda-beda di setiap
projek KPBU. Nanti kalau misalnya Bapak Ibu sudah punya pengalaman di proses KPBU, biasanya
ditemukan di projek ini diskriminatifnya khusus kalau misalnya dia bicara diskriminatif terhadap projek,
jadi suatu perubahan hukum itu hanya berdampak terhadap projek.

Tapi, ada juga di projek-projek lain, perubahan hukumnya itu yang memenuhi syarat dianggap
kalau misalnya perubahan hukum itu berdampak terhadap sektor. Jadi ketika bicara projek KPBU Jalan
Tol misalnya, kemudian ada perubahan hukum terkait dengan sektor Jalan Tol yang berdampak
signifikan terhadap keberlangsungan projek dan juga pemenuhan kewajiban dari sisi swasta terhadap
projek itu sendiri yang diatur di dalam perjanjian KPBU-nya. Biasanya itu dianggap sebagai perubahan
hukum yang memenuhi syarat. Jadi, itu lebih luas lagi dari sisi sektornya. Hal-hal tadi itu biasanya
dialokasikan ke sisi pemerintah.

Kemudian, resiko keadaan kahar biasanya itu sharing risk, balance antara pemerintah dan juga
badan usaha. Kemudian resiko kepemilikan aset, seharusnya itu menjadi resikonya badan usaha
kecuali skemanya BTO dimana ada transfer di awal sebelum dioperasikan. Jadi, model di dunia projek
KPBU itu bisa macam-macam, ada BOT, ada BTO, itu yang common, tapi sebenarnya lebih luas lagi
seperti ada BOO dan lain-lain. Di Indonesia sebenarnya paling common adalah BOT, BTO sedikit jarang,
itu hanya terjadi pada suatu projek-projek tertentu saja.
Kita juga mengenal beberapa prinsip dasar di proses KPBU. Jadi, prinsip-prinsipnya itu
kemitraan yang sebenarnya harusnya posisinya equal antara pemerintah dan juga pihak swasta.
Misalnya alokasi lokasi, resharing, itu untuk menjaga balance antara sisinya swasta dan juga sisinya
pemerintah, termasuk sisi stakeholders terkait seperti lenders, dan harus memberikan keuntungan
kepada pihak swastanya. Karena ini sistemnya kerjasama, tentunya swasta akan tertarik untuk terlibat
dalam projek KPBU jika memang memberikan keuntungan untuk swastanya itu sendiri.

Yang ketiga adalah kompetisi. Jadi karena ini suatu projek pemerintah yang kalau misalnya AP
menggunakan APBN atau misalnya karena ini terkait dengan kepemilikan aset pemerintah di nantinya
setelah periode konsesi, tentunya harus dilakukan melalui suatu mekanisme tender atau kompetisi.
Juga untuk mencari sebenarnya pihak yang paling mumpuni atau pihak yang paling memiliki kualifikasi
atau pengalaman terkait dengan projek yang relevan. Kemudian, ada juga pengendalian dan
pengelolaan resiko tadi, kemudian efektivitas dan juga efisiensi.

Selanjutnya, disini saya mau coba jelaskan kira-kira stakeholdersnya itu siapa saja terkait
dengan KPBU dan biasanya strukturnya seperti apa. Di kolom yang kiri itu ini struktur yang paling
common, jadi ada PJPK disitu, tentunya PJPK dari sisinya pemerintah. Nanti PJPK itu bertanggung jawab
atas persiapan projek KPBU, pengadaan dan juga supervisi pelaksanaan projek KPBU. Termasuk nanti
PJPK juga memiliki tanggung jawab ketika projek KPBU-nya menggunakan skema AP, maka PJPK akan
bertanggung jawab untuk melakukan proses penganggaran AP itu untuk setiap tahunnya walaupun
nanti konfirmasinya dilakukan di awal dengan Kementerian Keuangan, tapi nanti akan ada proses
penganggaran setiap tahun di bukunya PJPK, di APBN-nya PJPK atau di DIPA-nya Kementerian atau
lembaga terkait.

Ada juga Badan Usaha Pelaksana yang akan bertanggung jawab atas pembiayaan, desain,
konstruksi, operasi, dan pemeliharaan sesuai dengan lingkup pekerjaan BUP pada projek KPBU.
Selanjutnya, ada Kementerian Keuangan, fungsinya ada beberapa dan ada beberapa direktorat yang
berbeda. Misalnya ada DJA disitu untuk proses penganggaran APBN sepanjang itu menggunakan AP.
Kemudian, ada juga fungsinya mereka sebagai regulator. Tadi terkait dengan pemberian PDF, jaminan
pemerintah, dan juga pembayaran AP-nya. Kemudian juga ada fungsinya mereka terkait dengan
memberikan persetujuan atas pemanfaatan barang milik negara. Dan juga terkait dengan persetujuan
dan pengawasan atas pelaksanaan pembayaran AP itu sendiri yang bersumber nantinya dari APBN.

Selain itu juga ada Kementerian PPN atau Bappenas yang akan berfungsi untuk merencanakan
dan mengalokasikan anggaran pengembangan nasional, ada juga regulator dan mengawasi
pelaksanaan tahapan KPBU. Selanjutnya, ada LKPP sebagai otoritas terkait dengan proses
pengadaannya itu sendiri, dan juga regulator yang tadi ada penerbitan regulasi LKPP yang sudah
diterbitkan terkait dengan proses KPBU. Juga ada KPPIP yang fungsinya monitoring khusus terkait
dengan projek-projek strategis nasional dan juga prioritas. Jadi, terkait dengan PSM dan juga projek-
projek prioritas.

Kemudian, juga ada AIGF atau PT PII. Fungsinya ada dua, sebagai pendamping transaksi dan
juga sebagai pemberi jaminan pemerintah. Jadi, jaminan pemerintah itu bisa langsung diberikan oleh
Kementerian Keuangan, tetapi mostly di praktek KPBU akan diberikan melalui PT PII sebagai penjamin
pemerintah. Yang terakhir ada SMI sebagai institusi finansial non-bank yang bisa menyediakan
pembiayaan di projek KPBU, tetapi juga sekaligus bisa menerima mandat sebagai pendamping
transaksi projek melalui skema PDF tadi yang diberikan oleh Kementerian Keuangan.

Ini dari sisi tinjauan umum KPBU. Melalui Permen 7/2023 sebenarnya sudah diatur kira-kira
tahapan-tahapan apa yang harus dilalui oleh pemerintah dan juga badan usaha ketika melakukan
penyediaan infrastruktur melalui skema KPBU. Dari sisi Permen 7, mulai dari perancangan kemudian
juga ada pembiayaan disitu, ada konstruksi, ada pengoperasian, ada pengembangan, revitalisasi, dan
lain-lain. Jadi, bicara masalah perancangan, kita bicara masalah bagaimana desain atau strategic
planning disisinya pemerintah. Infrastruktur mana yang mau diprioritaskan melalui penetapan di APBN
maupun penetapan di RPJPP maupun RPJMNnya pemerintah.

Setelah perancangannya matang, baru kemudian bagaimana suatu proses penyiapannya itu
sendiri dilakukan disisinya pemerintah. Mulai dari penyusunan FS atau feasibility study, dokumen
kelayakan-kelayakan proyek sehingga nanti masuk ke dalam suatu proses pengadaan badan usaha
pelaksana. Dari sisi proses pengadaan badan usaha pelaksana dilakukan melalui suatu mekanisme
tender merujuk kepada ketentuan LKPP. Nanti setelah dihasilkan badan usaha pelaksana terpilih,
setelah pemenang lelang terpilih kemudian membentuk badan usaha pelaksana, maka si badan usaha
pelaksana ini akan mulai mencari pembiayaan agar proyek ini bisa mendapatkan financing sehingga
bisa financial close sesuai dengan ketentuan yang ada di Permen Bappenas itu sendiri.

Setelah financial close, maka akan dilakukan mulai tahapan konstruksi. Tahapan desain dulu
biasanya melakukan pendetailan engineering. Dari sisi badan usaha kemudian konstruksi, operasional
dan lain-lain. Sampai nanti ujungnya ke penyerahan hasil konsesi kepada pihak pemerintah dari sisinya
swasta. Bentuk KPBU-nya sendiri juga sudah diatur, tapi tidak diatur secara spesifik. Di dalam
regulasinya sendiri hanya mengatur bagaimana pemerintah dalam melakukan penentuan bentuk
KPBU. Mulai dari dilihat lingkup KPBU-nya seperti apa, jangka waktu dan penahapan KPBU. Kemudian,
ada keterlibatan pihak ketiganya disitu dilihat juga. Kemudian, skema pemanfaatan BMN tadi yang saya
sebutkan. Kemudian ada juga status kepemilikan aset KPBU selama jangka waktu. Tapi yang E ini
menentukan apakah skemanya akhirnya BTO atau BOT. Kalau BTO berarti asetnya akan menjadi milik
pemerintah selama jangkawaktu konsesi. Sementara BOT asetnya akan menjadi miliknya swasta
selama jangka waktu konsesi.

Ini tadi juga saya sudah singgung sedikit terkait dengan pengambilan investasi. Mungkin
highlight yang kita sampaikan di kesempatan pagi ini melalui Permen PPN 7/2023 ini sebenarnya sudah
dibuka suatu bentuk pengemballan investasi yang lebih fleksibel. Jadi, kalau misalnya Bapak Ibu aware,
sebelumnya di Perpres 38 maupun di Permen Bappenas sebelumnya, itu ada dua pengembalian
investasi yang biasanya digunakan. Yang pertama tarif, AP, walaupun sebenarnya di Perpres 38 sendiri
sudah membuka bahwa bisa juga melalui bentuk lain yang sepanjang tidak bertentangan dengan
kedua peraturan perundang-undangan. Tetapi, implementasi yang terjadi di proyek KPBU saat ini
biasanya antara tarif atau AP.

Di Permen Bappenas 7/2023 dibuka peluang bahwa proyek itu bisa menggunakan kombinasi
dari tarif dan juga AP. Jadi, pemerintah bisa mengconsider untuk memberikan pengembalian investasi
kepada swasta melalui kombinasi antara tarif dan juga AP. Namun, sebagai catatan bagi Bapak Ibu
semua, memang ketentuan yang ada dibawahnya yaitu Peraturan Menteri Keuangan itu sendiri belum
disesuaikan. Jadi, ketika ini mau diimplementasikan, belum ada dasar regulasi yang bisa menjadi
underlying atau basis nantinya bagi pemerintah untuk menerapkan itu di proyek KPBU selanjutnya.

Jadi, sepanjang yang kami ketahui memang PMK 260 ini sedang dilakukan pembahasan untuk
dilakukan penyesuaian supaya align dengan apa yang sudah disesuaikan di Permen Bappenas 7/2023.
Kalau sebelumnya bicara masalah AP, itu berarti AP hanya menjadi satu-satunya pengguna investasi
yang bisa diterima oleh Badan Usaha, tidak bisa Badan Usaha itu menerima AP dari APBNnya
pemerintah, kemudian dia juga menikmati tarif disisinya Masyarakat. Jadi, memungut tarif di sisi
masyarakat itu tidak bisa sebelumnya. Tapi melalui Permen Bappenas ini dibuka peluang bahwa bisa
juga karena spiritnya adalah untuk mengurangi beban APBN pemerintah untuk pembayaran AP ini dan
juga meningkatkan kelayakan proyeknya itu sendiri.

Jadi, pemerintah bisa membayar AP tetapi di satu sisi juga bisa dikombinasikan dengan
pungutan tarif yang dilakukan oleh pihak swasta kepada masyarakat. Namun memang sayangnya PMK
260 ini hingga saat ini belum disesuaikan sehingga harus disesuaikan, harus dibuka dulu, diunlock dulu
ketentuannya bahwa memang itu diperbolehkan. Kemungkinan di kuartal pertama tahun 2024
penyesuaian PMK 260 ini akan diterbitkan.

Terkait dengan yang slide selanjutnya, mungkin saya bisa minta tolong tim saya, Pak Rio, untuk
memaparkan terkait dengan detailing proses solicited dan unsolicited, termasuk juga perubahan-
perubahan apa yang ada di Permen Bappenas 7/2023 yang mungkin relevan untuk Bapak Ibu ketahui.
Terima kasih Bapak Ibu, silahkan Pak Rio.

Narasumber : Ricardo Nathanael Ginting

(Hermawan Juniarto & Partners)

Waktu : 10.45 - WIB

Terima kasih Pak Anthony. Jadi, tadi Pak Anthony sudah menjelaskan sebenarnya apa manfaat
dari KPBU, peraturannya apa saja, return of investmentnya, dan sebagainya. Lalu kita sekarang maju
lagi lebih detail berbicara terkait step-step apa saja di dalam KPBU yang harus dilalui. Yang pertama,
kita belum melihat dulu step-step detailnya, tapi kita juga perlu pahami bahwa di dalam KPBU itu ada
proses yang namanya penyelenggaraan KPBU yang memang sudah direncanakan pemerintah maupun
KPBU yang sebenarnya dapat diajukan oleh badan usaha.

Kalau KPBU yang pada prinsipnya direncanakan oleh pemerintah namanya Solicited Project.
Sedangkan ketika program KPBU itu diusulkan oleh badan usaha maka namanya adalah Unsolicited
Project. Di dalam stepnya memang ada slightly different di early stage. Jadi, kalau kita lihat di bagian
Solicited atau yang memang diusulkan atau direncanakan oleh pemerintah, dia akan mulai dari proses
perencanaan dulu, ada penyiapan, ada transaksi, dan juga proses management setelah proses signing.
Di dalam perencanaan, pemerintah akan melakukan identifikasi proyek. juga studi pendahuluan yang
nanti ada beberapa hal-hal yang memang harus dikaji.

Kalau kita lihat di kotak yang di bawah warna abu, disitu kelihatan bahwa ada kajian yang perlu
dikaji di tahap perencanaam yaitu kajian strategis dan kajian inisiatif penyediaan infrastruktur. Kajian
strategis ini akan saya coba jelaskan di slide berikutnya, namun secara garis besar, kajian strategis itu
akan berbicara terkait dengan kesesuaian rencana pembangunan KPBU itu dengan RJPP atau dengan
RTRW. Dalam hal ini adalah apakah sebenarnya perencanaan itu sudah didesain berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam RPJMN dan turunannya.

Lalu, hubungannya juga dengan ketataruangan, apakah sebenarnya rencana pembangunan


jalan tol misalnya, memang sudah sesuai dengan RTRW-nya. Jangan sampai ketika mau melakukan
pembangunan jalan tol di area tertentu, ternyata di dalam rencana tata ruangnya itu bukan area untuk
transportasi publik atau jalan, melainkan area pemukiman. Itu salah satu yang dikaji dalam kajian
strategis selain dari kajian hukum dari kelembagaan yang masuk dari kajian strategis. Kajian inisiatif
penyediaan infrastruktur juga jadi salah satu yang dikaji di dalam aspek perencanaan.
Ketika perencanaan sudah dilakukan, maka masuk ke dalam aspek penyiapan dimana disitu
ada prastudi kelayakan dan market sounding. Di dalam prastudi kelayakan sebenarnya dilakukan
penyempurnaan terhadap studi pendahuluan tersebut. Jadi, ketika kita melihat ada studi pendahuluan
yang mungkin ada gap antara proses perencanaan dan juga penyiapan dari segi waktunya, maka proses
penyiapan itu di dalam prastudi kelayakan ada momen untuk melakukan penyempurnaan atas studi
pendahuluannya, apakah memang ada yang kurang dari penyusunan kajian di studi pendahuluan atau
mungkin ada peraturan perundang-undangan yang berubah karena memang proses penyusunan studi
pendahuluan dan juga prastudi kelayakannya ada gap secara waktu.

Yang kedua adalah aspek market sounding. Market sounding itu adalah momen pemerintah
dalam hal ini akan menyampaikan rencananya dia untuk melakukan penyelenggaraan proyek melalui
KPBU dan membutuhkan masukan dari stakeholder. Secara khusus, masukan-masukan itu lebih
kepada dari calon-calon bidders maupun financial institution yang kelak akan memberikan
pembiayaan kepada badan usaha pelaksanaan yang kelak akan terpilih.

Setelah nanti proses penyiapan itu selesai, maka dengan beberapa persyaratan tertentu yang
harus diceklis di tahap penyiapan, maka kita akan masuk proses transaksi atau sebenarnya proses
lelang dimana proses lelangnya itu pada prinsipnya secara umum. Nanti akan ada prakualifikasinya,
ada proses RFP-nya, dimana badan usaha atau bidang itu menyampaikan usulan proposal-proposal
untuk akhirnya nanti dikompetisikan dengan badan usaha lain sampai akhirnya ditetapkanlah sebagai
pemenang dan pemenang tersebut melakukan penandatanganan perjanjian. Setelah
penandatanganan perjanjian, maka badan usaha pelaksana tersebut harus dalam jangka waktu
tertentu mendapatkan pembiayaan sampai mencapai financial close.

Sedangkan untuk proses manajemen ini adalah terkait dengan pelaksanaan dari perjanjian.
Seperti yang tadi telah disampaikan oleh Pak Anthony, terdapat modality-modality terkait dengan
penyelenggaraan proyek KPBU, ada BOT (Built Operate Transfer), BTO, dan lain-lain. Artinya, ada unsur
kita melakukan pembangunan dulu, lalu dioperasikan, nanti pada akhirnya masa konsesi aset tersebut
harus dikembalikan kepada pemerintah. Itu bagian dari manajemen after signing dari PPP agreement.
Itu kira-kira gambaran umum terkait dengan solicited project.

Adapun kalau terkait dengan unsolicited project, yang cukup unik atau yang slightly berbeda
adalah terkait dengan proses penyiapannya. Jadi, karena ini diusulkan oleh badan usaha, maka badan
usaha menyampaikan minatnya kepada pemerintah untuk melakukan pembangunan terhadap
infrastruktur. Disampaikan dengan adanya letter of interest dan juga dokumen pendukung. Dokumen
pendukungnya biasanya terkait dengan studi pendahuluan ataupun prastudi kelayakan atau studi
kelayakan yang memang sudah disusun oleh badan usaha untuk disampaikan kepada pemerintah dan
kelak pemerintah harus melakukan evaluasi.

Tidak hanya terbatas pada itu saja di dalam tahap penyiapan, tidak hanya menyusun prastudi
kelayakan, tapi badan usaha juga diminta kelak untuk menyiapkan dokumen lelangnya. Dokumen BQ,
dokumen RFP maupun draft perjanjian untuk kelak juga dievaluasi oleh badan usaha. Sampai dengan
nanti diskusi dan evaluasi antara badan usaha inisiator dan juga pemerintah dilakukan, maka nanti
kelak di tahap penyiapan itu harus ada gongnya. Gongnya itu sampai akhirnya disetujui atau ditolak
inisiasi tersebut.

Ketika nanti disetujui, maka sudah masuk ke dalam tahap transaksi dimana proses transaksinya
sendiri kira-kira sama seperti yang di solicited maupun di tahap manajemen. Namun, di tahap
transaksi, sebenarnya yang menjadi kelebihan atau keuntungan dari badan usaha inisiator adalah
pemerintah memberikan eksklusifitas atau dalam hal ini kelebihan di proses lelang bagi badan usaha
seperti penambahan nilai 10 poin, right to match ketika proses lelang, dan yang ketiga adalah FS atau
dokumen-dokumen penyiapan. Kelebihan yang sudah disusun oleh badan usaha itu dapat kelak dibeli
oleh pemerintah dalam hal ini. Itu yang menjadi nilai plus apabila ada badan usaha mengajukan KPBU
unsolicited.

Kita masuk ke tahap yang pelelangan atau pengadaan. lajaran. Di tahap pengadaan itu ada
prakualifikasi dan tahap pelelangan. Saya tidak akan coba detail menjelaskan di dalamnya, namun
unsur-unsur yang penting di dalam proses prakualifikasi dan pelelangan itu pasti harus ada proses
penyampaian informasi terkait dengan pelelangan tersebut atau prakualifikasi tersebut, atau yang
biasa disebut dengan aanwijzing. Di dalam pemberian penjelasan itu nanti badan usaha sebagai calon
bidder dapat menyampaikan pertanyaan dan lain-lain di dalam moment aanwijzing tersebut.

Nanti ada moment dimana ada Q&A session untuk during tertentu dan juga akhirnya nanti
badan usaha menyampaikan dokumen kualifikasinya maupun dokumen lelangnya. Baru nanti
dievaluasi, kalau di tahap prakualifikasi nanti evaluasi akan berujung pada penetapan shortlisted
bidder. Namun, kalau di tahap pelelangan, nanti ujungnya adalah penetapan pemenang. Namun, saya
mau spesifik di aspek pelelangan dan nanti kita mulai dengan proses aanwijzing. Ketika proses
aanwijzing, PJPK melakukan penjelasan terhadap scope of work project dan apa saja yang harus
disampaikan proposal oleh badan usaha.

Disitu nanti ada moment Q&A session yang dibuka cukup panjang bagi badan usaha untuk
menyampaikan pertanyaan ataupun masukan dia terhadap dokumen RFP termasuk dokumen
perjanjian. Ini yang menjadi unik di proyek KPBU, yaitu draft perjanjian itu sudah menjadi lampiran
daripada RFP. Tujuannya adalah supaya badan usaha bisa memberikan masukan input tidak hanya
terbatas pada RFP, tapi juga termasuk pada dokumen perjanjiannya, karena di moment itulah
sebenarnya proses dari negosiasi ataupun masukan dari perjanjian itu dilakukan.

Nanti setelah badan usaha ditetapkan sebagai pemenang, perjanjian itu sudah tidak bisa
dinegosiasikan lagi, sudah tidak bisa lagi mendapatkan masukan dari pemenang lelang. Oleh karena
itu, di moment penyampaian tanggapan PJPK yang nomor 5, disitu moment dimana badan usaha bisa
memberikan masukannya terhadap RFP dan juga perjanjian, Nanti dievaluasilah oleh pemerintah, jadi
kalau misalnya masukan Bapak Ibu sebagai bidder itu diterima, maka pemerintah akan melakukan
revisi atas RFP-nya termasuk draft perjanjiannya. Itulah makanya di dalam praktiknya, terkait dengan
periode penyampaian tanggapan PJPK dan juga feedback yang disampaikan oleh PJPK atas masukannya
bidder itu bisa beberapa kali.

Kami pernah menangani satu proyek dimana periode pemasukan pertanyaan, klarifikasi dan
penyampaian tanggapan dari PJPK itu sampai 2 atau 3 series. Jadi, contohnya tanggal 1 sampai tanggal
5 itu moment badan usaha bisa menyampaikan masukannya, lalu tanggal 10 menjadi waktu bagi PJPK
untuk menyampaikan feedback-nya, termasuk penyampaian apabila masukan tersebut dari bidder
dapat diterima atau ditolak oleh pemerintah atau PJPK. Ketika ada masukan yang dapat diterima, maka
konsekuensinya adalah draft perjanjian di dalam RFP itu harus direvisi, sehingga nanti akan ada “revisi
1” dari RFP-nya.

Lalu, nanti ternyata ada masukan-masukan lagi yang bisa diterima apabila itu memang
diakomodir oleh pemerintah sehingga itu yang bisa menggambarkan bahwa moment terkait dengan
komunikasi, input terkait dengan perjanjian itu memang di momentnya nomor 4 dan nomor 5. Nanti
di slide berikutnya ketika kita berbicara terkait dengan perjanjian atau negosisi perjanjian, itu yang
membedakan proses di KPBU dengan proses di pengadaan barang dan jasa.

Ketika nanti sudah beres proses nomor 4 dan nomor 5 di tahap pelelangan, maka akan ada
proses pemasukan dokumen penawaran. Lalu juga lakukan evaluasi terhadap penawaran tersebut
sampai akhirnya ditetapkan pemenang. Ketika ditetapkan pemenang, memang kalau kita melihat pada
ketentuan Perpres 38/2015 dan juga peraturan Bappenas sebelum 7/2023, pemenang lelang itu harus
membuat suatu SPV atau Joint Venture Company yang memang khusus untuk menyelenggarakan
proyek ini sehingga nanti perjanjian KPBU ditandatangani antara PJPK dengan SPV.

Namun, nanti di slide berikutnya saya akan jelaskan bahwa di peraturan 7/2023 ternyata sudah
dimungkinkan bahwa pemenang lelang itu tidak perlu untuk mendirikan suatu SPV tapi dengan
kebijaksanaan atau kebijakan dari pemerintah itu sendiri atau dari PJPK, sampai akhirnya pendirian
signing, maka itulah beres di tahap lelang.

Ini yang tadi saya sudah sedikit banyak berbicara terkait dengan negosiasi kontrak. Yang
pertama adalah dari aspek negosiasinya sebelum signing. Jadi, negosiasi dilakukan pada saat tahap
pelelangan, khususnya pada saat peserta diperkenankan untuk memberikan pertanyaan atau
pertentanggapan, mempertimbangkan bahwa lampiran perjanjian akan dilampirkan dalam RFP.
Berdasarkan Perka LKPP 29/2018, dalam tahap persiapan penandatanganan perjanjian KPBU, pada
saat finalisasi rancangan perjanjian KPBU, pemenang lelang tidak diperkenankan mengubah substansi
yang dikompetisikan. Itu kira-kira resume dari yang tadi saya telah sampaikan.

Di kotak yang di tengah, yang ada warna biru dan juga warna hijau, ini berbicara terkait dengan
apabila perjanjian telah ditandatangani namun salah satu pihak atau para pihak mau melakukan
amendement atau revisi. Dulu, sebelum terbitnya Permen PPN 7/2023, tidak diatur terkait dengan
amendement terhadap perjanjian KPBU, namun sekarang, melalui Permen PPN 7/2023, sudah diatur
batas-batasan terkait dengan amendement dari perjanjian KPBU dimana disitu sudah ada
persyaratannya yang diatur.

Yang pertama, ada persyaratan perubahan isi dari perjanjian KPBU yang sudah ditandatangani
itu tidak boleh mengubah struktur proyek. Mungkin dulu proyeknya BOT menjadi BTO, itu tidak boleh.
Kemudian, tidak mengubah parameter penawaran yang sudah ditetapkan sebelumnya. Tidak boleh
mengubah kelayakan finansial proyek. Tidak mengubah layanan. Tidak mengubah alokasi resiko. Tidak
menambah kewajiban pemerintah sesuai dengan perjanjian KPBU. Persyaratan tersebut harus dapat
dibuktikan dan harus dilakukan oleh PJPK dan BUP dimana pembuktian tersebut, nanti kalau kita
melihat fokus di hal-hal yang perlu diperhatikan di bawah, pembuktian terhadap pemenuhan
persyaratan yang tadi saya telah sampaikan tersebut, harus dituangkan dalam suatu berita acara dan
berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait.

Jadi ini adalah hal yang baru. Jadi, terkait dengan perubahan perjanjian tersebut sekarang ada
rambu-rambunya, dan pembuktiannya juga harus dibuktikan dengan salah satunya, setidaknya ada
berita acara antara PJPK dengan BUP sebagai parties di dalam perjanjian KPBU untuk membuktikan
persyaratan dari perubahan isi KPBU itu sebenarnya sudah mencapai kriteria yang ada diatur di
Permen PPN 7/2023.

Permen 7/2023 adalah hal yang baru, perubahan dari Permen PPN sebelumnya yang terakhir
itu diubah di Permen PPN 2/2020. Disini yang banyak pertanyaan muncul adalah bagaimana ketika ada
proyek KPBU yang sudah dimulai, baik itu di proses perencanaan, di proses penyiapan, tapi terbit
Permen 7/2023, lalu bagaimana menindaklanjuti atau melanjutkan proyek KPBU yang sebenarnya
masih di tahap penyiapan, belum masuk ke tahap transaksi? Ini yang jadi fundamental, makanya saya
jelaskan di poin yang pertama terkait dengan 7/2023.

Yang pertama adalah di dalam ketentuan peralihannya itu sudah mengatur terkait dengan
pelaksanaan tahapan proyek dimana PJPK yang melaksanakan tahapan KPBU sebelum berlakunya PPN
7/2023, menyelesaikan tahapan dan memenuhi kelengkapan dokumen KPBU sesuai dengan ketentuan
Permen PPN 4/2015.Kalau misalnya ada suatu proyek KPBU sedang di tahap penyiapan, artinya sedang
penyusunan prastudi kelayakan, berarti kalau merujuk pada ketentuan ini, maka penyusunan prastudi
kelayakannya masih merefer pada Permen PPN 4/2015 dimana sebenarnya diatur list-list dari
komponen-komponen apa saja yang perlu dianalisa di dalam prastudi kelayakan. Memang slightly
different dengan konten-konten yang ada di Permen 7/2023.

Lalu yang kedua, untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya, PJPK melakukan tahapan KPBU
sesuai dengan ketentuan Permen PPN 7/2023. Jadi contohnya adalah seperti yang tadi saya
sampaikan, studi kelayakan karena sudah dilakukan melalui rezim PPN 4/2015, tapi proses transaksi
belum dilaksanakan, namun di satu sisi Permen PPN 7/2023 sudah terbit, maka nanti pelaksanaan dari
transaksi atau proses lelangnya harus follow ketentuan Permen PPN 7/2023.

Dan yang ketiga adalah terkait dengan pemenuhan persyaratannya. Terkait dengan
pemenuhan persyaratannya untuk masuk ke tahap transaksi juga harus mengikuti ketentuan di
Permen 7/2023. Seperti nanti ada case dimana ketika kita mau masuk proses lelang, itu ada checklist-
checklist yang harus dipenuhi oleh PJPK. Salah satunya adalah penetapan lokasi sudah atau belum,
penjaminan sudah diterima atau belum, apakah terkait dengan koordinasi atau perolehan persetujuan
pemanfaatan BNM sudah atau belum.

Itu yang secara spesifik sudah diatur di 7/2023 sehingga ketika mau melakukan proses
pelelangan, walaupun OBC atau studi kelayakan disusun berdasarkan Permen PPN 4/2015, tapi
pemenuhan persyaratan-persyaratan yang memang sudah menjadi mandatori di Permen PPN 7/2023,
itu tetap harus dipenuhi. Jadi, itu yang harus diperhatikan bagi kita sebagai legal counsel dalam
mendampingi klien ketika tahap penyiapannya ada di Permen PPN 4/2015. Tapi, ketika mau proses
lelangnya, kita sudah fall under ketentuan di 7/2023.

Yang juga unik, yang membedakan juga di 7/2023 adalah terkait dengan struktur
organisasinya. Selama ini, berdasarkan Permen PPN 4/2015, sebenarnya ada organ yang namanya
kelembagaan yaitu tim KPBU. Tim KPBU itu adalah tim yang dibentuk oleh PJPK untuk
menyelenggarakan proses penyiapan, menyusun feasibility study sampai dengan pendampingan dari
penandatangan perjanjian KPBU. Namun demikian, melalui ketentuan Permen 7/2003, itu sudah
dihapus sehingga kewenangan yang selama ini ada di tim KPBU, itu masuk ke dalam lingkupnya simpul
KPBU.

Jadi, Bapak dan Ibu untuk informasi secara umum Permen 4/2015 atau di ketentuan KPBU
terkait dengan organisasi KPBU, memang sudah ada yang namanya simpul KPBU, ada yang namanya
tim KPBU, dan juga ada yang namanya panitia pengadaan. Tapi dengan 7/2023, organ tersebut
disimplifikasi, dimana kewenangan dan juga tanggung jawab yang ada di tim KPBU itu diabsorb oleh
simpul KPBU. Dan itu diatur secara jelas di Permen 7/2023. Itu yang dari aspek kelembagaan yang
membedakan antara 4/2015 dan juga Permen PPN 7/2023.

Selanjutnya, saya akan coba masuk membandingkan hal-hal yang lebih detail antara Permen
PPN 4/2015 dengan Permen 7/2023. Kita mulai dari aspek yang perencanaan. Terkait dengan
perencanaan, ini adalah hal-hal yang menjadi kegiatan yang dilaksanakan. Itu disimplifikasi di Permen
7/2023dengan cukup ada identifikasi KPBU. Identifikasi KPBU ini salah satunya melakukan penyusunan
studi pendahuluan. Lalu penetapan skema pendanaannya, penyusunan rencana anggaran,
pelaksanaan konsultasi publik, pengusulan proyek KPBU ke dalam rencana KPBU, dan penyusunan
rencana KPBU. Jadi, lebih simpel.

Mungkin saya sedikit mention terkait dengan konsultasi publik. Konsultasi publik itu pada
prinsipnya adalah konsultasi yang dilakukan oleh PJPK kepada masyarakat sekitar. Tujuannya adalah
untuk memberitahukan bahwa akan ada proyek KPBU di area yang ditempati oleh masyarakat sekitar
yang mungkin akan berdampak kepada proses pengadaan lahan. Mungkin lahan-lahan di sekitarnya
yang dimana itu ada pemukiman saat itu, perlu dibebaskan.

Dan yang kedua adalah memberitahukan kepada masyarakat bahwa apa manfaat dengan
dibangunnya suatu infrastruktur tertentu di area masyarakat tersebut. Salah satunya memberikan
informasi bahwa dengan nanti contohnya jalan tol dibangun, atau ada jalan dibangun, maka
pergerakan logistik di daerah tertentu itu akan lebih bagus. Perekonomian di daerah tersebut akan
lebih baik karena ada infrastruktur yang dibangun. Kita pahami bahwa dengan adanya infrastruktur,
maka ada kecenderungan dari peningkatan ekonomi dari masyarakat sekitar.

Itu sebenarnya menjadi salah satu tujuan sehingga kalau misalnya di aspek finansial biasanya
ketika kita mau mendetermine apakah itu KPBU-nya layak atau tidak secara ekonomi, maka nanti ada
secara finansial yang namanya EIRR atau Economic Internal Rate Return. Itu untuk berbicara apakah
dari segi aspek ekonomi itu berdampak kepada masyarakat. Ada juga yang namanya FIRR, Financial
Internal Rate Return, kalau itu berbicara apakah proyek KPBU-nya itu akan menguntungkan kepada
BUP-nya. Tapi kalau EIRR, berbicara apakah proyek KPBU-nya itu berdampak kepada Masyarakat
sekitar. Itu salah satunya konsultasi publik juga dari aspek ekonominya, jadi menceritakan apa yang
akan terdampak kepada masyarakat sekitar termasuk juga aspek dari lingkungan yang mungkin akan
terdampak.

Yang kedua adalah dari segi aspek studi pendahuluannya. Studi pendahuluannya ini memang
berbeda dari segi kontennya dimana sekarang di Permen 7/2023 studi pendahuluannya itu ada di dua
aspek besar, yaitu kajian strategis, memastikan kesesuaian pada RPJMN dan RPJMD, aspek kepatuhan,
regulasi, dan kelembagaan. Jadi, di studi pendahuluan ini kalau kita melihat di 7/2023, aspek hukum
dan kelembagaan RPJMN dan RPJMD itu sudah dikaji dari proses studi pendahuluan. Kalau dulu di
Permen 4/2015, kajian terkait dengan hukum dan kelembagaan itu belum disusun detail di dalam studi
pendahuluan, itu nanti akan disusun di dalam studi kelayakan yang ada di proses penyiapan. Tapi
sekarang in the early stage itu sudah disusun sehingga di proses penyiapan dengan penyusunan studi
kelayakan benar-benar fokus pada penyempurnaan apa yang sudah diatur atau yang sudah dikaji di
dalam studi pendahuluan.

Kajian inisiatif juga jadi salah satu objek dari penyusunan studi pendahuluan terkait dengan
rencana bentuk KPBU-nya, rencana skema pembiayaannya, rencana penawaran KPBU yang mencakup
jadwal, proses, dan cara penilaian. Yang sedikit membedakan di dalam 7/2023 adalah hasil dari studi
pendahuluan itu tidak hanya mengurucut bahwa ini akan dilakukan melalui KPBU. Kalau setelah
dilakukan analisa, penyusunan itu sebenarnya lebih strategis, penyediaan infrastruktur itu tidak
melakukan dengan KPBU, maka itu mungkin jadi bagian dari rekomendasi. Tapi, memang salah satu
tujuannya studi pendahuluan itu supaya bisa mengurucut kepada skema KPBU.

Tapi sekarang di dalam 7/2023-nya tidak hanya terbatas untuk akhirnya bisa mengurucut.
Namun demikian, kalau memang nanti hasil studi pendahuluannya tidak mengurucut kepada
rekomendasi untuk skema KPBU, maka proses penyiapan, penyusunan studi kelayakan dan juga tahap
pelelangannya tidak akan refer ke peraturan KPBU. Kalau misalnya ternyata hasil studi pendahuluannya
memang mengerucut pada skema KPBU, maka proses-proses di depannya, yaitu proses penyiapan,
proses pelelangan, dan manajemen, akan tunduk pada ketentuan KPBU. Ini yang tahap perencanaan.

Berikutnya, tahap penyiapan, dimana prosesnya adalah terkait dengan proses penyusunan
studi kelayakan, market sounding, pemenuhan dokumen-dokumen pendukung sebelum kita enter into
proses pelelangan. Di dalam tahap penyiapan ini, kelihatannya dari 4/2015 dan 7/2023 ini simple,
namun demikian, sebenarnya unsur-unsur dari proses penyiapan yang di 4/2015 yang A sampai E itu,
ada beberapa hal yang diabsorb ke dalam pelaksanaan kegiatan pendukung. Kegiatan pendukung Itu
nanti ada di item kedua.
Tapi secara garis besar, tahap penyiapan itu, pertama adalah penyusunan proses studi
kelayakan, pelaksanaan kegiatan pendukung, dan konsultasi publik. Jadi, konsultasi publik itu bisa
dilakukan tidak hanya sekali, bisa dilakukan juga di tahap penyiapan dan juga penelitian pasar atau
market sounding yang telah saya sampaikan tadi. Kegiatan pendukung ini sekarang didetailkan atau
disentralisasi semua kegiatan-kegiatan tambahan yang harus dilakukan. Di 4/2015 dulu lumayan
tercerai-berai di beberapa pasal, tapi sekarang itu disentralisasi di satu ketentuan, yaitu kegiatan
pendukung sehingga kalau kita lihat Permen 7/2003 terkait dengan kegiatan pendukung, list down-nya
cukup banyak, A sampai H, seperti pelaksanaan pengadaan tanah, perolehan persetujuan lingkungan,
persetujuan pemanfaatan BNN, dukungan pemerintah, jaminan pemerintah, pengajuan AP kalau
memang memakai AP, pempertimbangan KPBU, dan lain-lain.

Kegiatan pendukung ini adalah sesuatu yang sudah bisa dimulai, sudah bisa di exercise untuk
proses hubungan koordinasi dengan stakeholder untuk mendapatkan persetujuan. Walaupun ada satu
catatan, kegiatan pendukung ini tidak harus untuk mendapatkan persetujuan atau perolehan di proses
penyiapan. Ini bisa dilakukan ketika kita mau masuk ke tahap transaksi. Ketika ke tahap penyiapan itu
kita sudah menyusun OBC, studi kelayakan, kegiatan pendukung kita sudah coba susun-susun, ketika
proses OBC itu sudah beres tapi kegiatan pendukungnya memang belum beres, itu sebenarnya tidak
masalah.

Yang penting, sebelum proses transaksi atau proses pelelangan itu dilakukan, pada prinsipnya
mayoritas dari kegiatan pendukung itu sudah bisa diceklist, sudah bisa jadi salah satu persyaratan
untuk masuk ke dalam proses transaksinya. Terkait dengan pembentukan tim KPBU, seperti yang tadi
saya sampaikan bahwa tim KPBU bukan lagi menjadi satu bagian dari organisasi penyelenggaraan
KPBU.

Ini kita masih dalam kajian tahap penyiapan, dimana unsur dari kajian prastudi kelayakan ini
sudah mengerucutkan lagi, tidak cukup detail, yaitu sekarang sudah fokus beberapa aspek saja, kajian
strategis, kajian ekonomi, kajian komersial, kajian finansial, kajian manajemen. Namun, yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa penyusunan prastudi kelayakan ini tujuannya adalah untuk
menyempurnakan dari studi pendahuluan. Contoh, di kajian strategis. Prastudi kelayakan memuat
salah satunya kajian strategis. Kajian strategis tersebut sebenarnya sudah disusun pada suatu studi
pendahuluan sehingga penyempurnaan, konfirmasi itu perlu dilakukan di tahap penyusunan prastudi
kelayakan, sehingga amendement, slightly amendement, penyempurnaan dilakukan pada tahap ini.

Terkait dengan dokumen outputnya adalah dokumen prastudi kelayakan, dokumen kegiatan
pendukung yang tadi saya sampaikan yang memang harus di-checklist ujungnya, dan juga yang ketiga
adalah pemenuhan kesiapan proyek berdasarkan kebutuhan sektor. Jadi, nanti ada aspek-aspek yang
lebih detail terkait dengan sektor-sektor tertentu. Contohnya, di sektor kereta api, ternyata harus ada
desain atau prior design terkait dengan prasarana maupun sarana kereta api.

Kita masuk ke dalam tahap transaksi. Kalau di tahap transaksi, kegiatannya itu catatannya
adalah di context market consultation atau konfirmasi minat pasar itu sudah di-take out dari proses
transaksi sehingga di Permen 4/2015 terkait dengan penetapan lokasi, pengadaan BUP,
penandatanganan perjanjian dan financial close itu masih include di dalam tahap transaksi. Kegiatan
pendukung juga catatannya adalah itu harus sudah di-checklist. Kegiatan pendukung yang sedang atau
sudah dilaksanakan sejak tahap penyiapan merupakan bagian syarat untuk memulai tahap transaksi.

Terkait dengan pengadaan sendiri, yang membedakan adalah di 7/2023 dibuka kemungkinan
pelaksanaan lelangnya menggabungkan langsung antara proses prakualifikasi dengan proses lelang.
Kalau selama ini di 4/2015 pasti diawali dengan prakualifikasi dulu. Prakualifikasi menghasilkan
shortlisted bidder atau badan usaha bidder yang lolos dari proses prakualifikasi, baru masuk ke tahap
lelang untuk penyampaian proposal. Namun, kalau di 7/2023, dimungkinkan adanya di tahap awal
proses lelang itu langsung penggabungan prakualifikasi maupun pelelangan di dalam suatu dokumen
tender ataupun nanti dokumen tender yang disampaikan oleh PJPK.

Terkait dengan penandatanganan perjanjian KPBU, disini BUP didirikan paling lambat 90 hari.
Ini apabila memang dimandatkan untuk pendirian BUP. Perjanjian tersebut ditandatangan paling
lambat 30 hari setelah terbentuknya BUP. Ini cukup teknis terkait dengan perjanjian KPBU. Dan juga
penggunaan badan usaha existing di Permen 7/2023 dimungkinkan. Untuk BUP yang telah berdiri
sebelum pengadaan BUP, dilaksanakan penandatangan perjanjian paling lambat 30 hari setelah
dikeluarkannya penunjukan pemenang pengadaan BUP. Jadi, untuk BUP yang sebenarnya sudah
didirikan oleh badan usaha karena memang dia masuknya bukan lagi sponsor, tapi memang sudah
didirikan oleh sponsor membentuk JV, itu dimungkinkan untuk tidak perlu membuat SPV lagi atau JV
lagi karena dari awal sudah dilakukan pembentukan BUP.

Lalu ini adalah diskusi kita yang terakhir terkait dengan sengketa KPBU dan mitigasinya. Kita
pahami bersama bahwa sengketa itu bisa muncul dari ketidak pemahaman yang sama antara salah
satu pihak dengan pihak yang lain. Sengketa-sengketa KPBU ini mungkin muncul karena ada ketidak
pemahaman terkait dengan apa yang diatur di dalam perjanjian KPBU dan juga berbicara terkait
dengan masalah-masalah apa yang bisa muncul di kemudian hari yang bisa terjadi karena tidak cukup
diatur detail di dalam perjanjian KPBU-nya.

Di bagian ini saya mau menjelaskan terkait apa mitigasi yang bisa kita coba consider supaya
sengketa KPBU itu tidak terjadi ataupun tidak berlarut-larut. Yang pertama adalah aspek prosedur
penyelesaian sengketa. Kita melihat bahwa kalau di dalam perjanjian KPBU atau di proyek KPBU
biasanya melibatkan konsultan pengawas independen. Oleh karena itu, PJPK dan BUP dapat
menandatangani perjanjian penunjukan konsultan pengawasan independen yang fungsinya adalah
untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian KPBU yang dapat meminimalisir
timbulnya sengketa antara PJPK dan BUP.

Jadi nanti, di aspek ini ada berbicara terkait dengan third party independen yang bisa
melakukan evaluasi secara independent terkait dengan penyelenggaran yang dilakukan BUP maupun
hak dan tanggung jawab yang dilakukan oleh pemerintah sehingga disitu ada “wasit” yang bisa
menggambarkan, penyelenggarannya itu sudah benar dilakukan oleh BUP, hak dan kewajiban yang
dilakukan oleh PJPK juga telah berlaku atau sebenarnya ada yang harus dikoreksi.

Yang kedua adalah berbicara terkait dengan mekanisme penyelesaian sengketa berjenjang. Ini
untuk memitigasi supaya sengketa KPBU itu tidak prolong prosesnya. Seperti kita pahami bersama, ada
beberapa layering terkait dengan penyelesaian sengketa berjenjang. Diawali dengan musyawarah
mufakat, lalu nanti akan ada mediasi kalau misalnya musyawarah mufakat tidak bisa selesai. Dan kalau
mediasi juga belum bisa selesai, maka masuk ke proses peradilan yang biasanya pakai pengadilan
ataupun arbitrase. Tapi tujuannya adalah kita coba buat layering-layering dulu supaya harapannya
tidak langsung masuk ke tahap akhir yaitu adalah arbitrase atau pengadilan.

Yang terkait dengan aspek yang triggering terminasi, supaya sengketa itu tidak terjadi, maka
memang perlu ada yang jelas terkait dengan bagaimana perhitungan yang baik terkait dengan biaya
pengakhiran. Kita melihat bahwa pengakhiran itu tidak hanya terjadi karena adanya wanprestasi, tapi
karena memang perjanjian itu sudah beres. Kalau misalnya perjanjian itu harus diakhiri karena ada
default, maka akan ada biaya pengakhiran yang harus dibayarkan.

Apabila biaya pengakhiran itu memang dihitungnya kurang baik, tidak fair untuk salah satu
pihak, maka itu akan memicu terminasinya tidak akan berjalan dengan lancar, bahkan bukan
determinasi, malah itu masuk ke dalam proses peradilan. Itu nanti akan banyak di aspek finansial,
bagaimana sebenarnya menghitung biaya pengakhiran yang adil, baik dari sisi badan usaha pelaksana,
maupun dari sisi pemerintah.

Dan yang kedua adalah terkait dengan aspek penjaminan pemerintah. Penjaminan pemerintah
ini timbul untuk mengalokasikan atau sebenarnya untuk memitigasi apabila ada kesalahan-kesalahan
ataupun wanprestasi-wanprestasi yang dilakukan dari sisi pemerintah. Jadi, ketika pemerintah
melakukan kesalahan, pemerintah itu bisa melalui PII melakukan penjaminan terhadap kesalahan-
kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah. Jadi, sebelum sengketa itu terjadi, maka pemerintah itu
bisa memberikan jaminan atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah supaya apabila
ada suatu default yang dilakukan oleh pemerintah, PII itu memberikan penjaminan dulu sehingga
tujuannya tidak ada maju ke tahap berikutnya yaitu tahap sengketa karena default, contohnya
pemerintah tidak berhasil untuk melakukan pembayaran secara berkala karena pembayaran AP yang
terlambat.

Kira-kira itu adalah garis besar yang bisa kita diskusikan terkait dengan KPBU. Selanjutnya saya
serahkan kembali kepada tim Hukumonline untuk masuk ke sesi Q&A. Terima kasih.

MC :

Baik, terima kasih atas penjelasan yang sangat luar biasa dari Pak Anthony dan juga Pak
Ricardo. Mungkin selanjutnya akan kita lanjutkan ke sesi tanya-jawab. Sudah ada beberapa pertanyaan
yang masuk dalam kolom Q&A.

TANYA JAWAB :

1. Mesianti Tobing : untuk Unsolicited Project, apakah Pihak BUP/Swasta sudah harus melakukan
Pre-FS ketika mengajukan Proposal ke Pemerintah?
Jawab : Pak Tony : iya, betul. Jadi, kalau misalnya unsolicited, tadi sebagaimana dijelaskan oleh
Pak Rio juga, jadi memang perlu ada pre-FS yang sudah disubmit. Tidak hanya pre-FS saja,
bukan hanya dokumen kelayakan, tapi juga dokumen prakualifikasi dan juga RFP serta usulan
draft PKS-nya akan seperti apa. Jadi, di samping pre-FS, maka perlu ada juga dokumen
pengadaan disertai dengan PKS. Nanti disitu akan dinilai dari sisinya PJPK. PJPK akan menilai
apakah proyek ini sudah layak secara finansial dan ekonomi, karena itu menjadi prasyarat
untuk unsolicited project. Proyeknya harus layak secara finansial dan ekonomi dulu, jadi
nantinya ke depannya tidak membebani adanya anggaran di sisinya pemerintah. Kemudian,
dilihat juga apakah si pemrakarsa atau sisi swastanya itu sudah memenuhi kualifikasi atau
belum untuk mengikuti proses pengadaan selanjutnya. Nanti setelah itu dilakukan penilaian
kelayakan dan juga kualifikasinya, maka akan ada suatu proses penetapan pemrakarsa di
sisinya pemerintah kepada si pihak pemrakarsa tersebut. Setelah ditetapkan, baru masuk
mekanisme, nanti proses pengadaannya akan dilead kembali oleh pemerintah. Dari sisi
swastanya, dia bisa memperoleh beberapa keistimewaan setelah ditetapkan sebagai
pemrakarsa, bisa efeknya dibeli oleh pemerintah, kemudian juga bisa diberikan nilai poin
tambahan pada saat proses tender nanti atau diberikan rent to match. Si pihak pemrakarsa
tersebut bisa mengusulkan apa yang mereka inginkan. Jadi, dari sisi unsolicited, sebenarnya
itu ada beberapa keistimewaan yang akan bisa dinikmati oleh si pemrakarsa.

2. Lufy Setia : untuk proyek KPBU ini, apakah wajib Badan Hukum Indonesia atau bisa asing?
Kedua, pada umumnya pihak perjanjian KPBU ini apakah antara Pemerintah-BUP Swasta
langsung atau Pemerintah melalui BUMN Karya atau melaui PJPK? Ketiga, apakah pihak BUP
Swasta bisa memilih antara Tarif based atau Ketersediaan Layanan (AP) based, atau biasanya
sudah ditetapkan oleh pemerintah atau tergantung proyek infrastrukturnya? Terakhir, berapa
lama durasi Tahap Pelelangan dari step 1 sampai selesai biasanya?
Jawab : Pak Tony : jadi yang pertama, terkait dengan proyek KPBU ini, ketika dia sebagai
peserta lelangnya itu bisa juga asing,. Jadi asing itu bisa mengikuti proses tendernya, tetapi
ketika sudah ditetapkan pemenang lelang dan ada kewajiban membentuk BUP, maka BUP-nya
harus badan hukum Indonesia. Tadi dibuka juga sebenarnya peluang sekarang di Permen
Bappenas 7 bahwa BUP-nya itu tidak harus dibentuk setelah proses lelangnya selesai, tapi juga
bisa menggunakan entity atau vehicle yang sudah eksis sebelumnya, pada saat proses lelang
berlangsung atau bahkan sebelum proses lelang berlangsung dengan catatan memang balance
sheet-nya tentunya harus nol dan hanya terkait dengan proyek. Karena KPBU itu prosesnya
project financing, jadi harapannya BUP itu punya catatan terkait dengan pembukuan finansial
di luar dari sisi proyeknya itu sendiri. Balik lagi ke pertanyaan tadi. Jadi BUP-nya harus badan
hukum Indonesia, tetapi peserta lelangnya bisa badan hukum asing. Yang kedua, kalau KPBU
modelnya memang yang ada di Indonesia saat ini pemerintah langsung dengan BUP swasta.
Kalau misalnya yang kedua itu biasanya modelnya ada penugasan dulu ke BUMN, kemudian
nanti BUMN yang melakukan proses tender dengan pihak swastanya. Tapi kalau bicara
masalah yang tadi konteksnya KPBU yang kita diskusikan di pagi hari ini, nanti kontraknya
langsung antara pemerintah dengan BUP swasta. Kemudian yang ketiga, memang penentuan
skema pengembalian investasinya sudah ditentukan pada saat proses penyiapan. Jadi, kalau
tadi kita uraikan, ada tahapan perencanaan, penyiapan, kemudian proses pengadaan, dan
selanjutnya. Pada saat penyiapan itu, salah satu yang dilihat adalah bagaimana ini sisi
kelayakan proyeknya, apakah memang sisi tarif ini akan bisa layak untuk menutupi,
mengembalikan investasinya pihak swasta. Salah satu parameter yang dilihat itu. Kalau
misalnya tarifnya cukup layak, dilihat cukup menarik nantinya untuk swasta maupun pihak
lenders, pasti akan ditentukan melalui mekanisme tarif. Tapi, kalau ternyata tarifnya, misalnya
kita bangun suatu rusun untuk masyarakat berpenghasilan rendah, itu sudah pasti tarifnya
tidak bisa menutupi proyeknya, makanya akhirnya disupportnya atau dikembalikan
investasinya dengan dukungan pembayaran ketersediaan layanan atau AP. Jadi, penentuan
tarifnya, salah satu parameternya itu dan sudah ditentukan di tahapan penyiapan. Jadi, nanti
itu memang sudah given kepada pihak swasta. Kecuali prosesnya unsolicited. Kalau unsolicited
bahkan harusnya melalui mekanisme tarif karena tadi salah satu persyaratannya harus layak
secara finansial dan ekonomi. Walaupun itu unwritten policy, tapi itu kebijakan di sisinya
Kementerian Keuangan yang memang mereka melihat bahwa ini bukan suatu program
pemerintah, tetapi inisiasi swasta, sehingga tentunya mereka tidak mau ada membebani
APBN. Kecuali memang dilihat ini sangat strategis dan lain-lain, tapi belum ada perencanaan
di sisinya pemerintah. Mungkin itu bisa dipertimbangkan, tapi on case-by-case basis. Yang
keempat, ini bervariasi, nanti tergantung juga karena ada mekanisme lelang yang satu tahap,
dua tahap, tapi pada umumnya mungkin yang saya bisa sampaikan, prinsipnya PQ itu 2-3
bulan, untuk yang penilaian kualifikasi, kemudian masuk ke dalam proses lelang RFP-nya,
mungkin di 4-6 bulan. Idealnya begitu, tetapi kadang-kadang ada urgensi kebutuhan
penyediaan infrastruktur yang lebih cepat di sisinya PJPK, yang lebih agresif, timenya juga
banyak, jadi, PQ-nya bisa juga dia minta 1 atau 2 bulan, kemudian RFP-nya diminta 3 bulan.
Tapi kadang-kadang dari sisi swasta melihat bagaimana menyiapkan proposal yang robust
terkait dengan proyek ini kalau misalnya timelinenya sendiri tidak. Akhirnya, timeline tersebut
mempengaruhi kelayakan dari sisi proposal yang disiapkan oleh badan usaha itu sendiri. Jadi,
secara timeline, idealnya harusnya 2-3 plus 4-6.

3. Taufik : apakah PJPK masuk ke dalam komposisi kepemilikan SPV?


Jawab : Pak Tony : ini sebenarnya benchmarking PPT itu banyak modelitynya. Yang
disampaikan memang ada di referensi di beberapa negara dimana sebenarnya pemerintah
terlibat di dalam pengerjaan proyeknya. Jadi, pemerintah memiliki equity participation di
dalam SPV-nya. Tapi, memang di dalam model yang kita miliki saat ini di Indonesia, model itu
belum dikenal. Jadi, di model yang saat ini dimiliki di Indonesia, pemerintah itu tidak pernah
masuk di dalam komposisi kepemilikan saham si SPV-nya. Jadi, SPV-nya itu komposisi
pemegang sahamnya pure dari pihak swasta yang berasal dari kepesertaan lelang. Jadi, pada
saat proses pengadaan itu kepesertaan bisa dalam bentuk tunggal maupun dalam bentuk
konsorsium. Kalau misalnya dia konsorsium, nanti si anggota konsorsium itu yang akan menjadi
pemegang saham SPV-nya. Sementara kalau dia bentuknya tunggal, biasanya kita
mensyaratkan karena baik undang-undang PT itu minimum dua pemegang saham, biasanya di
dalam nanti pada saat ditetapkan sebagai pemenang lelang, ketika pembentukan SPV, kita
mensyaratkan si afiliasinya dia untuk duduk sebagai salah satu pemegang saham dari SPV-nya
tersebut.

4. Anonymous Attendee : bagaimana perlindungan hukum bagi investasi baik dari pemerintah
maupun dari pihak swasta dijamin dalam skema KPBU?
Jawab : Pak Tony : jawabannya bisa banyak sebenarnya pintunya. Tadi sudah dijelaskan
sebenarnya ada suatu mekanisme penjaminan di PT PII. Mekanisme penjaminan ini
sebenarnya memberikan proteksi kepada badan usaha maupun lenders. Jadi, apa yang dijamin
oleh PT PII ini selaku BUMN-nya Kementerian Keuangan? yang dijamin itu adalah kewajiban
finansialnya PJPK dan juga resikonya, resiko politik. Jadi, kalau misalnya di suatu proyek ada
investasinya, misalnya pengembaliannya melalui skema pembayaran ketersediaan layanan
atau AP. Tiba-tiba ada suatu proses penganggaran yang bermasalah di sisinya PJPK, di APBN
maupun APBD-nya dia, yang menyebabkan adanya keterlambatan pemerintah. Disitu PII bisa
masuk untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu. Tentunya nanti PII akan ada perjanjian
dengan PJPK, jadi sifat pembayaran dari PII itu seperti talangan atau asuransi bahasa
umumnya, tetapi berbeda dengan skenario asuransi. Jadi, intinya PJPK tetap harus
mengembalikan apa yang sudah ditalangi oleh PII. Kemudian, terkait dengan resiko-resiko lain,
seperti resiko perubahan hukum dan lain-lain, itu juga dijamin dari sisinya PII. Dengan
pemberian jaminan oleh PT. PII itu diharapkan memberikan pengembalian investasi yang lebih
terjamin atau lebih pasti sebenarnya di sisi pihak swasta. Kemudian, yang kedua, dengan
skema KPBU ini, penyiapan proyeknya itu sudah rigid di sisi regulasi. Jadi, bukan suatu proyek
yang ditenderkan tanpa ada penyiapan yang jelas. Ketika proyek ini ditenderkan atau
ditawarkan kepada pihak swasta, ada regulasi di Perpres dan juga Permen Bappenas yang
mengatur bagaimana mekanisme proses penyiapannya itu sendiri. Proses penyiapannya
sendiri tadi dijelaskan juga bahwa kajian studi kelayakannya juga sudah diatur. Kajian studi
kelayakannya itu sisinya apa saja, salah satunya mempertimbangkan sebenarnya bagaimana
pengembalian investasi ini layak di sisinya badan usaha. Ketika bicara suatu proses KPBU, maka
seharusnya ketika itu ditenderkan, harapannya itu sudah visible, sudah acceptable di market,
khususnya bagi pihak investor. Jadi, itu juga menjadi suatu jaminan dari sisi pihak KPBU. Di
samping itu juga ada dukungan-dukungan pemerintah lain yang disediakan di proses KPBU
untuk menjamin suatu proyek KPBU ini layak untuk ditawarkan kepada pihak swasta.

5. Anonymous Attendee : apakah ada ketentuan dalam hukum KPBU yang mendukung kolaborasi
internasional dalam pembiayaan dan pelaksanaan proyek infrastruktur?
Jawab : Pak Tony : kalau konteksnya kolaborasi internasional dalam konteks G2G, mungkin
diaturnya bukan di payung hukum KPBU. Misalnya antara pemerintah Indonesia dengan
pemerintah lain. Tapi, di dalam KPBU itu kolaborasi internasional terkait dengan financing, itu
tidak menutup kemungkinan bahwa investornya itu boleh investor asing atau pihak
financiernya atau lendernya itu juga bisa berasal dari internasional atau dari asing. Jadi,
kolaborasinya mungkin terbentuknya dari situ. Jadi, tidak ada batasan spesifik. Batasan
spesifiknya mengacu lagi ke regulasi sektornya masing-masing kalau terkait dengan investor
asing tersebut, masalah batasan kepemilikan saham, dan lain-lain. Termasuk juga masalah
pinjaman luar negeri, dan lain-lain, itu balik lagi ke regulasi sektor mengenai pinjaman luar
negeri yang berlaku di peraturan Menteri Keuangan, mekanisme, dan lain-lain. Tetapi, bentuk
kolaborasinya mungkin lebih pada saat di proses pembiayaan seperti itu yang terjadi, pada
saat implementasi KPBU itu sendiri. Sementara di dalam proses pelaksanaannya juga tidak
menutup kemungkinan si BUP ini untuk bekerjasama dengan, misalnya kontraktor pekerjaan
konstruksi di level asing. Tapi, subjek to requirement yang ada di Indonesia tentunya, dimana
kontraktor asing perlu membentuk JO, dan lain-lain, atau membentuk JV dengan local
partners, dan lain-lain. Dan di samping itu juga dia tidak menutup kemungkinan, misalnya,
untuk bekerjasama dalam melakukan ONM services-nya dengan vendor-vendor internasional
atau asing. Jadi, kolaborasinya lebih kepada B2B, bukan dalam konteks G2G yang diatur di
dalam proses KPBU. Mungkin kalau G2G kita punya payungnya sendiri yang memang mungkin
di luar konteks KPBU yang kita diskusikan di pagi hari ini.

6. Anonymous Attendee : bagaimana mekanisme kerja sama lintas batas diatur dalam skema
KPBU?
Jawab : Pak Tony : tapi ini saya asumsi. Nanti mungkin pertanyaannya kita boleh klarifikasi juga
sepertinya. Maksudnya lintas-batas yang disini, maksudnya lintas sektoral kah atau lintas-batas
wilayah, atau seperti apa? Jadi, di proses KPBU sendiri yang ada di regulasi saat ini, itu boleh
misalnya kita cross-sektor. Misalnya kita ada suatu infrastruktur yang kewenangannya
sebenarnya ada di dua kementerian atau lembaga atau di suatu pemerintah daerah. Itu ada
namanya join GCA atau join PJPK dimana dia bisa bekerjasama. Nanti dia menunjuk siapa yang
PJPK sebagai lead-nya. Misalnya, ada pembangunan infrastruktur yang melibatkan
Kementerian Perhubungan dan juga Kementerian ESDM, misalnya. Jadi, Kementerian
Perhubungan dan ESDM ini bisa bekerjasama menjadi join GCA, kemudian nanti salah satunya
ditunjuk sebagai pimpinan PJPK. Selanjutnya nanti tinggal dibagi saja tupoksi kewenangan
wilayahnya masing-masing berdasarkan regulasi yang ada. Jadi, kalau itu yang dimaksud lintas
batasnya, itu diatur di dalam peraturan KPBU-nya. Tapi kalau misalnya bukan itu, bisa di kolom
Q&A dipertegas saja pertanyaannya, kira-kira apakah memang itu atau bukan. Thank you.

7. Anonymous Attendee : bagaimana pengalaman dari implementasi KPBU di negara lain dapat
diadopsi dalam konteks hukum Indonesia?
Jawab :Pak Tony : kita pernah punya pengalaman misalnya mau develop PPP rumah sakit,
sementara di Indonesia itu belum pernah punya pengalaman untuk membangun rumah sakit
dengan skema KBPU. Yang kita bisa ambil adalah bagaimana international best practice itu bisa
diterapkan di Indonesia. Misalnya, di dalam mekanisme rumah sakit itu, pengembalian
investasinya yang biasa lebih common itu apakah menggunakan skema AP atau menggunakan
skema tarif. Dengan benchmarking di negara-negara lain yang memang sudah lebih well-
developed dari sisi sektor rumah sakit. Yang kedua, yang dilihat juga adalah commercial sense-
nya, bagaimana commercial sense itu diterapkan di suatu proyek KBPU yang tentunya
menimbulkan ketertarikan dari sisi pihak swastanya dan juga dari sisi bankability proyeknya itu
sendiri. Tapi, tentunya kita tidak bisa melupakan peraturan yang berlaku di Indonesia terkait
dengan sektor rumah sakitnya, peraturan KBPU-nya, jadi tetap harus comply dengan regulasi
yang ada di regulasi KBPU. Tetapi yang bisa diambil adalah pengalamannya mereka dan juga
dari sisi aspek komersialnya lebih banyak supaya nanti ke depannya ketika proyeknya
ditawarkan ke pihak swasta atau ditenderkan, itu bisa diterima, khususnya oleh investor-
investor asing kalau misalnya proyeknya mau ditender out ke investor-investor asing, bukan
hanya investor lokal. Jadi lebih ke titik-titik itunya yang kita coba mirroring atau kita coba
benchmarking ke pengalaman di negara-negara lain.

8. Anonymous Attendee : bagaimana peran lembaga keuangan, seperti bank dan lembaga
pembiayaan, diintegrasikan dalam skema KPBU? Apakah ada regulasi khusus yang mengatur
peran lembaga keuangan dalam mendukung proyek KPBU?
Jawab : Pak Tony : iya. Sepertinya kalau yang di-backup dengan regulasi adalah keterlibatannya
SMI dan juga PII dalam konteks mereka sebenarnya lembaga keuangan nonbank. Jadi SMI itu
punya mandat, disamping dia sebagai pendamping transaksi, tapi dia juga punya mandat
untuk melakukan pembiayaan-pembiayaan infrastruktur di Indonesia, tapi kalau PII fokusnya
untuk memberikan support terkait dengan jaminan dan juga pendampingan transaksi. Tapi, di
luar konteks itu, sepengetahuan saya, tidak ada regulasi yang mewajibkan misalnya bank
BUMN, untuk memberikan endorsement atau support kepada setiap proyek KPBU, itu tidak
ada. Tapi secara spirit, di suatu BUMN itu ada namanya sinergitas, Jadi kadang-kadang kalau
misalnya tendernya diikuti oleh peserta-peserta BUMN, biasanya mereka akan lebih mudah
mendapatkan pembiayaan dari sisi BUMN karena mereka bisa bersinergi antar BUMN. Tetapi
kalau di konteks yang secara regulasinya, mungkin hanya sebatas itu, tapi kalau peran-peran
lembaga keuangan, seperti bank dan lembaga pembiayaan, tentunya akan sangat penting
karena komposisi pembiayaan di setiap proyek KPBU itu selalu majority berasal dari pinjaman
bahkan 70-80% dari total investasi itu datangnya dari lembaga keuangan. Jadi, sangat vital,
makanya kalau dilihat nanti, kita selalu memberikan proteksi dan juga pertimbangan mengenai
concern-concern lenders kalau misalnya proyek ini mau mereka berikan pembiayaan. Itu selalu
dijadikan sebagai dasar pada saat penyiapan proyeknya itu sendiri, termasuk pada saat
penuangan perjanjiannya. Perlu ada tingkat kenyamanan yang kita tuju supaya lenders ini mau
membiayai si proyek KPBU ini. Kalau tidak, proyeknya tidak akan running, itupun di dalam
regulasinya sendiri ada satu tahapan spesifik namanya financial close. Financial close itu
artinya bahwa si proyek itu sudah berhasil mendapatkan pembiayaan dari sisi lenders. Kalau
financial close itu tidak tercapai, proyeknya terminate, cancel. Jadi, perannya sangat vital
terkait dengan hal ini.

9. Anonymous Attendee : bagaimana kemungkinan penggunaan pendanaan alternatif, seperti


obligasi hijau atau crowdfunding, dalam proyek KPBU? Apa dampak hukum dari variasi sumber
pendanaan ini?
Jawab : Pak Tony : ini memang salah satu creative financing yang memang lagi coba digodok
di dalam diskusi-diskusi atau forum-forum KPBU. Jadi, memang kalau kemarin-kemarin ini
banyak pinjaman konvensional dari sisinya lenders dan lain-lain, yang coba di-approach, yang
digunakan oleh si private. Tapi, diluar sana ternyata green bonds, kemudian model-model
seperti RDPT dan lain-lain, crowdfunding yang model di pasar modal atau secondary market,
itu memang ternyata sudah mulai diterapkan. Namun memang hal ini belum terlalu common
di Indonesia. Di beberapa sektor sepertinya akan coba diterapkan, misalnya di sektor air. Jadi,
di sektor air itu mereka karena sudah lebih mature sektornya, jadi mereka lebih coba mencari
bagaimana ini terobosan-terobosan apa lagi yang bisa dilakukan di sisi pembiayaan proyek itu
sendiri, yang intinya kalau dari sisi pemerintah itu bisa mengurangi beban APBN khususnya,
dan juga tetapi bisa memberikan layanan yang tetap optimal. Tapi, regulasinya sendiri, creative
financing, sepertinya akan keluar berbarengan dengan revisi PMK yang tadi saya sebutkan, di
kuartal pertama tahun 2024. Tetapi, apakah memang akan spesifik mengatur jenis-jenis
creative financing seperti apa, menurut hemat saya, akan dikembalikan lagi ke appetite swasta
masing-masing, apakah dengan bonds obligation ini misalnya atau green bonds ini misalnya
,sudah dianggap sudah lebih feasible dibandingkan konvensional loan atau pinjaman
konvensional dari sisi perbankan, atau seperti apa. Sedangkan kita perlu juga kesiapan di sisi
aspek pasar modalnya itu sendiri, di sisi bursanya terkait dengan proyek infra ini.
Pak Rio : mungkin saya menambahkan sedikit. Saya kasih contoh badan usaha pelaksana yang
coba menggunakan seperti obligasi dan lain-lain, itu biasanya di jalan tol. Di jalan tol ada
beberapa proyek KPBU, maksudnya proyeknya itu pelelangannya melalui KPBU, lalu BUP-nya
menjelang proyeknya, lalu di 5-10 tahun setelah penyelenggaraan proyek itu, maka mereka
menggunakan obligasi, RDBT, dan lain-lain. Paling tidak ada 2 atau 3 proyek jalan tol yang
menggunakan skema itu. Jadi, kalau misalnya sudah mulai atau belum sudah mulai, tapi
memang kecenderungannya adalah di dalam proyek KPBU yang cukup mature, dan juga
proyek yang sebenarnya dari segi keuntungannya itu cukup jelas. Salah satunya karena kalau
jalan tol itu dari user charge, proyek jalan tolnya atau penggunanya cukup banyak, sehingga
terkait dengan penggunaan skema obligasi dan lain-lain, cukup oke dan mature, dan juga
menjamin terhadap proyek implementasi dari obligasinya sendiri, dan juga orang atau pihak
yang mau membeli obligasinya. Mungkin itu. Terima kasih.

10. Taufik : dalam konteks peyediaan infrastruktur perkeretaapian, apakah ada perbedaan secara
konseptual antara Perjanjian KBPU dengan Perjanijan Konsesi? apakah Perjanjian Konsesi
tetap dibutuhkan setelah penandatanganan Perjanjian KPBU?
Jawab : Pak Tony : Ini Mas Rio bisa cerita, dia punya pengalaman langsung soal ini. Silahkan.
Pak Rio : jadi mungkin sedikit backgrounding, kalau di penyelenggaran kereta api itu memang
ada dua sektor besar. Penyelenggaran prasarana dan penyelenggaran sarana. Penyelenggaran
prasarana itu untuk melibatkan badan usaha, salah satunya memang dibuka adanya proses
pelelangan umum. Di dalam ketentuan peraturan perundang-undangannya terkait dengan
penyelenggaran prasarana, salah satunya dibuka opsi. Untuk proses pelelangan
penyelenggaran prasarana itu bisa dibuka pintunya dengan mekanisme KPBU sehingga
kerjasama antara Kementerian Perhubungan dalam hal ini dengan badan usaha melalui KPBU,
itu memang dieksekusinya melalui perjanjian KPBU, yang mana itu juga sama dengan
perjanjian konsesi. Jadi dalam hal ini, perjanjian konsesi atau unsur-unsur dari perjanjian
konsesi sudah masuk ke dalam perjanjian KPBU. Kita sebagai legal councel, salah satu
catatannya adalah untuk memastikan bahwa minimum konten dari perjanjian konsesi yang
memang sudah diamanatkan di dalam peraturan perundang-undangan sektor penyelenggaran
prasarana, perlu memastikan juga masuk ke dalam perjanjian KPBU yang akhirnya dieksekusi
antara badan usaha pelaksana dengan pemerintah dalam hal ini.
Pak Tony : jadi kita punya pengalaman dulu mendamping Makassar-Parepare, KPBU pertama
kereta api di wilayah Sulawesi. Jadi, memang jawabannya yang tadi Mas Rio sampaikan, tidak
ada lagi perjanjian konsesi, harusnya perjanjian KPBU-nya dianggap sebagai perjanjian konsesi.
Jadi, mekanisme di regulasi sektornya, lelang itu bisa melalui lelang dengan skema KPBU atau
lelang lain. Kalau dia melalui mekanisme lelang lain, tentunya dia punya konsesi sendiri. Tapi
kalau dia sudah menggunakan skema KPBU, perjanjian KPBU itu akan menjadi perjanjian
konsesinya.

11. Aldimas Febrinur R : apakah seluruh jenis infrastruktur dapat dilakukan skema KPBU
mengingat sesuai Pasal 57 ayat 7 dan 8 UU SDA terdapat pembatasan infrastruktur SDA? Ayat
7 “Penyediaan Prasarana Sumber Daya Air dapat dilakukan melalui kerja sama pendanaan
dengan badan usaha swasta atau pemerintah negara lain” Ayat 8 “Kerja sama pendanaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk kerja sama dalam pelaksanaan kegiatan
Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Air”. Mohon pandangannya bagaimana?
Jawab : Pak Tony : yang bisa dikerjasamakan jenis infrastruktur itu yang dilist down di dalam
Permen Bappenas. Jadi, di Permen Bappenas 7/2023 itu sudah me listdown jenis infrastruktur
apa saja yang bisa dikerjasamakan. Di luar itu bisa dilakukan, tapi perlu ada konsultasi dengan
Bappenas itu sendiri. Untuk sektor air, sebenarnya bisa, tapi di sistem penyediaan air
minumnya, bukan pengelolaan sumber daya airnya. Kalau sumber daya airnya tentunya tidak
bisa dikerjasamakan, tapi sistem penyediaan air minumnya itu yang bisa di-KPBU-kan dan itu
sudah banyak. Dimulai dari awalnya spam umbulan, kemudian sekarang sudah ada beberapa
spam regional even, dan juga ada beberapa spam di daerah atau di kabupaten yang sudah
dilakukan dengan menggunakan mekanisme KPBU, seperti di Lampung dan lain-lain, baik di
level provinsi maupun di level kabupaten-kota. Itu sudah banyak dilakukan. Tentunya dengan
batasan yang ada di regulasi sektor. Makanya penting di dalam proses penyiapan proyek itu,
kita menilai juga compliance pada saat scope yang akan di-KPBU-kan dengan ketentuan yang
ada di regulasi sektor. Jadi, kalau di dalam regulasi sektor air, misalnya itu sudah cukup jelas
yang bisa di-KPBU-kan itu, sistem penyediaan air minum itu sebatas hanya di infrastruktur
produksi dan juga distribusinya saja. Tetapi, ketika dia bicara mulai dari distribusi kepada
penggunanya, itu dia tidak bisa di-KPBU-kan. Itu masuk ke dalam scopenya PDAM masing-
masing nantinya. Jadi, BUP itu hanya dari mulai pengelolaan air bakunya menjadi air bersih,
kemudian air bersihnya didistribusikan ke titik serah terima dengan PDAM, nanti PDAM yang
akan mendistribusikan kepada pengguna atau masyarakat.
12. Aldimas Febrinur R : apakah dalam Permen Bappenas tentang KPBU terbaru, mengatur
mengenai creative financing antara lain KPBU dengan prinsip syariah?
Jawab : Pak Tony : mungkin Mas Rio bisa yang ini. Tapi intinya yang tadi disampaikan, bentuk
lain pengembalian investasi dan lain-lain, kreatif financing itu dibuka kesempatannya dalam
Permen Bappenas. Even yang tadi kombinasi tarif dan juga AP itu juga dibuka sebenarnya
sekarang. Tetapi memang peraturan turunan di level PMK-nya yang sedang digodok untuk
disesuaikan agar si kreatif-kreatif financing tadi itu bisa dilakukan atau diterapkan di skema
KPBU. Tapi, sekarang spiritnya memang dari sisi pemerintah itu mencari alternatif-alternatif
pembiayaan lain untuk mensupport proyek KPBU-nya itu sendiri. Tidak lagi menggunakan
pendekatan-pendekatan konvensional dengan pinjaman perbankan dan lain-lain. Termasuk
kemarin ini, kita ada bantu PPP Rumah Sakit Umum Daerah di Aceh. Dan itu ingin
penerapannya full syariah financing. Itu juga sebenarnya tidak ada batasan di dalam regulasi
KPBU-nya, bisa saja. Ini fungsi sosialisasinya pemerintah, bagaimana pemerintah
mensosialisasikan proyek-proyek KPBU ini ke stakeholders terkait. Termasuk ke stakeholders
pasar modal, misalnya kalau kita mau menerapkan green bonds, juga termasuk ke
stakeholders-stakeholders terkait dengan syariah. Kalau kita mau menerapkan syariah
financing berarti instrumennya harus disiapkan di sisi seberangnya sana juga. Kesiapan dari
bank syariah, apakah mereka siap tidak untuk mensupport suatu proyek KPBU dengan segala
macam resharing-nya, dengan segala macam dukungan yang sudah diberikan oleh
pemerintah. Jadi, sepertinya ini memang pembicaraan yang harus melibatkan berbagai
macam stakeholders.
Pak Rio : intinya saat ini di peraturan Bappenas terkait dengan KPBU yang baru dan juga secara
khusus ada aturan terkait dengan KPBU di IKN sudah dibuka, di mention terkait dengan
kemungkinan kreatif financing. Tapi, detail dari kreatif financing-nya apa, memang itu yang
harusnya dijawantahkan lebih lanjut di peraturan pelaksanaan. Yang itu sedang digodok di
lingkungan Bappenas. Memang kebetulan kami juga sedang mendampingi dari Bappenas
untuk melakukan exercise terkait dengan bentuk-bentuk kreatif financing apa sebenarnya
yang bisa diaplikasikan dalam KPBU. Jad,i kira-kira situasinya saat ini, perkembangan terkait
dengan kreatif financing yang dilakukan oleh pemerintah kira-kira di tahap itu.

13. Mesianti Tobing : apakah ada pengalaman di Skema KPBU di Sektor Persampahan? Bagaimana
skema yang sudah pernah dilaksanakan apakah dengan tipping fees?
Jawab : Pak Tony : skema persampahan itu bisa hanya waste management-nya saja. Tentunya
kalau waste management-nya saja, nanti pembayarannya tipping fee “AP” dari sisi karena itu
bicara masalah biaya pemungutan sampah oleh si badan usahanya dan juga termasuk biaya
pengelolaannya nanti. Ada juga yang modelnya dijadikan sebagai suatu energi, yaitu waste to
energy. Dijadikan sebagai sumber energi khususnya terkait dengan Listrik. Kalau seperti itu,
sebenarnya modelnya selain dia mendapatkan tipping fee, dia akan mendapatkan tarif dari
penjualan listriknya itu sendiri. Memang challenge-nya, walaupun kita aware bahwa sudah ada
payung regulasi dalam bentuk Perpres terkait dengan proses percepatan WTE ini untuk
menangani pengelolaan sampah di Indonesia, tetapi memang masih banyak project yang stuck
pada saat bicara masalah teknologi pengelolaan itu sendiri. Sekarang model teknologinya
sudah banyak. Ada insenerasi dan lain-lain. Dan model teknologinya juga sudah dari berbagai
macam negara. Model dari Korea dan Jepang dan lain-lain, tetapi memang challenge di
Indonesia adalah efisiensi terkait dengan pengelolaan sampahnya. Efisiensi pengelolaan
sampah dalam arti bahwa kita belum secara disiplin melakukan pemisahan-pemisahan
terhadap sampah organik, sampah non organik dan lain-lain. Itu menyebabkan akhirnya
teknologi yang digunakan sebisa mungkin jadi kurang efisien karena harus dipilah-pilah
kembali. Jadi, kalau di dalam suatu teknologi persampahan yang kami ketahui, akan lebih baik
kalau misalnya ini sampah organik kering misalnya, jadi kadar basahnya hanya mencapai kadar
atau level tertentu sehingga nanti ketika itu mau dijadikan suatu listrik atau suatu energi
terbaharukan, maka itu akan lebih efisien. Challenge-nya memang disitu. Waktu itu sempat
ada isu, ada temuan dari sisi KPK waktu itu. Saya ingat saya ada sisi audit tapi sepertinya itu
sudah diselesaikan. Jadi dianggapnya waktu itu ada double payment dari sisi pemerintah, BUP-
nya dibayar PPP untuk koleksi sampah tapi pemerintah juga masih mengeluarkan AP untuk
sistem pengelolaannya. Tapi isunya sudah settle, jadi temuannya sudah tidak relevan lagi
terkait dengan hal ini dan mungkin penerangan TPV sampai saat ini sudah bisa dijalankan .

MC :

Terima kasih, Pak Anthony dan Pak Ricardo. Mungkin pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan
terakhir dalam sesi tanya-jawab webinar kita pada hari ini. Sebelum saya tutup, saya persilahkan
kepada Pak Anthony dan Pak Ricardo untuk memberikan closing statement di penghujung acara kita
pada hari ini. Silahkan.

Closing Statement dari Pak Anthony :


Mungkin dari kami tentunya sangat mengapresiasi webinar hari ini. Semoga tentunya kita
memiliki webinar-webinar selanjutnya dari Hukumonline dan juga Hermawan Juniarto & Partners. Dan
semoga ini juga bermanfaat bagi Bapak-Ibu semua. Kami sangat welcome kalau misalnya nanti ada
follow-up question dan lain-lain atau misalnya ada spesifik training yang diminta oleh Bapak-Ibu di
perusahaan Bapak-Ibu masing-masing. Tentunya kita bisa bicara atau diskusi karena kita juga
memprovide itu sekarang. Kadang-kadang kita memberikan suatu training-training atau pengayaan di
sisi private company yang memang ingin mengetahui kira-kira proses KPBU itu seperti apa. Saya rasa
mungkin itu. Terima kasih sekali lagi atas kerjasamanya dan waktunya yang sudah diberikan. Dan kami
sangat mengapresiasi hal ini. Terima kasih.

Closing Statement dari Pak Ricardo :

Saat ini pemerintah Indonesia cukup mengandalkan KPBU untuk penyediaan infrastruktur
yang masif. Salah satunya mungkin kita bisa highlight adalah terkait dengan pembangunan di IKN. IKN
cukup banyak pembangunan infrastruktur yang dilakukan melalui skema KPBU. Tidak hanya di IKN tapi
di Indonesia, di Jakarta, di beberapa daerah juga masih mengandalkan KPBU untuk penyediaan
infrastruktur. Jadi, pemahaman terkait dengan KPBU ini cukup beneficial bagi kita, bagi seorang
hukum, orang yang memahami atau punya background hukum. Dan yang tadi kami share terkait
dengan KPBU ini baru berbicara terkait dengan gambaran umum KPBU-nya. Cukup baik bagi kita untuk
memahami lebih detail terkait dengan itu, seperti sebenarnya apa unsur-unsur perjanjian secara
detailnya, bagaimana menegosiasikannya, dan lain-lain. Juga berbicara terkait dengan bagaimana
mekanisme penjaminannya, bagaimana ketika dealing dengan proyek KPBU yang sebenarnya
melibatkan barang-barang, milik negara, dan lain-lain. Memang cukup banyak variasinya, cukup
banyak lagi yang perlu dipelajari terkait dengan KPBU-nya. Jadi, di momen ini kita menjelaskan baru
yang umum, namun demikian kita sangat happy apabila bisa men-share aspek-aspek yang lebih detail
lagi dari aspek KPBU-nya.

MC :

Terima kasih banyak Pak Anthony dan Pak Ricardo atas waktu yang sudah disematkan pada
hari ini. Terima kasih juga untuk pemaparan materi dan diskusi yang disampaikan, sangat menarik yang
tentunya dapat bermanfaat bagi kita semua. Kepada Bapak Ibu peserta, kami juga mengucapkan
terima kasih atas partisipasinya pada webinar hari ini. Kami mohon juga agar Bapak dan Ibu dapat
mengisi questionnaire pada link yang telah kami kirimkan ke email masing-masing peserta.
Dengan demikian, berakhir pula webinar Hukumonline ”Perspektif Hukum dalam Pembiayaan
Infrastruktur : Analisis Skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU)”, bekerjasama dengan
Hermawan Juniarto & Partners, member of Deloitte Legal Network. Dan tentunya kami mengucapkan
banyak terima kasih atas kerjasamanya dari Hermawan Juniarto & Partners, member of Deloitte Legal
Network khususnya Pak Anthony dan juga Pak Ricardo. Juga sekali lagi kami ucapkan terima kasih atas
partisipasi dari Bapak dan Ibu pada webinar hari ini.

Kami mohon maaf apabila masih terdapat kekurangan dalam penyelenggaraan acara pada hari
ini. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Om Shanti Shanti Om, Namo Buddhaya, Salam
Kebajikan, Salam Sejahtera.

Anda mungkin juga menyukai