Anda di halaman 1dari 33

USULAN PENELITIAN

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNTUK


MELAKUKAN JUDICIAL REVIEW: TINJAUAN YURIDIS
PUTUSAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020
TENTANG CIPTA KERJA

ANAK AGUNG PUTRI REDITA SWARI


NIM. 1604551072

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
DAFTAR ISI

1.1 Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 7

1.3 Ruang Lingkup Masalah......................................................................... 7

1.4 Orisinalitas Penelitian............................................................................. 7

1.5 Tujuan Penelitian..................................................................................... 8

1.5.1 Tujuan Umum................................................................................ 8

1.5.2 Tujuan Khusus............................................................................... 9

1.6 Manfaat Penelitian................................................................................... 9

1.6.1 Manfaat Teoritis............................................................................. 9

1.6.2 Manfaat praktis.............................................................................. 10

1.7 Landasan Teoritis.................................................................................... 10

1.7.1 Teori Negara Hukum................................................................... 10

1.7.2 Teori Trias Politica..................................................................... 12

1.7.3 Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.................. 14

1.7.4 Teori Kewenangan....................................................................... 18

1.7.5 Teori Tujuan Hukum................................................................... 21

1.8 Metode Penelitian.................................................................................... 24

6.1 Jenis Penelitian.............................................................................. 24

6.2 Jenis Pendekatan............................................................................ 25

6.3 Bahan Hukum/Data........................................................................ 25

6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum............................................. 27


6.5 Teknik Analisis Data..................................................................... 28

Daftar Pustaka................................................................................................ 29
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada era persaingan ekonomi global yang semakin ketat dewasa ini,

pemerintah dituntut untuk dapat menerbitkan kebijakan yang mampu

mempercepat pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Salah satu aspek vital yang

berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi yaitu regulasi. Regulasi yang

berbelit-belit dan peraturan yang tumpang tindih akan menghambat investasi.

Tanpa adanya investasi, upaya pemerintah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi

yang ditargetkan akan sangat sulit tercapai.

Pemerintah atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020

tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada 20 November 2020. Mekanisme

penyusunan peraturan perundang-undangan ini menganut pendekatan Omnibus

Law, dengan mengumpulkan beberapa Undang-Undang yang memiliki perbedaan

prinsip satu dengan lainnya untuk diharmonisasikan dalam bentuk satu peraturan. 1

Harapan dari disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja ini

guna mempermudah perijinan sehingga meningkatkan ekosistem investasi yang

memberi dampak positif terhadap perkembangan ekonomi dan penyerapan tenaga

kerja.

1
Winda Fitri dan Luthfia Hidayah, 2021, Problematika Terkait Undang-Undang CIpta
Kerja di Indonesia: Suatu Kajian Perspektif Pembentukan Perundang-Undangan. E-Jurnal
Komunitas Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha. Universitas Internasional Batam. Vol 4,
No.2, h. 1.

4
Perancangan Undang-Undang Cipta Kerja didasari atas adanya

perubahan global dari aspek ekonomi, sehingga pemerintah merasa perlu

memberikan tanggapan secara tepat dan cepat dengan mereformasi kebijakan.

Reformasi kebijakan tersebut menitikberatkan pada menyederhanakan proses

perizinan investasi, sehingga lapangan kerja yang lebih luas dapat tersedia. Hal

tersebut tercantum dalam Pasal 3 UU Cipta Kerja yang menyatakan bahwa tujuan

dari Omnibus Law ini yaitu untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-

luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata, melalui:

1. Kemudahan, Perlindungan pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan

Menengah (UMKM) serta perkoperasian;

2. Peningkatan ekosistem investasi;

3. Kemudahan berusaha;

4. Peningkatan perlindungan & pekerja, dan

5. Investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis

nasional.2

Agar dapat menyentuh seluruh aspek dalam satu peraturan perundang-

undangan, maka digunakan pendekatan Omnibus Law dalam penyusunan UU

Cipta Kerja. Omnibus Law secara etimologi berasal dari Bahasa Latin yaitu

Omnibus yang memiliki arti untuk semua atau untuk segalanya, dan Law yang

berasal dari Bahasa Inggris yang bermakna Hukum. Jadi Omnibus Law berarti

Hukum untuk segalanya atau semuanya.3 Sistem pembentukan peraturan


2
Prasetyo Budie Yuwono, 2021, Kajian Singkat Undang-Undang No 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja terkait Amandemen Undang-Undang No 17 Tahun 2019 tentang Sumber
Daya Air. Brief Review BPSDMD Jawa Tengah, h. 2.
3
Yhannu Setyawan, 2020, Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dalam
Perspektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Peurndang-

5
perundang-undangan dengan pendekatan Omnibus Law bertujuan untuk

mengatasi tumpang tindihnya peraturan satu dengan yang lainnya. Dalam UU

Cipta Kerja menggabungkan 82 UU terkait, dengan jumlah 1028 halaman, dan

memerlukan 534 peraturan pelaksana.

Harapan dan cita-cita dari pemerintah bersama-sama dengan DPR RI

yang diimplementasikan dengan diterbitkannya UU Cipta Kerja tidak seluruhnya

mampu dicerna secara positif oleh masyarakat. Penerbitan Undang-Undang Cipta

Kerja mengalami banyak kritikan keras dari berbagai kalangan diantaranya

akademisi, tenaga kerja, mahasiswa dan aktivis. Masalah mendasar yang diberi

kritik keras yaitu pembahasan yang cenderung terburu-buru dan pelibatan

partisipasi masyarakat yang sangat minim dalam proses pembahasan RUU

tersebut di DPR. Sehingga dalam RUU terdapat beberapa masalah yang dianggap

merugikan masyarakat. Diantaranya yaitu masalah penghapusan sistem Upah

Minimum Regional (UMR), cuti haid bagi wanita, pengurangan pesangon, dan

termasuk pada permasalahan terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

(AMDAL) yang dianggap berpotensi merusak lingkungan.4

Dari sisi normatif, para ahli dan akademisi mengkritisi terkait proses

Pembentukan UU Cipta Kerja. Indonesia memiliki produk hukum berupa

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan yang menjadi pedoman dan acuan mengenai tahapan dan

mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan. Salah satu poin yang

Undangan, Jurnal Hukum dan Keadilan, Vol. 7, No. 1, h. 151.


4
Ahmad Azril, 2021, Problematika Penerapan Sistem Omnibus Law ke dalam Sistem
Hukum Nasional Indonesia melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Lapangan
Kerja, Journal of Legal Research, Vol. 3, No. 1. h. 43.

6
dilanggar dalam UU Cipta Kerja yakni terdapat pengelompokan BAB didalam

BAB dan Pasal didalam Pasal, yang mana hal tersebut tidak diatur dalam UU No.

12 Tahun 2011. Poin lainnya yang secara normatif dilanggar yaitu UU Cipta

Kerja tidak memenuhi ketentuan yang tercantum pada Lampiran II UU No. 12

Tahun 2011 karena memiliki terlalu banyak Peraturan Pelaksanaan yaitu 535

peraturan. Sehingga tidak memungkinkan untuk selesai dalam kurun waktu satu

hingga dua tahun, sesuai ketentuan UU no. 12 Tahun 2011.5

Penolakan oleh sejumlah kalangan masyarakat terhadap UU Cipta kerja

ditunjukkan dengan aksi demonstrasi yang dilakukan di depan Gedung DPR RI.

Unjuk rasa besar-besaran mulai dari kalangan buruh sampai mahasiswa terus

dilakukan untuk menolak regulasi tersebut.6 Selain penolakan oleh kalangan

masyarakat, sejumlah Kepala Daerah dan Ketua DPRD juga menolak pengesahan

UU Cipta Kerja, yang ditunjukkan dengan mengirimkan surat kepada Presiden

sebagai bentuk penolakan. Kepala daerah dan Ketua DPRD yang dimaksud antara

lain Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar

Parawansa, Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno, dan Ketua DPRD Kabupaten

Cirebon Mohamad Lutfhi.

Selain penolakan dalam bentuk unjuk rasa, secara konstitusional

penolakan juga dilakukan melalui jalur pengadilan. Gugatan pengujian formil

(Judicial review) terhadap UU Cipta Kerja diajukan oleh 5 (lima) orang

5
Yhannu Setyawan, Op Cit, h. 162.
6
Amanda Kusumawardhani, 2020, Drama Seputar UU Cipta Kerja yang rontok di MK,
Simak Kronologisnya, berita online, URL: https://ekonomi.bisnis.com/read/20211126/9
/1470778/drama-seputar-uu-cipta-kerja-yang-rontok-di-mk-simak-kronologinya/3, diakses pada 24
November 2021.

7
penggugat ke Mahkamah Konstitusi. Penggugat merupakan masyarakat yang

berasal dari berbagai macam profesi yang merasa dirugikan atas diterbitkannya

UU Cipta Kerja.7 Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi yang dilakukan oleh Lembaga Kehakiman.

Lembaga Kehakiman yang memiliki wewenang untuk melakukan

Judicial Review yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).

Adapun dasar hukum dari pengaturan judicial review yaitu Pasal 24A Ayat (1)

dan Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945. 8 Undang-Undang turunan dari Pasal

tersebut yang mengatur wewenang Lembaga Peradilan untuk melakukan judicial

review yaitu UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo UU No 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam praktiknya, judicial review

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah

Konstitusi (MK). Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah

UU misalnya Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan

Gubernur (Pergub), Peraturan Daerah (Perda), dan sebagainya terhadap UU

dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Berdasarkan hal tersebut maka UU

Cipta Kerja yang akan dilakukan Judicial Review diajukan ke Mahkamah

Konstitusi (MK) karena akan diuji dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UUD

NRI 1945.9

7
Ibid.
8
Nurul Qamar, 2020, Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi, Jurnal
Konstitusi, Universitas Muslim Indonesia Makassar, Vol 1, No. 1, h. 2.
9
Ibid.

8
Hasil gugatan terhadap UU Cipta Kerja, Mahkamah Konstitusi

menyatakan hasil uji formil (Judicial Review) UU Cipta Kerja inkonstitusional

bersyarat. Pada amar putusannya, MK menyatakan bahwa proses pembentukan

UU Cipta Kerja tidak sesuai atau bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemerintah dan DPR memperbaiki proses

pembuatan UU a quo dalam waktu dua tahun. Undang-Undang tersebut secara

otomatis akan tidak berlaku permanen jika dalam waktu dua tahun tidak kunjung

diperbaiki. Sebagai gantinya, demi kepastian hukum terutama untuk menghindari

kekosongan hukum, UU atau pasal-pasal atau materi muatan UU yang telah

dicabut atau diubah harus dinyatakan berlaku kembali.

Berdasarkan hal tersebut, secara hukum terbukti bahwa proses

pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI 1945, akan tetapi

Hakim MK menyatakan bahwa produk hukum yang berupa UU Cipta Kerja masih

berlaku selama 2 Tahun ke depan. Jadi dalam putusan ini Hakim MK memisahkan

proses dan hasil. Dimana yang dinyatakan inkonstitusional adalah proses

pembentukan Undang-Undangnya, sedangkan hasilnya yaitu UU Cipta Kerja

tidak dinyatakan inkonstitusional sehingga akan timbul norma kabur. Oleh

karenanya dalam penelitian ini akan membahas lebih dalam mengenai wewenang

Mahkamah Konstitusi dalam melakukan Judicial Review terhadap Undang-

Undang Cipta Kerja.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dari

penelitian ini adalah sebagai berikut.

9
1. Bagaimanakah kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan Judicial

Review terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta

Kerja?

2. Bagaimanakah tinjauan secara yuridis putusan Mahkamah Konstitusi

mengenai Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020

tentang Cipta Kerja?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam membatasi gambaran permasalahan yang dibahas, maka ruang

lingkup penelitian ini merupakan penelitian Hukum Tata Negara yang secara

khusus untuk menganalisis wewenang Hakim Mahkamah Konstitusi untuk

melakukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020

Tentang Cipta Kerja.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Untuk mengetahui orisinalitas penelitian yang penulis lakukan, maka

penulis mencantumkan penelitian sebelumnya yang satu tema pembahasan.

Adapun bentuk penelitian yang memiliki satu tema seperti disajikan pada tabel

berikut.

No Judul Nama Penulis Rumusan Masalah


1 Problematika Terkait Winda Fitri dan 1. Bagaimana menerapkan
Undang-Undang Cipta Luthfia Hidayah konsep pendekatan RUU
Kerja Di Indonesia: Cipta Kerja dalam
Suatu Kajian Perspektif pembuatan peraturan UU di
Pembentukan negara Indonesia
Perundang-Undangan menurut ketentuan UU
12/2011 serta
2. Bagaimana problematika

10
hukum yang akan terjadi
dalam pembuatan UU Cipta
Kerja berdasarkan UU
Nomor 12 Tahun 2011
mengenai
3. RUU Cipta Kerja?.
2. Rancangan Undang- Yhannu Setyawan 1. Bagaimanakah efektivitas
Undang Omnibus Law pelaksanaan peraturan
Cipta Kerja perundang-undangan dengan
Dalam Perspektif metode Omnibus Law di
Undang-Undang Indonesia?
Nomor 12 Tahun 2011 2. Bagaimanakah implikasi
Tentang Pembentukan penerapan Rancangan
Peraturan Perundang- Undang-Undang Omnibus
Undangan Law tentang Cipta Kerja
terhadap peraturan
perundang-undangan yang
lain?

1.5 Tujuan Penelitian

Agar dalam penelitian ini bisa memperoleh sasaran yang dikehendaki dan

sesuai dengan harapan yang diinginkan, maka ditetapkan tujuan penulisan sebagai

berikut:

1.5.1 Tujuan Umum

1. Guna melatih mahasiswa untuk menyampaikan gagasan pikiran

ilmiahnya secara tertulis.

2. Untuk menerapkan dan mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi,

terkhusus pada lingkup penelitian yang dikerjakan mahasiswa

mengenai permasalahan hukum.

3. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan hukum yang didapat dalam

bangku kuliah.

11
4. Untuk melakukan pengembangan diri pribadi mahasiswa menuju

kehidupan bermasyarakat

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam

melakukan Judicial Review terhadap Undang-Undang No 11 Tahun

2020 tentang Cipta Kerja.

2. Untuk mengetahui tinjauan secara yuridis putusan Mahkamah

Konstitusi mengenai Judicial Review terhadap Undang-Undang No 11

Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

1.6 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, adapun manfaat yang diharapkan

untuk diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.6.1 Manfaat Teoritis

1. Penelitian ini diharapkan bisa memberi manfaat pada pengembangan ilmu

pengetahuan dibidang ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum tata

negara pada khususnya.

2. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memperkaya referensi dan literatur

tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan Judicial

Review terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta

Kerja.

3. Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai acuan terhadap penelitian-

penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

1.6.2 Manfaat Praktis

12
1. Bagi penulis sebagai usaha dalam menyatakan pemikiran ilmiah secara

tertulis dan syarat untuk memperoleh gelar sarjana.

2. Bagi masyarakat dari hasil penelitian ini bisa memberi informasi mengenai

kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan Judicial Review

terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

1.7 Landasan Teoritis

1.7.1 Teori Negara Hukum

Sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, Indonesia

merupakan negara hukum. Pasal ini mensyaratkan penyelenggaraan pemerintahan

yang berdasarkan asas hukum yang digunakan untuk memberikan batasan atas

kekuasaan dari pemerintah serta kekuasaan yang dimiliki oleh Negara dengan

aparaturnya yang dibatasi oleh sebuah hukum atau disebut dengan rechtsstaat,

tidak sesuai dengan kekuasaan atau machtsstaat.10

Seseorang dapat mengatakan bahwa negara adalah negara yang diatur oleh

negara hukum jika mengikuti unsur-unsur negara yang diatur oleh negara

hukumnya. Friedrich Julius Stahl mengartikan ciri dari sebuah negara bersifat

hukum yaitu seperti berikut:

a. Adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia yang fundamental.

b. Ada distribusi kekuasaannya.

c. Pemerintahannya sesuai dengan peraturan.

d. Keberadaan pengadilan dari tata usaha negaranya.

10
Ibid, h. 23.

13
Negara hukum sendiri berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan

bagi seluruh warga negara. Untuk Indonesia, negara hukum didasarkan pada nilai-

nilai Pancasila yang merupakan pandangan hidup bangsa dan sumber dari segala

sumber hukum, yang dimaksud adalah Hukum di Indonesia harus dilandasi

dengan semangat menegakkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,

kerakyatan dan keadilan sebagaimana yang terkandung dalam Pancasila. Adapun

produk turunan undang-undang dapat berupa Peraturan Presiden, Peraturan

Menteri, Instruksi Presiden, Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, dan berbagai

peraturan lainnya.11

Dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa Indonesia adalah

negara yang berkedaulatan rakyat didasarkan kepada suatu Undang-Undang

Dasar. Dari pernyataan tersebut Indonesia adalah negara demokrasi

konstitusional. Menurut konsep negara demokrasi konstitusional, kekuasaan

penyelenggaran negara dibatasi oleh konstitusi. Setiap Negara memiliki

konstitusi, salah satunya Negara Indonesia memiliki satu dokumen yang

memuat kesepakatan yang dirumuskan para pendiri negara, yang memuat apa

yang menjadi tujuan negara yang dibentuk, dasar pemikiran di atas mana negara

didirikan, cabang-cabang kekuasaan negara yang dibentuk, bagaimana hubungan

lembaga-lembaga negara itu satu sama lain serta hubungan negara dengan

rakyatnya. UUD NRI 1945 itu merupakan konstitusi tertulis yang merupakan

hukum tertinggi di Indonesia.

1.7.2 Teori Trias Politica

11
Ibid, h. 34.

14
Pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan negara itu terpisah dalam

beberapa bagian, baik mengenai orangnya maupun mengenai fungsinya.

Sedangkan pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi

dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi

bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkingkan adanya kerjasama. Teori

pemisahan kekuasaan dipopulerkan melalui ajaran Trias Politica Montesquieu.

Dalam bukunya yang berjudul L’Espirit des lois (The Spirit of Laws) Montesquieu

mengembangkan apa yang lebih dahulu di ungkapkan oleh John Locke (1632-

1755). Ajaran pemisahan kekuasaan dari Montesquieu di ilhami oleh pandangan

John Locke dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government” dan praktek

ketatanegaraan Inggris.12

Menurut Locke membedakan antara tiga macam kekuasaan yaitu: (1)

kekuasaan perundang-undangan (legislative); (2) kekuasaan melaksanakan hal

sesuatu (executive) pada urusan dalam negeri, yang meliputi Pemerintahan dan

Pengadilan; dan (3) kekuasaan untuk bertindak terhadap anasir asing guna

kepentingan negara atau kepentingan warga negara dari negara itu yang oleh

Locke dinamakan federative power.

Doktrin pemisahan kekuasaan melahirkan prinsip check and balances,

yang mana prinsip ini melahirkan yang disebut dengan judicial review. Terdapat

dua jenis atau bentuk pengujian yang dilakukan oleh Lembaga yudikatif dan

legislative. Pengujian terhadap produk hukum yang dilakukan oleh Lembaga

yudikatif disebut dengan judicial review. Sedangkan apabila pengujian dilakukan

12
Moh. Kusnardi dan Ibrahim Harmaily, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI. h. 140.

15
oleh Lembaga legislatif dan bukan oleh hakim dinamakan legislative review.

Contoh dari legislative review yaitu pengujian atas produk eksekutif berupa

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU). Dilakukannya

pengujian terhadap produk-produk hukum yang dibuat oleh legislatif dan

eksekutif merupakan bentuk nyata dari penerapan prinsip check and balances.13

Jadi antar Lembaga dalam hal ini memiliki hubungan dan keterkaitan satu dengan

yang lain.

Hubungan antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif di Indonesia

dapat digambarkan sebagai berikut.14

1. Hubungan antara legislatif dan eksekutif

Antara DPR dan Presiden terdapat hubungan yang secara garis besar dapat

dinyatakan dalam dua hal, yaitu hubungan yang bersifat kerjasama dan

hubungan yang bersifat pengawasan. Kedua lembaga ini harus

bekerjasama dalam pembuatan Undang-undang, termasuk Undang-undang

APBN. Hubungan antara Presiden dan DPR yang bersifat pengawasan,

bahwa pengawasan yang dilakukan oleh DPR terhadap kebijakan

pemerintah telah berjalan lebih baik di bandingkan dengan era

sebelumnya. Termasuk di dalamnya pengawasan dalam bentuk legislative

review.

2. Hubungan antara legislatif dan yudikatif

Hubungan anatara legislatif dan yudikatif terkait bagaimana keberadaan

dua lembaga itu berperan mewujudkan sistem perundang-undangan yang


13
Ibid, h. 144.
14
Sunarto, 2016, Prinsip Check And Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,
Gramedia Pustaka, Jakarta, h. 24.

16
isinya tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (judicial

review). Undang-undang sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-

undangan adalah produk lembaga legislatif. Di pihak lain, ada kewenangan

Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-undang terhadap UUD NRI

1945, yang memungkinkan ketentuan dalam Undang-undang dinyatakan

tidak sah karena bertentangan UUD.

3. Hubungan antara eksekutif dan yudikatif

Titik simpul dalam hubungan antara eksekutif dan yudikatif terletak pada

kewenangan Presiden untuk melakukan tindakan dalam lapangan

yudikatif, seperti memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. dimana

untuk memberikan grasi dan rehabilitasi Presiden harus memperhatikan

pertimbangan Mahkamah Agung, dan untuk memberikan amnesti dan

abolisi harus mempertimbangkan pertimbangan DPR

1.7.3 Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Perundang-undangan merupakan salah satu produk hukum,

maka agar dapat mengikat secara umum dan memiliki efektivitas dalam hal

pengenaan sanksi, dalam pembentukannya harus memperhatikan beberapa

persyaratan yuridis. Persyaratan seperti inilah yang dapat dipergunakan sebagai

landasan yuridis dari suatu Peraturan Perundang-undangan. Persyaratan yuridis

yang dimaksud di sini adalah:

1. Dibuat atau dibentuk oleh organ yang berwenang. Artinya suatu Peraturan

Perundang-undangan harus dibuat oleh pejabat atau badan yang

mempunyai wewenang untuk itu. Kalau persyaratan ini tidak diindahkan

17
maka menjadikan suatu Peraturan Perundang-undangan itu batal demi

hukum (van rechtswegenietig). Adanya kesesuaian bentuk/jenis Peraturan

Perundang-undangan dengan materi muatan yang akan diatur.

Ketidaksesuaian bentuk/jenis ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan

Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud. Misalnya kalau di dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menegasakan bahwa suatu ketentuan akan dilaksanakan dengan Undang-

Undang, maka hanya dalam bentuk Undang-Undang-lah itu harus diatur.

2. Adanya prosedur dan tata cara pembentukan yang telah ditentukan.

Pembentukan suatu Peraturan Perundang-undangan harus melalui prosedur

dan tata cara yang telah ditentukan. Misalnya suatu Rancangan Undang-

Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk

mendapat persetujuan bersama, Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala

Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah. Dalam rangka pengundangannya juga harus ditentukan tata

caranya, misalnya Undang-Undang diundangkan dalam Lembaran Negara,

agar mempunyai kekuatan mengikat.

3. Tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang

lebih tinggi tingkatannya. Sesuai dengan pandangan stufenbau theory,

Peraturan Perundang-undangan mengandung norma-norma hukum yang

sifatnya hirarkhis. Artinya suatu Peraturan Perundang-undangan yang

lebih tinggi tingkatannya merupakan grandnorm (norma dasar) bagi

Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya. Oleh

18
sebab itu Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya

tidak boleh melanggar kaidah hukum yang terdapat di dalam Perauran

Perundang undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Proses pembentukan UU diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Secara umum dapat dijabarkan

tahapan dari pembentukan UU adalah sebagai berikut.

1. Tahap Perencanaan

Perencanaan penyusunan dilakukan dalam Program Legislasi Nasional

(Prolegnas) yang disusun oleh DPR, DPD, dan Pemerintah untuk jangka

menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan RUU.

2. Tahap Pengajuan RUU

RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau

Badan Legislasi. RUU yang diajukan oleh presiden diajukan dengan surat

presiden kepada pimpinan DPR dan usulannya berkaitan dengan otonomi

daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta

penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat

dan daerah.

3. Tahap Pembicaraan

Tahap pembicaraan dilakukan dalam Rapat Komisi, Gabungan Komisi, Rapat

Badan Legislasi, Rapat Badan Anggaran, atau Rapat Panitia Khusus. Dan

19
selanjutnya disampaikan dalam rapat paripurna. Bila tidak tercapai

kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara

terbanyak.

4. Tahap Pengesahan

RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan presiden

diserahkan kepada presiden untuk disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan

tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia.

Apabila setelah disahkannya suatu UU terdapat permasalahan yang

terjadi, maka terdapat mekanisme dalam pembatalan atau pencabutan UU melalui

Mahkamah Konstitusi. Pencabutan Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi

bisa dilakukan apabila Undang-Undang tersebut dianggap bertentangan dengan

peraturan yang lebih tinggi (UUD NRI 1945), maka untuk memastikan

keabsahannya bisa dilakukan melalui pengujian oleh lembaga yudikatif

(Mahkamah Konstitusi) yang disebut dengan judicial review.

Mekanisme Proses Pencabutan Undang-Undang Oleh Mahkamah

Konstitusi adalah melalui proses persidangan dalam sidang acara perkara

pengujian undang-undang yang telah diatur dalam PMK No. 06/PMK/2005

tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Undang-Undang. Adapun terdapat 4

proses dari pencabutan UU yaitu:

1. Pemeriksaan Pendahuluan

2. Pemeriksaan Persidangan

3. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), dan

20
4. Pengucapan Putusan

1.7.4 Teori Kewenangan

Teori kewenangan menjadi landasan serta pondasi secara teoritik dalam

skripsi ini, karena kewenangan dari Mahkamah Konstitusi (MK) untuk

melaksanakan judicial review memiliki hubungan dengan teori kewenangan yang

isinya memuat ajaran mengenai sumber dan jenis kewenangan. Sumber

kewenangan meliputi, mandate, delegasi, serta atribusi, sementara jenis

kewenangannya yaitu kewenangan secara bebas dan terikat.

Pada konsep Hukum Ketatanegaraan, kewenangan digambarkan sebagai

kekuasaan secara hukum atau disebut dengan rechtsmacht. Pada ranah hukum

publik, kewenangan memiliki kaitan berdasarkan kekuasaan. Adapun sedikit

perbedaan antara wewenang dengan kewenangan (authority, gezag), yang mana

wewenang (competence, bevoegdheid) hanya menjadi sebuah “onderdeel”

(bagian) tertentu dari berbagai kewenangan. Sementara kewenangan yakni sesuatu

yang disebut dengan kekuasaan secara formal, dimana kekuasaan tersebut

bersumber dari UU ataupun legeslatif. Kewenangan pada bidang kekuasaan

mengadili lazim atau kehakiman disebut dengan yurisdiksi ataupun kompetensi.15

Kewenangan harus memiliki landasan sesuai ketentuan hukum yang

diberlakukan atau konstitusi, sehingga menjadi kewenangan yang sah. Seorang

pejabat dapat mengeluarkan sebuah keputusan apabila didukung dari sumber

kewenangan tersebut. Kewenangan yang dimiliki oleh institusi atau pejabat

pemerintahan mampu terbagi menjadi beberapa bagian yaitu:

15
Philipus M. 1997, Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, Kencana, h.1.

21
1. Kewenangan yang sifatnya orisinil (atributif), yakni pemberian kewenangan

pemerintahan oleh pembuat UU kepada organ. Kewenangan ini biasanya

bersifat secara permanen atau selalu ada, selama diatur UU. Sehingga, bisa

dikatakan bahwa wewenang yang melekat pada sebuah jabatan. Jika ditinjau

dari hukum tata Negara, atributif ini dipelihatkan dalam sebuah wewenang

yang dimiliki oleh organ dari pemerintahan dalam melakukan pekerjaannya

sesuai dengan kewenangan yang dibangun secara UU. Atributif ini biasanya

merujuk pada kewenangan asli atas UUD/landasan konstitusi ataupun

peraturan UU.

2. Kewenangan yang bersifat non orisinil (non atributif) yakni sebuah

kewenangan yang didapat karena kelimpahan wewenang dari seorang aparat

lain. Kewenangan ini biasanya memiliki sifat secara incidental serta berakhir

dalam sebuah jabatan yang memiliki wewenang untuk menarik kembali.

Penyerahan atas wewenang dari seorang pejabat atasan kepada bawahannya

sangat membantu dalam menjalankan tugas yang menjadi tanggungjawabnya

sendiri. Pelimpahan wewenang ini ditujukan untuk mendukung proses

ketertiban serta kelancaran tugas dari alur komunikasi yang memiliki

tanggung jawab, serta sepanjang tidak ditentukan secara khusus oleh UU.16

Mahkamah Konstitusi merupakan suatu Lembaga yang dalam sistem

hukum Indonesia memiliki kewenangan menguji konstitusionalitas norma

Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945. Pengujian konstitusionalitas dalam hal

ini disebut dengan judicial review. Kewenangan MK dalam melakukan judicial


16
Ridwan HR, 2010, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Rajawali Prees, Jakarta, h.
102.

22
review diatur dalam Pasal 24 C Ayat (1) UUD NRI 1945. 17 Berdasarkan ketentuan

Pasal tersebut menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili

pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji

UU terhadap UUD. Ketentuan tersebut berikutnya diturunkan dalam UU No 48

Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, dan Pasal 9 Ayat (1) UU No 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jadi Judicial Review

merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang sifatnya orisinil atau

atributif. Karena diperintahkan secara langsung oleh konstitusi terhadap lembaga

tersebut.

Pengujian terkait produk hukum (judicial review) berupa Undang-

Undang yang bisa diajukan ke MK terdiri atas dua bentuk, pertama yaitu

pengujian formal dan kedua yaitu pengujian materiil. Pengujian formal yaitu

wewenang dari MK untuk menilai apakah suatu produk legislatif (UU) dalam

proses pembuatannya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Atau dengan kata lain pengujian formal menitikberatkan pada prosedural

dan legalitas kompetensi dari institusi yang membuatnya. Sedangkan pengujian

materiil yaitu wewenang untuk menyelidiki kesesuaian isi Undang-Undang

dengan peraturan yang lebih tinggi, termasuk dalam hal ini adalah mengeluarkan

sebuah peraturan perundang-undangan.

1.7.5 Teori Tujuan Hukum

17
Lihat Pasal 10 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

23
Untuk mencapai tujuan hukum Gustav Radbruch menyebutkan bahwa

keadilan hukum harus diutamakan dari ketiga nilai yang menjadi pondasi tujuan

hukum. Hal ini dikarenankan bahwa secara realitas, keadilan hukum sering

mengalami benturan dengan kepastian serta kemanfaatan hukum dan juga

sebaliknya. Dari ketiga nilai yang menjadi landasan tujuan hukum itu sendiri,

pada waktu terjadinya sebuah benturan, maka harus terdapat pengorbanan. Maka

dari itu, asas prioritas yang dipakai harus dijalankan dengan urutasn seperti

berikut:

1. Keadilan Hukum;

2. Kemanfaatan Hukum;

3. Kepastian Hukum.18

Berdasarkan urutan prioritas yang diterangkan di atas, maka sebuah

sistem hukum mampu dihindari dari terjadinya konflik secara internal. Adapun

penejelasan lebih lanjut mengenai definisi dari ketiga prioritas diatas yakni seperti

berikut:

a) Keadilan Hukum

Keadilan yaitu menjadi perekat dalam tatanan hidup masyarakat yang

beradab. Hukum diciptakan supaya tiap individu dari anggota

kemasyarakatan serta penyelenggaraan sebuah Negara menjalankan sebuah

tindakan yang dibutuhkan untuk menjaga hubungan sosial serta mewujudkan

tujuan hidup bersama ataupun sebaliknya supaya tidak menjalankan tidakan

yang mampu mengakibatkan perselisihan dari tatanan keadilan. Apabila

18
Muhammad Erwin, 2012, Filsafat Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, h.123.

24
sebuah tindakan yang telah diberikan tidak dijalankan ataupun melanggar

sebuah larangan, tatanan sosial akan merasa terganggu dikarenakan keadilan

sudah terciderai. Untuk memulihkan ketertiban hidup masyarakat, maka

keadilan harus ditegakkan. Berbagai pelanggaran akan memperoleh sanksi

sesuai dengan tingkat pelanggarannya.

Hukum yang menjadi pengemban atas nilai keadilan, menjadi tolok ukur atas

adil atau tidaknya sebuah tata hukum. Bukan hanya nilai keadilan yang

menjadi landasan dari sebuah hukum, sehingga suatu keadilan mempunyai

sifat secara normatif dan juga konstitutif untuk hukum. Keadilan juga menjadi

landasan kepada seluruh hukum positif yang bermartabat.19

b) Kemanfaatan Hukum

Untuk memberikan sebuah penilaian yang buruk ataupun baik dalam sebuah

kebijakan ekonomi, politik, sosial, serta hukum secara moral dipakai teori

kemanfaatan. Landasan yang paling objektif untuk melakukan penilaian

dalam sebuah kebijakan publik secara moral yakni dengan memperlihatkan

apakah sebuah tindakan ataupun kebijakan tertentu mempunyai suatu hasil

ataupun manfaat yang berguna, ataupun sebaliknya memberikan sebuah

kerugian kepada seseorang yang memiliki keterikatan.20

Baik buruknya sebuah hukum yang menjadi ukuran atas sesuatu yang

diakibatkan atau dihasilkan dari pelaksanaan hukum itu sendiri. Sebuah

ketentuan hukum yang baru dapat dinilai bagus, apabila akibat yang

19
Yovita A. Mangesti & Bernard L. Tanya, 2014, Moralitas Hukum, Yogyakarta: Genta
Publishing, h. 74.
20
Ibid, h. 80.

25
timbulkan dari pelaksanaannya yaitu menurunnya penderitaan, kebagiaan

yang cukup besar serta kebaikan begitu sebaliknya.

c) Kepastian Hukum

Kepastian hukum yang menjadi tujuan dari adanya hukum itu sendiri mampu

disebut sebagai bagian dari upaya dalam menciptakan sebuah keadilan.

Bentuk nyata dari adanya kepastian hukum yakni adanya penegakan serta

pelaksanaan hukum kepada sebuah tindakan tanpa melihat dari siapa yang

menjalankannya. Dengan adanya sebuah kepastian secara hukum dari setiap

orang maka mampu memberikan perkiraan bahwa akan dialami apabila

menjalankan sebuah tindakan hukum tertentu. Kepastian dijalankan untuk

menciptakan sebuah prinsip kebersamaan yang dihadapkan dari hukum tanpa

adanya sebuah diskriminasi.

Kata “kepastian” erat kaitannya dengan adanya asas kebenaran, yakni

sesuatu yang secara ketat mampu dilihat dari silogisme secara formal-legal.

Melalui sebuah logika secara deduktif, maka aturan aturan secara hukum positif

mampu ditempatkan melalui sebuah premis dari mayor, sementara peristiwa

konkret menjadi sebuah premis secara minor. Dengan sistem logika yang tidak

terbuka akan memperoleh sebuah konklusi. Konklusi tersebut harus mampu

dilakukan prediksi, sehingga setiap orang wajib berpegangan kepadanya sehingga

menimbulkan ketertiban pada masyarakat.21

Dalam penelitian ini, teori tujuan hukum digunakan untuk menganalisis

putusan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan Judicial Review

21
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, h. 277.

26
terhadap Undang-Undang Cipta Kerja. Analisis dilakukan untuk mengetahui

apakah Hakim dalam pertimbangannya mengutamakan keadilan hukum sesuai

teori Gustav Radbruch, atau memiliki pertimbangan dan pandangan yang berbeda.

Analisis tujuan hukum diperlukan untuk mengetahui asas yang dikedepankan oleh

Hakim MK dalam memutus perkara judicial review Undang-Undang Cipta Kerja.

Sehingga berdasarkan hal tersebut dapat diketahui kecenderungan dari kelemahan

norma-norma yang digugat dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian hukum adalah sebuah tahapan dalam mencari aturan hukum,

prinsip hukum, dan juga doktrin guna mencari jawaban dari masalah hukum yang

ditemui. Adapun jenis penelitian ini yaitu menggunakan penelitian yuridis

normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan sebuah penelitian yang berproses

dalam mencari kebenaran secara koherensi, yaitu menganalisis aturan yang sesuai

dengan norma hukum, prinsip hukum serta fenomena hukum yang ada.22 Penulis

melakukan kajian pada peraturan hukum yang memakai literatur menjadi konsep,

teori serta pendapat dari ahli hukum pada permasalahan yang selanjutnya akan

dianalisis.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang dipakai pada penelitian ini dijelaskan sebagai

berikut.

22
I Made Pasek Diantha, 2017, Metode Penelitian Hukum Normatif. Kencana, Jakarta. h.
156.

27
1) Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dikerjakan melalui

menelah seluruh peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan

masalah yang akan diselidiki.23 Pada metode yang menggunakan pendekatan

perundang-undangan peneliti butuh untuk paham dengan hierarki dan asas-

asas pada aturan perundang-undangan.

2) Pendekatan konseptual (conceptual approach) berangkat dari pandangan dan

juga doktrin yang mengakar dalam biding ilmu hukum. Dengan menelaah

pandangan dan doktrin pada ilmu hukum tersebut, peneliti akan menemukan

ide-ide yang menelurkan definisi secara umum, konsep-konsep hukum, dan

asas hukum yang memiliki kaitan dengan permasalahan yang akan

diselidiki.24

1.8.3 Bahan Hukum/Data

Bahan hukum adalah sebuah sarana pada proses penelitian yang dipakai

untuk bisa menyelesaikan masalah yang ada dan langsung memberi gambaran

mengenai apa yang dijadikan acuan. Adapun bahan hukum yang digunakan pada

penelitian ini meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan

non hukum.

1) Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang memiliki sifat autortatif

atau dalam kata lain artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer

yang tersusun dari peraturan perundang-undangan, suatu catatan resmi dan risalah

23
Ibid. h. 158.
24
Sulistiyowati Iriyanto and Sidarta, 2009, Metode Peneliitian Hukum Kontestasi Dan
Refraksi. Puslaka Orbor Indonesia, Jakarta. h. 69.

28
ketika penyusunan peraturan undang-undang.25 Adapun bahan hukum primer yang

dipakai penulis pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:

a) Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945

b) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

c) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan

d) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

2) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yang terutama yaitu bahan buku teks karena buku

teks bermuatan tulisan yang berkaitan dengan prinsip dasar dari hukum dan

perundang-undangan klasik para ahli yang memiliki klasifikasi tinggi. 26 Bahan-

bahan hukum sekunder yang dipakai oleh peneliti pada penelitian ini mencakup

buku-buku hukum, jurnal hukum, dan makalah tentang hukum yang relevan

dengan isu hukum yang akan dibahas pada skripsi ini.

3) Bahan-bahan non hukum

Bahan non hukum bisa berbentuk buku yang berkaitan dengan ilmu politik,

ekonomi, kebudayaan atau pun jurnal penelitian non hukum dan jurnal non hukum

selama masih memiliki relevansi dengan tema penelitian.27 Bahan ini menyajikan

tanda atau menjelaskan mengenai sumber bahan hukum primer dan sekunder.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum/Data

25
Diantha. Op, Cit. h.58.
26
Ibid, h. 182.
27
Ibid, h. 183.

29
Data dikumpulkan dengan tahapan menyelidiki data primer dan data

sekunder yang dapat berbentuk putusan hakim Mahkamah Konstitusi tentang

judicial review UU Cipta Kerja, bahan pustaka, dan peraturan perundang-

undangan yang lain yang punya kaitan dengan masalah yang akan dilakukan

penelitian.

1.8.5 Teknik Analisis

Data yang didapat baik itu data primer atau data sekunder akan dibedah

dengan memakai analisa normatif guna mendapat gambaran secara umum

mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan Judicial Review

terhadap Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Peter Mahmud Marzuki berpendapat jika dalam proses meneliti kajian

hukum, bisa dikerjakan dengan tahapan seperti berikut.28

1) Melakukan identifikasi fakta hukum dan mengelimininasi hal-hal yang tidak

tidak ada kaitannya dengan isu hukum yang akan diciptakan

2) Proses mengumpulkan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan non hukum

yang dianggap memiliki kaitan juga bahan-bahan non hukum

3) Mengerjakan telaah atau isu hukum yang diteliti mengacu pada bahan yang

sudah terkumpul

4) Mengambil simpulan sesuai dengan bentuk pendapat yang bisa menjawab isu

hukum tersebut

5) Memberi preskripsi mengacu pada pendapat yang sudah disusun.

28
Ibid, h. 213.

30
31
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Diantha, I Made Pasek, 2017, Metode Penelitian Hukum Normatif. Kencana,
Jakarta.

Erwin, Muhammad, 2012, Filsafat Hukum, Raja Grafindo, Jakarta.

Iriyanto, Sulistiyowati and Sidarta, 2009, Metode Peneliitian Hukum Kontestasi


Dan Refraksi. Puslaka Orbor Indonesia, Jakarta.

Kusnardi, Moh. dan Ibrahim Harmaily, 1998, Hukum Tata Negara Indonesia,
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI.

Mangesti, Yovita A. & Bernard L. Tanya, 2014, Moralitas Hukum, Yogyakarta:


Genta Publishing,
Philipus, M. 1997, Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, Kencana.

Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Ridwan, HR, 2010, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Rajawali Prees,
Jakarta,.

Sunarto, 2016, Prinsip Check And Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan


Indonesia, Gramedia Pustaka, Jakarta.

Jurnal Penelitian

Azril, Ahmad. “Problematika Penerapan Sistem Omnibus Law ke dalam Sistem


Hukum Nasional Indonesia melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2020
tentang Cipta Lapangan Kerja”. Journal of Legal Research 3, no. 1 (2021).

Fitri, Winda dan Luthfia Hidayah. “Problematika Terkait Undang-Undang CIpta


Kerja di Indonesia: Suatu Kajian Perspektif Pembentukan Perundang-
Undangan”. E-Jurnal Komunitas Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha
4, no. 2 (2021).

Mulyani, Basri. “Dekonstruksi Pengawasan Peraturan Daerah setelah Berlakunya


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja”. Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani 2, no. 1.

Qamar, Nurul. Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi, Jurnal


Konstitusi 1, no. 1 (2021).

32
Rianda, Hendi Gusta. “Problematika Konsepsi Strict Liability Dalam
Perlindungan Lingkungan Hidup Pasca Disahkannya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja”, Jurnal Muhammadiyah Law
Review 4, no. 1 (2020)

Setyawan, Yhannu. “Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja


dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Peurndang-Undangan”. Jurnal Hukum dan
Keadilan 7, no. 1 (2020).

Suntoro, Agus. “Implementasi Pencapaian secara Progresif dalam Omnibus Law


Cipta Kerja”. Jurnal HAM 12, no. 1 (2021).

Yuwono, Prasetyo Budie. “Kajian Singkat Undang-Undang No 11 Tahun 2020


tentang Cipta Kerja terkait Amandemen Undang-Undang No 17 Tahun 2019
tentang Sumber Daya Air”. Jurnal Kediklatan Widya Praja 1, no. 2 (2021).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo UU No 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Berita Online

Amanda Kusumawardhani, 2020, Drama Seputar UU Cipta Kerja yang rontok di


MK, Simak Kronologisnya, berita online, URL :
https://ekonomi.bisnis.com/read/20211126/9 /1470778/drama-seputar-uu-
cipta-kerja-yang-rontok-di-mk-simak-kronologinya/3

33

Anda mungkin juga menyukai