Anda di halaman 1dari 17

PENGABAIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYUSUNAN

ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PADA UNDANG-UNDANG


NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA KLASTER
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas


Tugas Makalah Mata Kuliah Politik Hukum

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Sudarsono, S.H., M.S.

Disusun Oleh:

Muhammad Nizar Zulmi


NIM: 226010100111017

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

MALANG

2022
A. Latar Belakang Masalah

Konstitusi Negara Republik Indonesia yang termuat dalam Undang-Undang


Dasar Tahun 1945 dalam risalah pasal-pasalnya tidak memuat tentang omnibus law.
Konsep omnibus law merupakan suatu konsep yang baru dalam sistem peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Sistem omnibus law lazim disebut sebagai
undang-undang sapu jagat karena mampu merombak norma undang-undang untuk
dijadikan satu peraturan induk. Konsep ini dijadikan agenda untuk memangkas
beberapa peraturan yang dianggap ketinggalan zaman dan tidak sejalan dengan
kepentingan negara. Indonesia memiliki 42.161 peraturan hingga 18 Agustus 2022.
Berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), jumlah itu terdiri
dari 17.468 peraturan menteri, 15.982 peraturan daerah, 4.711 peraturan lembaga
pemerintah non-kementerian (LPNK), dan 4.000 peraturan pusat. Jumlah tersebut
tidak termasuk peraturan yang dibuat langsung oleh kepala daerah, seperti
peraturan bupati, peraturan wali kota, atau peraturan gubernur. Jumlahnya juga
belum termasuk peraturan yang dibuat oleh pimpinan BUMN.  Meski demikian,
jumlah peraturan di Indonesia pada saat ini sudah sangat banyak. Untuk mengatasi
persoalan tersebut, pemerintah terus memangkas peraturan yang dianggap tumpang
tindih.1 Omnibus law dapat digunakan sebagai sarana untuk menata regulasi.
Omnibus law menjadi bahan diskusi masyarakat dan para pemerhati hukum karena
memang sebelumnya belum dikenal dalam sistem hukum nasional.

Indonesia yang menganut sistem negara Eropa Kontinental sebenarnya tidak


menganut sistem omnibus law ini. Sistem ini dianut dan digunakan pada sistem
hukum Anglo Saxon seperti di negara Amerika, Kanada, dan Irlandia. Omnibus law
juga dikenal dengan sebutan Omnibus Bill dalam sistem Anglo Saxon Common Law.
Vietnam menjadi negara di Asia Tenggara yang pertama kali menerapkan omnibus
law yang pada saat itu ingin mengadopsi hasil aksesi dari World Trade Organization
(WTO) pada tahun 2006.

Permasalahan kemudian muncul ketika pemerintah dan DPR menginisiasi


pembentukan Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Menurut
pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yaitu Zainal Arifin
Mochtar yang menyatakan bahwa proses formil penyusunan Undang-Undang Cipta
1
Monavia Ayu Rizaty, Hari Konstitusi, Berapa Jumlah Peraturan di Indonesia?,
https://dataindonesia.id/ragam/detail/hari-konstitusi-berapa-jumlah-peraturan-di-indonesia diakses pada tanggal
2 Oktober 2022, pukul 10.02 WIB.
1
Kerja bermasalah. Permasalahan ini disebabkan karena dalam proses penyusunan
UU Cipta Kerja tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Minimnya partisipasi
masyarakat ini tercermin dari tidak tersebarnya substansi pembahasan UU Cipta
Kerja yang semestinya wajib disebarkan ke publik. Sorotan utama masyarakat tertuju
pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah yang seolah-olah abai dan
tutup telinga terhadap aspirasi masyarakat. Penyusunan UU Cipta Kerja ini hanya
eksklusif mendengarkan aspirasi-aspirasi pihak tertentu saja terutama pengusaha,
yang pada akhirnya DPR mengesahkan omnibus law Rancangan Undang-Undang
(RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
melalui rapat paripurna. Dari sembilan fraksi di DPR, hanya Fraksi Partai Demokrat
dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menolak seluruh hasil pembahasan RUU
Cipta Kerja. Hasilnya, RUU Cipta Kerja tetap disahkan menjadi undang-undang.
Mayoritas fraksi DPR dan Pemerintah setuju. Pemerintah berdalih dengan
disahkannya UU Cipta Kerja ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan
pemerintah selaku pelaksana undang-undang. Pemerintah tetap berpegang teguh
bahwa dalam politik hukum undang-undang ini akan menciptakan lapangan kerja
baru. Selain sebagai penciptaan lapangan kerja baru, UU Cipta Kerja juga sebagai
instrumen penyederhanaan, sinkronisasi regulasi, dan peningkatan efektivitas
birokrasi.2

Klaster dalam UU Cipta Kerja salah satunya mengatur terkait perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Alih-alih mencapai tujuan mulianya, dalam UU Cipta
Kerja terdapat pengaturan yang cenderung mengancam keberlanjutan lingkungan
hidup. Beberapa di antaranya mengenai: i) simplifikasi perizinan, yaitu terkait konsep
izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan yang menghapuskan gugatan
administratif lewat pengadilan jika terjadi pelanggaran. 3 Kemudian ii) disorientasi
strict liability yang hampir merubah definisi tanggung jawab mutlak ( strict liability)
menjadi liability based on fault yang berpotensi melemahkan keadilan kepada
masyarakat, yang diperparah dengan iii) reduksi partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan terhadap lingkungan, yaitu terbatas hanya pada masyarakat
terdampak langsung.4
2
Ardito Ramadhan, UU Cipta Kerja Disahkan, Partisipasi Publik Dinilai Nyaris Nol,
https://nasional.kompas.com/read/2020/10/06/15240871/uu-cipta-kerja-disahkan-partisipasi-publik-dinilai-
nyaris-nol diakses pada tanggal 2 Oktober 2022 pukul 11.04 WIB.
3
Sigit Riyanto (et.al), Kertas Kebijakan Catatan Kritis terhadap UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,
(Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020), hlm. 6.
4
Ibid.
2
Penyimpangan politik hukum keadilan lingkungan terjadi pada pembentukan UU
Cipta Kerja. Berdasarkan tiga hal yang telah disebut di atas, keadilan lingkungan
telah dicederai dengan niat buruk dari pembentuk undang-undang. Adapun keadilan
lingkungan adalah suatu konsep yang berbicara agar dalam mencapai tujuan
kesejahteraan rakyat, kepentingan lingkungan harus tetap diperhatikan. 5 Konsep
keadilan bertujuan agar pemanfaatan alam tidak eksploitatif dan kualitas lingkungan
tetap lestari hingga generasi yang akan datang.

Menyambung terkait reduksi partisipasi masyarakat dalam pengambilan


keputusan terhadap lingkungan dalam UU Cipta Kerja. Penulis dalam tulisan ini ingin
berfokus pada pengabaian partisipasi masyarakat dalam penyusunan Amdal pada
Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Klaster Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mengenai simplikasi perizinan ini diatur dalam UU
Cipta Kerja yang mengubah nomenklatur izin lingkungan dalam UU PPLH menjadi
persetujuan lingkungan yang menjadi persyaratan penerbitan perizinan berusaha. 6
Amdal merupakan bagian dari instrumen perizinan dan produk kebijakan yang
dituangkan dalam bentuk keputusan amdal terkait kegiatan usaha yang akan
dijalankan haruslah didesain mewakili kepentingan masyarakat yang terdampak dan
pemerhati lingkungan, sehingga produk keputusan amdal sebagai bagian dari
informasi publik haruslah transparan dan partisipatif sebagai alat kontrol di alam
negara demokrasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah yang penulis jelaskan di atas,


penulis memfokuskan penulisan makalah ini dalam dua rumusan masalah, yaitu:

1. Apakah partisipasi masyarakat dalam penyusunan Amdal pada Undang-


Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Klaster Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup telah terabaikan?

2. Apa implikasi yang bisa timbul terkait pengabaian partisipasi masyarakat


dalam penyusunan Amdal pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja Klaster Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup?
5
Elly Kristiani Purwendah, “Merekonstruksi Ilmu Hukum …”, Prosiding Seminar Nasional Hukum dan Ilmu Sosial
Ke -2, 2018, hlm. 45.
6
Muhammad Sabki, Izin Amdal Tak Dihapus di UU Ciptaker, Hanya Disederhanakan,
https://www.cnbcindonesia.com/news/20201009141011-4-193171/izin-amdal-tak-dihapus-di-uu-ciptaker-
hanya-disederhanakan, diakses pada tanggal 19 Oktober 2022 pukul 21.34 WIB.
3
C. Hasil dan Pembahasan
1. Pengabaian Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Amdal pada
Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Penjelasan tentang politik hukum telah banyak diulas oleh para ahli hukum
Indonesia yang berkaitan dengan arah suatu kebijakan pembentukan produk
hukum dan pelaksanaannya yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Politik hukum memiliki suatu cita, harapan, ide, dan hukum yang berlaku di
masa depan (ius constituendum) atas produk yang dibuat oleh legislatif dan
eksekutif sehingga antara norma dan implementasinya dapat searah sesuai
dengan kehendak rakyat/masyarakat sebagai adressat hukum. Baik buruknya
politik hukum sangat tergantung pada watak penguasa di Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Pemerintah sejak pembentukan perundang-undangan hingga
konsistensi dalam pelaksanaannya, tentunya juga tidak lepas dari kepentingan-
kepentingan di sebuah lembaga politik sebagai dapurnya kebijakan nasional. 7
Pengertian lain terkait politik hukum adalah suatu keinginan, kepentingan,
atau kemauan dari pembentuk peraturan untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Substansi dari peraturan tersebut akan memandu arah tujuan hukum
dibuat. Pembentukan politik hukum tidak bisa sebebas-bebasnya, akan tetapi
memiliki batasan-batasan. Batasan-batasan tersebut adalah harus
memperhatikan peraturan di atasnya, peraturan yang sejajar, serta harus
memperhatikan situasi dan kondisi saat peraturan dibuat. Dasar keinginan
peraturan dibuat haruslah legal sesuai dengan hukum positif yang berlaku.
Dalam politik hukum harus diperhatikan juga terkait Stufenbau Theory yang
dikemukakan oleh Hans Kelsen. Teori jenjang norma tersebut mengajarkan
bahwa saat pembentukan suatu peraturan supaya terhindar dari benturan
norma baik secara vertikal maupun secara horizontal. Dalam mempelajari politik
hukum, kita juga dapat mengetahui terkait kekosongan norma, kekaburan
norma, dan inkonsistensi norma yang terdapat pada suatu peraturan.
Politik hukum atas UU Cipta Kerja pada klaster Lingkungan Hidup harus
memiliki pandangan yang holistik dengan memperhatikan berbagai dampak
ekonomi, sosial, dan lingkungan di daerah. Namun berbagai masalah berpotensi

7
Wahyu Nugroho dan Erwin Syahruddin, Politik Hukum Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di Sektor
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Suatu Telaah Kritis), Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 51 No. 3 2021, hlm.
638.
4
muncul dalam UU Cipta Kerja ini seperti mudahnya perizinan pemanfaatan
kawasan hutan hingga hilangnya Amdal sebagai pintu gerbang terakhir
penyelematan lingkungan.8 Proses penyusunan RUU Cipta Kerja saat itu sangat
tidak partisipatif dan tidak terbuka yang berakibat pada cacatnya kualitas norma
perundang-undangan. Institusi politik dapat mempengaruhi proses pembentukan
peraturan perundang-undangan. Institusi politik ini memiliki kekuatan-kekuatan
yang besar. Pengaruh dan kekuatan tersebut sangat mungkin mewarnai dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain kekuatan-kekuatan
politik yang ada dalam institusi-institusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan
lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang
dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berasal dari berbagai
kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya
menurut ketentuan hukum, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan,
kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga
swadaya masyarakat, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh
masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum mendapat tempat dan
apresiasi yang begitu luas.9
Sebuah Rancangan Undang-Undang memerlukan waktu bertahun-tahun
untuk dapat disahkan menjadi Undang-Undang yang dimulai dari tahap
perencanaan yang di dalam prosesnya terdiri tahap menyusun Daftar
Inventarisasi Masalah (DIM), Naskah Akademik (NA), hingga masuk pada tahap
pengundangan. Hal tersebut merupakan rangkaian Program Legislasi Nasional
(Prolegnas). Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas
adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang
disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan melewati beberapa proses yang harus
dilakukan, adapun tahapannya sebagai berikut:10
a. Perencanaan
Perencanaan menjadi tahap awal dalam menyusun peraturan perundang-
undangan. Dalam tahapan ini terdapat inventarisasi masalah yang ingin
diselesaikan beserta latar Belakang dan tujuan penyusunan peraturan
8
Fitria Dewi Susanti dan Sadam Afian Richwanudin, Empat Potensi Dampak Kebijakan Omnibus Law di Sektor
Kehutanan dan Lingkungan https://sebijak.fkt.ugm.ac.id/2020/10/06/empat-potensi-dampak-kebijakan-omnibus-
law-di-sektor-kehutanan-dan-lingkungan/, diakses pada tanggal 19 Oktober 2022 pukul 15.28 WIB.
9
Isharyanto, Politik Hukum, Kekata Group, Surakarta, 2016, hlm 6.
10
Arthur Daniel P. Sitorus, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
https://indonesiare.co.id/id/article/pembentukan-peraturan-perundang-undangan, diakses pada tanggal 2
Oktober 2022 pukul 13.12 WIB.
5
perundang-undangan. Setelah melalui pengkajian dan penyelarasan
terhadap masalah yang ingin diselesaikan yang selanjutnya dituangkan
dalam naskah akademik. Setelah selesai dengan naskah akademik
kemudian diusulkan untuk dimasukkan ke dalam program penyusunan
peraturan.
b. Penyusunan
Penyusunan peraturan perundang-undangan dapat diartikan dalam 2 (dua)
maksud. Pertama, penyusunan dalam arti proses, yakni proses
penyampaian rancangan dari Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota atau
DPR/DPD setelah melalui tahap perencanaan. Proses penyusunan ini
berbeda untuk undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan
presiden. Kedua, penyusunan dalam arti teknik penyusunan, yakni
pengetahuan mengenai tata cara pembuatan judul, pembukaan, batang
tubuh, penutup, penjelasan, dan lampiran.
c. Pembahasan
Pembahasan adalah pembicaraan mengenai substansi peraturan
perundang-undangan di antara pihak-pihak terkait. Untuk undang-udang,
pembahasan dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri melalui
tingkat-tingkat pembicaraan. Untuk peraturan di bawahnya, pembahasan
dilakukan oleh instansi terkait tanpa keterlibatan DPR.
d. Pengesahan
Untuk undang-undang, rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada
Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Untuk peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, disampaikan oleh Menteri
Hukum dan HAM kepada Presiden melalui Kementerian Sekretariat Negara
atau Sekretariat Kabinet.
e. Pengundangan
Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran
Daerah, atau Berita Daerah. Tujuan pengundangan adalah agar
masyarakat mengetahui isi peraturan perundang-undangan tersebut dan
dapat menjadi acuan kapan suatu peraturan perundang-undangan mulai
berlaku dan mengikat.

Pemerintah dan DPR selaku pembentuk undang-undang dalam proses


pembentukannya harus memperhatikan asas pembentukan perundang-
undangan yang baik. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 5 Undang-Undang No. 13
tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;

6
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Pada kasus pembentukan UU Cipta Kerja yang menuai banyak sorotan dari
masyarakat maupun praktisi hukum, penerapan asas keterbukaan sangat minim
diterapkan oleh pembentuk undang-undang. Pembentuk undang-undang
memilih untuk menyusun UU Cipta Kerja secara sembunyi-sembunyi, terkesan
serampangan, dan hanya sekedar mengejar target waktu pengundangan.
Akibatnya, menimbulkan masalah dalam penerapannya karena tertutupnya
pembahasan substansi undang-undang, sehingga masyarakat merasa kecewa
dan dirugikan atas berlakunya undang-undang tersebut.
Pasal 96 Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan telah mengatur bahwa masyarakat berhak memberikan
masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan
melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar,
dan/atau diskusi. Bahwa untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan
masukan secara lisan dan/atau tertulis, setiap rancangan peraturan perundang-
undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Sejatinya Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengatur mengenai nomenklatur “izin
lingkungan”. Namun demikian, dengan telah terlegitimasinya Undang-Undang
No. 11 Tahun 2020, ketentuan mengenai izin lingkungan sebagaimana
termaktub dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang akhirnya diubah melalui Pasal 22 angka 1
Undang-Undang tentang Cipta Kerja dengan konsep Persetujuan Lingkungan.
Walaupun pemenuhan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) masih
dipertahankan dalam memperoleh dasar uji kelayakan lingkungan hidup, akan
tetapi penyusunan dokumen Amdal pada Pasal 22 angka 5 Undang-Undang
Cipta Kerja telah disederhanakan dan sangat tidak aspiratif. Berikut adalah
skema perbandingan mengenai ketentuan Amdal:11

11
Anih Sri Suryani, Perizinan Lingkungan Dalam Undang-Undang Cipta Kerja Dan Dampaknya Terhadap
Kelestarian Lingkungan, dalam Jurnal Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual Dan Strategis , Vol. XII, No. 20,
Oktober 2020, hlm. 15
7
Tabel 1. Perbandingan UU PPLH dan UU Cipta Kerja

Perihal UU No. 32/2009 (UU PPLH) UU No. 11/20 (Cipta Kerja)

Tahapan 1. Proses dokumen lingkungan 1. Proses dokumen lingkungan


(Amdal atau UKL-UPL) (Amdal atau UKL-UPL),
2. Persetujuan lingkungan, 2. Persetujuan Lingkungan,
3. Izin Lingkungan, 3. Perizinan Berusaha
4. Izin Usaha

Dasar proses perizinan -Dampak penting bagi -Risiko tinggi


lingkungan -Risiko menengah
-Tidak berdampak penting bagi -Risiko rendah
lingkungan

Penilai Amdal Komisi Penilai Amdal (KPA) Lembaga Uji Kelayakan (LUK)

Pembentuk Penilai Menteri, Gubernur, atau Pemerintah Pusat (Sentralistik)


Amdal Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya

Anggota Penilai Amdal -Instansi lingkungan hidup dan LUK menunjuk Tim Uji
teknis terkait; Kelayakan yang terdiri dari:
-Pakar bidang lingkungan dan -Unsur pemerintah pusat dan
pakar sesuai jenis kegiatan/ pemerintah daerah
usaha -Ahli bersertifikat yang
-Wakil dari masyarakat yang kompeten di bidangnya
berpotensi terkena dampak -Masyarakat yang terkena
-Organisasi lingkungan hidup dampak langsung

Unsur masyarakat yang -Masyarakat yang terkena Masyarakat yang terkena dampak
dilibatkan dalam dampak kegiatan/usaha langsung12
penilaian Amdal -Pemerhati lingkungan
-Masyarakat yang terpengaruh
atas segala bentuk keputusan
dalam proses Amdal

Bantuan dari Bagi usaha dan/atau kegiatan Bagi usaha dan/atau kegiatan
pemerintah berupa golongan ekonomi lemah yang Usaha Mikro dan Kecil yang

12
Lihat Pasal 30 ayat (1) UU PPLH jo. Pasal 29 PP 27/2012.
8
fasilitasi, biaya, dan/ berdampak penting terhadap berdampak penting terhadap
atau penyusunan lingkungan hidup. lingkungan hidup.
Amdal

Jika terjadi pelanggaran Konsekuensi terhadap Izin Konsekuensi terhadap Perizinan


lingkungan Lingkungan Berusaha

Bahwa dalam skema perbandingan di atas, walaupun pemenuhan Amdal


masih dipertahankan dalam memperoleh dasar uji kelayakan lingkungan hidup,
namun demikian penyusunan dokumen Amdal pada Pasal 22 angka 5 Undang-
Undang Cipta Kerja sangat disederhanakan. Amdal tidak lagi mendasarkan
prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta prinsip
pemberitahuan sebelum kegiatan dilaksanakan. 13 Hal lain yang menjadi sorotan
adalah pengertian masyarakat yang dapat dilibatkan dalam penyusunan Amdal
belum begitu jelas.
Perubahan pada Pasal 26 ayat (3) UU PPLH telah mempersempit makna
masyarakat dalam penyusunan Amdal di UU Cipta Kerja menjadi hanya
masyarakat yang terkena dampak secara langsung saja. Meskipun demikian,
pemaknaan terkait masyarakat terdampak langsung diperluas oleh Peraturan
Pemerintah No 22 Tahun 2021. Pasal 28 Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun
2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
telah mengatur bahwa:
(1) Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan dalam menyusun Amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) melibatkan masyarakat
yang terkena dampak langsung.
(2) Pelibatan masyarakat yang terkena dampak langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pengumuman rencana usaha dan/atau kegiatan; dan
b. konsultasi publik.
Lalu pada Pasal 29 Peraturan Pemerintah ini disebutkan bahwa:
(1) Masyarakat yang terkena dampak langsung yang dilibatkan dalam
penyusunan Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
merupakan masyarakat yang berada di dalam batas wilayah studi Amdal

13
Lihat Ketentuan Pasal 22 angka 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Uji Kelayakan
Amdal Menjadi Sederhana
9
yang akan terkena dampak secara langsung baik positif dan/atau negatif
dari adanya rencana usaha dan/atau kegiatan.
(2) Pemerhati Lingkungan hidup, peneliti, atau lembaga swadaya masyarakat
pendamping yang telah membina dan/atau mendampingi masyarakat
terkena dampak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilibatkan sebagai bagian dari masyarakat yang terkena dampak langsung.
Pemaknaan penilaian Amdal oleh masyarakat yang terkena dampak
langsung diperluas dalam Pasal 35 PP 22/2021 dengan menyertakan pemerhati
lingkungan hidup dan/atau masyarakat berkepentingan lainnya yang dapat
mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan kepada tim uji kelayakan
lingkungan hidup. Hal ini jelas berbeda jika dibandingkan dengan pengaturan
sebelumnya yang menempatkan masyarakat sebagai salah satu unsur penilai di
Komisi Penilai Amdal, sehingga mereka memiliki andil dalam menentukan
keputusan diterima atau tidaknya Amdal yang diajukan.
2. Implikasi yang Bisa Timbul Terkait Pengabaian Partisipasi Masyarakat
dalam Penyusunan Amdal pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja Klaster Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Good Governance ialah tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam mewujudkan
konsep good governance maka diperlukan sinergi antara tiga aktor utama, yakni
pemerintah, private sector, dan civil society. Ketiga aktor ini mempunyai peran dalam
mengelola sumber daya, lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya. Pengertian good
governance dalam versi World Bank diartikan sebagai penyelenggaraan pengelolaan
atau manajemen dalam pemerintah secara solid dan akuntabel serta berdasarkan
prinsip pasar yang efisien dan juga pencegahan korupsi baik secara administratif
maupun politis.14
Konsep good governance yang diusung oleh World Bank dan UNDP masih belum
memiliki kesepakatan yang pasti. Konsep ini lebih dimaknai sebagai solusi untuk
perwujudan kinerja Pemerintah yang efektif dan efesien. Keberhasilan dari konsep
good governance bisa dipahami melalui prinsip-prinsip yang ada di dalamnya.
Prinsip-prinsip ini digunakan sebagai tolok ukur kinerja pemerintah dalam

14
Fitria Andalus Handayani, Mohamad Ichsana Nur, Implementasi Good Governance Di Indonesia, Publica: Jurnal
Pemikiran Administrasi Negara Vol 11 No. 1, Juni 2019, hlm. 3.
10
mengelolah pemerintahan. Prinsip-prinsip yang ada pada good governance antara
lain sebagai berikut:15
a. Partisipasi Masyarakat
b. Supremasi Hukum
c. Transparansi
d. Stakeholder
e. Berorientasi pada konsensus
f. Efektivitas dan efisiensi
g. Akuntabilitas
h. Kesetaraan
i. Visi strategis
Partisipasi masyarakat merupakan keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui perwakilan lembaga-lembaga yang
sah untuk mengakomodir kepentingan warga masyarakat. Partisipasi masyarakat
dibangun berdasarkan prinsip kebebasan yang adil dan santun. Dengan adanya
partisipasi dari masyarakat akan membuat suatu kebijakan menjadi lebih hidup,
karena memiliki ruh yang berasal dari lokalitas warga yang bersangkutan. 16 Good
governance dapat dikatakan berhasil manakala terdapat interdependensi antar
komponen governance yaitu negara (state), sektor swasta (private sector) dan
organisasi kemasyarakatan (civil society organization). Dalam konteks ini, organisasi
masyarakat adalah pemerhati lingkungan sebagai civil society organization yang
mengisi lack of information, knowledge, and spirit of awereness dalam menjaga
lingkungan hidup masyarakat.
Proses perumusan kebijakan publik bersinggungan erat dengan nilai-nilai
demokrasi, nilai-nilai seperti transparan dan akuntabilitas menjadi sangat krusial.
Kebijakan dengan demikian akan menjadi alat bagi kekuasaan yang ada, untuk
melakukan tindakan-tindakan represif dan manipulatif untuk kepentingan sedikit
orang (demokrasi oligarkis). Dengan demikian, demokratisasi dalam proses formulasi
kebijakan publik dapat dipahami sebagai akomodasi kepentingan masyarakat dalam
kebijakan serta adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan
publik.17 Amdal sebagai bagian dari instrumen perizinan dan produk kebijakan yang
15
Ibid, hlm. 4.
16
Ibid.
17
Dadi Junaedi Iskandar, Pentingnya Partisipasi dan Peranan Kelembagaan Politik dalam Proses Pembuatan
Kebijakan Publik, “Jurnal Ilmu Administrasi Media Pengembangan Ilmu dan Praktek Administrasi”, Vol.14 No.
1, Juni 2017, hlm. 20.
11
dituangkan dalam bentuk keputusan amdal terkait kegiatan usaha yang akan
dijalankan haruslah didesain mewakili kepentingan masyarakat yang terdampak dan
pemerhati lingkungan, sehingga produk keputusan amdal sebagai bagian dari
informasi publik haruslah transparan dan partisipatif sebagai alat kontrol di alam
negara demokrasi.
Politik hukum lingkungan saat ini tidak dapat dilepaskan dari persoalan materi
muatan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dari instrumen perizinan hingga
pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan usaha sektoral yang berdampak
terhadap lingkungan. Pengawasan ini memiliki fungsi pengendalian dari pencemaran
dan atau kerusakan lingkungan hidup, termasuk ketaatan ( compliance) terhadap
perizinan lingkungan dari Izin Lingkungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Amdal), dan Upaya Pengelolaan Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-
UPL). Selain itu juga wajib dibuat kajian lingkungan hdiup strategis oleh pemerintah
pusat dan daerah guna memastikan dalam konteks perencanaan dalam penyusunan
sebuah perundangundangan lingkungan atau kebijakan lingkungan nasional pada
akhirnya diimplementasikan oleh stakeholders pusat hingga daerah, serta
masyarakat.18
Dalam proses penyusunan amdal berdasarkan ketentuan saat ini melalui
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2020 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Izin
Lingkungan, maka hanya ada ruang masyarakat yang terdampak saja. Pemerhati
Lingkungan hidup, peneliti, atau lembaga swadaya masyarakat pendamping yang
telah membina dan/atau mendampingi masyarakat terkena dampak langsung dapat
dilibatkan sebagai bagian dari masyarakat yang terkena dampak langsung. Dampak
lain atas pengabaian partisipasi masyarakat yang disederhanakan ini akan
mendegradasi nilai-nilai demokrasi yang telah dibangun sejak reformasi. Seperti nilai
transparan dan kehati-hatian.
Penyebutan masyarakat yang terkena dampak langsung sangat membatasi
peran masyarakat dan unsur lainnya seperti pemerhati lingkungan, baik sebagai
individu maupun organisasi. Dapat disimpulkan bahwa fungsi kontrol dari berbagai
elemen masyarakat akan kelestarian lingkungan dapat berkurang. Hal ini tentu
merugikan publik atas terbatasnya akses untuk mendapatkan informasi dan

18
Wahyu Nugroho dan Erwin Syahruddin, op.cit, hlm. 641.
12
partisipasinya dalam uji kelayakan lingkungan hidup. Akibat dari dihilangkannya
unsur pemerhati lingkungan, maka akan timbul persepsi seakan-akan ada legitimasi
dalam melakukan eksploitasi alam tanpa henti dengan dasar hak menguasai negara
atas sumber daya alam. Kebijakan dalam ketentuan pengelolaan lingkungan hidup
saat ini masih menyandarkan asas partisipatif dan kehati-hatian dalam proses
perizinan sebagai fungsi pengendalian dan hukum administrasi lingkungan hidup. 19
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindunngan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup sebenarnya dalam Pasal 26 telah mengamanatkan mengenai
pelibatan masyarakat pemerhati lingkungan hidup dan juga yang terpengaruh atas
segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. 20 Dengan adanya penyederhanaan
konsep perizinan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
jelas mengakibatkan semakin tidak aspiratifnya proses penilaian Amdal dan
mereduksi peran/partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan hidup.
D. Penutup
Kesimpulan
1. Proses penyusunan Undang-Undang 13 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja saat
itu sangat tidak partisipatif dan tidak terbuka yang berakibat pada cacatnya
kualitas norma perundang-undangan. Perubahan pada Pasal 26 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mempersempit makna masyarakat
dalam penyusunan Amdal pada UU Cipta Kerja menjadi hanya masyarakat
yang terkena dampak secara langsung saja. Pemenuhan Amdal memang
masih dipertahankan dalam memperoleh dasar uji kelayakan lingkungan
hidup, namun demikian penyusunan dokumen Amdal pada Pasal 22 angka 5
Undang-Undang Cipta Kerja sangat disederhanakan. Amdal tidak lagi
mendasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta
prinsip pemberitahuan sebelum kegiatan dilaksanakan.
2. Penyebutan masyarakat yang terkena dampak langsung sangat membatasi
peran masyarakat dan unsur lainnya seperti pemerhati lingkungan, baik
sebagai individu maupun organisasi. Dapat disimpulkan bahwa fungsi kontrol
dari berbagai elemen masyarakat akan kelestarian lingkungan dapat
berkurang. Hal ini tentu merugikan publik atas terbatasnya akses untuk

19
Wahyu Nugroho dan Erwin Syahruddin, op.cit, hlm. 644.
20
Lihat Ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
13
mendapatkan informasi dan partisipasinya dalam uji kelayakan lingkungan
hidup. Dampak lain yang bisa timbul adalah adanya persepsi seakan-akan ada
legitimasi dalam melakukan eksploitasi alam tanpa henti dengan dasar hak
menguasai negara atas sumber daya alam. Padahal kebijakan dalam
ketentuan pengelolaan lingkungan hidup saat ini masih menyandarkan asas
partisipatif dan kehati-hatian dalam proses perizinan sebagai fungsi
pengendalian dan hukum administrasi lingkungan hidup.
Saran
1. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar memperhatikan Pasal 96
Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan telah mengatur bahwa masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan.
2. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar megembalikan unsur
masyarakat yang dilibatkan dalam penilaian Amdal dalam Undang-Undang 13
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja kembali pada Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
terdiri dari masyarakat yang terkena dampak kegiatan/usaha, pemerhati
lingkungan, masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan
dalam proses Amdal agar lebih aspiratif dan objektif.

14
Daftar Pustaka

Buku
Isharyanto, Politik Hukum, Kekata Group, Surakarta, 2016.
Sigit Riyanto (et.al), Kertas Kebijakan Catatan Kritis terhadap UU No. 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 2020.
Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang No. 13 tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 82 Tahun 2011, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5234
Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 245 Tahun 2020, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6573
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 140 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059
Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6634
Jurnal
Anih Sri Suryani, Perizinan Lingkungan Dalam Undang-Undang Cipta Kerja
Dan Dampaknya Terhadap Kelestarian Lingkungan, dalam Jurnal
Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual Dan Strategis , Vol. XII, No. 20, Oktober
2020
Wahyu Nugroho dan Erwin Syahruddin, Politik Hukum Rancangan Undang-
Undang Cipta Kerja di Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Suatu Telaah Kritis), Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 51 No. 3 2021
Fitria Andalus Handayani, Mohamad Ichsana Nur, Implementasi Good
Governance Di Indonesia, Publica: Jurnal Pemikiran Administrasi Negara
Vol 11 No. 1, Juni 2019
Dadi Junaedi Iskandar, Pentingnya Partisipasi dan Peranan Kelembagaan
Politik dalam Proses Pembuatan Kebijakan Publik, “Jurnal Ilmu
Administrasi Media Pengembangan Ilmu dan Praktek Administrasi”, Vol.14
No.1, Juni 2017, hlm. 20
Seminar
Elly Kristiani Purwendah, Merekonstruksi Ilmu Hukum …, Prosiding Seminar
Nasional Hukum dan Ilmu Sosial Ke -2, 2018, hlm. 45.

15
Situs internet
Monavia Ayu Rizaty, Hari Konstitusi, Berapa Jumlah Peraturan di Indonesia?,
https://dataindonesia.id/ragam/detail/hari-konstitusi-berapa-jumlah-
peraturan-di-indonesia, diakses pada tanggal 2 Oktober 2022, pukul 10.02
WIB.
Ardito Ramadhan, UU Cipta Kerja Disahkan, Partisipasi Publik Dinilai Nyaris
Nol, https://nasional.kompas.com/read/2020/10/06/15240871/uu-cipta-
kerja-disahkan-partisipasi-publik-dinilai-nyaris-nol, diakses pada tanggal 2
Oktober 2022 pukul 11.04 WIB.
Arthur Daniel P. Sitorus, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
https://indonesiare.co.id/id/article/pembentukan-peraturan-perundang-
undangan, diakses pada tanggal 2 Oktober 2022 pukul 13.12 WIB.
Fitria Dewi Susanti dan Sadam Afian Richwanudin, Empat Potensi Dampak
Kebijakan Omnibus Law di Sektor Kehutanan dan Lingkungan,
https://sebijak.fkt.ugm.ac.id/2020/10/06/empat-potensi-dampak-kebijakan-
omnibus-law-di-sektor-kehutanan-dan-lingkungan/, diakses pada tanggal 19
Oktober 2022 pukul 15.28 WIB.
Muhammad Sabki, Izin Amdal Tak Dihapus di UU Ciptaker, Hanya
Disederhanakan,
https://www.cnbcindonesia.com/news/20201009141011-4-193171/izin-
amdal-tak-dihapus-di-uu-ciptaker-hanya-disederhanakan, diakses pada
tanggal 19 Oktober 2022 pukul 21.34 WIB.

16

Anda mungkin juga menyukai