Fakta
Omnibus
Law
UU Cipta
Kerja
Kehutanan
ngan Hidup
l
l Lingku
Pe rh u t an a n Sosial
l
a n ia n d an P erkebunan
l Pert
l Masyar
akat Adat
g r ar ia d an Tata Ruang
lA
l Energi
daftar isi
Pengantar 3
Kehutanan 11
Lingkungan Hidup 38
Perhutanan Sosial 63
Pertanian dan Perkebunan 73
Masyarakat Adat 88
Agraria dan Tata Ruang 97
Energi 112
Pengantar
U
NTUK pertama kali dalam sejarah politik dan
tata negara, Indonesia memiliki omnibus law.
Penyederhanaan aturan yang biasa dipakai di negara-
negara yang menganut common law ini ditujukan
untuk mendatangkan investasi dan menggenjot
ekonomi agar bisa menyerap 2,2 juta angkatan kerja baru
tiap tahun. Namanya Undang-Undang Cipta Kerja.
Di tengah pandemi virus corona covid-19 sejak Maret 2020,
DPR mengesahkan beleid itu pada 5 Oktober 2020. Hanya
dalam waktu sembilan bulan, DPR memangkas 1.244 pasal
dalam 82 undang-undang ke dalam 186 pasal utama. Dengan
penghapusan, pengurangan, dan penambahan di banyak
pasal, UU Cipta Kerja setebal 1.187 halaman. Presiden Joko
Widodo mengesahkannya sebulan kemudian, 2 November
2020.
Dalam bagian penjelasan undang-undang itu, penyusun
omnibus law mengklaim lapangan kerja baru per tahun
hanya menyerap 2,5 juta. Sementara angkatan kerja baru
tumbuh 2,2 juta setahun plus 7,05 juta pengangguran, 8,14
juta setengah penganggur, dan 28,41 juta pekerja paruh
waktu. Sementara penduduk yang bekerja di sektor informal
sebanyak 70,49 juta orang.
Lapangan kerja baru yang tercipta sekarang terdorong
oleh angka pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% per tahun.
Angka ini hanya mampu mendatangkan—atau ditopang
oleh—investasi Rp 721 triliun pada 2018 dan Rp 792 triliun
P
ERUBAHAN krusial dalam UU Cipta Kerja sektor
kehutanan penghapusan ketentuan minimal 30%
luas hutan di sebuah daerah aliran sungai dan/atau
pulau dalam UU Nomor 41/1999 tentang kehutanan.
Penghapusan ini menghilangkan kebijakan afirmatif
mempertahankan hutan di suatu wilayah untuk melindungi
fungsi ekologis kawasan tersebut.
Pasal 36 Undang-Undang Cipta Kerja mengubah 19 pasal
dalam UU Kehutanan dan menambahkan tiga pasal baru.
Sementara pasal 37 mengubah 15 pasal dalam Undang-
Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Ada empat pasal dihapus dan empat pasal tambahan.
Pasal 15 Pasal 15
(1) Pengukuhan kawasan hutan (1) P
engukuhan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud dalam sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 dilakukan melalui proses: Pasal 14 dilakukan melalui:
a. penunjukan kawasan hutan, a. penunjukan kawasan hutan;
b. penataan batas kawasan hutan, b. penataan batas kawasan hutan;
c. p
emetaan kawasan hutan, dan c. p
emetaan kawasan hutan; dan
d. penetapan kawasan hutan. d. penetapan kawasan hutan.
(2) Pengukuhan kawasan hutan (2) P
engukuhan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan rencana tata ruang memperhatikan rencana tata ruang
wilayah. wilayah.
(3) P
engukuhan kawasan hutan
dilakukan dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan koordinat
geografis atau satelit.
(4) P
emerintah Pusat memprioritaskan
percepatan pengukuhan kawasan
hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pada daerah yang
strategis.
(5) K
etentuan lebih lanjut mengenai
prioritas percepatan pengukuhan
kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Implikasi
Tidak ada penjelasan mengenai pengertian dan penjelasan teknis soal “daerah
strategis” yang membuat pengukuhan hutan tak memperbaiki kesalahan
sebelumnya, yakni legalitas status dan fungsi kawasan hutan, dengan
mendapatkan legitimasi seluruh masyarakat.
rekomendasi
Peraturan pemerintah terkait kawasan hutan sebaiknya disatukan—setidaknya
disusun berdasarkan satu kerangka pemikiran—untuk sekaligus memperhatikan
penguasaan tanah di dalam kawasan hutan negara serta fungsi-fungsi hutan
yang seharusnya dipertahankan. Dalam menyelesaikan tumpang tindih
penggunaan kawasan hutan, juga perlu membedakan kemudahan bagi
perorangan tanpa izin atau kepentingan umum daripada pemegang izin private,
sehingga memerlukan kebijakan afirmatif, serta sanksi tegas kepada pejabat
yang lalai atau melakukan pembiaran masuknya usaha ke dalam kawasan hutan.
Pasal 18 Pasal 18
(1) Pemerintah menetapkan dan (1) P
emerintah Pusat menetapkan dan
mempertahankan kecukupan luas mempertahankan kecukupan luas
kawasan hutan dan penutupan kawasan hutan dan penutupan
hutan untuk setiap daerah aliran hutan untuk setiap daerah aliran
sungai dan atau pulau, guna sungai, dan/atau pulau guna
optimalisasi manfaat lingkungan, pengoptimalan manfaat lingkungan,
manfaat sosial, dan manfaat manfaat sosial, dan manfaat
ekonomi masyarakat setempat. ekonomi masyarakat setempat.
(2) Luas kawasan hutan yang harus (2) P
emerintah Pusat mengatur luas
dipertahankan sebagaimana kawasan yang harus dipertahankan
dimaksud pada ayat (1) minimal sesuai dengan kondisi fisik dan
30 % (tiga puluh persen) dari geografis daerah aliran sungai dan/
luas daerah aliran sungai dan atau pulau.
atau pulau dengan sebaran yang (3) K
etentuan lebih lanjut mengenai
proporsional. luas kawasan hutan yang harus
dipertahankan ialah termasuk
pada wilayah yang terdapat proyek
strategis nasional diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Implikasi
Penetapan luas dan fungsi hutan memakai mekanisme pasar akan mendorong
konversi untuk keperluan lain. Apalagi ada ketentuan konversi dengan
pertimbangan proyek strategis nasional. Penghapusan ambang batas ini juga
menyulitkan program perhutanan sosial dan reforma agraria di pulau yang
hutannya kurang dari 30%.
rekomendasi
Selain perlu tinjauan detail aspek-aspek biofisik, juga perlu pertimbangan
risiko atas kurangnya luas hutan pada setiap wilayah dengan karakteristik
Pasal 19 Pasal 19
(1) Perubahan peruntukan dan fungsi (1) P
erubahan peruntukan dan
kawasan hutan ditetapkan oleh perubahan fungsi kawasan hutan
Pemerintah dengan didasarkan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
pada hasil penelitian terpadu. dengan mempertimbangkan hasil
(2) Perubahan peruntukan kawasan penelitian terpadu.
hutan sebagaimana dimaksud pada (2) K
etentuan mengenai tata cara
ayat (1) yang berdampak penting perubahan peruntukan dan
dan cakupan yang luas serta perubahan fungsi kawasan hutan
bernilai strategis, ditetapkan oleh sebagaimana dimaksud pada
Pemerintah dengan persetujuan ayat (1) diatur dalam Peraturan
Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah.
(3) Ketentuan tentang tata cara
perubahan peruntukan kawasan
hutan dan perubahan fungsi
kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Implikasi
Undang-Undang Cipta Kerja tak memiliki rambu-rambu mengatasi dampak buruk
perubahan kawasan hutan untuk pembangunan. Perubahan peruntukan hutan
pada dasarnya melepas kawasan hutan negara untuk pembangunan di luar
sektor kehutanan. Selama ini perubahan kawasan hutan untuk pembangunan,
terutama industri, adalah pengambilan kayu dalam pembersihan lahan lalu
menelantarkannya. Perubahan peruntukan lahan hutan juga menjadi cara
pengumpulan aset tanah sehingga ada akumulasi kekayaan kepada sekelompok
orang.
rekomendasi
Peraturan pemerintah yang sebaiknya memperhatikan implikasi serta substansi
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2018 untuk mengidentifikasi pemilik
manfaat dari seluruh proses perubahan peruntukan kawasan hutan agar
penentuan lokasinya berjalan adil.
Pasal 26 Pasal 26
(1) Pemanfaatan hutan lindung dapat (1) P
emanfaatan Hutan Lindung dapat
berupa pemanfaatan kawasan, berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan jasa lingkungan, dan
pemungutan hasil hutan bukan pemungutan hasil hutan bukan
kayu. kayu.
(2) Pemanfaatan hutan lindung (2) P
emanfaatan hutan lindung
dilaksanakan melalui pemberian sebagaimana dimaksud pada
izin usaha pemanfaatan kawasan, ayat (1) dilakukan dengan
izin usaha pemanfaatan jasa pemberian Perizinan Berusaha dari
lingkungan, dan izin pemungutan Pemerintah Pusat.
hasil hutan bukan kayu.
Implikasi
Mengukuhkan ketimpangan pemanfaatan hasil hutan antara masyarakat
tradisional dan usaha besar.
rekomendasi
Pengaturan pemanfaatan hasil hutan mesti adil, merata, dan lestari dengan
membatasi perizinan berusaha melalui pembatasan luas, pembatasan jumlah izin
usaha, dan penataan lokasi usaha oleh setiap badan usaha. Substansi tersebut
sangat terkait dengan area izin korporasi dan program perhutanan sosial. Tanpa
menjalankan pasal itu alokasi kawasan hutan sebagai kekayaan negara semakin
sulit dilaksanakan.
Pasal 28 Pasal 28
(1) Pemanfaatan hutan produksi dapat (1) P
emanfaatan hutan produksi dapat
berupa pemanfaatan kawasan, berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan jasa lingkungan,
pemanfaatan hasil hutan kayu dan pemanfaatan hasil hutan kayu dan
bukan kayu, serta pemungutan bukan kayu, serta pemungutan
hasil hutan kayu dan bukan kayu. hasil hutan kayu dan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan produksi (2) P
emanfaatan hutan produksi
dilaksanakan melalui pemberian sebagaimana dimaksud ayat (1)
izin usaha pemanfaatan kawasan, dilakukan dengan pemberian
izin usaha pemanfaatan Perizinan Berusaha dari
jasa lingkungan, izin usaha Pemerintah Pusat.
pemanfaatan hasil hutan kayu, izin
usaha pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu, izin pemungutan hasil
hutan kayu, dan izin pemungutan
hasil hutan bukan kayu.
Implikasi
Menarik jenis pemanfaatan hanya dengan izin berusaha akan menyulitkan
identifikasi jenis usaha dan pengawasannya.
rekomendasi
Peraturan pemerintah mesti menjelaskan detail jenis usaha pemanfaatan hutan
produksi dan pemanfaatan kawasan hutan sehingga sejak awal bisa ditelaah
dampak dan manfaatnya untuk masyarakat.
Pasal 29A
(1) P
emanfaatan hutan lindung dan
hutan produksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 dan
Pasal 28 dapat dilakukan kegiatan
Perhutanan sosial.
(2) P
erhutanan sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat
diberikan kepada:
a. perseorangan;
b. kelompok tani hutan; dan
c. koperasi.
Implikasi
Tak menjawab isu utama perhutanan sosial, yakni legalitas karena tak ada
penjelasan frasa “kegiatan”. Juga tak ada penjelasan kedudukan masyarakat
hukum adat yang menempati areal hutan sehingga aspek keadilan terhadap
mereka tak secara tegas dijelaskan dibanding kelompok lain.
rekomendasi
Peraturan pemerintah mesti secara kuat mengandung kebijakan afirmatif untuk
masyarakat adat.
Pasal 35 Pasal 35
(1) Setiap pemegang izin usaha (1) S
etiap pemegang Perizinan
pemanfaatan hutan sebagaimana Berusaha terkait pemanfaatan
dimaksud dalam Pasal 27 dan hutan dikenakan penerimaan
Pasal 29, dikenakan iuran izin negara bukan pajak di bidang
usaha, provisi, dana reboisasi, dan kehutanan.
dana jaminan kinerja. (2) P
enerimaan negara bukan pajak
(2) Setiap pemegang izin usaha di bidang kehutanan sebagaimana
pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
dimaksud dalam Pasal 27 dan berasal dari dana reboisasi hanya
Pasal 29 wajib menyediakan dana dipergunakan untuk kegiatan
investasi untuk biaya pelestarian rehabilitasi hutan dan lahan.
hutan. (3) S
etiap pemegang Perizinan
(3) Setiap pemegang izin pemungutan Berusaha terkait pemanfaatan
hasil hutan sebagaimana dimaksud hutan wajib menyediakan dana
dalam Pasal 27 dan Pasal 29 investasi untuk biaya pelestarian
hanya dikenakan provisi. hutan.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana (4) S
etiap pemegang Perizinan
dimaksud pada ayat (1), ayat Berusaha terkait pemungutan hasil
(2), dan ayat (3) diatur dengan hutan hanya dikenakan penerimaan
Peraturan Pemerintah. negara bukan pajak berupa provisi
di bidang kehutanan.
(5) K
etentuan lebih lanjut mengenai
pungutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Implikasi
Tak memperbaiki kegagalan rehabilitasi akibat ketidakjelasan pemakaian dana
dari pemilik konsesi pemanfaatan kawasan hutan dan sumber-sumbernya.
Problem rehabilitasi di lapangan tak semata menanam, tapi juga memerlukan
komunikasi dengan masyarakat, pemetaan sosial, membentuk kelompok,
meyakinkan manfaat dari hasilnya, bahkan menyelesaikan konflik lahan.
rekomendasi
Peraturan pemerintah mesti membuka peluang sumber pendanaan lain,
memperluas pengertian kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, atau mensyaratkan
kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan hanya dilakukan ketika lokasinya sudah
disiapkan sebelumnya. Juga perlu penjelasan rinci yang dimaksud dengan “dana
investasi untuk pelestarian hutan”.masyarakat adat.
Pasal 50A
(1) D
alam hal pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 ayat (2) huruf c, huruf d
dan/atau huruf e dilakukan oleh
orang perseorangan atau kelompok
masyarakat yang bertempat
tinggal di dalam dan/atau di sekitar
kawasan hutan paling singkat 5
(lima) tahun secara terus menerus
dikenai sanksi administratif.
(2) P
engenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikecualikan terhadap:
a. orang perseorangan atau
kelompok masyarakat yang
bertempat tinggal di dalam
dan/atau di sekitar kawasan
hutan paling singkat 5 (lima)
tahun secara terus-menerus
dan terdaftar dalam kebijakan
penataan Kawasan Hutan; atau
b. orang perseorangan yang telah
mendapatkan sanksi sosial atau
sanksi adat.
Implikasi
Pasal sisipan ini adalah hukuman bagi perorangan yang mendapat izin berusaha
di kawasan hutan negara yang merusak hutan. Pasal ini berpotensi jadi pasal
karet bagi masyarakat adat yang baru mendapatkan pengakuan negara
terhadap komunitasnya dan hak mengelola hutan adat di bawah lima tahun. Bagi
masyarakat adat yang belum dianggap tinggal lima tahun akan mendapatkan
sanksi administratif, berupa denda, penghentian izin berusaha yang bisa
ditafsirkan sebagai pencabutan izin mengelola hutan adat.
rekomendasi
Peraturan pemerintah perlu detail mengatur klausul tinggal lima tahun berturut-
turut untuk masyarakat adat dengan penjelasan bahwa pengenaan sanksi bagi
mereka tidak mencabut hak masyarakat adat mengelola hutan adat yang telah
dikukuhkan sebagai hak inheren seperti putusan Mahkamah Konstitusi tahun
2012. Klausul ketentuan lama tinggal bisa berlaku tidak adil kepada usaha besar
dan masyarakat adat.
Implikasi
Secara empiris pengelolaan kawasan atau teritorial kehutanan memerlukan
kolaborasi dan integrasi kewenangan pusat dan daerah untuk memperkuat
institusi kehutanan. Luasnya diskresi pemerintah pusat akan melemahkan
pengawasan dan perlindungan hutan.
rekomendasi
Peraturan pemerintah mesti mendelegasikan dengan rigid peran pemerintah
daerah agar manajemen hutan tetap memiliki jangkar di tingkat tapak yang begitu
luas dan beragam masalahnya.
UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
HUTAN
Dihapus
Pasal 54
(1) Dalam rangka pelaksanaan
pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan, Presiden
membentuk lembaga yang
menangani pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan.
(2) Lembaga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berkedudukan di
bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden.
(3) Lembaga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. unsur Kementerian
Kehutanan;
b. unsur Kepolisian Republik
Indonesia;
c. unsur Kejaksaan Republik
Indonesia; dan
d. unsur lain yang terkait.
(4) Pelaksanaan tugas lembaga
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang
ini.
Implikasi
Hilang mandat bagi Presiden membentuk lembaga yang berwenang mencegah
dan memberantas perusakan hutan. Padahal penguatan kelembagaan
penegakan hukum memegang peran penting dalam pemberantasan kejahatan
terorganisir sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18/2013 tentang
pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan.
Rekomendasi
Mengembangkan kembali penegakan hukum satu atap sesuai mandat Undang-
Undang 32/2009 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XII/2014
mengenai amanat pembentukan penegakan hukum terpadu dalam perkara
lingkungan hidup dan kejahatan lainnya yang terkait.
UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
HUTAN
Pasal 84 Pasal 84
(4) Korporasi yang membawa (3) K
orporasi yang membawa alat-alat
alat-alat yang lazim digunakan yang lazim digunakan untuk mene-
untuk menebang, memotong, bang, memotong, atau membelah
atau membelah pohon di dalam pohon di dalam kawasan hutan tan-
kawasan hutan tanpa izin pejabat pa Perizinan Berusaha sebagaima-
yang berwenang sebagaimana na dimaksud dalam Pasal 12 huruf f
dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dipidana bagi:
dipidana dengan pidana penjara a. pengurusnya dengan pidana
paling singkat 2 (dua) tahun penjara paling singkat 2
dan paling lama 15 (lima belas) (dua) tahun dan paling lama
tahun dan pidana denda paling 15 (lima belas) tahun dan
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua pidana denda paling sedikit
miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
Rp15.000.000.000,00 (lima belas rupiah) dan paling banyak
miliar rupiah). Rp15.000.000.000,00 (lima
belas miliar rupiah); dan/atau
b. korporasi dikenai pemberatan 1/3
dari denda pidana yang dijatuhkan.
Implikasi
Memisahkan korporasi dan pengurus sebagai dua subjek hukum yang terpisah
akan otomatis mengubah subjek hukum dan mengaburkan sanksi. Para pemilik
korporasi bisa menghindar dengan mengorbankan para pengurus perusahaan
untuk menghadapi tuntutan pidana dan denda.
Rekomendasi
Perlu penjelasan tentang kewajiban pemilik usaha dalam menghadapi gugatan
pidana atas tuduhan perusakan hutan kepada perusahaannya. Ketentuannya
mesti mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016
tentang tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh korporasi.
UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
HUTAN
Pasal 110A
(1) S
etiap orang yang melakukan
kegiatan usaha yang telah terba-
ngun dan memiliki Perizinan Ber
usaha di dalam kawasan hutan
sebelum berlakunya Undang- Un-
dang ini yang belum memenuhi
persyaratan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang kehutanan,
wajib menyelesaikan persyaratan
paling lambat 3 (tiga) tahun sejak
Undang-Undang ini berlaku.
(2) J ika setelah lewat 3 (tiga) tahun
sejak berlakunya undang-undang
ini tidak menyelesaikan persya
ratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pelaku dikenai
sanksi administratif, berupa:
a. pembayaran denda
administratif; dan/atau
b. pencabutan Perizinan
Berusaha.
(3) K
etentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pengenaan sanksi
administratif dan tata cara
penerimaan negara bukan
pajak yang berasal dari denda
administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Implikasi
Tak menyelesaikan problem ketelanjuran yang menjadi cita-cita pasal ini.
Pemutihan usaha di kawasan hutan terlalu berpihak kepada usaha besar.
Karena, menurut Yayasan Auriga (2018), ada 3,43 juta hektare kebun sawit di
dalam kawasan hutan dan 1,2 juta hektare di antaranya berupa kebun rakyat.
Pasal ini tidak bisa menyelesaikan kebun sawit rakyat di kawan hutan karena
umumnya mereka tidak berizin. Sementara 2,23 juta hektare milik usaha besar
dan hanya seluas 367.613 hektare yang mempunyai izin usaha perkebunan.
Artinya pasal ini tidak bisa menyelesaikan kebun swasta besar seluas 1,865 juta
hektare.
Ketentuan ini juga tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah
penggunaan kawasan hutan yang bentuknya telanjur menjadi desa atau
perkampungan, fasilitas sosial maupun fasilitas umum, karena penduduknya
tidak berizin.
Penyebab ketelanjuran di kawasan hutan adalah tindakan pejabat yang dengan
sengaja atau lalai menjalankan tugasnya atau melakukan pembiaran sehingga
terjadi penggunaan kawasan hutan negara yang tidak sah (pasal 28 UU P3H)
yang sejauh ini tak mendapat hukuman.
Selain itu dalam pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan tidak bisa dilepaskan
dari persoalan hutan adat yang ditetapkan berdasarkan pasal 67 Undang-
Undang Kehutanan yang tak diubah dalam omnibus law. Dalam kenyataannya,
masyarakat hukum adat itu bisa berada di dalam lokasi perizinan berusaha yang
tidak mendapat kebijakan afirmasi untuk menyelesaikannya. Padahal kelancaran
suatu usaha di hutan negara juga sangat ditentukan oleh adanya kepastian
status kawasan hutan negara itu.
Rekomendasi
Penyelesaian kawasan hutan di pasal ini sangat tergantung pada penjabaran
pasal 18 mengenai kecukupan kawasan hutan.
Peraturan pemerintah yang menjabarkan Pasal 110A ayat (2) mesti mengatur
peta beserta luasan keterlanjuran yang dimaksud sejak undang-undang ini
ditetapkan. Hal ini perlu dipastikan mengingat Pasal ini termasuk pengaturan
transisi bagi keadaan hukum yang terjadi sebelumnya dan akan diatur dengan
Pasal 110A ini. Oleh karena itu, perlu kepastian obyek yang akan diatur melalui
Pasal 110A ini melalui peta keterlanjuran dan luasannya.
Tanpa adanya kepastian luasan dan peta dalam PP, pasal ini sangat berpotensi
digunakan sebagai instrumen untuk menyelundupkan hukum bagi pelanggaran/
kejahatan kawasan yang terjadi setelah UU Cipta Kerja.
UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
HUTAN
Pasal 110B
(1) S
etiap orang yang melakukan
pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf b, huruf c, dan/atau huruf
e, dan/atau Pasal 17 ayat (2)
huruf b, huruf c, dan/atau huruf
e, atau kegiatan lain di kawasan
hutan tanpa memiliki Perizinan
Berusaha yang dilakukan sebelum
berlakunya Undang- Undang
ini dikenai sanksi administratif,
berupa:
a. penghentian sementara
kegiatan usaha;
b. pembayaran denda
administratif; dan/atau c.
paksaan pemerintah.
(2) D
alam hal pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh orang
perseorangan yang bertempat
tinggal di dalam dan/atau di
sekitar kawasan hutan paling
singkat 5 (lima) tahun secara
terus menerus dengan luasan
paling banyak 5 (lima) hektar,
dikecualikan dari sanksi
administratif dan diselesaikan
melalui penataan kawasan hutan.
UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
HUTAN
(3) K
etentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pengenaan sanksi
administratif dan tata cara
penerimaan negara bukan
pajak yang berasal dari denda
administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Implikasi
Ketentuan ini tidak adil bagi perambah perorangan vis a vis usaha besar.
Biasanya mereka tak memiliki izin karena masuk ke dalam kawasan hutan (open
access) dalam kelompok. Untuk mereka pemerintah akan langsung menetapkan
denda yang besarnya diatur dalam rumus di penjelasan pasal ini. Akibatnya
pemilik usaha perorangan akan terdorong menjual atau memindahtangankan
lokasi usaha mereka kepada korporasi yang akan mendapatkan pengampunan
dalam tiga tahun.
rekomendasi
Pasal 110A dan 110B memerlukan langkah penyelesaian sistematis. Hal-hal
yang perlu diatur dalam peraturan pemerintah:
(1) Penetapan luas dan peta keterlanjuran yang diakui dan akan diselesaikan
berdasarkan Pasal 110A dan 110B;
(2) Identifikasi aktor dalam peta dan luasan ketelanjuran;
(3) Berdasarkan identifikasi di atas, adanya larangan pengalihan tanggung jawab
antar aktor;
(4) Penghitungan biaya pemulihan atas kawasan yang telah diduduki sebelum
Undang-Undang Cipta Kerja pada akhir pengusahaan sehingga tidak terjadi
pengalihan tanggung jawab pemulihan setelah pemanfaatan kepada negara;
(5) Prioritas pengukuhan kawasan hutan.
UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
HUTAN
Pasal 84 Pasal 84
(4) Korporasi yang membawa (3) K
orporasi yang membawa
alat-alat yang lazim digunakan alat-alat yang lazim digunakan
untuk menebang, memotong, untuk menebang, memotong,
atau membelah pohon di dalam atau membelah pohon di dalam
kawasan hutan tanpa izin pejabat kawasan hutan tanpa Perizinan
yang berwenang sebagaimana Berusaha sebagaimana dimaksud
dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dalam Pasal 12 huruf f dipidana
dipidana dengan pidana penjara bagi:
paling singkat 2 (dua) tahun a. pengurusnya dengan pidana
dan paling lama 15 (lima belas) penjara paling singkat 2
tahun dan pidana denda paling (dua) tahun dan paling lama
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua 15 (lima belas) tahun dan
miliar rupiah) dan paling banyak pidana denda paling sedikit
Rp15.000.000.000,00 (lima belas Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah). miliar rupiah) dan paling
banyak Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah); dan/
atau
b. korporasi dikenai pemberatan
1/3 dari denda pidana yang
dijatuhkan.
Implikasi
Memisahkan korporasi dan pengurus sebagai dua subjek hukum yang terpisah
akan otomatis mengubah subjek hukum dan mengaburkan sanksi. Para pemilik
korporasi bisa menghindar dengan mengorbankan para pengurus perusahaan
untuk menghadapi tuntutan pidana dan denda.
rekomendasi
Perlu penjelasan tentang kewajiban pemilik usaha dalam menghadapi gugatan
pidana atas tuduhan perusakan hutan kepada perusahaannya. Ketentuannya
mesti mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016
tentang tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh korporasi.
165
lisensi
penyusun
amdal (2018)
87 63%
Kegiatan wajib memakai
amdal dalam kriteria sendiri
15 bidang pada dan tak jelas 83
2019, naik dari ukurannya. dokumen
58 pada 2006. amdal
(2018)
<90%
disusun 334
saat detail orang ketua
desain, tim amdal
konstruksi, pemegang
setelah sertifikat
konstruksi kompetensi
amdal
Rp 5,4 miliar
anggaran 429
Direktorat
Pencegahan orang
Dampak anggota
Lingkungan Usaha
dan Kegiatan penyusun
KLHK amdal
Lingkungan Hidup
A
DA enam perubahan pasal dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Perubahan enam
pasal itu berpotensi melemahkan usaha-usaha
perlindungan lingkungan hidup akibat pengelolaan
yang terlalu condong pada pemberian izin untuk industri.
Perubahan atas pasal-pasal di undang-undang ini membuka
diskresi kepada pemerintah pusat sangat luas karena banyak
aturan didelegasikan kepada peraturan pemerintah yang
lebih tertutup dalam penyusunannya. Pemerintah pusat
punya keleluasaan menafsirkan bunyi tiap pasal dalam
Undang-Undang Cipta Kerja.
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP
Implikasi
Masih mewajibkan UKL-UPL dalam proses izin berusaha akan menumbuhkan
korupsi dan tak memangkas birokrasi. Dalam praktik, UKL-UPL tidak
membangkitkan dampak penting. Seharusnya UKL-UPL diubah menjadi standar
prosedur operasi yang terintegrasi dalam perizinan berusaha.
Rekomendasi
Perlu pendalaman potensi korupsi dalam perizinan dan penyusunan UKL-UPL.
Penyusunan UKL-UPL dan perizinan harus transparan dan akuntabel, termasuk
kejelasan mekanisme pengaduan oleh publik dan dunia usaha.
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 24 Pasal 24
Dokumen amdal sebagaimana (1) D
okumen Amdal merupakan dasar
dimaksud dalam Pasal 22 merupakan uji kelayakan lingkungan hidup
dasar penetapan keputusan kelayakan untuk rencana usaha dan/atau
lingkungan hidup. kegiatan.
(2) U
ji kelayakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh tim uji kelayakan
lingkungan hidup yang dibentuk
oleh lembaga uji kelayakan
lingkungan hidup Pemerintah
Pusat.
(3) T
im uji kelayakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) terdiri atas unsur Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, dan ahli
bersertifikat.
(4) P
emerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah menetapkan Keputusan
Kelayakan Lingkungan Hidup
berdasarkan hasil uji kelayakan
lingkungan hidup.
(5) K
eputusan Kelayakan Lingkungan
Hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) digunakan sebagai
persyaratan penerbitan Perizinan
Berusaha, atau persetujuan
Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah.
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP
(6) K
etentuan lebih lanjut mengenai
tata laksana uji kelayakan
lingkungan hidup diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Implikasi
Meski ada ketentuan pemerintah pusat bisa melakukan sendiri uji kelayakan
lingkungan hidup, tidak berarti ada integrasi antara kelayakan lingkungan dan
perizinan berusaha. Sebab setiap tahap perizinan umumnya melekat pada unit
kerja atau bahkan lembaga berbeda.
Badan Penelitian dan Pengembangan KPK 2015-2019, menemukan ada
transaksi pada setiap tahap jika tidak ada pengendalian secara elektronik dan/
atau keterbukaan informasi bagi publik.
Pasal ini tak memperbaiki posisi amdal sebagai informasi menentukan rencana
kegiatan, hanya sebagai instrumen administrasi sehingga belum bisa menjadi
andalan mengendalikan kerusakan lingkungan hidup.
Selama ini amdal tidak menjadi akumulasi pengetahuan tata-cara pengelolaan
dampak lingkungan. Akibatnya, alih-alih makin berkurang, kegiatan wajib amdal
bertambah dari tahun ke tahun yang mendorong biaya transaksi makin besar.
Rekomendasi
Uji kelayakan lingkungan hidup perlu mengatur pertimbangan aspek sosial yang
berhubungan dengan lingkungan hidup, selain aspek teknis. Beberapa aspek
sosial yang perlu diatur dalam tata laksana uji kelayakan adalah:
a. Standar dan mekanisme transparansi dan partisipasi publik dalam setiap
tahapan uji kelayakan lingkungan;
b. Mekanisme keberatan atau pengaduan dalam proses uji kelayakan bagi publik
dan dunia usaha sebagai bagian pencegahan korupsi.
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 26 Pasal 26
(1) Dokumen amdal sebagaimana (1) D
okumen Amdal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 dimaksud dalam Pasal 22
disusun oleh pemrakarsa dengan disusun oleh pemrakarsa dengan
melibatkan masyarakat. melibatkan masyarakat.
(2) Pelibatan masyarakat harus (2) P
enyusunan dokumen Amdal
dilakukan berdasarkan prinsip dilakukan dengan melibatkan
pemberian informasi yang masyarakat yang terkena dampak
transparan dan lengkap serta langsung terhadap rencana usaha
diberitahukan sebelum kegiatan dan/atau kegiatan.
dilaksanakan. (3) K
etentuan lebih lanjut mengenai
(3) Masyarakat sebagaimana proses pelibatan masyarakat
dimaksud pada ayat (1) meliputi: sebagaimana dimaksud pada
a. yang terkena dampak; ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
b. pemerhati lingkungan hidup;
dan/atau
c. y ang terpengaruh atas segala
bentuk keputusan dalam proses
amdal.
(4) Masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat
mengajukan keberatan terhadap
dokumen amdal.
Implikasi
Penghapusan ahli dan organisasi lingkungan sebagai anggota penyusun
amdal membuat posisi pihak ketiga menjadi lemah. Mereka yang terdampak
langsung oleh rencana sebuah kegiatan atau usaha tanpa pendampingan
membuat posisinya inferior secara politik. Umumnya mereka yang terdampak
Rekomendasi
Peraturan pemerintah perlu mengatur:
a. Kriteria masyarakat yang terkena dampak langsung, termasuk bagaimana
menentukan masyarakat terkena dampak langsung yang umumnya tidak
dapat didekati hanya dengan wilayah administrasi usaha saja;
b. Pelibatan masyarakat yang tak terkena dampak langsung, perlu tetap diatur
dengan standar dan mekanisme yang jelas karena hak atas lingkungan hidup
tidak dapat hanya didekati dengan wilayah administrasi usaha. Dampak
lingkungan dapat bersifat kumulatif dan sekaligus bersifat lintas wilayah
administrasi usaha;
c. Standar dan mekanisme transparansi dan keberatan dalam penyusunan
Amdal. Hal ini penting untuk memastikan proses partisipasi tetap terjamin dan
sekaligus mencegah terjadinya korupsi dalam proses penyusunan Amdal.
d. Perlu diatur standar dan mekanisme transparansi dan partisipasi publik dalam
tahapan proses penyusunan Amdal.
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 37 Pasal 37
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/ Perizinan Berusaha dapat dibatalkan
walikota sesuai dengan apabila:
kewenangannya wajib menolak a. persyaratan yang diajukan dalam
permohonan izin lingkungan permohonan Perizinan Berusaha
apabila permohonan izin tidak mengandung cacat hukum,
dilengkapi dengan amdal atau UKL- kekeliruan, penyalahgunaan,
UPL. serta ketidakbenaran dan/atau
(2) Izin lingkungan sebagaimana pemalsuan data, dokumen, dan/
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) atau informasi;
dapat dibatalkan apabila: b. penerbitannya tanpa memenuhi
a. persyaratan yang diajukan syarat sebagaimana tercantum
dalam permohonan izin dalam Keputusan Kelayakan
mengandung cacat hukum, Lingkungan Hidup atau
kekeliruan, penyalahgunaan, Pernyataan Kesanggupan
serta ketidakbenaran dan/atau Pengelolaan Lingkungan Hidup;
pemalsuan data, dokumen, dan/ atau
atau informasi; c. kewajiban yang ditetapkan dalam
b. penerbitannya tanpa memenuhi dokumen Amdal atau UKL-
syarat sebagaimana tercantum UPL tidak dilaksanakan oleh
dalam keputusan komisi tentang penanggung jawab usaha dan/
kelayakan lingkungan hidup atau atau kegiatan.
rekomendasi UKL-UPL; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam
dokumen amdal atau UKL-
UPL tidak dilaksanakan oleh
penanggung jawab usaha dan/
atau kegiatan.
Implikasi
Pasal ini merupakan bentuk akuntabilitas atas kepatuhan lingkungan hidup
terhadap keputusan izin lingkungan. Penghapusan izin lingkungan dan membuat
syarat pembatalan izin berusaha, membuat kontrol kepatuhan lingkungan
terhadap penanggung jawab usaha/kegiatan. Di sisi lain, ketentuan ini ditentukan
oleh ego-sektoral di pemerintahan yang selama ini masih tinggi. Pelanggaran
lingkungan yang ditemukan oleh institusi lingkungan tidak mendapatkan tindak
lanjut yang memadai.
rekomendasi
Peraturan pemerintah perlu mengatur mekanisme dan tata cara pembatalan
perizinan berusaha yang melanggar ketentuan ini, sekaligus mengatur hubungan
kerja antar instansi lingkungan dengan instansi pemberi izin berusaha dalam
proses pembatalannya.
Perlu diatur juga sistem akuntabilitas yang memastikan pembatalan izin usaha
karena pelangaran terhadap pasal ini, termasuk temuan pelanggaran yang
diperoleh dari instansi lingkungan hidup.
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP
Dihapus
Pasal 38
Selain ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin
lingkungan dapat dibatalkan melalui
keputusan pengadilan tata usaha
negara.
Implikasi
Gugatan ke pengadilan tata usaha negara tertuju pada izin berusaha sebagai
dokumen final dalam kegiatan industri.
rekomendasi
Agar prinsip pasal 37-38 tetap berlaku sebagai mekanisme kontrol, peraturan
pemerintah menegaskan bahwa keputusan kelayakan lingkungan atau
kesanggupan pengelolaan lingkungan bisa digugat ke pengadilan.
Pasal 38 dihapus
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 39 Pasal 39
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/ (1) K
eputusan Kelayakan Lingkungan
wali kota sesuai dengan Hidup diumumkan kepada
kewenangannya wajib masyarakat.
mengumumkan setiap permohonan (2) P
engumuman sebagaimana
dan keputusan izin lingkungan. dimaksud pada ayat (1) dilakukan
(2) Pengumuman sebagaimana melalui sistem elektronik dan/atau
dimaksud pada ayat (1) dilakukan cara lain yang ditetapkan oleh
dengan cara yang mudah diketahui Pemerintah Pusat.
oleh masyarakat.
Implikasi
Pergantian menjadi secara elektronik tak menjamin distribusi informasinya
menjadi mudah bagi masyarakat lokasi kegiatan industri berada. Akibatnya,
selain amdal hanya menjadi kegiatan rutin, ia kehilangan pengawas yang lebih
luas, bahkan oleh mereka yang terdampak secara langsung.
Rekomendasi
Peraturan pemerintah maupun NSPK perlu mengatur secara rinci beberapa hal:
(1) tahapan pengumuman dilakukan sejak dini atau awal yang memastikan setiap
masyarakat, khususnya masyarakat terdampak dapat mengetahui sejak awal
yaitu sajak permohonan izin diajukan sehingga memiliki cukup waktu untuk
melakukan partisipasi dalam pengambilan keputusan pemberian Perizinan
Berusaha;
(2) muatan atau substansi pengumuman perlu memuat kriteria usaha/kegiatan
dan kemungkinan dampaknya bagi masyarakat sekitar;
(3) saluran pengumuman perlu diatur dengan memastikan keragaman saluran
informasi dan kepastian untuk menjangkau masyarakat secara luas
khususnya masyarakat terdampak.
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP
Dihapus
Pasal 40
(1) Izin lingkungan merupakan
Tidak ada lagi
persyaratan untuk memperoleh izin
kontrol terhadap
usaha dan/atau kegiatan.
izin berusaha,
(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin termasuk jika ada
usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. perubahan kegiatan industri, yang
(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan sebelumnya ditentukan oleh izin
mengalami perubahan, penanggung lingkungan.
jawab usaha dan/atau kegiatan
wajib memperbarui izin lingkungan.
Implikasi
Pemerintah tak bisa memberikan serangkaian sanksi jika ada pelanggaran
lingkungan terhadap izin berusaha dan kewajiban industri memperbarui izin jika
ada perubahan kegiatan industri yang membahayakan.
Rekomendasi
Peraturan pemerintah dan norma, strandar, prosedur, kriteria (NSPK) perlu
mengatur:
(1) hubungan antara implikasi pelanggaran lingkungan dengan Perizinan Berusaha,
(2) mekanisme atau tata hubungan antara instansi lingkungan dengan instansi
pemberi Perizinan Berusaha jika terjadi pelanggaran lingkungan;
(3) sistem akuntabilitas apabila terjadi pelanggaran lingkungan namun tidak
dilakukan tindakan hukum terhadap pelanggaran tersebut oleh instansi
pemberi Perizinan Berusaha;
(4) transparansi atas tindakan pengawasan dan pelanggaran lingkungan hidup;
serta
(5) mekanisme keberatan atau pengaduan bagi masyarakat apabila terjadi
pelanggaran lingkungan hidup.
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 69 Pasal 69
(1) Setiap orang dilarang: (1) Setiap orang dilarang:
h. melakukan pembukaan lahan h. melakukan pembukaan lahan
dengan cara membakar; dengan cara membakar;
(2) Ketentuan sebagaimana (2) K
etentuan sebagaimana dimaksud
dimaksud pada ayat (1) huruf h pada ayat (1) huruf h dikecualikan
memperhatikan dengan sungguh- bagi masyarakat yang melakukan
sungguh kearifan lokal di daerah kegiatan dimaksud dengan
masing-masing. memperhatikan sungguh-sungguh
kearifan lokal di daerah masing-
masing.
Implikasi
Ketentuan ini sempat hilang dalam draf sebelum final.
Rekomendasi
Peraturan pemerintah atau pedoman pelaksana bagi masyarakat dan pemerintah
daerah dalam menjalankan ketentuan pengecualian.
Beberapa pengaturan atau pedoman setidaknya berisi:
a. Kriteria lahan, luasan lahan, jenis vegetasi/tanaman, waktu/musim dan tata
cara pelaksanaan pembukaan lahan oleh masyarakat adat berdasarkan
kearifan lokal tersebut;
b. Mekanisme pengawasan dan koordinasi antar kelembagaan pada saat
mengaplikasikan pasal tersebut, yakni koordinasi antar kelompok masyarakat,
ketua atau pimpinan adat, perangkat desa, hingga dinas setempat dan aparat
lainnya yang diperlukan;
c. Roadmap kebijakan dan pelaksanaan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB)
bagi pertanian tradisional yang lebih solid dalam jangka Panjang. Kebijakan
ini dapat memuat pengembangan kapasitas masyarakat, aspek sosial budaya
masyarakat adat/lokal dalam melaksanakan pertanian tanpa bakar, serta
bantuan teknis dan teknologi dari pemerintah dan pemerintah daerah bagi
pertanian tradisional tanpa bakar.
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 71 Pasal 71
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/wali (1) P
emerintah Pusat atau Pemerintah
kota sesuai dengan kewenangannya Daerah melakukan pengawasan
wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung
terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
jawab usaha dan/atau kegiatan atas atas ketentuan yang ditetapkan
ketentuan yang ditetapkan dalam dalam peraturan perundang-
peraturan perundang-undangan undangan di bidang pelindungan
di bidang perlindungan dan dan pengelolaan lingkungan hidup.
pengelolaan lingkungan hidup. (2) P
emerintah Pusat atau Pemerintah
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/ Daerah dapat mendelegasikan
wali kota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan
kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/
pengawasan kepada pejabat/ instansi teknis yang bertanggung
instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan
jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
pengelolaan lingkungan hidup. (3) D
alam melaksanakan pengawasan,
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Menteri, gubernur, atau bupati/wali Daerah menetapkan pejabat
kota menetapkan pejabat pengawas pengawas lingkungan hidup yang
lingkungan hidup yang merupakan merupakan pejabat fungsional.
pejabat fungsional. (4) K
etentuan lebih lanjut mengenai
pejabat pengawas lingkungan
hidup diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Implikasi
Pasal 71-73 mengatur tentang pengawasan terhadap ketaatan lingkungan bagi
pemegang perizinan berusaha. Terkait dengan kemudahan berusaha, rangkaian
tata cara pengawasan perlu dilakukan sedemikian rupa untuk memperketat
pelaksanaan pengawasan yang selama ini masih banyak persoalan, antara lain:
(1) Lemahnya ketersediaan sumber daya (teknologi, petugas pengawas dan
anggaran) dari pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan;
(2) Abainya instansi daerah dalam melakukan tugas pengawasan;
(3) Lemahnya transparansi hasil pengawasan kepatuhan pemegang izin.
(4) Tingginya harapan publik terhadap Instansi Pusat (KLHK) untuk serius
mengambil alih pengawasan daerah sesuai dengan Pasal 73 karena adanya
pelanggaran serius atau pengabaian tugas pengawasan oleh daerah.
Rekomendasi
Peraturan pemerintah maupun pedoman pelaksanaan tentang pengawasan perlu
mengatur:
(1) Standar operasional pengawasan (teknologi, petugas pengawas, dan
anggaran) yang harus dialokasikan untuk melakukan pengawasan. Alternatif
pendanaan seperti dana jaminan pemulihan dapat dipertimbangkan untuk
memperkuat sumber daya pengawasan;
(2) Sistem akuntabilitas atau integritas bagi daerah yang abai dalam menjalankan
pengawasan;
(3) Mekanisme pengambilalihan pengawasan oleh Menteri (KLHK) dalam hal
terjadi pengabaian dan pelanggaran serius di bidang lingkungan dengan
melibatkan pengaduan masyarakat;
(4) Sanksi bagi daerah yang tidak menjalankan pengawasan dengan baik sesuai
dengan standar;
(5) Pengawasan perlu ditegaskan mulai dari self monitoring pemegang izin,
pengawasan rutin maupun pengawasan yang bersifat insidental.
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 72 Pasal 72
Menteri, gubernur, atau bupati/wali Pemerintah Pusat atau
kota sesuai dengan kewenangannya Pemerintah Daerah sesuai dengan
wajib melakukan pengawasan ketaatan kewenangannya berdasarkan norma,
penanggung jawab usaha dan/atau standar, prosedur, dan kriteria yang
kegiatan terhadap izin lingkungan. ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
wajib melakukan pengawasan ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap Perizinan Berusaha,
atau persetujuan Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah.
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 73 Pasal 73
Menteri dapat melakukan pengawasan Menteri dapat melakukan pengawasan
terhadap ketaatan penanggung terhadap ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang jawab usaha dan/atau kegiatan yang
izin lingkungannya diterbitkan oleh Perizinan Berusaha atau persetujuan
pemerintah daerah jika Pemerintah Pemerintah Daerah diterbitkan oleh
menganggap terjadi pelanggaran yang Pemerintah Daerah jika Menteri
serius di bidang perlindungan dan menganggap terjadi pelanggaran
pengelolaan lingkungan hidup. yang serius di bidang pelindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup
berdasarkan norma, standar, prosedur,
dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 76 Pasal 76
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/wali (1) P
emerintah Pusat atau Pemerintah
kota menerapkan sanksi administra- Daerah menerapkan sanksi
tif kepada penanggung jawab usaha administratif kepada penanggung
dan/atau kegiatan jika dalam peng jawab usaha dan/atau kegiatan
awasan ditemukan pelanggaran jika dalam pengawasan ditemukan
terhadap izin lingkungan. pelanggaran terhadap Perizinan
(2) Sanksi administratif terdiri atas: Berusaha, atau persetujuan
Pemerintah Pusat atau Pemerintah
a. teguran tertulis;
Daerah.
b. paksaan pemerintah;
(2) K
etentuan lebih lanjut mengenai
c. pembekuan izin lingkungan; atau tata cara pengenaan sanksi diatur
d. pencabutan izin lingkungan. dalam Peraturan Pemerintah.
Implikasi
Pasal 76-77 yang mengatur tentang sanksi administrasi atas pelanggaran
lingkungan dan Perizinan Berusaha perlu menjadi perhatian serius mengingat
masih banyaknya persoalan dalam penegakan hukum administrasi ini. Beberapa
persoalan tersebut antara lain:
(1) Tingginya egoisme lembaga mengakibatkan tersisihnya aspek perlindungan
lingkungan;
(2) Rendahnya sanksi administrasi yang dijatuhkan oleh pemerintah daerah
dalam mencegah munculnya dampak atas pelanggaran lingkungan;
(3) Tingginya harapan publik terhadap instansi lingkungan pusat (KLHK)
untuk menggunakan secondline enforcement (Pasal 77) atas pelanggaran
lingkungan yang selama ini terjadi di daerah namun tidak mendapatkan
tindakan sanksi dari instansi pemberi izin daerah. Seharusnya mekanisme
secondline enforcement ini tidak hanya diterapkan secara vertikal (pusat-
daerah) namun juga dengan penghapusan izin lingkungan semestinya trade
off sangat wajar jika juga diterapkan secara horizontal.
Rekomendasi
PP dan NSPK terkait dengan penjatuhan sanksi administrasi perlu mengatur
beberapa hal berikut ini:
(1) Keterhubungan antara tindakan pengawasan dengan penjatuhan sanksi
administrasi;
(2) Keterbukaan informasi bagi hasil pengawasan dan sanksi yang telah
dijatuhkan pemerintah, termasuk upaya yang telah dilakukan pemegang izin
dalam mematuhi sanksi tersebut;
(3) Mekanisme dan hubungan antara pengawasan, sanksi administrasi dan
pengelolaan pengaduan masyarakat;
(4) Mekanisme penerapan Pasal 77 secara vertikal (jika terjadi pelanggaran
serius atau daerah abai menerapkan sanksi administrasi);
(5) Mekanisme penerapan Pasal 77 secara horizontal (jika terjadi pelanggaran
serius atau instansi sektoral abai menerapkan sanksi administrasi atas
pelanggaran lingkungan);
(6) Mekanisme dan hubungan antara sanksi atas pelanggaran persetujuan
lingkungan dengan Perizinan Berusaha;
(7) Sistem integritas atas pengabaian oleh pemerintah daerah dan instansi
sektoral pemberi Perizinan Berusaha apabila terbukti ditemukan adanya
pelanggaran lingkungan namun tidak ditindak secara tegas.
(8) Instansi lingkungan (pusat-daerah) harus tetap diberikan kewenangan untuk
menjatuhkan sanksi administrasi terhadap Perizinan Berusaha apabila terjadi
pelanggaran lingkungan. Hal ini sebagai implikasi dari peleburan persyaratan
lingkungan ke dalam Perizinan Berusaha.
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 77 Pasal 77
Menteri dapat menerapkan sanksi Menteri dapat menerapkan sanksi
administratif terhadap penanggung administratif terhadap penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan jawab usaha dan/atau kegiatan
jika Pemerintah menganggap dalam hal Menteri menganggap
pemerintah daerah secara sengaja Pemerintah Daerah secara sengaja
tidak menerapkan sanksi administratif tidak menerapkan sanksi administratif
terhadap pelanggaran yang serius di terhadap pelanggaran yang serius di
bidang perlindungan dan pengelolaan bidang pelindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. lingkungan hidup.
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
LINGKUNGAN HIDUP
Dihapus
Pasal 110
Setiap orang yang menyusun amdal
Pemerintah tak
tanpa memiliki sertifikat kompetensi
bisa memberikan
penyusun amdal sebagaimana
sanksi kepada
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
penyusun amdal
huruf i, dipidana dengan pidana
yang tak memiliki sertifikat
penjara paling lama 3 (tiga) tahun
kompetensi.
dan denda paling banyak Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Implikasi
Penghapusan pasal ini membuat penyusun amdal yang tak bersertifikat akan
lolos. Penghapusan pasal ini melanggengkan praktik pinjam-meminjam sertifikat
di kalangan konsultan pembuat amdal. Akibatnya, penegakan hukum terhadap
amdal yang dibuat asal-asalan oleh mereka yang tak kompeten sangat lemah.
Rekomendasi
Perlu kriteria ahli bersertifikat yang akan duduk dalam Tim Uji Kelayakan
Lingkungan Hidup maupun penyusun Amdal. Juga data sebaran ahli bersertifikat
tersebut di daerah.
Mekanisme akuntabilitas ahli bersertifikat juga perlu diatur termasuk sanksi
apabila ahli yang bersangkutan melakukan tindakan-tindakan di luar koridor
profesionalisme keahliannya.
Perlu pula diatur implikasi Amdal yang disusun oleh ahli yang tidak bersertifikat.
5
skema perhutanan
sosial: hutan adat, hutan
kemasyarakatan, hutan
desa, hutan tanaman rakyat,
kemitraan kehutanan
O
MNIBUS law UU Cipta Kerja ini mengubah Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2004. Paragraf 4 pasal 35 UU Cipta
Kerja menyebutkan bahwa beleid ini memberikan
kemudahan bagi masyarakat terutama pebisnis dalam
mendapatkan perizinan berusaha dan investasi di sektor
kehutanan.
Nasib masyarakat desa hutan juga cerah karena perhutanan
sosial disebut dalam undang-undang untuk pertama kali
setelah konsepnya bergulir sejak 1978 dan pengaturan
masifnya dimulai pada 2014. Namun, penyebutan
perhutanan sosial hanya di sektor kehutanan membuat
program ini tetap menjadi isu sektoral.
Pasal 26 Pasal 26
(1) Pemanfaatan hutan lindung dapat (1) P
emanfaatan Hutan Lindung dapat
berupa pemanfaatan kawasan, berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan jasa lingkungan, dan
pemungutan hasil hutan bukan pemungutan hasil hutan bukan
kayu. kayu.
(2) Pemanfaatan hutan lindung (2) P
emanfaatan hutan lindung
dilaksanakan melalui pemberian sebagaimana dimaksud pada
izin usaha pemanfaatan kawasan, ayat (1) dilakukan dengan
izin usaha pemanfaatan jasa pemberian Perizinan Berusaha dari
lingkungan, dan izin pemungutan Pemerintah Pusat.
hasil hutan bukan kayu.
rekomendasi
Perlu penjelasan detail soal urutan perizinan berusaha. Apakah urutan dalam
pasal 27 itu sebagai prioritas atau sekadar penempatan saja. Penjelasan ini
penting untuk menjamin keadilan akses kepada masyarakat desa sekitar hutan
dalam program perhutanan sosial.
Pasal 27 Pasal 27
(1) Izin usaha pemanfaatan kawasan Perizinan Berusaha sebagaimana
sebagaimana dimaksud dalam dimaksud dalam Pasal 26
Pasal 26 ayat (2) dapat diberikan ayat (2) dapat diberikan kepada:
kepada:
a. perseorangan;
a. perorangan,
b. koperasi;
b. koperasi.
c. badan usaha milik negara;
(2) Izin usaha pemanfaatan jasa
d. badan usaha milik daerah; atau
lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (2), dapat e. badan usaha milik swasta.
diberikan kepada:
a. perorangan,
b. Koperasi,
c. b
adan usaha milik swasta
Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah.
(3) Izin pemungutan hasil hutan bukan
kayu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (2), dapat
diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi.
rekomendasi
Masyarakat desa hutan semakin terpinggirkan aksesnya terhadap sumber daya
hutan karena pasal ini meluaskan izin berusaha tak hanya kepada perorangan
dan koperasi membuat kesempatan masyarakat desa hutan memanfaatkan
hutan di sekitar mereka menjadi sempit.
Apabila perizinan berusaha ini diberikan kepada BUMN, BUMD, dan BUMS
tingkat pemanfaatannya akan lebih intensif dan dampak negatif lingkungan
(ekologis) dan sosialnya akan lebih besar.
Penghapusan kata “Indonesia” dalam badan usaha swasta membuka peluang
badan usaha swasta asing ikut memanfaatkan hutan dan bersaing dengan
masyarakat desa hutan.
Pasal 28 Pasal 28
(1) Pemanfaatan hutan produksi dapat (1) P
emanfaatan hutan produksi dapat
berupa pemanfaatan kawasan, berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan jasa lingkungan,
pemanfaatan hasil hutan kayu dan pemanfaatan hasil hutan kayu dan
bukan kayu, serta pemungutan bukan kayu, serta pemungutan
hasil hutan kayu dan bukan kayu. hasil hutan kayu dan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan produksi (2) P
emanfaatan hutan produksi
dilaksanakan melalui pemberian sebagaimana dimaksud ayat (1)
izin usaha pemanfaatan kawasan, dilakukan dengan pemberian
izin usaha pemanfaatan Perizinan Berusaha dari
jasa lingkungan, izin usaha Pemerintah Pusat.
pemanfaatan hasil hutan kayu, izin
usaha pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu, izin pemungutan hasil
hutan kayu, dan izin pemungutan
hasil hutan bukan kayu.
implikasi
Ketentuan ini membingungkan. Selama ini izin perhutanan sosial diberikan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jika nanti peraturan pemerintah
mendelegasikan izin tetap kepada Menteri, hutan sosial tetap jadi isu sektoral
dan sentralistis. Padahal mengangkatnya ke dalam undang-undang untuk
menghilangkan sentralisme dalam hutan sosial karena jenis usahanya tak
semata di hutan, tapi juga di laut, di pantai, dan di pertanian, perkebunan, dan
peternakan.
Pasal 29A
(1) P
emanfaatan hutan lindung dan
hutan produksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 dan
Pasal 28 dapat dilakukan kegiatan
Perhutanan sosial.
(2) P
erhutanan sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat
diberikan kepada:
a. perseorangan;
b. kelompok tani hutan; dan c.
koperasi.
implikasi
Nilai positif penyebutan perhutanan sosial dalam undang-undang adalah program
hutan sosial menjadi program strategis nasional, lintas kementerian, atau
setidak-tidaknya kementerian bidang kehutanan mendapat posisi yang lebih kuat
dalam negosiasi anggaran di APBN, dan program perhutanan sosial menjadi
mainstream dalam pembangunan kehutanan.
Masalahnya, pengaturan tentang perhutanan sosial ini tidak mencakup
pemanfaatan hutan konservasi (untuk zona tertentu) yang masih menyimpan
banyak konflik tenurial, terutama negara dengan masyarakat adat.
rekomendasi
Perlu penjelasan detail di peraturan pemerintah mengenai “perorangan” agar
problem hutan tanaman rakyat yang ditunggangi calo menjadi tidak kian masif
karena naik derajat diakui dalam undang-undang.
Perlu penjelasan detail di peraturan pemerintah mengenai “perorangan” agar
problem hutan tanaman rakyat yang ditunggangi calo menjadi tidak kian masif
karena naik derajat diakui dalam undang-undang.
Pasal 30 Pasal 30
Dalam rangka pemberdayaan ekonomi Dalam rangka pemberdayaan ekonomi
masyarakat, setiap badan usaha masyarakat, setiap badan usaha milik
milik negara, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,
daerah, dan badan usaha milik swasta dan badan usaha milik swasta yang
Indonesia yang memperoleh izin usaha memperoleh Perizinan Berusaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemanfaatan hutan, wajib bekerja
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sama dengan koperasi masyarakat
dan bukan kayu, diwajibkan bekerja setempat.
sama dengan koperasi masyarakat
setempat.
implikasi
Tak mendorong koperasi menjadi tangguh dan berdaya karena tak ada timbal
balik kerja sama. Jika yang mendorong kerja sama adalah usaha besar,
mereka akan menjadi superior sehingga cita-cita pemberdayaan masyarakat
kemungkinan akan sama seperti sebelumnya.
31,3 juta
ton produksi
beras 2019
Pertanian dan Perkebunan
I
SU utama perubahan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2014 tentang perkebunan adalah alokasi 20%
untuk kebun plasma, pemindahan hak atas tanah, dan
kewajiban studi lingkungan dalam dokumen analisis
mengenai dampak lingkungan. Ada ketentuan yang
menghapus kewajiban usaha perkebunan membuat dan
menerapkan amdal.
Undang-Undang Cipta Kerja terlalu longgar memproteksi
lingkungan dengan tidak menjadikannya kewajiban bagi
industri. Juga membuka pengukuhan areal perkebunan
di wilayah masyarakat adat. Undang-Undang Cipta Kerja
menguatkan pasal yang selama ini memicu konflik lahan
akibat tercantum dalam Undang-Undang Perkebunan.
Dalam bidang pertanian, UU Cipta Kerja mengubah
politik pangan lewat perubahan Undang-Undang Nomor
18/2012 tentang pangan. Impor sebagai bagian dari strategi
ketahanan pangan bukan lagi pilihan terakhir jika produksi
dan cadangan dalam negeri tak mencukupi kebutuhan.
Pasal 14 Pasal 14
(1) Pemerintah Pusat menetapkan (1) P
emerintah Pusat menetapkan
batasan luas maksimum dan luas batasan luas maksimum dan
minimum penggunaan lahan untuk luas minimum penggunaan
Usaha Perkebunan. lahan untuk Usaha Perkebunan.
(2) Penetapan batasan luas sebagaimana (2) P
enetapan batasan luas
dimaksud pada ayat (1) harus sebagaimana dimaksud
mempertimbangkan: pada ayat (1) harus
a. jenis tanaman; mempertimbangkan:
b. ketersediaan lahan yang sesuai a. jenis tanaman; dan/atau
secara agroklimat; b. ketersediaan lahan yang
c. modal; sesuai secara agroklimat.
d. kapasitas pabrik; (3) K
etentuan lebih lanjut mengenai
penetapan batasan luas diatur
e. tingkat kepadatan penduduk;
dalam Peraturan Pemerintah.
f. pola pengembangan usaha;
g. kondisi geografis;
h. perkembangan teknologi; dan
i. pemanfaatan lahan berdasarkan
fungsi ruang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang tata ruang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penetapan batasan luas diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
implikasi
Tak ada batas luas maksimum bagi usaha perkebunan dan perorangan membuat
pasal ini tak memperbaiki Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai atas
tanah. Pasal 5 ayat (1) dan (2).
Pembatasan luas areal HGU untuk perorangan minimal 5 hektare dan maksimal
25 hektare, sedangkan untuk perusahaan tidak ditetapkan luas maksimalnya.
rekomendasi
Peraturan pemerintah tegas mengatur luas maksimum yang bisa dimiliki oleh
usaha agar terjadi keadilan dalam penguasaan lahan. Juga memerinci batas luas
areal perkebunan sesuai dengan karakteristik komoditas suatu wilayah.
Juga mengatur batasan luas maksimum dengan teknis dua lapis:
(a) Ada batasan standar luas maksimum sesuai dengan kriteria lahan dan
tanaman;
(b) Ada pengaturan bahwa luas batasan maksimum di atas dapat diperkecil
apabila berdasarkan penilaian pemohon izin dinyatakan tidak memiliki
kemampuan untuk mengolah lahan. Hal ini mencegah terjadinya
penyelundupan hukum melalui spekulasi luas izin perkebunan yang dapat
memicu terjadinya penelantaran lahan.
Pasal 15 Pasal 15
Perusahaan Perkebunan dilarang Perusahaan Perkebunan yang
memindahkan hak atas tanah Usaha melakukan kegiatan kemitraan atau
Perkebunan yang mengakibatkan inti plasma dilarang memindahkan
terjadinya satuan usaha yang kurang dari hak atas tanah Usaha Perkebunan
luas minimum sebagaimana dimaksud yang mengakibatkan terjadinya
dalam Pasal 14. satuan usaha yang kurang dari luas
minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14.
implikasi
Penambahan frasa “melakukan kegiatan kemitraan atau inti plasma”
mempersempit pengertian larangan memindahkan hak atas tanah. Karena itu
muncul peluang pemindahan izin atau hak atas tanah bagi perusahaan yang tak
melakukan kemitraan plasma dengan petani.
rekomendasi
Peraturan pemerintah perlu memperjelas pengertian yang terkandung dalam
pasal ini agar larangan memindahkan izin berlaku adil bagi semua pelaku usaha
perkebunan.
Pasal 16 Pasal 16
(1) Perusahaan Perkebunan wajib (1) P
erusahaan Perkebunan
mengusahakan Lahan Perkebunan: wajib mengusahakan Lahan
a. paling lambat 3 (tiga) tahun setelah Perkebunan paling lambat 2
pemberian status hak atas tanah, (dua) tahun setelah pemberian
Perusahaan Perkebunan wajib status hak atas tanah.
mengusahakan Lahan Perkebunan (2) J ika Lahan Perkebunan tidak
paling sedikit 30% (tiga puluh diusahakan sesuai dengan
perseratus) dari luas hak atas ketentuan sebagaimana
tanah; dan dimaksud pada ayat (1), Lahan
b. paling lambat 6 (enam) tahun Perkebunan yang belum
setelah pemberian status hak atas diusahakan diambil alih oleh
tanah, Perusahaan Perkebunan wa- negara sesuai dengan ketentuan
jib mengusahakan seluruh luas hak peraturan perundang-undangan.
atas tanah yang secara teknis dapat
ditanami Tanaman Perkebunan.
(2) Jika Lahan Perkebunan tidak
diusahakan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
bidang Tanah Perkebunan yang belum
diusahakan diambil alih oleh negara
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
implikasi
Memperpendek waktu pengusahaan lahan setelah izin dan menghapus
ketentuan usaha 30% menghindarkan pengusaha menelantarkan lahan setelah
pemerintah menerbitkan izin. Ayat 2 memperkuatnya dengan pengambilalihan
oleh negara sehingga terjadi kepastian hukum bagi lahan yang sudah dibebani
izin usaha perkebunan. Pasal ini sempat hilang dalam draf pembahasan dari
pemerintah, muncul kembali dalam draf final.
Rekomendasi
Perlu ketentuan yang mengatur:
(a) definisi mengusahakan lahan. Hal ini perlu diatur untuk memberikan kepastian
tentang apa yang dimaksud mengusahakan lahan perkebunan tersebut
mengingat banyaknya tahapan operasi atau usaha perkebunan. Apakah yang
dimaksud mengusahakan lahan adalah kegiatan berjalan dalam pembukaan,
persiapan lahan, atau penanaman.
(b) ketegasan mengenai mekanisme pengambilalihan lahan oleh pemerintah
karena penelantaran atau pelanggaran ketentuan pasal ini.
Pasal 17 Pasal 17
(1) Pejabat yang berwenang dilarang (1) P
ejabat yang berwenang
menerbitkan izin Usaha Perkebunan dilarang menerbitkan Perizinan
di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Berusaha Perkebunan di atas
Hukum Adat. Tanah Hak Ulayat Masyarakat
(2) Ketentuan larangan sebagaimana Hukum Adat.
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan (2) K
etentuan larangan
dalam hal telah dicapai persetujuan sebagaimana dimaksud pada
antara Masyarakat Hukum Adat dan ayat (1) dikecualikan dalam
Pelaku Usaha Perkebunan mengenai hal telah dicapai persetujuan
penyerahan Tanah dan imbalannya antara Masyarakat Hukum Adat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal dan Pelaku Usaha Perkebunan
12 ayat (1). mengenai penyerahan Tanah
dan imbalannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(1).
implikasi
Pasal ini mengukuhkan dominasi usaha perkebunan di wilayah hak ulayat
masyarakat adat. Praktik yang terjadi selama ini akibat ayat 2 adalah pemaksaan
terhadap masyarakat adat untuk mendapatkan persetujuan. Masyarakat
adat yang lemah posisi politiknya akan terus menjadi objek dalam konflik
lahan dengan perusahaan perkebunan. Semestinya, mengingat ada putusan
Mahkamah Konstitusi perlunya penghargaan kepada masyarakat adat yang
menjaga lingkungan dengan kearifan lokal, pasal ini berhenti di ayat 1.
rekomendasi
Peraturan pemerintah mesti menegaskan bahwa pengecualian ayat 1 pada
ayat 2 berupa kemitraan dengan masyarakat adat, bukan persetujuan atas
pengambilan hak atas lahan.
Ketentuan pasal ini tidak bisa berdiri sendiri tanpa percepatan pengakuan entitas
masyarakat adat dan wilayah kelolanya, termasuk tanah hak ulayat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal ini.
Oleh karenanya perlu ada setidaknya tiga kebijakan untuk mendukungnya:
(1) Percepatan identifikasi, verifikasi dan pengakuan masyarakat hukum adat;
(2) Percepatan pengakuan dan pemberian wilayah kelola termasuk tanah hak
ulayat bagi masyarakat adat.
Kedua kebijakan di atas merupakan pegangan atau prasyarat yang harus segera
dilakukan jika ingin memberikan kecepatan pelayanan izin serta demi menjamin
kepastian bagi seluruh pihak, baik masyarakat, pemohon izin maupun pejabat
pemberi izin.
Presiden perlu mengeluarkan kebijakan berupa peraturan atau instruksi untuk
percepatan pengakuan entitas masyarakat adat dan wilayah kelolanya dalam
jangka waktu yang terukur, misalnya 2-3 tahun sejak Undang-Undang Cipta
Kerja disahkan.
Pasal 58 Pasal 58
(1) Perusahaan Perkebunan yang (1) P
erusahaan Perkebunan
memiliki izin Usaha Perkebunan yang mendapatkan Perizinan
atau izin Usaha Perkebunan untuk Berusaha untuk budi daya yang
budi daya wajib memfasilitasi seluruh atau sebagian lahannya
pembangunan kebun masyarakat berasal dari:
sekitar paling rendah seluas 20% a. area penggunaan lain yang
(dua puluh perseratus) dari total luas berada di luar hak guna
areal kebun yang diusahakan oleh usaha; dan/atau
Perusahaan Perkebunan.
b. areal yang berasal dari
(2) Fasilitasi pembangunan kebun pelepasan kawasan
masyarakat sebagaimana dimaksud hutan, wajib memfasilitasi
pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pembangunan kebun
pola kredit, bagi hasil, atau bentuk masyarakat sekitar seluas
pendanaan lain yang disepakati 20% (dua puluh persen) dari
sesuai dengan ketentuan peraturan luas lahan tersebut.
perundang-undangan.
(2) F
asilitasi pembangunan kebun
(3) Kewajiban memfasilitasi masyarakat sebagaimana
pembangunan kebun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan melalui pola kredit,
dilaksanakan dalam jangka waktu bagi hasil, bentuk kemitraan
paling lambat 3 (tiga) tahun sejak hak lainnya, atau bentuk pendanaan
guna usaha diberikan. lain yang disepakati sesuai
(4) Fasilitasi pembangunan kebun dengan ketentuan peraturan
masyarakat sebagaimana dimaksud perundang-undangan.
pada ayat (1) harus dilaporkan (3) K
ewajiban memfasilitasi
kepada Pemerintah Pusat dan pembangunan kebun
Pemerintah Daerah sesuai dengan sebagaimana dimaksud pada
kewenangannya. ayat (1) harus dilaksanakan
dalam jangka waktu paling
lambat 3 (tiga) tahun sejak hak
guna usaha diberikan.
implikasi
Perubahan bunyi ayat 1 huruf b dari “paling rendah” menjadi “sekitar 20%” akan
mendorong perusahaan melonggarkan kewajiban membuat luas kebun plasma
bersama petani.
rekomendasi
Perlu diatur lebih rigid dalam peraturan pemerintah tentang batas minimal
penyediaan kebun plasma agar angka 20% tak menjadi ketentuan yang lentur
dan bisa ditafsirkan secara bebas oleh pengusaha perkebunan.
Pasal 67 Pasal 67
(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan (1) S
etiap Pelaku Usaha
wajib memelihara kelestarian fungsi Perkebunan wajib memelihara
lingkungan hidup. kelestarian fungsi lingkungan
(2) Kewajiban memelihara kelestarian hidup.
fungsi lingkungan hidup sebagaimana (2) K
etentuan lebih lanjut mengenai
dimaksud pada ayat (1) dilakukan kewajiban memelihara
sesuai dengan ketentuan peraturan kelestarian fungsi lingkungan
perundang-undangan. hidup sebagaimana dimaksud
(3) Untuk memelihara kelestarian fungsi pada ayat (1) diatur dalam
lingkungan hidup sebagaimana Peraturan Pemerintah.
dimaksud pada ayat (1), sebelum
memperoleh izin Usaha Perkebunan,
Perusahaan Perkebunan harus:
a. membuat analisis mengenai
dampak lingkungan hidup atau
upaya pengelolaan lingkungan
hidup dan upaya pemantauan
lingkungan hidup;
b. memiliki analisis dan manajemen
risiko bagi yang menggunakan hasil
rekayasa genetik; dan
c. m
embuat pernyataan kesanggupan
untuk menyediakan sarana, prasa-
rana, dan sistem tanggap darurat
yang memadai untuk menanggu
langi terjadinya kebakaran.
(4) Setiap Perusahaan Perkebunan
yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditolak permohonan izin usahanya.
implikasi
Penghapusan ayat 3 dan 4 pasal ini melonggarkan pengusaha perkebunan
membuat dan menerapkan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan
(amdal) sebagai bagian dari syarat izin berusaha. Penghapusan dua ayat ini
membuat usaha perkebunan bisa berjalan tanpa didukung amdal.
rekomendasi
Peraturan pemerintah mesti lebih menegaskan ketentuan ayat 1 dalam
kewajiban memelihara kelestarian lingkungan. Apalagi didukung oleh sanksi bagi
pejabat yang menerbitkan izin di wilayah hukum adat di pasal 103 dan sanksi
kepada pengusaha seperti diatur pasal 22 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.
Ketentuan ayat (3) dan (4) yang dihapus perlu dimasukkan ke dalam ketentuan
mengenai pertimbangan risiko dalam sistem perizinan berbasis risiko yang akan
dikembangkan pemerintah.
Dihapus
Pasal 68
Setelah memperoleh izin usaha
perkebunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 67 ayat (3), Pelaku Usaha
Perkebunan wajib menerapkan:
a. analisis mengenai dampak
lingkungan hidup atau upaya
pengelolaan lingkungan hidup dan
upaya pemantauan lingkungan
hidup;
b. analisis risiko lingkungan hidup; dan
c. pemantauan lingkungan hidup.
implikasi
Sama dengan penjelasan pasal 67
rekomendasi
Peraturan pemerintah mesti menegaskan dengan jelas kewajiban-kewajiban
usaha perkebunan dalam menjaga kelestarian lingkungan.
implikasi
Mengubah politik pangan dari impor yang menjadi pilihan akhir menjadi sederajat
dengan cara pemenuhan pangan lainnya. Perubahan pasal ini sejalan dengan
prinsip Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam menghapus impor sebagai
pilihan akhir.
Rekomendasi
Impor tetap menjadi pilihan terakhir sehingga pemerintah perlu mengatur atau
memperkuat pencapaian pemenuhan pangan melalui produksi dalam negeri. Hal
ini harus diterjemahkan dalam kebijakan perencanaan pembangunan sehingga
Indonesia tidak mengalami ketergantungan pangan dari negara asing.
40%
tercatat
1.337
wilayah adat
574.199 35.150 65
hektare hektare luas hutan adat
wilayah 28 hutan adat yang diakui
indikatif wilayah yang diakui negara
hutan adat adat yang negara
tersertifikasi
Masyarakat Adat
P
ENGATURAN tentang masyarakat hukum adat
tidak secara spesifik mengingat Rancangan Undang-
Undang Masyarakat Hukum Adat belum dibahas
hingga kini. Aturan yang mengatur masyarakat
adat melekat pada berbagai aturan, terutama yang
menyangkut tata ruang di Undang-undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil.
Secara umum, Undang-Undang Cipta Kerja terlalu bias
pada pembukaan lapangan kerja melalui koperasi, usaha,
dan industri besar. Padahal lapangan pekerjaan akan
terbuka jika melalui proses yang inklusif, yakni membuka
akses yang adil bagi masyarakat, terutama mereka yang tak
memiliki lahan atau kesulitan mendapatkan akses kepada
sumber daya.
Masyarakat adat salah satu komunitas yang acap tersisih
dari akses terhadap sumber daya yang ada di sekelilingnya
akibat doktrin negara mempunyai hak memiliki sumber
daya alam. Dengan bias mengutamakan sektor formal,
usaha-usaha masyarakat adat belum diakui sebagai bagian
dari pembukaan lapangan kerja.
UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN
WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
KECIL
Pasal 22 Pasal 22
HP-3 tidak dapat diberikan pada (1) K
ewajiban memenuhi Perizinan
Kawasan Konservasi, suaka Berusaha terkait pemanfaatan di
perikanan, alur pelayaran, kawasan laut sebagaimana dimaksud dalam
pelabuhan, dan pantai umum. Pasal 16 ayat (2) dikecualikan bagi
Masyarakat Hukum Adat di wilayah
kelola Masyarakat Hukum Adat.
(2) M
asyarakat Hukum Adat
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan pengakuannya
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
implikasi
Pasal ini mengukuhkan doktrin “hak memiliki oleh negara” yang memberikan
syarat pengakuan terlebih dahulu kepada masyarakat adat memakai legalitas
sebelum perlindungan dan pemberian hak untuk mereka. Masyarakat hukum
adat yang akan mengelola hutan atau lingkungan sekitarnya untuk tujuan
ekonomi atau kebutuhan hidup mesti mendapatkan pengakuan negara atas
keberadaan mereka. Pengakuan negara menjadi syarat mutlak agar masyarakat
adat memiliki hak setara dengan warga negara lain dalam hal memiliki izin
berusaha memanfaatkan sumber daya alam. Ketentuan ini akan mempengaruhi
klausul pengakuan dalam RUU Masyarakat Hukum Adat.
implikasi
Pengertian yang tak berubah ini tak mengakomodasi masyarakat adat yang
masih nomaden. Doktrin hak memiliki oleh negara berdasarkan pengakuan
legal membuat keberadaan masyarakat adat tak mendapat tempat dalam sistem
hukum di Indonesia yang mengutamakan bukti identitas yang diakui negara.
UNDANG-UNDANG NOMOR 18
TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN
HUTAN
Pasal 7 Pasal 7
Pencegahan perusakan hutan Pencegahan perusakan hutan
dilakukan oleh masyarakat, badan dilakukan oleh masyarakat, badan
hukum, dan/atau korporasi yang hukum, dan/atau korporasi yang
memperoleh izin pemanfaatan hutan. memperoleh Perizinan Berusaha
Penjelasan: terkait pemanfaatan hutan.
Masyarakat hukum adat adalah Penjelasan:
masyarakat tradisional yang masih Masyarakat hukum adat adalah
terkait dalam bentuk paguyuban, masyarakat tradisional yang masih
memiliki kelembagaan dalam bentuk terkait dalam bentuk paguyuban,
pranata dan perangkat hukum memiliki kelembagaan dalam bentuk
adat yang masih ditaati, dan masih pranata dan perangkat hukum
mengadakan pemungutan hasil hutan adat yang masih ditaati, dan masih
di wilayah hutan sekitarnya yang mengadakan pemungutan hasil
keberadaannya dikukuhkan dengan hutan di wilayah hutan sekitarnya
Peraturan Daerah. yang keberadaannya dikukuhkan
dengan Peraturan Daerah.
implikasi
Mengukuhkan syarat pengakuan masyarakat adat melalui peraturan daerah
yang selama ini menjadi kendala utama pengakuan masyarakat adat dan
memicu tumpang-tindih izin mengelola sumber daya alam dengan korporasi
yang mendapatkan izin berusaha di atas hutan adat yang belum mendapatkan
pengakuan pemerintah daerah.
Rekomendasi
Menegaskan kembali pengakuan hak masyarakat adat terhadap hutan mereka
sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 bahwa hutan adat
bukan hutan negara. Hal ini akan sejalan dengan pengakuan dan perlindungan
terhadap masyarakat adat yang akan diatur dalam RUU Masyarakat Hukum Adat.
UNDANG-UNDANG NOMOR 18
TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN
HUTAN
Pasal 12A
(1) O
rang perseorangan yang
bertempat tinggal di dalam dan/
atau di sekitar kawasan hutan
paling singkat 5 (lima) tahun secara
terus menerus yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan
Pasal 12 huruf a sampai dengan
huruf f dan/atau huruf h dikenai
sanksi administratif.
(2) P
engenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikecualikan terhadap:
a. orang perseorangan atau
kelompok masyarakat yang
bertempat tinggal di dalam
dan/atau di sekitar kawasan
hutan paling singkat 5 (lima)
tahun secara terus-menerus
dan terdaftar dalam kebijakan
penataan kawasan hutan; atau
b. orang perseorangan yang telah
mendapatkan sanksi sosial atau
sanksi adat.
implikasi
Pasal sisipan ini mengamplifikasi ketentuan lain yang menuntut syarat
pengakuan negara atas keberadaan masyarakat dan wilayah hukum adat.
Pasal ini merupakan sanksi atas perbuatan merusak hutan yang dikecualikan
kepada masyarakat adat. Namun, pengecualiannya menuntut syarat, yakni
tinggal menetap minimal lima tahun. Mereka yang melanggar pasal 12 yang
dikategorikan merusak hutan akan terbebas dari sanksi administratif jika bisa
membuktikan sudah tinggal di sana selama lima tahun. Tak ada penjelasan dan
batasan pembuktian tinggal membuat masyarakat adat rentan dikriminalisasi.
REKOMENDASI
Peraturan pemerintah mesti menerakan dengan jelas batasan tinggal lima tahun
terus menerus: berdasarkan pengakuan dan kesaksian masyarakat adat atau
perlu membuktikan dengan dokumen resmi.
941.000
29 30 kilometer persegi
investor investor lahan berhutan
luar negeri dalam negeri
52.000
hektare luas
kawasan
industri 112
kawasan
industri
1.922.570
3.257.483 kilometer
persegi lautan
Agraria dan Tata Ruang
I
SU utama agraria dan tata ruang adalah bias keberpihakan
pada perencanaan wilayah perkotaan dalam menggenjot
investasi. Karena pijakannya mendorong industrialisasi,
perizinan berusaha lebih mudah di perkotaan dibanding
izin bisnis untuk perdesaan. Izin berusaha berbasis
risiko yang diukur tiap pengajuan izin usaha juga tak
mengindahkan akumulasi dampak terhadap daya dukung
sebuah wilayah.
Belum tersedianya data daya dukung dan daya tampung
lingkungan di tingkat kabupaten membuat perizinan
berusaha yang akan dipermudah mengabaikan tata ruang.
Apalagi, rencana detail tata ruang (RDTR) baru 5% dari
seluruh kabupaten. Jika perizinan bisnis patuh pada
ketersediaan RDTR, wilayah yang tak memilikinya akan
tersisih dari investasi, meski pun ada diskresi pemerintah
pusat memakai tata ruang nasional untuk memberikan izin
kepada investor.
Omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja yang menyangkut
tata ruang tak semata terkait Undang-Undang Nomor 26 Ta-
hun 2007 tentang penataan ruang, tapi juga undang-undang
lain karena perizinan berusaha menyangkut kebutuhan lah-
an dan dampak terhadap lingkungan serta masyarakat.
Pasal 6 ayat 8
Dalam hal terjadi ketidaksesuaian
antara pola ruang rencana tata
ruang dan kawasan hutan, izin dan/
atau hak atas tanah, penyelesaian
ketidaksesuaian tersebut diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
implikasi
Ayat tambahan ini tak menjelaskan tata cara penyelesaian ketidaksesuaian yang
selama ini diberikan waktu tenggang agar izin tersebut sesuai dengan tata ruang
kehutanan. Tak ada penjelasan akan membuka ruang tafsir bahwa izin bisnis
berada di atas tata ruang.
Ketidakjelasan ini juga berpotensi mengakibatkan penyelundupan hukum bagi izin
atau hak atas tanah yang muncul dikemudian hari.
REKOMENDASI
Perlu penegasan panduan umum penyelesaian ketidaksesuaian dan cara
penyelesaiannya dengan mengutamakan tata ruang di atas izin usaha.
Seharusnya izin tanpa menyesuaikan rencana tata ruang dan kawasan hutan
merupakan bentuk maladministrasi. Oleh karenanya, perlu pengaturan sanksi bagi
pejabat yang melakukannya.
Peraturan pemerintah perlu mengatur:
(1) Perlu penegasan ketentuan ini hanya berlaku bagi izin atau hak atas tanah
yang telah ada sebelum Undang-Undang Cipta Kerja;
(2) Kewajiban hukum bagi pejabat pemberi izin untuk tetap mengacu pada tata
Pasal 14A
(1) P
elaksanaan penyusunan rencana
tata ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 dilakukan dengan
memperhatikan:
a. daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup dan kajian
lingkungan hidup strategis; dan
b. kedetailan informasi tata ruang
yang akan disajikan serta
kesesuaian ketelitian peta
rencana tata ruang.
(2) P
enyusunan kajian lingkungan
hidup strategis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf
a dilakukan dalam penyusunan
rencana tata ruang.
(3) P
emenuhan kesesuaian
ketelitian peta rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan melalui
penyusunan peta rencana tata
ruang di atas Peta Dasar.
(4) D
alam hal Peta Dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) belum tersedia, penyusunan
rencana tata ruang dilakukan
dengan menggunakan Peta Dasar
lainnya.
implikasi
Kata “memperhatikan” tidak punya daya paksa yang kuat sehingga kajian
lingkungan hidup strategis (KLHS) hanya sekadar dokumen yang perlu
diperhatikan dalam penyusunan rencana tata ruang dan rencana wilayah, bukan
kewajiban. Padahal tata ruang merupakan instrumen mencegah dampak buruk
sebuah kegiatan usaha.
Ayat 2 makin mempersempit KLHS yang hanya dilakukan dalam penyusunan
RTRW. Padahal, KLHS seharusnya menjadi bagian integral dari evaluasi RTRW
seperti tercantum dalam Peraturan Pemerintah 46/2016 tentang KLHS.
Rekomendasi
Peraturan pemerintah dan peraturan pelaksana lainnya perlu memastikan
pelaksanaan kewajiban untuk mempertimbangkan daya dukung dan daya
tampung lingkungan melalui KLHS. Karena itu perlu aturan tata cara dalam
proses penyusunan dan evaluasi RTRW.
Definisi penyusunan RTRW dalam ketentuan ini perlu dimaknai juga termasuk
evaluasi sebagai bahan untuk perbaikan tata ruang ke depan yang tentu
berjalan secara dinamis. Daya dukung dan daya tampung lingkungan yang terus
berkembang membuat KLHS menjadi instrumen yang seharusnya melekat dalam
setiap proses penyusunan maupun evaluasi RTRW.
implikasi
Implikasi dihilangkannya batas 30% tutupan hutan tiap daerah aliran sungai
(DAS) atau pulau dalam pasal 18 Undang-Undang Kehutanan membuka peluang
konversi hutan untuk tujuan ekonomi dan menyesuaikan dengan rencana
strategis nasional seperti tujuan omnibus law untuk mendorong investasi. Juga
berisiko bagi kelestarian dan keselamatan warga dari potensi terjadinya bencana.
Rekomendasi
Peraturan pemerintah harus mengatur instrumen kajian untuk menentukan dan
menetapkan proporsi luas kawasan hutan atau tutupan hutan secara obyektif,
terukur dan akuntabel. Peraturan pemerintah juga menjamin kajian sebagai dasar
penentuan proporsi tersebut terbuka untuk publik dan memastikan penerapan
pertimbangan-pertimbangan non-ekonomi juga betul-betul diperhatikan secara
memadai dan obyektif.
Kajian menentukan proporsi luas kawasan hutan dan tutupan hutan mesti
terintegrasi ke dalam KLHS yang merupakan bagian dari kajian daya dukung dan
daya tampung lingkungan sebagai dasar dari penyusunan serta evaluasi rencana
tata ruang wilayah (RTRW).
Pasal 18 Pasal 18
(1) Penetapan rancangan peraturan (1) P
enetapan rencana tata ruang
daerah provinsi tentang rencana wilayah provinsi atau kabupaten/
tata ruang wilayah provinsi kota dan rencana detail tata ruang
dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat
terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari
persetujuan substansi dari Menteri. Pemerintah Pusat.
(2) Penetapan rancangan peraturan (2) S
ebelum diajukan persetujuan
daerah kabupaten/kota tentang substansi kepada Pemerintah
rencana tata ruang wilayah Pusat, rencana detail tata ruang
kabupaten/kota dan rencana rinci kabupaten/kota yang dituangkan
tata ruang terlebih dahulu harus dalam rancangan Peraturan
mendapat persetujuan substansi Kepala Daerah Kabupaten/Kota
dari Menteri setelah mendapatkan terlebih dahulu dilakukan konsultasi
rekomendasi Gubernur. publik termasuk dengan Dewan
(3) Ketentuan mengenai muatan, Perwakilan Rakyat Daerah.
pedoman, dan tata cara (3) B
upati/Wali Kota wajib menetapkan
penyusunan rencana tata ruang rancangan peraturan kepala daerah
wilayah provinsi sebagaimana kabupaten/kota tentang rencana
dimaksud pada ayat (1) dan detail tata ruang paling lama 1
penyusunan rencana tata (satu) bulan setelah mendapat
ruang wilayah kabupaten/kota persetujuan substansi dari
sebagaimana dimaksud pada Pemerintah Pusat.
ayat (2) diatur dengan peraturan (4) D
alam hal bupati/wali kota tidak
Menteri. menetapkan rencana detail tata
ruang setelah jangka waktu
sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (3), rencana detail tata ruang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) K
etentuan lebih lanjut mengenai
muatan, pedoman, dan tata cara
penyusunan rencana tata ruang
wilayah provinsi atau kabupaten/
kota dan rencana detail tata ruang
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
implikasi
Penambahan ayat 4 membuat pemerintah punya kekuasaan yang kuat dan luas
dengan mengambil alih pembuatan RDTR kabupaten/kota. Hanya saja karena
pemerintah pusat, jangkauannya terlalu jauh dan bisa memakai tata ruang
nasional yang paradigmanya dominasi jenis bisnis dalam suatu wilayah. Tata
ruang akan bisa dilaksanakan jika berada dalam level teknis di kabupaten/kota.
Membuat RDTR juga memiliki transaksi yang tinggi di setiap tahap.
Pengambilalihan kewenangan justru akan meluaskan transaksi dalam
pembuatannya. Tanpa insentif membuat RDTR bagi pemerintah daerah,
pelaksanaan ayat 4 ini akan semakin terbuka.
implikasi
Perubahan pasal ini berangkat dari anggapan bahwa tata ruang sebagai
penghambat investasi. Maka untuk menopangnya, tata ruang akan diubah untuk
menyesuaikan dengan proyek strategis nasional tanpa ada penjelasan jenis-
jenis proyek strategis tersebut. Padahal tata ruang sebagai instrumen mencegah
dampak buruk dari pembangunan strategis.
Rekomendasi
Perlu pengaturan kriteria dan basis kajiannya. Karena proyek strategis nasional
mendapatkan kemudahan, penetapannya mesti memakai konsultasi publik yang
memadai.
Peninjauan kembali rencana tata ruang lebih dari satu kali selama
lima tahun karena bencana, perubahan wilayah, atau kebijakan
strategis nasional.
Pasal 34A
(1) D
alam hal terdapat perubahan
kebijakan nasional yang bersifat
strategis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (5) huruf d,
Pasal 23 ayat (5) huruf d, dan Pasal
26 ayat (6) huruf d belum dimuat
dalam rencana tata ruang dan/
atau rencana zonasi, pemanfaatan
ruang tetap dapat dilaksanakan.
(2) Pelaksanaan kegiatan pemanfaatan
ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan setelah
mendapat rekomendasi kesesuaian
kegiatan pemanfaatan ruang dari
Pemerintah Pusat.
implikasi
Pasal sisipan ini menunjukkan diskresi dan kewenangan pemerintah pusat
dalam mengatur tata ruang. Keputusan pemerintah pusat bisa menjadi landasan
membagi ruang kendati belum ada dalam rencana tata ruang atau rencana
zonasi yang membuka peluang keputusan tak sesuai KLHS. Padahal KLHS
adalah basis pembuatan tata ruang.
REKOMENDASI
Penjelasan detail dalam peraturan pemerintah untuk menghindari salah tafsir
atas ayat ini.
Perlu diatur dasar pertimbangan bagi pemerintah pusat dalam memberikan
rekomendasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sehingga tidak merusak
sistem perencanaan tata ruang maupun zonasi.
Pasal ini seharusnya selaras dengan keharusan kajian atau pertimbangan
memutuskan suatu kegiatan atau proyek termasuk sebagai rencana strategis
nasional.
Sebagai bentuk keharmonisan tata ruang, setelah keputusan pemberian
rekomendasi, pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengatur penyesuaian
tata ruang dan zonasi setelah keputusan proyek strategis nasional.
Pasal 60 Pasal 60
Dalam penataan ruang, setiap orang Dalam penataan ruang, setiap orang
berhak untuk: berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang; a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai b. menikmati pertambahan nilai
ruang sebagai akibat penataan ruang sebagai akibat penataan
ruang; ruang;
c. memperoleh penggantian yang c. m
emperoleh penggantian yang
layak atas kerugian yang timbul layak atas kerugian yang timbul
akibat pelaksanaan kegiatan akibat pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang sesuai pembangunan yang sesuai
dengan rencana tata ruang; dengan rencana tata ruang;
d. mengajukan keberatan kepada d. mengajukan tuntutan kepada
pejabat berwenang terhadap pejabat berwenang terhadap
pembangunan yang tidak sesuai pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang di dengan rencana tata ruang di
wilayahnya; wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan e. mengajukan tuntutan
pembatalan izin dan penghentian pembatalan persetujuan
pembangunan yang tidak sesuai kegiatan penataan ruang dan/
dengan rencana tata ruang atau penghentian pembangunan
kepada pejabat berwenang; dan yang tidak sesuai dengan
f. m
engajukan gugatan ganti rencana tata ruang kepada
kerugian kepada pemerintah pejabat berwenang; dan
dan/atau pemegang izin apabila f. m
engajukan gugatan ganti
kegiatan pembangunan yang kerugian kepada Pemerintah
tidak sesuai dengan rencana tata Pusat, Pemerintah Daerah dan/
ruang menimbulkan kerugian. atau kepada pelaksana kegiatan
pemanfaatan ruang apabila
kegiatan pembangunan yang
tidak sesuai dengan rencana tata
ruang menimbulkan kerugian.
implikasi
Perubahan bunyi ayat d yang mengubah “keberatan” menjadi “tuntutan” tidak
lazim karena kewenangan menuntut ada di tangan jaksa. Dalam bahasa
percakapan, menuntut tidak berarti menggugat secara hukum, seperti pada frase
“menuntut ilmu”. Perubahan ini bisa mengaburkan esensi keberatan yang bisa
ditolak hakim karena tak sesuai kewenangan dan hak masyarakat.
REKOMENDASI
Perlu penjelasan di peraturan pemerintah tentang makna kata “menuntut” agar
ayat ini bisa menjadi pedoman masyarakat dalam mempertahankan hak di mata
hukum dengan mekanisme jelas serta terukur dalam pengajuan keberatan atau
tuntutan
A
DA lima undang-undang sektor energi yang
diubah, dipangkas, dihapus, dan ditambahkan
pasal-pasalnya di Undang-Undang Nomor 11/2020
tentang cipta kerja. Kelima undang-undang
tersebut adalah UU 3/2020 tentang pertambangan
mineral dan batu bara, UU 22/2001 tentang minyak dan
gas bumi, UU 21/2014 tentang panas bumi, UU 30/2009
tentang ketenagalistrikan, dan UU 10/1997 tentang
ketenaganukliran.
Seperti perubahan undang-undang lain, perubahan paling
mencolok regulasi sektor energi di Paragraf 5 Undang-
Undang Cipta Kerja adalah sentralisasi pemberian izin
berusaha dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat.
Tapi tak seperti sektor lain, pengaturan sektor energi penuh
kerancuan sehingga justru melemahkan usaha menarik
investasi, yang tak menggairahkan sejak satu dekade lalu.
Di luar soal itu, pengaturan sektor energi juga tak mendorong
energi terbarukan yang ramah lingkungan. Di tengah usaha
pemerintah memenuhi janji menurunkan emisi melalui
rencana pembangunan rendah karbon 2020-2045, UU
Cipta Kerja masih condong pada energi fosil dan industri
ekstraktif. Omnibus law ini pun tak menawarkan jalan
keluar antara lesunya investasi energi dan tuntutan zaman
di tengah isu pemanasan global.
Pasal 128A
(1) P
elaku usaha yang melakukan
peningkatan nilai tambah batu bara
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 102 ayat (2), dapat diberikan
perlakuan tertentu terhadap
kewajiban penerimaan negara
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 128.
(2) P
emberian perlakuan tertentu
terhadap kewajiban penerimaan
negara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk kegiatan
peningkatan nilai tambah batu bara
dapat berupa pengenaan royalti
sebesar 0% (nol persen).
(3) K
etentuan lebih lanjut mengenai
perlakuan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
implikasi
Sisipan pasal ini menjadikan energi sebagai modal dasar pembangunan untuk
menciptakan efek ganda ekonomi dengan beberapa insentif untuk industri
ekstraktif. Kurang sejalan dengan pembangunan rendah karbon Indonesia dan
janji menurunkan emisi mengingat batu bara menjadi sektor penyumbang energi
kotor.
Insentif-insentif dalam pasal ini akan menarik pengusaha masuk ke pengerukan
dan pengolahan batu bara, bukan energi terbarukan, khususnya bioenergi
dan biomassa. Apalagi belum ada pengaturan portofolio energi nasional untuk
pembangkit, rumah tangga, dan transportasi.
Masalahnya, bagi industri batu bara sekali pun insentif-insentif tersebut baru bisa
didapatkan jika mengolahnya terlebih dahulu agar memberikan nilai tambah,
tanpa ada ketentuan minimal usaha menghasilkan nilai tambah.
Secara keseluruhan, pasal ini akan menghalangi transisi dari energi kotor ke
energi bersih. Bahkan cenderung merugikan negara mengingat nilai tambah
energi fosil terlalu mahal dengan produksi emisi yang besar.
REKOMENDASI
Harus ada kebijakan terkait bioenergi yang dapat menarik minat pengusaha
agar target menurunkan konsumsi batu bara dan menaikkan energi terbarukan
tercapai. Peraturan pemerintah mesti mengatur usaha minimal dalam
memberikan nilai tambah agar industri bisa menikmati insentif yang dijanjikan
dalam pasal ini dengan membuat peta jalan alokasi dan pemanfaatan energi
fosil, energi baru, energi terbarukan dengan mengatur nilai tambah pengolahan
batu bara.
Agar potensi menghambat penurunan emisi tidak terjadi, aturan operasional
pasal ini mesti mengatur peningkatan nilai tambah ekpsloitasi ekstraktif terutama
menuju diversifikasi energi dengan memasukkan energi baru dan terbarukan.
Energi baru dalam Undang-Undang energi, antara lain, olahan batu bara, seperti
gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal),
dan gasifikasi batu bara.
implikasi
Penegasan pidana bagi pengganggu investasi energi yang telah memenuhi
syarat izin berusaha.
Akan menjadi pasal karet dengan tak ada penjelasan mengenai pengertian
merintangi dan mengganggu. NGO yang mengadvokasi masyarakat akan
dengan mudah dicap pengganggu sehingga bisa digugat secara pidana. Potensi
kriminalisasi pasal ini sangat terbuka.
REKOMENDASI
Mesti ada pembedaan terhadap pengganggu setelah usaha berjalan dengan
“pengganggu” yang sudah ada sebelum investasi datang. Terutama masyarakat
adat, yang dianggap pengganggu karena belum disahkan keberadaannya oleh
pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Lingkungan
Hidup.
implikasi
Kontrak masih diakui dalam usaha minyak dan gas namun secara operasional
tak lagi punya peluang karena sudah dihapus di pasal 5 yang mengatur perizinan
berusaha.
REKOMENDASI
Dihapus, karena bertentangan dengan pasal lain yang mengubah kontak dengan
izin usaha. Atau ditegaskan dalam undang-undang untuk memberikan kepastian
hukum dan kepastian berusaha.
Dihapus
Pasal 1 Angka 23
Badan pelaksana adalah suatu badan
yang dibentuk untuk melakukan
pengendalian kegiatan usaha hulu di
bidang minyak dan gas bumi
implikasi
Rencana pembentukan Badan Usaha Milik Negara Khusus yang menangani
investasi hulu minyak dan gas bumi dibatalkan. Pengaturan usaha hulu kembali
ke Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu (SKK) Minyak dan Gas Bumi
yang membuat bisnis minyak dengan investor menjadi pemerintah-dunia usaha,
bukan dunia usaha dengan dunia usaha. Padahal negosiasi pemerintah-bisnis
bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Presiden
Nomor 9/2013 yang memosisikan SKK Migas sebagai lembaga ad hoc.
REKOMENDASI
Ide membangun badan usaha khusus menangani bisnis migas perlu dihidupkan
dalam revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi untuk memudahkan usaha
sektor ini. Ide ini juga sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang
menegaskan badan usaha pelaksana pengelolaan minyak dan gas, layaknya
BUMN.
UU Migas baru perlu didesain menguatkan BUMN ini agar menjadi perusahaan
nasional yang kompetitif dan dikelola secara korporasi dan menegaskan posisi
minyak dan gas sebagai modal dasar pembangunan atau sebagai komoditas.
Pasal 4 Pasal 4
(1) Minyak dan Gas Bumi sebagai (1) M
inyak dan Gas Bumi sebagai
sumber daya alam strategis tak sumber daya alam strategis tak
terbarukan yang terkandung terbarukan yang terkandung
di dalam Wilayah Hukum di dalam Wilayah Hukum
Pertambangan Indonesia Pertambangan Indonesia
merupakan kekayaan nasional merupakan kekayaan nasional
yang dikuasai oleh negara. yang dikuasai oleh negara.
(2) Penguasaan oleh negara (2) P
enguasaan oleh negara
sebagaimana dimaksud dalam sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan oleh ayat (1) diselenggarakan oleh
Pemerintah sebagai pemegang Pemerintah Pusat melalui kegiatan
Kuasa Pertambangan. usaha Minyak dan Gas Bumi.
(3) Pemerintah sebagai pemegang (3) K
egiatan usaha Minyak dan Gas
Kuasa Pertambangan membentuk Bumi sebagaimana dimaksud pada
Badan Pelaksana sebagaimana ayat (2) terdiri atas Kegiatan Usaha
dimaksud dalam Pasal 1 angka 23. Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir.
implikasi
Mengafirmasi kewenangan pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Pemerintahan Daerah bahwa urusan minyak dan gas menjadi
kewenangan pemerintah pusat.
Pasal 5 Pasal 5
Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi (1) K
egiatan usaha Minyak dan Gas
terdiri atas: Bumi dilaksanakan berdasarkan
1. Kegiatan Usaha Hulu yang Perizinan Berusaha dari
mencakup: Pemerintah Pusat.
a. Eksplorasi; (2) K
egiatan usaha Minyak dan Gas
Bumi terdiri atas:
b. Eksploitasi.
a. Kegiatan Usaha Hulu; dan
2. Kegiatan Usaha Hilir yang
mencakup: b. Kegiatan Usaha Hilir.
a. Pengolahan; (3) K
egiatan Usaha Hulu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a
b. Pengangkutan;
terdiri atas:
c. Penyimpanan;
a. Eksplorasi; dan
d. Niaga.
b. Eksploitasi.
(4) K
egiatan Usaha Hilir sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b
terdiri atas:
a. Pengolahan;
b. Pengangkutan;
c. Penyimpanan; dan
d. Niaga.
implikasi
Kegiatan usaha hulu minyak dan gas memakai rezim izin, bukan lagi kontrak
kerja sama. Konsekuensinya, izin usaha kegiatan hulu hanya untuk perusahaan
yang berada di Indonesia, sementara badan usaha tetap (BUT) yang tidak
didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia tak memenuhi unsur perizinan
berusaha seperti diatur ayat 1.
Pasal 23 Pasal 23
(1) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana (1) K
egiatan Usaha Hilir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 angka 2, dimaksud dalam Pasal 5 ayat
dapat dilaksanakan oleh Badan (2) huruf b, dapat dilaksanakan
Usaha setelah mendapat Izin oleh Badan Usaha setelah
Usaha dari Pemerintah. memenuhi Perizinan Berusaha dari
(2) Izin Usaha yang diperlukan untuk Pemerintah Pusat.
kegiatan usaha Minyak Bumi (2) B
adan Usaha yang memenuhi
dan/atau kegiatan usaha Gas Perizinan Berusaha sebagaimana
Bumi sebagaimana dimaksud dimaksud pada ayat (1) dapat
dalam ayat (1) dibedakan atas: melakukan kegiatan usaha:
Izin Usaha Pengolahan; Izin a. Pengolahan;
Usaha Pengangkutan; Izin Usaha
b. Pengangkutan;
Penyimpanan; Izin Usaha Niaga.
c. Penyimpanan; dan/atau
(3) Setiap Badan Usaha dapat diberi
lebih dari 1 (satu) Izin Usaha d. Niaga.
sepanjang tidak bertentangan (3) P
erizinan Berusaha yang
dengan ketentuan peraturan telah diberikan sebagaimana
perundang-undangan yang berlaku. dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat digunakan sesuai dengan
peruntukan kegiatan usahanya.
(4) P
ermohonan Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilakukan dengan
menggunakan sistem Perizinan
Berusaha secara elektronik yang
dikelola oleh Pemerintah Pusat.
implikasi
Seperti sektor hulu, sektor hilir minyak dan gas juga memakai rezim perizinan,
bukan kontrak.
Ayat 2c yang menetapkan semua jenis usaha dengan “dan/atau” mengizinkan
praktik usaha integratif (bundling) dari pengolahan, pengangkutan, penyimpanan,
hingga menjualnya yang selama ini dilarang oleh UU Nomor 22/2001 tentang
minyak dan gas bumi.
Pasal 53 Pasal 53
Setiap orang yang melakukan: Jika tindakan sebagaimana dimaksud
a. Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A mengakibatkan
dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha timbulnya korban/kerusakan terhadap
Pengolahan dipidana dengan kesehatan, keselamatan, dan/atau
pidana penjara paling lama 5 (lima) lingkungan, pelaku dipidana dengan
tahun dan denda paling tinggi Rp pidana penjara paling lama 5 (lima)
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar tahun atau denda paling tinggi Rp
rupiah); 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah).
b. Pengangkutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 tanpa
Izin Usaha Pengangkutan dipidana
dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun dan denda paling
tinggi Rp 40.000.000.000,00 (empat
puluh miliar rupiah);
c. Penyimpanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 tanpa
Izin Usaha Penyimpanan dipidana
dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun dan denda paling
tinggi Rp 30.000.000.000,00 (tiga
puluh miliar rupiah);
d. Niaga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha
Niaga dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling tinggi Rp
30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar
rupiah).
implikasi
Hukuman pidana bagi industri tanpa izin baru berlaku jika ada korban atau
kerusakan terhadap kesehatan dan/atau lingkungan.
Pasal 11 Pasal 1 1
(6) Izin Pemanfaatan Langsung (6) P
erizinan Berusaha terkait
diberikan setelah Setiap Orang Pemanfaatan Langsung diberikan
sebagaimana dimaksud pada setelah Setiap Orang sebagaimana
ayat (5) mendapat izin lingkungan dimaksud pada ayat (5) mendapat
sesuai dengan ketentuan peraturan persetujuan lingkungan sesuai
perundang-undangan di bidang dengan ketentuan peraturan
perlindungan dan pengelolaan perundang-undangan di bidang
lingkungan hidup. pelindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
implikasi
Ayat 6 masih mewajibkan izin lingkungan bagi industri yang mengambil secara
langsung panas bumi. Norma ini menggembirakan mengingat izin lingkungan
dicabut di sejumlah pasal lingkungan hidup sehingga dokumen final bagi industri
adalah perizinan berusaha.
Rekomendasi
Mempertahankan kewajiban izin lingkungan mengingat pengambil langsung
panas bumi bisa berbenturan dengan ketentuan perlindungan lingkungan dalam
undang-undang lain, terutama di kawasan hak ulayat, kawasan hutan lindung,
bahkan kawasan konservasi.
Pasal 48 Pasal 48
Pemegang Izin Pemanfaatan Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung
Langsung wajib: wajib:
a. memahami dan menaati peraturan a. memahami dan menaati peraturan
perundang- undangan di bidang perundang- undangan di bidang
keselamatan dan kesehatan kerja keselamatan dan kesehatan kerja
serta perlindungan dan pengelolaan serta pelindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dan memenuhi lingkungan hidup dan memenuhi
standar yang berlaku; standar yang berlaku;
b. melakukan pengendalian b. melakukan pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang lingkungan hidup yang
meliputi kegiatan pencegahan, meliputi kegiatan pencegahan,
penanggulangan, dan pemulihan penanggulangan, dan pemulihan
fungsi lingkungan hidup; fungsi lingkungan hidup.
c. menyampaikan rencana kerja dan
rencana anggaran kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota
sesuai dengan kewenangannya; dan
d. menyampaikan laporan. tertulis
secara berkala atas pelaksanaan
rencana kerja dan rencana
anggaran serta kegiatan
pengusahaan Panas Bumi
untuk Pemanfaatan Langsung
kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
implikasi
Penghapusan ayat c dan d akan memangkas kewajiban dan birokrasi bagi
industri panas bumi namun menyulitkan pengawasan terutama dalam evaluasi
dan monitoring oleh pemerintah.
Rekomendasi
Perlu ada mekanisme khusus agar pengawasan pemerintah terhadap praktik
industri panas bumi, terutama yang berkaitan dengan dampak terhadap
lingkungan, tetap berjalan. Penegakan sanksi terhadap pelanggaran izin
lingkungan mesti diatur secara detail.
Pasal 67 Pasal 67
Setiap Orang yang dengan sengaja Setiap Orang yang dengan sengaja
melakukan pengusahaan Panas melakukan pengusahaan Panas Bumi
Bumi untuk Pemanfaatan Langsung untuk Pemanfaatan Langsung tanpa
tanpa Izin Pemanfaatan Langsung Perizinan Berusaha sebagaimana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
11 ayat (1) dipidana dengan pidana yang mengakibatkan timbulnya
penjara paling lama 2 (dua) tahun korban/kerusakan kesehatan,
atau pidana denda paling banyak Rp keselamatan, dan/atau lingkungan
6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah).
implikasi
Pasal ini bisa ditafsirkan pengusahaan panas bumi tanpa izin yang tak
menimbulkan korban dan merusak lingkungan akan dimaklumi.
Rekomendasi
Mesti selaras dengan ketentuan lain di pasal lain untuk industri lain bahwa
pelanggaran terhadap perizinan berusaha atau tanpa izin, dengan atau tanpa
menimbulkan kerusakan, mendapatkan sanksi administratif.
implikasi
Penyediaan listrik untuk kepentingan sendiri masuk sebagai kegiatan usaha.
Fleksibilitas penyediaan listrik bagi usaha yang kesulitan mendapatkan pasokan
dari penyedia listrik untuk kepentingan umum.
Ketentuan ini menjadi rancu jika ada industri yang terikat kontrak dan
mengusahakan listrik secara mandiri. Ketika kontrak usaha habis, akan
menimbulkan pertanyaan tentang kelanjutan izin usaha penyediaan listriknya.
Pasal 3 Pasal 3
(1) Penyediaan tenaga listrik (1) P
enyediaan tenaga listrik
dikuasai oleh negara yang dikuasai oleh negara yang
penyelenggaraannya dilakukan penyelenggaraannya dilakukan
oleh Pemerintah dan pemerintah oleh Pemerintah Pusat dan
daerah berlandaskan prinsip Pemerintah Daerah berlandaskan
otonomi daerah. prinsip otonomi daerah sesuai
(2) Untuk penyelenggaraan dengan norma, standar, prosedur,
penyediaan tenaga listrik dan kriteria yang ditetapkan oleh
sebagaimana dimaksud pada Pemerintah Pusat.
ayat (1), Pemerintah dan (2) U
ntuk penyelenggaraan
pemerintah daerah sesuai dengan penyediaan tenaga listrik
kewenangannya menetapkan sebagaimana dimaksud pada
kebijakan, pengaturan, ayat (1), Pemerintah Pusat dan
pengawasan, dan melaksanakan Pemerintah Daerah sesuai dengan
usaha penyediaan tenaga listrik. kewenangannya menetapkan
kebijakan, pengaturan,
pengawasan, dan melaksanakan
usaha penyediaan tenaga listrik.
implikasi
Sentralisasi kebijakan ini akan menyulitkan penyedia energi terbarukan yang
memakai sumber daya energi lokal, baik skala mikro, menengah, dan on/off grid
karena sangat tergantung pada keputusan pemerintah pusat.
Sentralisasi kewenangan, tak hanya menyalahi prinsip otonomi daerah, juga
melanggar konstitusi UUD 1945 pasal 18 ayat 2.
Rekomendasi
Perlu mekanisme lain, misalnya adalah undang-undang yang setara, terutama
untuk mendorong energi terbarukan yang sumber energinya terkonsentrasi di
daerah.
Atau mengamendemen Undang-Undang 30/2007 tentang energi dengan
mengatur peran kepala daerah dalam pengembangan sumber energi lokal.
Juga membuka peran swasta dalam distribusi listrik. Monopoli PLN akan
menghambat pengembangan akses serta energi terbarukan.
Pasal 7 Pasal 7
(1) Rencana umum ketenagalistrikan (1) R
encana umum ketenagalistrikan
nasional disusun berdasarkan nasional disusun berdasarkan
pada kebijakan energi nasional dan kebijakan energi nasional dan
ditetapkan oleh Pemerintah setelah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
berkonsultasi dengan DPR RI. (2) R
encana umum ketenagalistrikan
(2) Rencana umum ketenagalistrikan nasional sebagaimana dimaksud
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan
pada ayat (1) disusun dengan mengikutsertakan Pemerintah
mengikutsertakan pemerintah Daerah.
daerah. (3) K
etentuan mengenai pedoman
(3) Rencana umum ketenagalistrikan penyusunan rencana umum
daerah disusun berdasarkan pada ketenagalistrikan nasional
rencana umum ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada
nasional dan ditetapkan oleh ayat (1) diatur dalam Peraturan
pemerintah daerah setelah Pemerintah.
berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
(4) Pedoman penyusunan rencana
umum ketenagalistrikan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (3) ditetapkan oleh
Menteri.
implikasi
Sentralisasi kebijakan kelistrikan sekaligus menghapus rencana umum kelistrikan
daerah (RUKD). Selain menghambat pengembangan energi terbarukan, juga
menghalangi akselerasi pengembangan listrik berbasis komunitas dan vehicle
daerah (BUMD).
Penghapusan konsultasi dengan DPR bisa mereduksi birokrasi penetapan
kebijakan energi nasional. Namun, fungsi pengawasan publik menjadi hilang.
Keputusan pemerintah akan menjadi kebijakan sepihak.
Rekomendasi
Perlu mendorong energi terbarukan melalui aturan khusus, misalnya undang-
undang, untuk energi terbarukan dengan multidisiplin keilmuan.
Atau mengamendemen UU 30/2007 tentang energi sehingga daya jangkaunya
luas dan mampu menjadi alat untuk mengatur alokasi dan pemanfaatan energi
fosil, energi baru, energi terbarukan secara terpadu dan terintegrasi.
Rencana Umum Energi Daerah (RUED) provinsi dan kabupaten/kota perlu
dioptimalkan daya berlakunya agar menjadi dokumen mengikat pemangku
kepentingan daerah untuk mendukung pengembangan diversifikasi energi.
Perlu mekanisme konsultasi publik agar penetapan kebijakan energi nasional
tetap melibatkan masyarakat yang akan terkena dampak langsung. Juga
kesesuaian dengan pembangunan rendah karbon di tengah isu krisis iklim.
Pasal 10 Pasal 10
(4) Pembatasan wilayah usaha (4) D
alam hal usaha pembangkitan,
sebagaimana dimaksud pada transmisi, distribusi, dan penjualan
ayat (3) juga berlaku untuk usaha dilakukan secara terintegrasi,
penyediaan tenaga listrik untuk usaha pembangkitan dan/atau
kepentingan umum yang hanya transmisi dapat dilakukan di luar
meliputi distribusi tenaga listrik dan/ Wilayah Usahanya.
atau penjualan tenaga listrik.
implikasi
Norma positif untuk membantu wilayah lain yang kekurangan pasokan listrik.
Hanya saja poin ini mengafirmasi pendekatan Pemerintah Pusat yang tidak
membutuhkan lagi Pemerintah Daerah dalam pemberian izin berusaha
pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan, walaupun Pemerintah Daerah
adalah lembaga negara paling dekat dengan lokasi usaha energi.
Rekomendasi
Perlu diatur detail penyediaan listrik lintas wilayah agar tak terjadi tabrakan
penyediaan listrik yang akan mengganggu kegiatan usaha kelistrikan.
Pasal 49 Pasal 49
(1) Setiap orang yang melakukan (1) S
etiap orang yang melakukan
usaha penyediaan tenaga listrik usaha penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan umum tanpa untuk kepentingan umum tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Perizinan Berusaha sebagaimana
Pasal 19 ayat (2) dipidana dengan dimaksud dalam Pasal 19
pidana penjara paling lama 3 (tiga) ayat (2) yang mengakibatkan
tahun dan denda paling banyak timbulnya korban/kerusakan
Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar kesehatan, keselamatan, dan/
rupiah). atau lingkungan dipidana dengan
(2) Setiap orang yang melakukan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
usaha penyediaan tenaga listrik tahun dan denda paling banyak
tanpa izin operasi sebagaimana Rp 3.000.000.000,0O (tiga miliar
dimaksud dalam Pasal 22 dipidana rupiah).
dengan pidana penjara paling lama (2) S
etiap orang yang melakukan
5 (lima) tahun dan denda paling usaha penyediaan tenaga listrik
banyak Rp 4.000.000.000,00 untuk kepentingan sendiri tanpa
(empat miliar rupiah). Perizinan Berusaha sebagaimana
(3) Setiap orang yang menjual dimaksud dalam Pasal 22
kelebihan tenaga listrik untuk yang mengakibatkan timbulnya
dimanfaatkan bagi kepentingan korban/kerusakan kesehatan,
umum tanpa persetujuan dari keselamatan, dan/atau lingkungan
Pemerintah atau pemerintah dipidana dengan pidana denda
daerah sebagaimana dimaksud paling banyak Rp 4.000.000.000,00
dalam Pasal 23 ayat (3) dipidana (empat miliar rupiah).
dengan pidana penjara paling lama (3) S
etiap orang yang menjual
2 (dua) tahun dan denda paling kelebihan tenaga listrik untuk
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua dimanfaatkan bagi kepentingan
miliar rupiah). umum tanpa persetujuan dari
Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1) yang
implikasi
Sanksi pidana bagi penyedia listrik tanpa izin baru berjalan jika ada korban dan
kerusakan. Akan memicu listrik ilegal.
Tak ada penjelasan mekanisme persetujuan pemerintah daerah seperti diatur
ayat 3 mengingat kewenangan perizinan berusaha telah ditarik seluruhnya ke
pemerintah pusat.
Rekomendasi
Pengawasan pemerintah menjadi berat karena mesti memastikan korban dan
kerusakan bagi penyedia listrik tanpa izin.