Anda di halaman 1dari 48

Kertas Kerja

National Slum Upgrading Project (NSUP):


Proyek Mengusir Orang Miskin di Perkotaan
(Studi Kasus di Sulawesi Selatan)

Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur


ELSAM – WALHI – ILRC – debtWATCH Indonesia – WALHI
Sulawesi Selatan – WALHI Jawa Barat – TuK Indonesia –
INDIES– Ulu Foundation

Oktober
2017
National Slum Upgrading Project (NSUP): Proyek Mengusir
Orang Miskin di Perkotaan (Studi Kasus di Sulawesi Selatan)

Oktober 2017

Cover and Layout: Dodi Sanjaya

Diterbitkan oleh:
Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur
Jalan Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Ps. Minggu, 12510, Jakarta,
Indonesia

Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM):


andi@elsam.or.id
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI):
edowalhi@gmail.com
The Indonesian Legal Resource Center (ILRC):
ilrc-indonesia@cbn.net.id
debtWATCH Indonesia:
debtwatch@yahoo.com
WALHI Sulawesi Selatan:
muhammad.al.amien@gmail.com
WALHI Jawa Barat :
meikipaendong@walhijabar.id
Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia:
wiwin@tuk.or.id
Institute for National and Democracy Studies (INDIES):
indies4indonesia@gmail.com
Ulu Foundation:
stephanie@ulufoundation.org
DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan......…………….................................................……01
I.1 Latar Belakang.......................................................................................0I
I.2 Tujuan.......................................................................................................04
I.3 Waktu Pelaksanaan Studi.................................................................12

BAB II Pembahasan......…………….................................................……10
II.1 Program KOTAKU...............................................................................14
II.1.1 Protes Masyarakat terhadap Program
KOTAKU Masih Sangat Tinggi ..............................................................14
II.1.2 Ancaman Penggusuran Pemukiman Rakyat
Miskin Dalam Proyek KOTAKU Alami Peningkatan....................16
II.1.3 Potensi Memiskinkan Perempuan
Pada Proyek NSUP/KOTAKU.................................................................20
II.2 Pelanggaran Safeguards, Intimidasi dan
Ancaman – Penyalahgunaan “Voluntary Land Donation”
Mulai Terjadi di Program NSUP/KOTAKU.......................................23
II.3 Penggunaan Country Safeguards Systems
pada Program NSUP..................................................................................24
II.4 Potensi Korupsi dalam Proyek/Program KOTAKU................25
II.5 Kesalahan Kategorisasi (Miscategorization) Proyek:
Arah Kebijakan Program KOTAKU Tidak Ramah
Lingkungan, dampaknya “Category A” tetapi hanya
berstatus “Category B” 28...................................................................31
BAB III Kesimpulan dan Penutup..................................................34
III.1 Tinjau Ulang Pembiayaan Program KOTAKU
di Indonesia..................................................................................................34
III.2 Penutup.................................................................................................36
III.3 Tuntutan Kepada Bank Dunia......................................................37
BAB I
Pendahuluan

I.1 Latar Belakang


Tak dapat dipungkiri, sejak rezim Jokowi-JK memerintah,
pembangunan infrastruktur di Indonesia terus mengalami
peningkatan. Sejumlah daerah yang dulunya tidak tersentuh
pembangunan, kini mulai dibangun sejumlah infrastruktur.
Pembangkit energi, DAM, jalan lintas provinsi, hingga penataan
kota, adalah proyek infrastruktur yang kini mulai dikerjakan.
Bukti keseriusan pemerintah dalam mempercepat pemba-
ngunan infrastruktur di Indonesia adalah dengan menerbitkan
Peraturan Presiden tentang percepatan pembangunan Infras-
truktur dan ketenagalistrikan. Dengan demikian, sudah dapat
dipastikan bahwa saat ini pemerintah telah memiliki peren-
canan utama, serta pijakan hukum dalam mempercepat serta
memperluas pembangunan infrastruktur di seluruh daerah di
Indonesia.
Selain itu, salah satu langkah pemerintah agar seluruh infras-
truktur dapat terbangun hingga ke desa-desa adalah dengan
mengoptimalkan penggunaan dana desa. Bagi pemerintah,
dana desa yang sangat besar harus dioptimalkan untuk mem-
percepat pembangunan infrastruktur. Alhasil, hampir seluruh
pemerintah desa menganggarkan 60% dana desa untuk pem-
bangunan infrastruktur, yang lebih banyak terserap untuk
pembangunan jalan dan jembatan.1

1) http://infobanknews.com/penyaluran-dana-desa-dinilai-belum-maksimal/,
diakses 3 Oktober 2017

|01
Ambisi pemerintah dalam membangun infrastruktur di indo-
nesia juga dapat diamati melalui berbagai skema pembiayaan-
nya. Memang, dari target pembangunan yang sangat tinggi,
sumber dana yang paling banyak diperoleh melalui APBN.
Namun, tidak sedikit pula, sumber pendanaan pembangunan
infrastruktur yang dirancang oleh pemerintah diperoleh dari
kerjasama pihak swasta hingga pinjaman bank pembangunan
multilateral. Maka dengan alasan percepatan pembangunan
tersebut, pemerintah Indonesia terus berupaya memperoleh
pinjaman dari World Bank, Asian Development Bank (ADB),
Asian Infrastruktur Invesment Bank (AIIB), dan bank-bank
pembangunan multilateral lainnya. Buktinya, hingga Januari
2017, pemerintah sudah menambah utang negara menjadi Rp
728,15 triliun.2
Dana yang diperoleh dari pinjaman atau utang tentu harus dikem-
balikan. Sehingga utang pemerintah menjadi beban negara yang
tentunya juga beban rakyat. Pembangunan infrastruktur sudah
barang tentu memerlukan lahan, sehingga tidak sedikit pemban-
gunan infrastruktur menimbulkan konflik yang berujung pada pe-
langgaran Hak Asasi Manusia, berupa pengambilan paksa
lahan-lahan warga, serta kriminalisasi warga. Artinya, tidak me-
nutup kemungkinan biaya pembangunan infrastruktur yang di-
peroleh dari utang akan menimbulkan masalah bagi masyarakat.
Di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), geliat pembangunan
infrastruktur dan pembangkit listrik jelas terlihat. Sejumlah
proyek nasional di Sulsel, mulai dipublikasikan, bahkan su-
dah banyak yang dalam proses pengerjaan. Sejumlah proyek
yang tengah dalam proses pengerjaan, yakni DAM Passaloreng,
Waduk Nipa-nipa, Jalan Trans Sulawesi, Pembangkit Listrik
Tenaga Air (PLTA) Bakaru II , Kota tanpa kumuh (KOTAKU), dan
masih banyak yang lainnya. Dari proyek-proyek pembangunan

2) Daftar Pemberi Utang Terbesar ke Pemerintah RI, https://finance.detik.com/


berita-ekonomi-bisnis/d-3430685/daftar-pemberi-utang-terbesar-ke-pemerin-
tah-ri, diakses 14 September 2017

02|
tersebut, KOTAKU atau Kota Tanpa Kumuh merupakan proyek
yang dibiayai dari utang bank pembangunan multilateral, yaitu
World Bank.
KOTAKU adalah proyek pemerintah pusat yang tertera di doku-
men Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RP-
JMN) 2015-2019. Proyek yang juga dikenal dengan sebutan
National Slum Upgrading Project ini menarget 269 Kota di 34
provinsi3, termasuk Kota Makassar. Proyek ini diketahui
dibiayai oleh Bank Dunia dan AIIB melalui skema utang.4 Dan
saat ini tengah berjalan di Kota Makassar.
Proyek ini disetujui pemerintah Kota Makassar. Buktinya, pada
2014, Walikota Makassar menerbitkan Surat Keputusan yang
isinya menetapkan bahwa 103 kelurahan di Kota Makassar
berada pada kategori kumuh, sehingga perlu “ditata” melalui
proyek KOTAKU.
Proyek ini patut mendapat perhatian serius, selain karena
pembiayaan proyek yang bersumber dari utang Bank Dunia
dan AIIB, proyek ini juga diprediksi memiliki risiko yang tinggi,
terkhusus pada aspek sosial dan lingkungan. Dengan demiki-
an perlu dilakukan studi mengenai resiko proyek KOTAKU/
NSUP yang dibiayai dari utang Bank Dunia – AIIB terhadap ke-
hidupan masyarakat di Kota Makassar.
Oleh karena itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Sulsel bersama Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM)
berinisiatif menginvestigasi terhadap proyek KOTAKU/NSUP
di Kota Makassar, serta melakukan studi terkait risiko proyek
utang Bank Dunia – AIIB tersebut terhadap kehidupan masyarakat
di Kota Makassar.

3) http://p2kp.org/wartaprint.asp?mid=8273&catid=5&&19/08/2016
4) www.worldbank.org

|03
I.2 Tujuan
Studi proyek KOTAKU/NSUP di Kota Makassar bertujuan untuk:
1. Mengetahui lokasi prioritas proyek KOTAKU/NSUP di
Kota Makassar;
2. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap proyek
KOTAKU/NSUP di Kota Makassar;
3. Memperoleh informasi terkait Metode Kerja Tim KOTAKU/
NSUP di Kota Makassar;
4. Mengidentifikasi risiko proyek KOTAKU/NSUP terhadap
masyarakat di Kota Makassar.

I.3 Waktu Pelaksanaan Studi


Studi proyek KOTAKU/NSUP di Kota Makassar dilaksanakan
selama 30 hari, dimulai pada bulan September dan berakhir
pada bulan Oktober 2017.

I.4 Kerangka Isi


Tulisan ini berangkat dari studi dan investigasi yang WALHI laku-
kan di lokasi prioritas NSUP lainnya, yakni di Kelurahan Buloa,
Kecamatan Tallo, tepatnya di RW 2. Lokasi ini dipilih berdasarkan
hasil telaah kami terhadap Surat Keputusan Walikota Makassar
tentang penetapan kawasan kumuh Kota Makassar tahun 2014.
Selain itu kami memilih RW 2 Kelurahan Buloa karena di lokasi ini
hampir seluruh masyarakat yang memiliki rumah tidak memiliki
dokumen legalitas tanah, sehingga masyarakat di lokasi ini rentan
digusur atau dipindah paksa.
Kemudian, yang menjadi pertimbangan lainnya adalah ter-
kait rencana proyek pembangunan pelabuhan baru di Kota
Makassar yang berada persis di depan pemukiman warga
(RW 2). Kami tidak menganalisis lebih dalam soal proyek

04|
tersebut, namun kami percaya bahwa ada kaitan yang sangat erat
antara proyek pembangunan pelabuhan baru (newport) dengan
penataan pemukiman kumuh di RW 2 Kelurahan Buloa.
Sejak 2016, kami dan sejumlah LSM di Kota Makassar telah
memantau proyek NSUP yang di Indonesia bernama program
KOTAKU. Sejak pemantauan tersebut, kami sudah memberi
sinyal bahwa proyek ini beresiko menghilagkan rumah-rumah
penduduk yang bermukim di RW 2 Kelurahan Buloa. Tak hanya
itu, pada prinsipnya, berdasarkan telaah RTRW Kota Makassar
tahun 2015-2031, Kelurahan Buloa dan Tallo yang berada di
Kecamatan Tallo telah dirancang oleh pemerintah Kota Makassar
sebagai kawasan perdagangan ekspor - impor dan pegudangan.
Berarti, dengan keinginan tersebut, prediksi kami sedikit demi
sedikit mulai akurat, bahwa rumah-rumah penduduk yang
berada di bibir laut dan sungai muara akan digusur melalui
proyek NSUP atau program KOTAKU. Ditambah lagi pemerintah
kota Makassar memiliki alasan bahwa masyarakat tidak memiliki
sertifikat tanah, dan menempati tanah negara.
Tentunya kami ingin objektif melihat masalah ini, keinginan kami
inilah yang membuat kegiatan studi WALHI Sulsel – ELSAM di-
fokuskan di daerah rencana proyek. Kami mendatangi mas-
yarakat di lokasi proyek, berdiskusi dengan masyarakat, dan
mereka dengan senang hati mendampingi kami ke sejumlah
lokasi, terkhusus di lokasi yang mana 23 KK telah mumutus-
kan pindah dari RW 2. Selain itu, kami juga berdiskusi dengan
sejumlah jurnalis yang berkomitmen dengan kami untuk terus
memantau perkembangan jelannya proyek. Dari hasil diskusi,
baik dengan masyarakat maupun dengan jurnalis inilah seh-
ingga kami memiliki bahan, dokumentasi gambar, lalu kami
tulis di bab pembahasan.
Pada bab 2, tulisan masuk pada inti tulisan atau pembahasan.
Pada pembahasan tersebut, terdapat sejumlah kutipan bahasa
Inggris, dimana subtansinya adalah pihak evaluator indepen-
den Bank Dunia yang sebelumnya telah berkomentar bahwa

|05
proyek PNPM di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
memiliki banyak masalah. Hal ini tentu saja harus menjadi
perhatian Bank Dunia agar tidak gegabah memberi utang pada
proyek di Indonesia terkhusus untuk proyek NSUP/KOTAKU.
Kemudian, kami juga membahas tentang penilaian masyarakat
terhadap proyek KOTAKU/NSUP dari sudut pandang masyarakat
yang akan terkena dampak proyek NSUP. Lalu terkait bagaimana
pelaksanaan proyek NSUP di Kota Makassar, dampak proyek
terhadap masyarakat, dan risiko proyek NSUP terhadap kehidupan
masyarakat. Sehingga terbentuklah kerangka pembahasan (out-
line) sebagai berikut:
A. Proyek NSUP/Program KOTAKU

- Protes masyarakat terhadap proyek NSUP masih sangat


tinggi
Pada bagian ini, kami membahas soal persepsi masyarakat lo-
kal terhadap proyek NSUP. Satu tahun yang lalu, kami mene-
mukan protes masyarakat terhadap proyek ini sangat tinggi,
terutama terkait rencana penggusuran. Namun hingga stu-
di terhadap proyek ini berakhir, ketakutan masyarakat ma-
sih sangat tinggi. Bahkan menjalar ke kelurahan lain. Karena
ternyata tidak hanya pemukiman masyarakat di Keluruahan
Tallo yang hendak digusur, pemukiman masyarakat di Kelura-
han Buloa juga hendak digusur.
Pada hakekatnya, dugaan dan kekhawatiran masyarakat
akan penggusuran dapat ditepis oleh pemerintah, bila saja
pemerintah transparan dan akomodatif dalam meren-
canakan penataan pemukiman kumuh di Makassar. Namun
selama satu tahun ini, pemerintah tidak juga memberi ruang
bagi masyarakat dan kelompok masyarakat sipil untuk
memberi masukan dan kritik. Pemerintah hanya membuat
pertemuan dan mengundang pihak-pihak tertentu saja. Hal
ini yang membuat protes masyarakat sangat tinggi

06|
- Potensi Penggusuran Pemukiman Rakyat Miskin Dalam
Proyek KOTAKU
Pada bagian ini, kami membahas seputar rencana penggu-
suran yang akan terjadi di Kelurahan Buloa. Setelah kem-
bali melakukan telaah terhadap SK Walikota Makassar ten-
tang lokasi prioritas penataan pemukiman kumuh, kami
menemukan bahwa salah satu lokasi yakni RW 2 Kelurahan
Buloa. Setelah itu, kami mengunjungi pemukiman warga
tersebut dan berdiskusi dengan beberapa orang. Kami pun
mendengar informasi dari masyarakat bahwa pemukiman
mereka akan digusur karena akan ada rencana pemban-
gunan proyek new port. Sehingga bagi masyarakat, proyek
penataan pemukiman kumuh merupakan cara pemerintah
untuk memindahkan mereka.
Selain itu, kalau diperhatikan dari dokumen rencana pe-
nataan kawasan kumuh Pemerintah Kota Makassar, pada
prinsipnya, rencana pemerintah menata pemukiman ku-
muh di Kecamatan Tallo dengan metode pengembangan
pemukiman vertikal. Artinya, pemerintah memang hendak
menggusur pemukiman masyarakat dan memindahkan
masyarakat ke rusun. Cerita terkait potensi penggusuran
kami jelaskan di bagian ini.
- Proyek NSUP/KOTAKU Berpotensi Memiskinkan Perempuan
Salah satu kelompok rentan yang terdampak proyek
NSUP/program KOTAKU adalah kelompok perempuan.
Hasil diskusi kami dengan perempuan di Kelurahan Tallo
dan Buloa menunjukkan bahwa saat ini perempuan juga
terlibat bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Diantaranya, mereka bekerja mencari kerang di laut,
menjual ikan di pelelangan ikan, dan menangkap ikan di

10) Infographic - Clean energy for Europeans: Key for driving forward the
Energy Union, 2017 http://www.consilium.europa.eu/en/infographics/ener-
gy-union/

|07
keranda sungai muara. Pekerjaan ini telah mereka kerja-
kan. Walau hasil yang mereka peroleh tidak besar, namun
pendapatan perempuan mampu mencukupi kebutahan
primer skunder keluarga mereka.
Tentu saja, pemindahan paksa atau penggusuran yang akan
terjadi pada pemukiman mereka akan berdampak serius
terhadap pendapatan perempuan di dua kelurahan terse-
but. pada bagian ini kami jelaskan juga bahwa dampak
yang akan diterima kelompok perempuan akan menimbul-
kan dampak sistematis bagi kehidupan keluarga mereka
hingga anak-anak mereka.
B Pelanggaran Safeguards, Intimidasi dan Ancaman – Penyalah-
gunaan “Voluntary Land Donation”
Intimidasi dan ancaman terhadap masyarakat ternyata turut
mewarnai pelaksanaan proyek NSUP di Kota Makassar. Hal
ini disampaikan masyarakat di Kelurahan Tallo dan Buloa.
Namun pada bagian ini, kami lebih banyak membahas soal
intimidasi dan ancaman yang dialami masyarakat Buloa.
Sementara di sisi lain, Bank Dunia memiliki ketentuan Safe-
guard (The Environmental and Social Framework) yang ketat
terkait perlindungan terhadap masyarakat. Sehingga dapat
dikatakan intimidasi tersebut merupakan pelanggaran safe-
guard Bank Dunia yang dilakukan oleh Pemerintah Kota
Makassar.
Selain itu, dalam dokumen safeguard Bank Dunia termak-
tub bahwa Voluntary land donation tidak boleh diterapkan
kepada orang miskin. Namun faktanya berbeda. Kami pun
menjelaskan bagaimana Voluntary land donation disalahgu-
nakan oleh pemerintah.
C Pemakaian Country Safeguards System (CSS)
Pada bagian ini, kami sedikit menjelaskan bahwa pada
proyek NSUP di Kota Makassar, Bank Dunia menggunakan

07|
Country Safeguards System tanpa melakukan assesment
mendalam. Ini sama saja bahwa Bank Dunia tidak konsisten
menjalankan ketentuannya.
D Potensi Korupsi dalam Proyek/Program KOTAKU
Salah satu hal yang perlu menjadi pertimbangan khusus
Bank Dunia sebelum memberi pinjaman kepada negara
borrower adalah soal korupsi. Sehingga masalah korupsi juga
tak luput dari studi yang kami lakukan. Kami pun menu-
liskan bagaimana potensi korupsi itu terjadi pada proyek
NSUP. Ditambah lagi, belum lama ini, salah satu pejabat
pemerintah Kota Makassar ditetapkan sebagai tersangka
terkait kasus penjualan lahan.
E Kesalahan Kategorisasi (Miscategorization) Proyek: Arah Ke-
bijakan Program KOTAKU Tidak Ramah Lingkungan, dampak-
nya “Category A” tetapi hanya berstatus “Category B”.
Tahun lalu (2016), perwakilan koalisi pemantau infras-
truktur dengan tegas menyampaikan keberatan di hadapan
sejumlah Executive Director Bank Dunia terkait katogori
B dalam proyek NSUP. Dan hingga saat ini, lebel kategori
B tersebut masih melekat pada proyek NSUP. Sementara,
dampak sosial yang ditimbulkan oleh proyek ini sangat
tinggi. Selain itu, berdasarkan dokumen yang kami peroleh,
kami menemukan bahwa arah penataan kawasan kumuh
selain berisiko terhadap sosial, juga berdampak terhadap
lingkungan hidup.
F Partisipasi Semu dalam Proyek KOTAKU, Tidak ada Konsul-
tasi Bermakna
Terakhir, kami membahas soal partisipasi semu dalam proyek
NSUP. Kami mengamati bahwa tahun ini, pemerintah Kota
Makassar dan Tim KOTAKU sering menggelar konsultasi,
pertemuan di hotel. Namun berdasarkan informasi yang
kami peroleh dari para jurnalis yang sering meliput, bahwa

|08
pertemuan yang digelar oleh pemerintah Kota Makassar
dan Tim KOTAKU tidak pernah dihadiri masyarakat ter-
dampak maupun organisasi masyarakat sipil yang konsen
atau tengah melakukan pemantauan terhadap sejumlah
proyek infrastuktur di Sulawesi Selatan.

09|
BAB II
Pembahasan

Keinginan besar pemerintah dalam menata pemukiman


kumuh di seluruh kota di Indonesia terus berlanjut hingga
saat ini. Pemerintah Indonesia menargetkan agar 38.431 Ha
wilayah perkotaan yang dihuni 29 juta orang berubah menjadi
pemukiman yang layak huni, atau bebas dari kumuh.5 Selain
itu, dengan menata pemukiman kumuh, pemerintah juga ber-
harap agar 22 % penduduk kota di Indonesia memiliki akses
terhadap pelayanan dasar, yakni air bersih, dan sanitasi.
Sebelumnya, di masa pemerintahan SBY, program penataan kota
di Indonesia, diimplementasikan melalui Program Nasional Pem-
berdayaan Masyarakat (PNPM) yang didukung bertahun-ta-
hun oleh Bank Dunia, yang juga didalamnya terdapat Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP).
Namun, menurut Independent Evaluation Department (IED)
dari Bank Dunia, ada banyak kelemahan dalam program
PNPM, termasuk misalnya dari analisa Bank Dunia tentang
proyek PNPM IV:
“Desain proyek tidak melakukan pemetaan kemiskinan
desa. Sebelum pelaksanaan proyek, tidak tersedia data
yang akurat mengenai jumlah dan lokasi penerima man-
faat proyek, hanya bukti hasil yang sederhana bahwa
investasi besar di sub proyek menghasilkan kondisi so-
sio-ekonomi yang membaik.” 6
Para auditor dari IED juga menemukan pelanggaran syarat

5) Cipta Karya Tuntaskan Kumuh Dengan KOTAKU, http://ciptakarya.pu.go.id/


v3/web3/news.php?id=5467, 27 April 2016, diakses Oktober 2017
6) World Bank, Independent Evaluation Department, Implementation Comple-
tion Review Report Number: ICRR14736, 6/5/2015, page 2.

|10
safeguards Bank Dunia, termasuk Safeguards Masyarakat Adat:
“Kepatuhan terhadap kebijakan upaya perlindungan mas-
yarakat adat tidak memuaskan, serta partisipasi mas-
yarakat adat di beberapa provinsi juga lemah.”7
Menurut IED, sistem pemantau PMPM lemah, termasuk dari
segi korupsi, yaitu “fiduciary and governance controls”:
“Bank mengidentifikasi beberapa faktor risiko yang rele-
van seperti kapasitas kelembagaan dan manajerial Direk-
torat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD),
kontrol fidusia dan pemerintahan formal dan informal,
dan ketersediaan fasilitator yang berkualitas. Namun, upa-
ya mitigasi tidak memadai untuk mengatasi risiko ini, yang
menyebabkan penundaan pelaksanaan proyek dan sistem
pemantauan yang lemah. Selain itu, kerangka hasil memi-
liki beberapa kekurangan yang signifikan”.8
Kemudian menurut para auditor IEG,
“Kerangka Hasil memiliki beberapa kekurangan substan-
sial. Sebagian besar indikator berfokus pada keluaran
daripada hasil, seperti IOI 2 (lebih dari 85% rencana kerja
yang disepakati selesai setiap tahun), hubungan antara in-
dikator dan kemajuan menuju pencapaian (Tujuan) tidak
jelas.”9
Juga, menurut para auditor PNPM,
“Beberapa indikator mengukur siapa yang diuntungkan
dari proyek ini, namun tidak ada definisi tentang arti
“manfaat” dalam konteks ini. Juga, kerangka hasil tidak

7) Ibid, page 8.
8) Ibid, page 5.
9) Ibid, page 7.

11|
mengukur dampak investasi dari dana pinjaman revolving
mengenai kondisi sosial ekonomi para penerima.”10
IED menunjukkan bahwa ada “Beberapa kekurangan yang
signifikan dalam kerangka hasil dan upaya yang tidak me-
madai untuk mengurangi risiko yang diidentifikasi selama
persiapan proyek.”11 Dan para auditor temukan bahwa evaluasi
dan assessment yang dilakukan oleh para manajemen Bank
Dunia sendiri terhadap proyek mereka, PNPM, adalah “tidak
memuaskan.”
Sudah jelas, menurut IED dari Bank Dunia dan menurut saksi
mata di daerah yang kena PNPM, program ini tidak menunjuk-
kan perubahan yang signifikan baik terhadap penataan kota,
maupun tingkat kesejahteraan warga kota.
Kemudian di era Presiden Jokowi, program penataan kota berubah
nama menjadi program KOTAKU atau Kota Tanpa Kumuh. Melalui
dokumen RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah),
Presiden Jokowi menginginkan seluruh kota di Indonesia be-
bas dari kawasan kumuh, dan 100 persen warga kota di Indo-
nesia akan mengakses air bersih dan sanitasi pada tahun 2019.
Namun faktanya, rencana pemerintah untuk menata pemukiman
kumuh di kota-kota di Indonesia terkendala masalah pembiayaan.
Ternyata, untuk menata pemukiman kumuh di Indonesia, pe-
merintah membutuhkan dana cukup besar. Inilah yang mem-
buat pemerintah mengambil “jalan pintas”, yakni meminjam
uang ke bank pembangunan multilateral, dalam hal ini Bank
Dunia, AIIB, dan Islamic Development Bank (IDB). Dengan
demikian, pemerintah harus kembali menambah utang, yang
artinya menambah beban negara hanya untuk menghilangkan
pemukiman kumuh di kota-kota.

10) Ibid, page 7.


11) Ibid, page 8.

|12
Pada perkembangannya, pada Juli 2016, Badan Direksi Bank
Dunia telah menyetujui utang pemerintah Indonesia sebesar
$216,5 juta atau setara dengan 2,814 triliun rupiah, Selain itu,
Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) juga turut berencana
memberikan pinjaman dengan jumlah yang sama yakni $216,5
juta. Dengan demikian, pinjaman pembiayaan oleh Bank Dunia
dan AIIB berjumlah $433 juta atau setara dengan 5,628 trili-
un. Pinjaman tersebut diberi nama National Slum Upgrading
Project (NSUP), di Indonesia, proyek tersebut diubah menjadi
program KOTAKU atau Kota Tanpa Kumuh. Selaian itu, skema
pembiayaan bersama yang merupakan kerjasama pertama antara
AIIB dan Bank Dunia ini berdurasi lima tahun.
Masuknya pinjaman Bank Dunia dan Bank Investasi Infras-
truktur Asia (AIIB) dalam program KOTAKU seolah memberi
sinyal yang kuat bahwa program penataan kawasan kumuh di
Indonesia merupakan program ambisius. Dan bagi kami, pro-
gram yang ambisius tentu sarat dengan pelanggaran-pelangga-
ran. Dari pantauan kami selama ini, proyek ambisius ini berpe-
luang mengabaikan hak dasar warga negara, dimana program
ini berpotensi mengusir orang miskin dari kota, akibatnya
makin memiskinkan warga miskin. Kemudian, model penataan
kota yang menerapkan pendekatan legalistik formal dan per-
tumbuhan pembangunan, juga berpeluang menghilangkan
hak rakyat atas perumahan, tanah, pekerjaan/penghidupan
yang layak, serta rasa aman. Hal yang cukup mengkhawatirkan
adalah akuntabilitas dan transparansi pengelola program yang
berpotensi terjadinya praktek korupsi, yang mengakibatkan
rendahnya kualitas dan efektifitas program.
Secara khusus, tulisan ini membahas implementasi program
NSUP/KOTAKU di Kota Makassar, khususnya di Kelurahan Tallo
dan Kelurahan Buloa, sebagai cerminan pelaksanaan program KO-
TAKU di seluruh Indonesia. Selain itu, tulisan ini juga merupakan
hasil investigasi yang secara khusus menelusuri potensi peng-
hilangan hak masyarakat, yang berakibat pada pemiskinan
masyarakat. Sehingga, diharapkan tulisan ini menjadi evaluasi

13|
bagi semua pihak, terkhusus bagi lembaga pemberi utang, MDBs
agar memastikan penggunaan syarat safeguards, termasuk syarat
konsultasi bermakna, konsultasi bebas korupsi, intimidasi,
ancaman kekerasaan, hak atas tanah, penyalagunaan “voluntary
land donation”, partisipasi masyrakat yang terdampak dari awal
proses perencanaan proyek, hak atas informasi, hak masyarakat
yang tidak punya sertifikat tanah, perhatian terhadap kaum per-
empuan, pendapatan dan hak perempuan, perhatian secara khu-
sus terhadap semua kaum rentan, syarat bahwa proyek ini tidak
akan menyebabkan penggusuran, syarat lingkungan hidup, ter-
masuk terhadap hutan bakau, pertambangan pasir, terkait
proyek dan dampak “reklamasi” dan syarat yang lain-lain, agar
senantiasa lebih seksama memperhatikan dampak sosial dan
lingkungan hidup.

II.1 Program KOTAKU


II.1.1 Protes Masyarakat terhadap Program KOTAKU Masih
Sangat Tinggi.
Pada prinsipnya, pemantauan dan advokasi terhadap program
NSUP (KOTAKU) telah dilakukan sejak tahun 2016. Pemakaian
istilah kumuh, adalah salah satu hal yang terus ditentang
masyarakat, baik dari NGO, maupun masyarakat lokal di Kota
Makassar. Hingga saat ini, masyarakat masih protes dengan
istilah kumuh yang digunakan pemerintah dalam program
ini, karena makna kumuh bagi masyarakat sangatlah nega-
tif. Selain itu, kata “kumuh” memberi pesan provokatif, yang
mana kumuh adalah sesuatu yang bersifat kotor, miskin, dan
tidak berpendidikan, sehingga masyarakat yang tinggal di tem-
pat-tempat kumuh selalu dituduh sebagai sampah sosial, biang
masalah, sehingga pantas untuk dihilangkan.
Warga dampingan WALHI Sulsel di Kelurahan Mariso, Lette,
Panambungan Kecamatan Mariso merupakan sejumlah komu-
nitas masyarakat yang tidak setuju dengan penamaan kumuh
bagi pemukiman masyarakat miskin. Demikian pula halnya

|14
warga Kelurahan Buloa dan Tallo, mereka tidak setuju dise-
but kumuh apalagi dicap kumuh. Masyarakat pun sadar bahwa
penamaan kumuh dalam program ini adalah cara bagi pemerin-
tah untuk mengusir penduduk miskin dari kota.
Protes warga terhadap label kumuh pada pemukiman warga
miskin di Kota Makassar ternyata tidak dihiraukan oleh pemerin-
tah. Buktinya, hingga saat ini, penggunaan istilah pemukiman ku-
muh masih tetap melekat, dan program Kota Tanpa Kumuh juga
masih terus dijalankan. Oleh karena itu, masih sangat perlu diper-
timbangan penggunaan istilah yang lebih humanis dengan tidak
mendiskreditkan kaum miskin di perkotaan.
Telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya bahwa pada saat
masyarakat RW V Kelurahan Tallo menentang program NSUP/
KOTAKU karena khawatir akan ada penggusuran, masyarakat
sering didatangi orang dan meminta mereka agar “bersedia
pindah” ke rusunawa. Namun usaha tersebut tidak pernah ber-
hasil. Selain itu, menurut warga Tallo, hampir setiap minggu war-
ga sering didatangi orang tak dikenal tersebut. Atas ancaman dan
usaha intimidasi seperti ini yang sering dialami masyarakat, war-
ga Kelurahan Tallo semakin khawatir dan merasa takut oleh para
pelaksana program NSUP/KOTAKU.
Kemudian, menurut masyarakat, pihak pemerintah dan pelak-
sana program KOTAKU juga tidak pernah melakukan konsul-
tasi dengan mereka. Masyarakat tidak pernah dijelaskan tentang
peranan Bank Dunia dalam program KOTAKU, masyarakat tidak
diberitahu hak-haknya, masyarakat tidak diberikan informasi ten-
tang syarat safeguards Bank Dunia, maupun AIIB.
Lanjut dari pada itu, lantaran sulit memaksa warga pindah ke
rusunawa, pihak kelurahan Tallo akhirnya mendatangi warga dan
meminta agar rumah mereka diputar, dimana pintu rumah
mereka harus menghadap ke sungai. Namun bagi masyarakat,
permintaan tersebut bukan solusi yang terbaik. Hingga kini,
masyarakat tidak menjalankan permintaan orang kelurahan

15|
tersebut.
Informasi lain yang kami peroleh adalah pada tanggal 8 Agus-
tus 2017, utusan Bank Dunia datang di Kota Makassar, mas-
yarakat tidak memahami apa maksud dan tujuan kedatangan
utusan Bank Dunia ke Makassar. Masyarakat RW V Kelurahan
Tallo pada prinsipnya bersedia berdiskusi dengan pihak Bank
Dunia, namun sayangnya mereka tidak ditemui oleh utusan
Bank Dunia, karena tidak diundang ketemu, tidak dikirim in-
formasi resmi tentang kedatangannya. Padahal masyarakat ingin
menyampaikan kekhawatiran mereka terkait potensi penggusu-
ran yang akan mereka hadapi. Hal ini semakin menunjukkan bah-
wa masyarakat selalu dijauhkan dari informasi penting program.
Menurut kami, ini sebuah pelanggaran dari safeguards Bank Dunia
maupun AIIB.
Program yang didanai Bank Dunia harus menerapkan per-
lindungan bagi masyarakat, terkhusus yang terdampak proyek.
Namun selama setahun lebih pemantauan yang dilakukan
WALHI Sulsel dan Koalisi, pemerintah kota dan Tim KOTAKU
tidak menjalankan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat
yang terkena dampak proyek. Ditambah lagi, informasi mengenai
implementasi proyek kepada masyarakat juga luput dari per-
hatian Tim KOTAKU maupun Pemerintah Kota Makassar.
Wajar bila masyarakat selalu dihantui ketakutan, terutama
bila tiba-tiba pihak pemerintah melakukan penggusuran ter-
hadap pemukiman warga, baik secara paksa maupun dengan
cara-cara kekerasan. Intinya, walaupun proyek belum berjalan,
akan tetapi kecemasan masyarakat telah nampak. Selain itu,
masyarakat terus menderita dengan beban intimidasi yang
sangat tinggi.

II.1.2 Ancaman Penggusuran Pemukiman Rakyat Miskin


Dalam Proyek KOTAKU Alami Peningkatan
Selain Kelurahan Tallo, salah satu kelurahan yang masuk dalam

|16
lokasi prioritas dalam program KOTAKU di Kota Makassar adalah
Kelurahan Buloa. Berdasarkan SK Walikota tersebut, RW 2, 4, dan
5 masuk dalam kategori pemukiman kumuh berat. Pemukiman
warga yang ada di lokasi itu rencananya akan ditata melalui pro-
gram KOTAKU. Selain mendapat predikat sebagai pemukiman ku-
muh, RW 2 Kelurahan Buloa juga berada di kawasan pembangu-
nan pelabuhan baru.
Secara geografis, RW 2 Kelurahan Buloa berada di kawasan pe-
sisir utara Kota Makassar. Lokasinya berada persis di belakang
hutan bakau yang mestinya dilindungi. Masyarakat telah men-
empati lokasi tersebut selama lebih dari 40 tahun. Selain itu,
terdapat 517 kepala keluarga (KK) yang bermukim di lokasi
tersebut. 70 persen warga yang bermukim di RW 2, berprofesi
sebagai nelayan, 30 persen lainnya berprofesi sebagai pekerja
informal. Lanjut daripada itu, masyarakat yang bermukim di
RW 2 Kelurahan Buloa, nyaris tidak memiliki sertifikat, mau-
pun surat-surat kepemilikan tanah yang sah.
Sama halnya dengan warga Kelurahan Tallo, warga RW 2 Kelura-
han Buloa juga menentang program KOTAKU. Warga menganggap
bahwa program penataan pemukiman kumuh merupakan cara

Gambar 1. RW 2 Kelurahan Buloa via satelit, Lokasi Program KO-


TAKU (Dok. WALHI Sulsel)

17|
pemerintah untuk meminggirkan orang miskin. KOTAKU juga
dinilai sebagai upaya pemerintah menghilangkan pemukiman
orang miskin, karena selama ini, pemukiman kumuh dianggap se-
bagai masalah di perkotaan.
Beberapa tahun lalu, tepatnya tahun 2012, pemerintah kota
Makassar telah meminta warga Kelurahan Buloa untuk pindah
dari RW 2. Menurut masyarakat, berbagai cara telah dilakukan
pemerintah untuk membuat masyarakat pindah dari pemukiman-
nya, salah satunya dengan tidak mengeluarkan sertifikat tanah ke-
pada masyarakat, sehingga masyarakat tidak memiliki dokumen
kepemilikan tanah, dengan begitu ada alasan bagi pemerintah
untuk menggusur mereka. Kedua, pemerintah kota sudah per-
nah mengerahkan satuan polisi pamong praja untuk mende-
sak masyarakat agar meninggalkan pemukiman mereka, kare-
na lokasi pemukiman masyarakat di RW 2 Kelurahan Buloa
akan dijadikan ruang publik. Namun bagi masyarakat, keinginan
pemerintah untuk menggusur masyarakat semata-mata untuk
pembangunan kawasan bisnis. Oleh arena upaya pemerintah ti-
dak berhasil mengusir masyarakat, maka pemerintah mendirikan
pagar yang mengelilingi pemukiman warga.
Warga Kelurahan Tallo dan Buloa, sebenarnya selalu memper-
hatikan model penataan pemukiman kumuh yang tengah ber-
jalan di Kecamatan Tallo. Menurut warga, selama ini, penataan
pemukiman kumuh selalu dianggap baik, karena pemukiman-
pemukiman yang ditata bukan daerah kumuh atau kawasan
pemukiman yang sudah baik, namun dicitrakan kumuh. Berbe-
da dengan yang dialami masyarakat di RW 2 Kelurahan Bu-
loa. Persoalan mendasar masyarakat adalah hak hidup dan
pemukiman, serta legalitas tanah. Selain itu, rasa aman juga ada-
lah hal yang paling utama, namun intimidasi dan ancaman peng-
gusuran yang sering mereka dapatkan.
Menurut warga Buloa, ketakutan masyarakat akan penggusuran
telah nampak saat terdengar kabar bahwa pemerintah ingin me-
mindahkan warga yang tinggal di pemukiman kumuh ke rusun.

|18
Menurut warga, seringkali orang kelurahan membujuk dan
memaksa masyarakat untuk pindah dari RW 2 Kelurahan Bu-
loa, bahkan sekarang masyrakat diberi informasi bahwa pe-
merintah siap memberi masyarakat uang 20-25 juta (US$ 1504
– US$ 1.880) bila masyarakat mau pindah dari lokasi. Namun
permintaan dari pihak kelurahan ditolak warga, karena warga
merasa telah lama tinggal di lokasi tersebut, dan telah menyatu
dengan laut sebagai sumber penghasilannya.
Selain itu, yang perlu diperhatikan secara serius adalah mata
pencahariaan utama maasyarakat di Kelurahan Buloa. Nelayan
tradisional adalah pekerjaan utama masyarakat Buloa, mereka
memperoleh uang dari hasil tangkap di laut. Pada lokasi ren-
cana proyek, terdapat dermaga kecil tempat masyarakat meny-
impan kapal dan hasil tangkapan mereka. Tak sedikit orang
dari luar Buloa datang ke dermaga itu untuk membeli ikan
langsung dengan nelayan. Sehingga sudah dapat dipastikan,
pemindahan masyarakat ke rumah susun akan menghilangkan
mata pencaharian masyarakat. Akan mempersulit masyarakat
untuk menangkap ikan. Selain itu, masyarakat meyakini bahwa
rumah susun bukan tempat yang ideal bagi nelayan. Kehidupan
nelayan seharusnya langsung berinteraksi dengan laut. Sehingga
100 persen masyarakat menolak pindah ke rumah susun.
Masyarakat berharap agar Bank Dunia mempertimbangkan
secara serius nasib nelayan saat ini.
Informasi yang lain yang ditemukan, masyarakat menduga bah-
wa penataan pemukiman kumuh di Buloa disebabkan adanya
rencana pembangunan pelabuhan baru yang lokasinya tidak
terlalu jauh dari pemukiman warga. Mereka pun mengaku
bahwa hingga saat ini, pihak pemerintah maupun Tim KO-
TAKU tidak pernah berani mendatangi masyarakat untuk
berdiskusi. Karena masyarakat sudah beranggapan bahwa
pada akhirnya, masyarakat akan dipaksa meninggalkan
tanahnya.

19|
Gambar 2. Pemukiman warga RW 2 Kelurahan Buloa, lokasi pro-
gram KOTAKU di Kota Makassar

Rencana penggusuran warga Buloa dimulai pada tahun 2012.


Walau bukan karena proyek KOTAKU, namun subtansinya sama,
yakni memindahkan warga miskin dari pemukiman mereka, juga
karena alasan yang sama, yakni karena pemukiman masyarakat
tidak memiliki alas hak, dan pemukiman masyarakat yang berada
di kawasan kumuh. Lalu, Hadirnya program penataan pemukiman
kumuh, yakni KOTAKU, dianggap bukan solusi tepat untuk meng-
hilangkan kesenjangan sosial, karena KOTAKU diangap sebagai
cara lain untuk menggusur masyarakat yang mayoritas berprofesi
sebagai nelayan.

II.1.3 Potensi Memiskinkan Perempuan Pada Proyek


NSUP/KOTAKU
Ancaman penggusuran telah membuat psikologi perem-
puan-perempuan di Kelurahan Tallo dan Buloa terganggu.
Mereka tidak menyangka bahwa rumah yang mereka tempati

|20
selama bertahun-tahun akan digusur oleh pemerintah. Yang
paling mereka fikir adalah dimana anak-anak mereka akan
tinggal bila mereka digusur. Dimana mereka harus mendapat-
kan uang untuk menyewa tanah, atau menyewa tempat tinggal
baru (rusun).
Berdasarkan pengakuan perempuan-perempuan di dua RW
(RW 2 Kelurahan Buloa dan RW 5 Kelurahan Tallo) selama
mereka tinggal di pemukiman tersebut, perempuan-perem-
puan di dua lokasi tersebut dapat memperoleh penghasilan.
Mereka biasanya mencari kerang di laut. Dari hasil mencari
kerang, perempuan Buloa-Tallo kemudian menjualnya di pasar,
sehingga perempuan-perempuan tersebut mampu memper-
oleh uang setiap hari minimal Rp 90.000,- atau US$ 6,7. Belum
lagi saat perempuan-perempuan turut menjual ikan hasil tang-
kapan nelayan. Mereka bisa mendapatkan penghasilan yang
relatif besar, yakni kisaran Rp 100.000,- – Rp 120.000,- atau
US$ 7,5 – US$ 9.
Tidak jauh dari lokasi pemukiman masyarakat, tidak sedikit
perempuan-perempuan mendirikan warung-warung kecil un-
tuk berjualan kue, lauk pauk, dan kopi. Kebanyakan pelanggan
mereka adalah buruh-buruh dan tukang becak (alat transporta-
si tradisional dari sepeda). Dari pengamatan yang kami lakukan,
banyak perempuan-perempuan Buloa dan Tallo bekerja di pele-
langan ikan, mereka bekerja disana karena lokasi pemukiman
mereka tidak jauh dari pelelangan ikan, dan pendapatan bekerja
di pelelangan ikan relatif baik. Di pelelangan ikan, perempuan-per-
empuan bekerja sebagai buruh angkut, dan tukang sortir ikan. Da-
lam sehari, biasanya mereka di beri Rp 75.000 – Rp 80.000 atau
US$ 5,6 – US$ 6.
Berangkat dari kondisi tersebut, wajar bila perempuan-perem-
puan di Kelurahan Tello dan Buloa menolak keras proyek peng-
gusuran berwajah penataan pemukiman kumuh. Sudah dapat
diprediksi bahwa proyek tersebut akan membuat perempuan-per-
empuan di kelurahan Tallo dan Buloa semakin miskin, karena

21|
pekerjaan mereka juga akan hilang. Pendapatan mereka juga akan
hilang. Kami pun menanyakan apakah mereka ingin pindah ke
rusun, mereka dengan tegas menjawab, tidak satupun masyarakat
di pemukiman ini yang mau pindah di rusun. Karena aktifitas
ekonomi mereka akan terganggu dan penghasilan mereka juga
akan berkurang, bahkan hilang. Mereka tidak bisa lagi mencari
kerang, karena lokasi mereka akan diubah menjadi area yang bu-
kan diperuntukkan untuk kegiatan ekonomi masyarakat miskin.
Akibatnya, anak-anak mereka akan putus sekolah, karena mereka
tidak punya pekerjaan untuk membayar biaya keperluan sekolah
anak-anak mereka.

Gambar 3. Perempuan di Kelurahan Tallo menolak digusur (dok.


WALHI Sulsel)

Berangkat dari kondisi ini, melalui tulisan ini, kami sampaikan


permohonan perempuan-perempuan Tallo dan Buloa, agar
proyek ini dibatalkan. Agar seluruh Direktur Eksekutif Bank
Dunia satu suara agar tidak mencairkan dana pinjaman untuk
proyek NSUP. Perempuan-perempuan di Kelurahan Buloa dan
Kelurahan Tallo saat ini hidup miskin, pendapatan mereka ha-
nya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bila
proyek ini jalan, maka bisa dipastikan bahwa kehidupan mereka
akan terganggu, anak-anak mereka akan berhenti sekolah.

|22
II.2 Pelanggaran Safeguards, Intimidasi dan Ancaman–
Penyalahgunaan “Voluntary Land Donation” Mulai Terjadi
di Program NSUP/KOTAKU
Berdasarkan investigasi WALHI Sulsel, warga Buloa yang telah
tergusur dari pemukiman (RW 2) telah berjumlah 23 kepala
keluarga. Mereka terpaksa meninggalkan tempat tinggal karena
tidak kuat menghadapi intimidasi dari preman, yang menurut
masyarakat merupakan suruhan pemerintah. Mereka dengan ter-
paksa mengambil uang pengganti sebanyak Rp 25.000.000,- (US$
1.880) dan pindah ke kawasan pergudangan di Kelurahan Tallo.
Kawasan pergudangan di Kecamatan Tallo terletak 4 kilometer
dari pemukiman masyarakat. Lokasi tersebut jauh dari pinggir
laut. Daerah pergudangan Tallo berada di dekat jalan tol Refor-
masi. Berdasarkan cerita warga, pasca tergusur dari RW 2 Kelu-
rahan Buloa, 23 KK yang memilih pindah, kini tinggal di gudang

Gambar 4. Warga menunjukan lokasi pemindahan paksa 23 KK dari


RW 2 Kelurahan Buloa.

23|
yang saat ini tengah dalam proses pembangunan. Mereka belum
berfikir untuk membangun rumah mereka kembali karena
mereka masih trauma dengan teror yang mereka terima. Selain
itu, masyarakat belum mendapatkan tempat untuk membangun
rumah. Dan uang ganti rugi sebesar Rp 25.000.000,- atau US$ 1880
ternyata tidak cukup untuk membeli bahan untuk membangun
kembali rumah mereka. Berangkat dari kondisi 23 KK inilah yang
membuat masyarakat ketakutan dan berencana melawan rencana
penataan pemukiman kumuh melaui proyek NSUP.
Tahun lalu (2016), sebelum Bank Dunia dan AIIB menyetujui
pemberian utang untuk NSUP, para NGOs telah memberi
peringatan terkait penyalahgunaan “Voluntary Land Dona-
tion” (Penyerahan Tanah secara Rela) sebagai cara untuk mem-
berlakukan penggusuran atas dasar ancaman dan tanpa me-
menuhi syarat Safeguards terhadap penggusuran. Dari analisa
Jaringan Pemantau Infrastruktur:
Penyerahan tanah sukarela atau pemukiman kembali secara
terpaksa. Dokumen Kategori B sekarang mengklaim bahwa
sebagian besar pemukiman kembali akan sukarela dan tidak
dipaksakan. Namun, mengingat ketidakamanan kepemilikan
lahan, meluasnya penggunaan angkatan bersenjata termasuk
militer, polisi dan preman bersenjata di daerah perkotaan yang
miskin di Indonesia, fakta bahwa mayoritas penduduk miskin
di Indonesia tidak memiliki sertifikat tanah yang membuktikan
kepemilikan, dan fakta yang lain menunjukkan bahwa masyarakat
yang dijadwalkan oleh program ini (yaitu Makassar) telah men-
dengar bahwa akan ada penggusuran paksa massal, ada kekhawa-
tiran yang luar biasa tentang pemukiman kembali “sukarela”.
The Environmental and Social Safeguards (ESF) untuk
proyek ini memberikan contoh mengerikan tentang proses
pembebasan lahan “sukarela” yang direncanakan. Lampi-
ran 17 (halaman 135) dari ESF berisi formulir “sumbangan
sukarela” yang akan ditandatangani oleh penduduk daerah
yang ditargetkan untuk proyek tersebut. Deskripsi proses

|24
“Voluntary Land Donation” menyatakan bahwa:
“Pendonor tanah tidak dicirikan sebagai orang miskin.
Pendonor tanah adalah pemilik sah dari tanah tersebut.
Pemilik lahan berhak menolak sumbangan tanah. Hak
penolakan ditentukan dalam dokumen donasi yang akan
ditandatangani oleh donor.”
Sudah jelas bahwa pernyataan/kewajiban ini telah dilanggar –
tidak boleh pakai “voluntary land donation” untuk orang miskin.
Orang yang memakai voluntary land donation itu harus pun-
ya sertifikat tanah. Sementara masyarakat yang dipindahkan
tidak memiliki sertifikat tanah. Masyarakat yang telah dipak-
sakan pindah jelas adalah “orang miskin” dan mereka sama
sekali tidak diberi hak keputusan. –malah, masyarakat diancam
melalui preman dan dipaksakan pindah. Dimana adalah analisa
tentang pendapatan mereka, termasuk pendapatan perem-
puan yang mesti dijadikan dasar. Sepertinya juga tidak ada
pendokumentasian dasar sebelum mereka digusur.
Dari informasi tersebut, kelihatan sekali bahwa ada banyak pe-
langgaran syarat Bank Dunia maupun AIIB, termasuk tentang
proses partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan,
kewajiban proses konsultasi bermakna, terutama bebas dari
ancaman dan intimidasi. Sampai sekarang para peminjam ga-
gal dalam due diligence (uji tuntas) dan pelanggaran ini men-
gancam kehidupan dan pendapatan masyarakat korban proyek
ini. Safeguards Bank Dunia dan AIIB perlu diimplementasikan
sepenuhnya agar dana tersebut tidak digunakan untuk meng-
hilangkan hak hidup masyarakat.

II.3 Penggunaan Country Safeguards Systems pada Pro-


gram NSUP
Bank Dunia sebenarnya telah memiliki sistem perlindungan
sosial yang relatif baik untuk melindungi hak-hak masyarakat
yang terkena dampak proyek, terutama pada aspek pembebasan

25|
lahan untuk ketersediaan lahan, kewajiban konsultasi dan hak
atas informasi. Namun, sangat disayangkan, pada kasus ini,
sepertinya Bank Dunia memakai sistem perlindungan Negara
atau Country Safeguards System (CSS), terlebih untuk semua
aspek penggusuran dan pembebasan lahan yang sangat ber-
tentangan dengan syarat Bank Dunia maupun AIIB. Hal de-
mikian berarti Bank Dunia melanggar syarat Country Systems
Safeguard sendiri yang mewajibkan bahwa, sebelum ambil
keputusan tentang kepatutan pemakaian Country Safeguards
System, Bank Dunia harus melakukan penilaian terhadap Coun-
try Safeguards System secara mendetail sesuai dengan OP 4.00
Bank Dunia, Tabel 1A. Pelanggaran syarat ini sama saja mem-
beri peluang terjadinya penggusuran warga negara dari rumah
dan tanah mereka oleh pemerintah (pusat dan daerah).

II.4 Potensi Korupsi dalam Proyek/Program KOTAKU


Masalah korupsi masih menjadi perbincangan yang hangat di
Indonesia. Saat ini, kasus korupsi banyak menghiasi pemberi-
taan di indonesia. Dan kali ini yang paling terbaru adalah peri-
hal operasi tangkap tangan Walikota Batu, Provinsi Jawa Timur
karena diduga terlibat kasus suap pelaksanaan proyek. Belum
lagi kasus korupsi lainnya yang hingga saat ini masih meng-
hantui supremasi hukum di Indonesia.
Demikian pula halnya dengan program KOTAKU. Sebelum-
nya, Program KOTAKU merupakan kelanjutan dari Program
PNPM Perkotaan. Kemudian dalam evaluasi PNPM Mandiri,
yang dilakukan oleh Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangu-
nan Sektoral Kementerian Perencanaan Pembangunan Na-
sional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappe-
nas), ditemukan dalam pelaksanaan proyek, terdapat 95,39%
(2.423) kasus merupakan penyalahgunaan dana dari 2.534
kasus untuk periode Bulan Oktober 2013 saja. Lalu, Badan Pe-
meriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga menemukan
3.570 kasus penyalahgunaan keuangan dari tahun 2007- 2012

|26
senilai US$ 4.778.593,8 atau sebesar Rp. 63.555.297.801
dan yang ditindaklanjuti sebanyak 2.173 kasus dengan nilai
kerugian Rp. 12.598.103.680 atau US$ 947.225,8. Sementa-
ra yang ditindak secara hukum sepanjang 2005-2013 ter-
catat hanya 128 kasus.
Dari data tersebut, jumlah kasus yang selesai secara hukum
masih sangat sedikit dibandingkan pelaporannya. Walaupun
Pemerintah Indonesia menjamin bahwa proyek ini didesain
dengan menjamin kebijakan antikorupsi, namun Bank Dunia
dan AIIB harus mendorong penyelesaian secara hukum,
dan mencegah korupsi sejak dari awal, mengingat pelaku
korupsi diantaranya dilakukan oleh fasilitator.
Pemerintah Kota Makassar ternyata tidak luput dari kasus
korupsi. Asisten I Pemerintah Kota Makassar, kini tersandung
kasus korupsi perjanjian sewa lahan negara senilai 500
juta/tahun. Lahan negara yang disewakan oleh pemerintah
kota tersebut, menurut penuturan warga, tidak jauh dari lo-
kasi program KOTAKU di RW 2 Kelurahan Buloa. Selain itu,
Walikota Makassar juga telah diperiksa oleh kejaksaan, lantaran
diduga terlibat dalam kasus tersebut. Maka kemungkinan besar
perbuatan korupsi ini bisa terjadi di lokasi proyek, terutama
ketika masyarakat telah digusur dari pemukiman mereka.
Dengan demikian, situasi dan penegakan hukum terkait ka-
sus korupsi yang terjadi di Kota Makassar dan pemakaian
unsur intimidasi dalam konteks KOTAKU/NSUP dapat men-
jadi pertimbangan khusus bagi Bank Dunia untuk tidak
cairkan pinjaman untuk program KOTAKU sebelum semua
masalah ini telah ditangani secara terbuka dan proses in-
timidasi dan ancaman dihentikan supaya ada harapan
bahwa safeguards Bank Dunia dan AIIB bisa dilaksanakan
dan masyarakat yang sudah miskin tidak dimiskankan dan
dikorbankan.

27|
II.5 Kesalahan Kategorisasi (Miscategorization) Proyek: Arah
Kebijakan Program KOTAKU Tidak Ramah Lingkungan,
dampaknya “Category A” tetapi hanya berstatus “Category B”.
Program KOTAKU pada perjalanannya disetujui pada saat up-
aya perubahan ketiga Safeguard Bank Dunia yang memiliki
kelemahan, diantaranya yaitu mempromosikan penggunaan
sistem perlindungan negara (Country Safeguard System). Da-
lam perubahan ketiga, peminjam tak lagi mutlak merujuk pada
mekanisme safeguard yang dimiliki oleh Bank Dunia. Semen-
tara organisasi masyarakat sipil masih menginginkan agar
proyek ini tunduk kepada Safeguard perubahan kedua Bank
Dunia. Karena, mereka memandang safeguard merupakan
pengakuan dari ketidakseimbangan kekuasaan dalam negara
yang berpotensi melanggar hak-hak masyarakat. Sehingga da-
lam setiap proses pembangunan dibutuhkan standar penilaian
lingkungan yang jelas yang membutuhkan keterbukaan informasi
publik, konsultasi bermakna dengan masyarakat yang terkena
dampak, pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat,
perlindungan cagar budaya, perlindungan hutan dan keane-
karagaman hayati, agar tujuan pembangunan tercapai.
Dampak lingkungan dan sosial dalam proyek KOTAKU yang
diklasifikasikan sebagai kategori B, menurut kami sangat ti-
dak tepat. Potensi kerusakan lingkungan dan dampak sosial
yang dialami masyarakat pada program ini sesungguhnya
berada pada level tinggi. Perbaikan infrastruktur utama dan
kedua, serta konstruksi yang akan menghubungkan infras-
truktur dengan infrastruktur tersier di kawasan tidak layak
huni akan memiliki dampak tingkat rendah yang tidak signifikan/
sensitif, non-permanen atau belum pernah terjadi sebelumnya
sampai dampak tingkat sedang. Namun, diakui bahwa proyek
ini memerlukan pembebasan lahan, khususnya untuk pem-
bangunan yang menghubungkan infrastruktur sekunder dan
primer yang ada, maka dari itu, metode penggusuran yang di-
gunakan pemerintah dapat melahirkan konflik dan masalah yang
besar sesuai dengan penilian Categori A. Walaupun menurut

|28
dokumen proyek di website Bank Dunia, proyek ini tidak akan
menimbulkan penggusuran. Namun faktanya, pemaksaan dan
tekanan telah dan sedang terjadi terhadap masyarakat supaya
pindah, proyek ini telah mulai proses penggusuran tanpa me-
menuhi syarat wajib dari Bank Dunia maupun AIIB tentang pe-
mindahan terpaksa.
Dan yang tidak kalah penting adalah soal perlindungan lingkun-
gan. Informasi terbaru yang kami peroleh dari dokumen per-
baikan penanganan pemukiman kumuh di Kota Makassar, ter-
kait penanganan pemukiman kumuh di kawasan pelabuhan
terpadu, yakni di Kecamatan Tallo (Kelurahan Buloa dan Tallo)
dilakukan dengan model sebagai berikut:
1. Mengembangkan perbaikan lingkungan pada kawasan
pemukiman “kumuh sedang dan ringan” (kawasan pesisir
pantai utara) secara terbatas melalui pengembangan se-
cara vertikal, yang dilengkapi sarana prasarana yang me-
madai.
2. Mengembangkan pemukiman masyarakat pada areal
reklamasi pantai utara.
3. Membatasi pemanfaatan dengan fungsi tertentu khususn-
ya pada kawasan pemugaran dan atau bangunan bersejar-
ah dalam kota.
Kalau diteliti dengan seksama, jelas bagaimana arah kebijakan
pemerintah Kota Makassar yang berorientasi pada pemban-
gunan rumah susun, artinya masyarakat akan dipindahkan se-
cara paksa maupun sukarela ke rencana pengembangan secara
vertikal. Dan yang paling ditentang saat ini adalah rencana
pengembangan pemukiman masyarakat di areal reklamasi.
Karena reklamasi merusak ekosistem esensial pesisir, baik di
lokasi penimbunan, maupun di lokasi penambangan pasir.

29|
Gambar 5. Proyek Reklamasi yang merusak lingkungan di Kota
Makassar (Dok. WALHI Sulsel)

Perlu juga menjadi catatan bahwa saat ini, ribuan nelayan Gale-
song, Takalar sedang melawan penambangan pasir laut untuk
bahan material timbunan proyek CPI (proyek reklamasi laut
untuk pembangunan kawasan bisnis yang dikerjakan pihak
swasta) dan pembangunan New Port.
Ditambah lagi, bila reklamasi ini menjadi metode yang
disetujui oleh Bank Dunia, maka hutan bakau yang masih
tersisa di Kelurahan Buloa akan ditebang, dan kerusakan
lingkungan pesisir akan semakin meluas. Sangat jelas bah-
wa dampak program Bank Dunia ini sangat serius terhadap
lingkungan dan masyrakat dan perlu dikategorisasi sebagai
proyek “Category A”.

|30
Gambar 6. Kebijakan penanganan kumuh di Kota Makassar.

II.6 Tidak Ada Konsultasi Bermakna (Partisipasi Semu)


dalam Proyek KOTAKU
Dalam syarat Safeguards Bank Dunia dan AIIB, dijelaskan bahwa
setiap proyek atau program pembangunan harusnya diawa-
li dengan konsultasi publik yang bermakna dan partisipasi
masyarakat dalam proses perencanaan dari titik awal. Kegia-
tan tersebut diselenggarakan untuk mendapatkan saran serta
masukan dari masyarakat agar publik dan masyarakat tidak ha-
nya mengetahui maksud dari pembangunan tersebut tetapi turut
berpartisipasi sepenuhnya dalam pembangunan dan ikut sebagai
pengambil keputusan terhadap proyek-proyek tersebut. Apalagi
bila menyangkut dampak terhadap kehidupan dan pendapatan
mereka.
Begitu juga dengan program KOTAKU. Program penataan
pemukiman kumuh yang dirancang oleh pemerintah pusat dan
dijalankan oleh pemerintah daerah/kota juga perlu meminta

31|
masukan serta pendapat masyarakat, sebagai bentuk parti-
sipasi masyarakat. Sehingga program tersebut bernilai guna
bagi masyarakat. Apalagi pembiayaan program penataan
pemukiman “kumuh” tersebut menggunakan dana pinjaman
atau utang.
Sementara faktanya, sejak pemantauan terhadap implemen-
tasi program NSUP/KOTAKU dilakukan sejak tahun 2016, be-
lum pernah kami mendengar bahwa pemerintah ataupun Tim
KOTAKU menggelar pertemuan dengan CSO untuk membahas
rencana penataan pemukiman kumuh di Kota Makassar. Kami
mengetahui bahwa Tim KOTAKU dan pemerintah Kota Makas-
sar pernah melakukan kegiatan lokakarya, dan kegiatan-ke-
giatan sosialisasi, namun Tim KOTAKU tidak pernah sekalipun
mengundang CSO untuk membicarakan atau meminta tangga-
pan mereka terkait program KOTAKU di Makassar. Justru ter-
balik, CSO yang angkat keprihatinan terhadap NSUP/KOTAKU.
Parahnya, ketika masyarakat hendak meminta informasi atas
proyek ini, mereka malah diancam, diintimidasi dan bahkan
ada yang diancam akan dibunuh kalau selalu mengkritik ten-
tang NSUP.

Gambar 7. Kegiatan BAPPEDA Kota Makassar tentang lokakarya pro-


gram KOTAKU (Foto: seputarsulawesi.com)

|32
Selain itu, masyarakat yang terkena dampak program juga ti-
dak pernah dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan penting,
seperti lokakarya penanganan kawasan kumuh Kota Makassar,
peningkatan kapasitas dan lain-lain. Hal inilah yang membuat
masyarakat menganggap program KOTAKU adalah program
tertutup, sehingga membuat masyarakat semakin yakin bah-
wa program ini memiliki maksud yang buruk, masyarakat be-
ranggapan bahwa program ini adalah proyek menggusur mas-
yarakat dari Kota Makassar.
Berangkat dari fakta di atas, maka sangat jelas bahwa tidak ada
partisipasi masyarakat dalam program KOTAKU. Kalaupun ada
beberapa peserta yang hadir, peserta tersebut bukan represen-
tasi CSO yang selalu meminta informasi dan mengkritik pro-
gram ini, maupun masyarakat yang terkena dampak langsung
dari program.

33|
BAB III
Kesimpulan dan Penutup

III.1 Tinjau Ulang Pembiayaan Program KOTAKU di


Indonesia

Analisis mengenai potensi dampak program KOTAKU telah


kami lakukan di dua kelurahan. Pertama di Kelurahan Tallo
dan yang kedua di Kelurahan Buloa. Dari kedua lokasi terse-
but, persoalan masyarakat tidak berbeda jauh. Ancaman ke-
hilangan rumah dan mata pencaharian menjadi masalah yang
paling urgen. Selain itu, ada persoalan skema pemukiman
kembali dan pemindahan paksa yang ditolak oleh masyarakat.
Sayangnya, pihak pemerintah tidak menyediakan ruang bagi
masyarakat untuk menyampaikan masukkan, kekhawatiran,
maupun protes dan penolakan terkait rencana penggusuran
tersebut, dan sepertinya Bank Dunia maupun AIIB tidak me-
mantau prosesnya untuk meyakinkan bahwa Safeguards Bank
Dunia tidak terus dilanggar.
Kedua, mengenai arah kebijakan pemerintah terkait penanganan
pemukiman kumuh yang tidak ramah lingkungan. Saat ini sejum-
lah masyarakat dari berbagai NGO di Kota Makassar tengah
mengkritisi dan menentang kegiatan reklamasi atau penimbu-
nan laut. Alasannya karena penimbunan laut berkontribusi
terhadap kerusakan ekosistem laut di lokasi penimbunan,
serta kerusakan laut di lokasi penambangan pasir laut. Fataln-
ya, arah kebijakan KOTAKU dalam mengembangkan pemukiman
baru di area pesisir dilakukan dengan menimbun laut atau rekla-
masi. Artinya kebijakan tersebut akan mendapat penolakan dari
masyarakat luas, serta yang paling penting adalah kebijakan terse-
but akan merusak lingkungan terutama di laut, yang tentu saja
memberi dampak buruk bagi kehidupan nelayan.

|34
Ketiga, terkait kasus korupsi. Penanganan pemukiman kumuh di
Indonesia berpotensi dikorupsi oleh pejabat pemerintah. Salah
satu contohnya kasus korupsi yang tengah terjadi Kota Makassar.
Salah seorang pejabat tinggi pemerintah kota Makassar tengah
berproses hukum karena tersandung korupsi penyewaan lahan.
Maka dari itu, kemungkinan besar, lahan-lahan yang diperoleh
pemerintah dari pemindahan paksa akan dikorupsi oleh peja-
bat pemerintah.
Keempat, konsultasi bermakna. Masyarakat di Kelurahan Tallo
dan Kelurahan Buloa adalah bukti tidak partisipatifnya program
KOTAKU. Selama 2017, masyarakat ingin menyampaikan masuk-
kan, protes serta penolakan terhadap program KOTAKU, namun
pemerintah tidak pernah melibatkan mereka dalam kegiatan-ke-
giatan yang diselenggarakan oleh Tim KOTAKU.
Selain itu, CSO juga tidak diberi ruang untuk menyampaikan
masukan serta pendapatnya terkait program KOTAKU, baik
yang telah berjalan maupun yang akan berjalan. Pemerintah

Gambar 8. Peserta lokakarya program KOTAKU yang bukan dari un-


sur NGO dan Masyarakat.

35|
dan Tim KOTAKU bekerja sendiri merencanakan program KO-
TAKU tanpa mendengar pendapat CSO dan Masyarakat.

III.2 Penutup
Laporan pemantauan ini adalah bentuk partisipasi masyarakat
terhadap kegiatan pembangunan infrastruktur di perkotaan.
Tulisan dalam laporan ini juga menjadi ruang masyarakat da-
lam menyampaikan pendapat dan pandangan terhadap pro-
gram KOTAKU yang tengah berjalan di Kota Makassar. Dengan
demikian, tulisan ini diharap dapat menjadi pertimbangan
khusus bagi Bank Dunia – AIIB sebelum mencairkan pinjaman
pembiayaan pada program KOTAKU di Indonesia.
Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Infrastruktur yang di da-
lamnya termasuk WALHI Sulsel dan ELSAM, membuat anlisis
ini dari sejumlah dokumen terbaru yang dikeluarkan pemerin-
tah Kota Makassar, seperti dokumen Slum Improvement Action
Plan (SIAP) Kota Makassar tahun 2017. Selain itu, kami juga
menghimpun informasi dari masyarakat lokal yang tinggal di
lokasi program. Dengan demikian, kami menjamin validitas
sumber tulisan ini, dengan maksud agar program KOTAKU ti-
dak menghilangkan hak hidup atau memiskinkan masyarakat
yang sudah miskin. Walaupun sebagian bahan dan sumber
analsis ini diperoleh di Kota Makakssar, namun kami meya-
kini bahwa laporan ini merepresentasikan masalah penataan
pemukiman “kumuh” di Indonesia.
Terakhir, Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Infrastrukut yang
merupakan gabungan dari NGO nasional dan daerah tetap ber-
harap agar pemberian utang untuk pembiayaan pengembangan
infrastruktur di perkotaan melalui program KOTAKU dapat ditin-
jau ulang, sampai pemerintah benar-benar mengimplementasikan
perlindungan lingkungan dan masyarakat sesuai dengan syarat
Safeguards Bank Dunia.

|36
III.3 Tuntutan Kepada Bank Dunia
Kepada Bank Dunia, kami menuntut:
1. Dengan adanya ESMF yang cacat dan banyaknya pe-
langgaran WB yang terus terjadi, maka proyek ini harus
ditinjau sepenuhnya oleh Bank Dunia dan AIIB, sebelum
pelaksanaan atau penyaluran dana lebih lanjut. Uji tuntas
lingkungan dan sosial yang substansial juga diperlukan;
2. Melakukan sensus baseline yang membedakan gender,
terkhusus perempuan yang berpotensi terkena dampak
proyek. Analisis berdasarkan gender dan pendekatan peka
gender harus dilakukan untuk memastikan partisipasi dan
pengakuan penuh atas hak, termasuk hak atas tanah perem-
puan harus digunakan. Jika tidak, proyek ini kemungkinan
akan menyebabkan pemiskinan perempuan secara sub-
stansial di lebih dari 150 kota;
3. AIIB telah mendanai proyek ini dengan kesepakatan bahwa
proyek tersebut harus mematuhi safeguard Bank Dunia. AIIB
harus melakukan due diligence sendiri untuk memastikan
bahwa pelanggaran Safeguards Bank Dunia saat ini diko-
reksi dan proyek tersebut sesuai dengan persyaratan Safe-
guard Bank Dunia dan memenuhi persyaratan ESF AIIB;
4. Mengingat dampak proyek yang berpotensi signifikan ter-
hadap masyarakat lokal dan lingkungan, proyek ini harus
dikembalikan ke status Kategori A yang asli;
5. Penilaian dampak Lingkungan dan Sosial (termasuk ESMF)
perlu ditulis ulang (termasuk penilaian/proposal untuk
menghindari dampak lingkungan dan sosial, termasuk
dampak pada penduduk asli/masyarakat adat, perempuan
dan populasi rentan);
6. Penilaian dampak yang dikoreksi dan dokumen terkait
lainnya harus mendapat konsultasi publik yang berarti,
termasuk untuk mencegah peningkatan xenofobia, terma-

37|
suk di masing-masing dari 20 kota yang direncanakan un-
tuk tahun pertama pelaksanaan, sebelum keputusan untuk
melaksanakan proyek ini;
7. Jika pelaksanaannya dilakukan, harus dipastikan bahwa
masyarakat yang terkena dampak berpartisipasi dan me-
nentukan proses “perbaikan” wilayah mereka, alih-alih
melanjutkan pola konsultasi palsu yang melanggar pers-
yaratan Safeguard Bank Dunia dan AIIB. Sudah dipastikan
bahwa proyek harus menggunakan Safeguards Bank Dunia,
termasuk Safeguard Sistem Negara, dan bukan ESF baru
Bank Dunia;
8. Dengan adanya ketergantungan pada “sistem perlindungan
negara” untuk proyek ini, yang menyebabkan penyalahgunaan
skema “voluntary land donation”, Bank Dunia harus memberi
komentar publik atas penilaian system perlindungan Negara
secara rinci, yang menunjukkan kesetaraan atau kekurangan-
nya antara Indonesia “system perlindungan negara” dan
persyaratan Safeguard Bank Dunia;
9. Bank Dunia dan AIIB harus bertanggung jawab untuk me-
mantau semua aspek peruntukan lahan dalam proyek ini,
termasuk yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
10. Kami mencatat bahwa, seperti yang dilaporkan ke Bank
Dunia sejak tahun 2016, organisasi masyarakat sipil yang
telah menyuarakan keprihatinan tentang proyek NSUP dan
keterlibatan Bank Dunia dan AIIB mulai mengalami teror dan
intimidasi, termasuk ancaman pembunuhan dan ancaman
langsung lainnya. Selain itu, komunitas rentan dan miskin
yang berada dalam proyek ini mulai menerima ancaman
dan upaya intimidasi dari orang-orang bersenjata yang
memaksa mereka untuk meninggalkan tanah dan rumah
mereka. Oleh karena itu, Bank Dunia dan AIIB harus mengi-
rimkan pesan yang jelas kepada publik dan pemerintah Indo-
nesia bahwa ancaman dan intimidasi terhadap mereka yang

|38
mengemukakan kekhawatiran tentang proyek tersebut ha-
rus segera dihentikan. Karena diam dalam hal ini tidak dapat
diterima dan menyiratkan keterlibatan;
11. Penilaian risiko harus dilakukan secara tuntas untuk me-
nilai Security Force Risk, khususnya risiko kekerasan dari
pihak bersenjata termasuk militer (TNI), Polisi, Satpol PP
dan preman bersenjata yang terkait dengan proyek terse-
but. Intervensi pihak-pihak tersebut telah terjadi. Ini ada-
lah persyaratan AIIB;
12. Harus ada larangan mengikat secara hukum yang
mengikat pada penggunaan pasukan keamanan bersen-
jata dan ancaman dan kekerasan terhadap masyarakat
karena ancaman atau kekerasan yang dilakukan terhadap
masyarakat atau organisasi masyarakat sipil akan menga-
kibatkan pembatalan proyek. Hal ini sangat penting meng-
ingat ancaman yang dibuat terhadap masyarakat sipil dan
masyarakat yang terkena dampak sampai saat ini masih
terus terjadi.
13. Informasi lengkap harus diberikan kepada semua orang
yang terkena dampak proyek mengenai asal usul dana
(WB/AIIB), serta informasi mengenai hak penolakan untuk
melakukan pemberian tanah secara sukarela sebagaimana
tercantum dalam dokumen proyek. Dan hak akses terha-
dap mekanisme akuntabilitas Bank Dunia dan AIIB;
14. Bank Dunia dan AIIB harus berkomitmen untuk mensyarat-
kan penyelesaian hukum dan tindak pidana untuk korupsi
yang terkait dengan penyalahgunaan dana proyek.

39|

Anda mungkin juga menyukai