Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara Oleh Kelompok 13 1. Wahdatunnisa_B011211104 2. Waldi Wardana_B011211171 3. Ade Fitri_B011211194 4. Fauzan Assidiq_11112200211 Pasal-Pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945 1. Pasal 4 Ayat (2) Penguasaan Mineral dan Batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. dan Ayat (3) Penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan. Menyebabkan menjauhnya akses partisipasi dan layanan publik terkait pertambangan akibat penarikan kewenangan pertambangan pemerintah daerah ke pusat. Masyarakat kesulitan mengadukan perusahaan tambang yang merusak wilayah mereka karena harus mengadu ke pemerintah pusat. Ini mengkhianati agenda reformasi karena salah satu hal penting yang dihasilkan reformasi yakni mendekatkan warga dengan pemerintah melalui pemerintah daerah. Ketika kewenangan daerah ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat, ini merupakan kemunduran karena mengabaikan prinsip otonomi daerah. Akibatnya nasib masyarakat di sekitar industri ekstraktif pertambangan yang dikorbankan. Seperti yang terjadi di Trenggalek dimana, bupati sudah mengirimkan surat untuk mencabut pertambangan emas, lalu Wakil Gubernur Jawa Timur mendukung surat tersebut. Jadi dua pejabat daerah sudah berkirim surat untuk pencabutan izin, tapi pemerintah pusat tidak membatalkan izin yang dikeluarkan. 2. Pasal 162 Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Maraknya ketidakadilan dan kriminalisasi yang banyak dilakukan oleh perusahaan dan aparat terhadap masyarakat daerah tambang. Melalui UU Minerba yang baru ini masyarakat daerah selain akan dihabisi kekayaan alamnya oleh segelintir konglomerat tambang, mereka yang mencoba menolak daerahnya untuk dieksploitasi akan terkena pidana. 3. Pasal 169 a. Kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara. Jaminan perpanjangan otomatis bagi KK dan PKP2B dimana dengan dalih meningkatkan penerimaan negara, pemerintah malah memberi jaminan perpanjangan kontrak berupa KK dan PKP2B sebanyak 2 kali 10 tahun. Padahal, untuk memaksimalkan ruh “penguasaan oleh negara” kontrak/perjanjian yang sudah habis masanya sebaiknya kembali ke penguasaan negara dalam status WPN yang kemudian diterbitkan IUPK, tanpa memperpanjang pemegang KK atau PKP2B generasi pertama. 4. Pasal 69 b. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan Pertambangan, termasuk kegiatan Reklamasi dan/atau Pascatambang; Perusahaan tambang masih bisa beroperasi meskipun terbukti merusak lingkungan dari segi tanggung jawab perbaikan lahan bekas tambang. Aturan perbaikan lahan bekas tambang terdiri dari dua kegiatan yang terpisah, yakni reklamasi dan kegiatan pascatambang. Reklamasi yaitu aktivitas untuk memulihkan ekosistem supaya bisa berfungsi kembali seperti sedia kala. Sedangkan Kegiatan Pascatambang yakni aktivitas perbaikan lahan bekas tambang untuk memulihkan kembali fungsi lingkungan, dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. Perusahaan tambang wajib melakukan semua kegiatan Reklamasi dan Kegiatan Pascatambang sekaligus menyetor dana jaminan Reklamasi dan Pascatambang. Bukannya mempertegas aturan Reklamasi dan Kegiatan Pascatambang, alih-alih mempidanakan perusahaan yang tidak memperbaiki lahan bekas tambang, pemerintah justru membuat aturan baru yang membebaskan kewajiban pengusaha tambang perusak lingkungan dengan jalan merubah isi undang-undang. kewajiban perusahaan dalam perbaikan lahan bekas tambang sekarang ini cukup mengerjakan salah satu kewajiban perbaikan saja. Perusahaan tambang bisa bebas memilih antara Kegiatan Reklamasi atau Kegiatan Pascatambang. 5. Pasal 128 a. (1) menyatakan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada tahap kegiatan operasional produksi yang melakukan pertambangan dan/atau pemanfaatan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2) dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) mengatur royalti perusahaan batu bara bisa nol persen alias gratis. Pemerintah secara gamblang memberi lampu hijau bagi pelaku kegiatan eksploitasi sumber daya alam tak terbarukan di bumi Indonesia dengan bebas biaya. Padahal selama ini royalti yang ditentukan oleh pemerintah pada pengusaha tambang merupakan bagian pendapatan negara dan masuk sebagai pendapatan daerah melalui mekanisme Dana Bagi Hasil.