Anda di halaman 1dari 15

VII.

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG PERTAMBANGAN

SISTEM PERIZINAN (License)

Sebelum terbitnya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU
No. 11 Tahun 1967 telah memperkenalkan konsep kuasa pertambangan (KP) dan berstatus
dalam bentuk hak penambangan (mining right), Pada pasal 2 huruf i , KP diartikan sebagai
wewenang yang diberikan kepada badan/ perseorangan untuk melaksanakan usaha
pertambanagan. Dengan demikian, KP dapat diartikan sebagai kuasa pengusahan
pertambangan yang diberikan oleh negara yang dilaksanakan oleh pemerintah kepada instansi
pemerintah, perusahaan negara, badan usaha swasta ataupun perseorangan yang bergerak
dalam bidang pertambangan. KP adalah izin untuk melakukan usaha pertambanagan diarea
yang sudah ditentukan. Apabila dibandingkan dengan system konsensi, KP dapat dikatakan
mirip dengan konsensi, yaitu adanya pemberian izin usaha pertambangan terhadap pemilik
KP. Namun, kekuasaan KP dibatasi hanya untuk mealkukan usaha pertambangan dan tidak
memberikan kepemilikan hasilkepada pemegangnya. Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa
pemegang KP harusnya melakukan usaha pertambanagan dan mendapat upah sesuai dengan
pekerjaan melalui system kontrak oleh pemerintah.
Berdasarkan PP No. 32 Tahun 1969, pemegan KP harus membayar royalty atau iuran
eksploitasi kepaa pemerintah sesuai dengan jumlah bahan galian yang ditambang. Kuasa
pertambangan (KP) menjadi dasar dilakukannya suatu kontrak perjanjian, baik KK maupun
PKP2B yang bersifat quasi perdata atau perjanjian di luar KUA perdata. Menurut UU No. 11
1967, instansi pemerintah diwakili oleh menteri pertambangan dan energi (saat ini dikenal
sebagai menteri ESDM) dalam peningkatan kontrak perjanjian karya. Peruhaan negara,
perusahaan daerah, koperasi, dan badan hukum lain, atau perseorangan untuk melakukan
usaha pertambangan dengan bahan galian golongan A dan B (pasal 15), seperti eksplorasi dan
eksploitasi. Selain itu, ada juga surat keputusan penugasan tambang (KP Penugasan) yang
diberikan oleh menteri kepada instansi pemerintah dalam rangka melakukan penelitian bahan
galian (pasal 6 jo pasal 2 PP No. 32 Tahun 1969), dan surat keputusan izin pertambangan
rakyat untuk bahan galian A,B dan C dalam kapasitas kecil dan sederhana (pasal 11 jo Pasal 5
PP No. 32 Tahun 1969), ser ta surat izin pertambangan daerah kepada perusahaan/ badan
hukum dan perseorangan untuk kegiatan bahan galian C ( PP No. 37 Tahun 1986). KP bersifat
izin public yang ditetapkan oleh pejabat berwenang bukan oleh pejabat yang berhak.
Sejak otonomi daerah, Keputusan Menteri dan Energi Sumber Daya Mineral No. 1453.K-
/29/MEM/2000 diatur dalam pemrosesan KP tidak lakukan oleh Direktur Jendral
Pertambangan Umum No. 450/291/DJP/1996 tanggal 29 februari 1996, diatur bahwa
perseorangan, badan CV, dan firma tidak lagi berhak sebagai pemegang KP. Pihak yang
berhak menerima KP adalah instansi pemerintah yang ditunjuk oleh menter, perusahaan
negara, perusahaan daerah, perusahaan patungan antara pusat dan daerah, koperasi dan badan
swasta yng memenuhi peraturan perundang- undangan. Kepemilikan KP juga diatur
pemerintah dapat dipindah tangankan ke antr badan hukum sesuai dengan pasal 15 ayat 4 UU
No. 11 Tahun 1967 dan pasal 23 dan 24 PP No. 32 thun 1969. Pasal 22 UU No. 11 Tahun
1967 juga menyebutkan bahwa KP dapat dibatalkan melalui dengan keputusan menteri jika
pemegang KP tidak memenuhi syarat- syarat yang telah ditetapkan atau pemegang KP ingkar
terhadap pemerintah dan petunjuk yang diberikan oleh pihak yang berwajib untuk
kepentingan negara.
Sifat pemberian dan pembatalan oleh pemerintah ini menunjukan kedekatan konsep KP
dengan system perizinan yang berlaku pada era undang- undang pertambangan selanjutnya.
PP No. 75 tahun 2001 mengatur dengan tegas hak pemegang KP dalam pasal 23, pasal 26,
dan pasal 27, serta dalam kewajiban pasal 26, pasal 27, pasal 32, pasal 36. Hak dan kewajiban
yang dipegang oleh tiap- tiap pemilik KP berbeda satu dan yang lainnya, bergantung dalam
bentuk KP yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Sebagai contoh adalah hak dan kewajiban pemegang KP eksploitasi. Hak pemegang KP
eksploitasi diatur dalam Pasal 27 ayat 2 untuk melakukan segala usaha menghasilkan bahan
galian yang disebutkan dalam KP-nya dan memiliki seluruh bahan galian yang telah
ditambangnya sesuai dengan KP eksploitasi apabila telah memenuhi ketentuan-ketentuan
pembayaran iuran tetap dan iuran eksploitasi. Kewajiban pemegang KP ini diatur dalam Pasal
27 ayat 1 dan Pasal 35, yaitu untuk membayar iuran tetap dan iuran eksploitasi, melaporkan
rencana usaha penggalian serta target produksinya dan menyampaikan laporan triwulan dan
tahunan mengenai perkembangan kegiatan kepada pejabat yang sesuai dengan
kewenangannya.
Dalam keberadaannya, sebuah KP dapat dibatalkan oleh pejabat berwenang sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam perundang-undangan setelah melakukan somasi kepada
pemegang KP dalam jangka waktu 90 hari. Suatu KP diberikan pada jangka waktu tertentu
yang diatur sesuai bentuknya pada Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12. Suatu KP
diberikan untuk eksplorasi selama paling lama 3 tahun dan dapat diperpanjang hingga dua kali
masing-masing satu tahun (Pasal 9), sedangkan KP eksploitasi dapat diberikan hingga total 50
tahun (Pasal 10).
Prof. Bagir Manan melalui makalahnya tentang ketentuan-ketentuan mengenai pengaturan penyelenggaraan hak
kemerdekaan berkumpul ditinjau dari perspektif UUD 1945, menjelaskan terminologi izin yang diartikan sebagai
"persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang memperbolehkan melakukan tindakan atau
perbuatan tertentu yang secaraumum dilarang."
Definisi tersebut mirip dengan terminologi izin yang disampaikan oleh E. Utrecht dalam buku
Pengantar Ilmu Hukum Indonesia (1957) yang berisikan, "pembuat peraturan umumnya
melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara
yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret:'
Selain itu, Ketentuan No. 19, Pasal 1 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan juga telah memberikan suatu definisi izin sebagai bentuk-bentuk keputusan tata
usaha negara, "Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan
atas permohonan warga masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan"

Sistem perizinan (mining license) telah dipertegas sejak diberlakukannya UU No. 4 Tahun
2009. Kententuan nomor 7, Pasal 1 menyebutkan bahwa Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah
izin untuk melakukan usaha pertambangan. Dalam UU ini, sistem perizinan dikeluarkan dalam
bentuk IUP yang dibedakan berdasarkan kelas bahan galian dan lokasinya. Berbeda dengan
Kepernilikan KP yang hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia,sedangkan sistem
IUP dapat diberikan kepada warga negara Indonesia dan :enailik modal asing yang memiliki
perusahaan Indonesia. UU No 4 tahun 2009 mengatur tata mekanisme pertambangan mineral
dan batubara, termasuk dalamnya pengaturan tentang aturan peralihan dari KK dan PKP2B.
Dalam pelaksanaannya, UU ini didukung beberapa instrumen hukum lain tuk tiap ketentuan-
ketentuan terkait usaha pertambangan, seperti wilayah pertambangan, afiliasinya, penetapan
harga, dan lainnya sebagai berikut:
1. Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan;
2. PP No. 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara yang diubah melalui PP No. 24 Tahun 2012 dan PP No. 77 Tahun 2014;
3. PP No.78 Tahun tentang Reklamasi dan Pascatambang;
4. PP No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara;
5. Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (Permen ESDM) No.28 Tahun 2009
tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara yang diubah
melalui Permen ESDM No. 24 Tahun 2012;
6. Permen ESDM No. 34 Tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan
Mineral dan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri;
7. Permen ESDM No. 17 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan
Penjualan Mineral dan Batubara;
8. Permen ESDM No. 28 Tahun 2013 tentang Tata Cara Lelang Wilayah Izin Usaha
Pertambangan dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus pada Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral Logam dan Batubara;
9. Permen ESDM No. 32 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pemberian Izin Khusus di
127
Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diubah melalui Permen
ESDM No. 32 Tahun 2015;
10. Permen ESDM No. 27 Tahun 2013 tentang Tata Cara dan Penetapan Harga Divestasi
Sabana; serta Perubahan Penanaman Modal di Bidang Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara;
11.Permen ESDM No. 37 Tahun 2013 tentang Kriteria Teknis Kawasan Peruntukan
Pertambangan;
12. Permen ESDM No. 7 Tahun 2012 yang diubah beberapa kali melaia Permen No.1
Tahun 2014 lalu Permen No. 8 Tahun 2015 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral
Melalui Kegiatan Pengolahan dam Pemurnian Mineral di Dalam Negeri;
13. Permen ESDM No. 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamad dan Pascatambang
pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dal Batubara;
14. Permen ESDM No. 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara dan Persyaram Pemberian
Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral Ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan
Pemurnian;
15. Permen ESDM No. 10 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penyediaan dan Penetapan Harga
Batubara untuk Pembangkitan Listrik Mulls Tambang;
16. Edaran Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) 32.E/35/DJB/2009
terkait besaran perhitungan royalti dan iuran tetap
17. Edaran Dirjen Mineraba No. 5055/30/DJB/2010 terkait dente domestic mining
obligation (DM0);
18. Peraturan Dirjen Minerba No. 376.K/30IDJB/2010 tentang tata
Cara dan Persyaratan Permohonan Persetujuan Keikutsertaan Perusahaan dan/atau
Afiliasi Dalam Usaha Jasa Pertambangan;
19. Peraturan Dirjen Minerba No. 999.K/30/IDJB/2011 tentang B Penyesuaian Harga
Patokan Batubara;
20. Peraturan Dirjen Minerba No. 515.K/32/DJB/2100 tentang Fo Penetapan Harga
Patokan Batubara;
21. Peraturan Dirjen Minerba No. 1348.K/30/DJB/2011 tentang Penen Harga Batubara
untuk Pembangkit Listrik Mulut Tambang;
22. Peraturan Dirjen Minerba No. 574.K/30/DJB/2012 tentang Keten Tata Cara dan
Persyaratan Rekomendasi Ekspor Produk Pertamban
23. Peraturan Dirjen Minerba No. 644.K/30/DJB/2013 tentang B' Penyesuaian Harga
Patokan Batubara;
24. Peraturan Dirjen Minerba No. 216.K/30/DJB/2014 tentang Tata Permohonan
Pertimbangan Teknis Pinjam Pakai Kawasan H untuk Kegiatan Pertambangan Mineral
dan Batubara;
25. Peraturan Dirjen Minerba No. 80.K/30/DJB/2014 tentang Tata Penetapan Harga
Patokan Batubara Jenis Tertentu dan Batubara untuk Keperluan Tertentu;
26. Peraturan Dirjen Minerba No. 714.K/30/DJB/2014 tentang Tata Cara dan Persyaratan
Pemberian Rekomendasi Eksportir Terdaftar Batubara;
27. Peraturan Dirjen Minerba No.630.K/32/DJB/2015 tentang Formula untuk Penetapan
Harga Patokan Mineral Logam; dan
28. Keputusan Dirjen Minerba No. 579.K/32/DJB/2015 tentang Biaya Produksi untuk
Penentuan Harga Dasar Batubara.

Sistem perizinan yang baru diatur pemerintah dalam UU No. 4 Tahun 2009 diklasifikasikan
menjadi tiga tipe (Pasal 35), yaitu IUP (Izin Usaha Pertambangan), IUPK (izin usaha
pertambangan khusus), dan IPR (izin usaha ibangan rakyat). IUP dikeluarkan untuk melakukan
usaha pertambangan wilayah pertambangan yang ditetapkan. IUPK diterbitkan untuk melakukan
asaha pertambangan di wilayah pertambangan nasional tertentu, seperti hutan, sedangkan IPR
diterbitkan untuk mengusahakan pertambangan di daerah pertambangan rakyat dengan luasan dan
investasi terbatas yang tidak didanai oleh pemodal asing.

Pasal 38 menyatakan bahwa IUP dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, perseorangan.
Badan usaha yang dimaksud dapat dimiliki sepenuhnya oleh negara Indonesia melalui perseroan
terbatas (PT) dengan mekanisme ataupun melalui kepemilikan perusahaan Indonesia oleh modal
melalui PMA yang nantinya harus melakukan divestasi kepemilikan. aan yang telah melakukan IPO
(initial public offering) di Bursa Efek dapat memperoleh satu atau lebih IUP sesuai dengan Pasal 9
ayat 3 PP 24 Tahun 2012.

Ada dua macam IUP yang dapat diberikan berdasarkan tahap usaha pertambangannya, yaitu
IUP Eksplorasi dan IUP Operasi/Produksi (IUP-OP), termasuk didalamnya IUP-OP khusus
untuk transportasi dan penjualan, serta IUP-OP khusus pengolahan dan pemurnian seperti
tertuang dalam UU No. 4 Tahun 3009. IUP Eskplorasi diberikan kepada perusahaan untuk
melakukan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan (Pasal 36) yang
berbeda deligan KP yang diberikan berbeda-beda dengan jangka waktunya untuk setiap
kegiatan tersebut. IUP Operasi/Produksi diberikan kepada perusahaan untuk melakukan
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan
(Pasal 36). Selain itu, pemerintah juga dapat imemberikan izin khusus di bidang
pertambangan, misalnya IUP-OP khusus untuk pengolahan dan pemurnian (Pasal 104 ayat 2),
IUP-OP untuk penjualan(pasal 105 ayat 1) dan IUP-OP khusus untuk pengangkutan dan
penjualan, serta izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan (Pasal 2 hrmen
32 Tahun 2013). Izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan peninalan diberikan
kepada pemegang IUP eksplorasi dan IUPK eksplorasi batubara dan mineral.

Dalam UU No. 4 Tahun 2009, pemerintah mengatur kewenangan tiap tingkat untuk
mengeluarkan suatu izin pertambangan. Hak pengusahaan ini diberikan negara melalui
kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Pasal 4). Pemerintah pusat sebagaimana
tertuang dalam Pasal 6 memiliki kewenangan mengelola pertambangan dalam ruang lingkup
nasional yang dalam hal ini diwakili oleh menteri ESDM, antara lain untuk (1) menetapkan
kebijakan nasional; (2) membuat peraturan perundang-undangan, penetapan standar nasional,
pedoman dan kriteria; (3) menetapkan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara
nasional; (4) menetapkan wilayah pertambangan yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan
pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan DPR Indonesia; dan (5) memberikan IUP,
pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan yang
berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai.
Pemerintah pusat juga mengatur perubahan KK ataupun PKP2B menjadi IUP serta perizinan
untuk perusahaan Indonesia yang dimiliki oleh asing. Pemerintah provinsi pada Pasal 7
memiliki kewenangan untuk membuat perundang-undangan daerah dan pemberian IUP,
pembinaan, pengaturan kelola lingkungan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan
usaha pertambangan, termasuk operasi produksi pada lintas wilayah kabupaten/ kota dan/atau
wilayah laut 4 mil sampai 12 mil. Pemerintah daerah pada Pasal 8 diberikan kewenangan
untuk membuat perundang-undangan daerah dan pemberian IUP dan IPR, pembinaan,
pengaturan kelola lingkungan,mpenyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha
pertambangan, termasuk operasi produksi di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut
sampai dengan 4 mil. IUP dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan
sebagaimana tertuang pada Pasal 38.

Pemberian IUP dilakukan pada daerah yang disebut sebagai wilayah pertambangan (WP).
Wilayah pertambangan yang ditetapkan adalah daerah yang memiliki potensi mineral
dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang menjadi
bagian dari tata ruang nasional melalui konsultasi dengan DPR Indonesia. Bentuk WP terdiri
atas wilayah usaha pertambangan (WUP), wilayah pertambangan rakyat (WPR), dan wilayah
pencadangan negara (WPN) yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya.

WPN pada dasarnya adalah WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategic nasional pada
komoditas tertentu dan daerah konservasi dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan
lingkungan atas pertimbangan DPR serta aspirasi daerah seperti yang tertuang dalam Pasal 27.
Pada sisi lain, Pasal 14 menyatakan WUP dilakukan pemerintah setelah berkoordinasi dengan
pemerintah daerah dan disampaikan kepada DPR Indonesia. Bentuk WP dapat terdiri atas satu
ataupun beberapa WIUP yang berada pada lintas wilayah provinsi, lintas, dan satu wilayah
kabupaten/kota. Luas dan batasan WIUP selanjutnya ditentukan oleh pemerintah yang
berwenang berdasarkan kewenangan yang dimiliki (pasal 17).
Permen 28 Tahun 2013 mengatur bahwa WIUP maupun WIUPK diberikan melalui cara
penawaran lelang untuk IUP dan IUPK eksplorasi 'mineral logam dan batubara, dengan BUMD
dan BUMN mendapatkan prioritas "Mama dari menteri untuk memiliki WIUPK. Badan usaha
swasta juga berhak mendapatkan IUPK melalui lelang WIUPK. Setelah perusahaan
memenangkan Wang WIUP maupun WIUPK, dalam waktu lima hari kerja, perusahaan harus
mengajukan pemohonan IUP eksplorasi dan IUPK eksplorasi kepada pihak berwenang sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 34 ayat 5.

Dalam kasus WIUP untuk pertambangan mineral bukan logam. Pengajuan WIUP dapat
dilakukan dengan pengajuan permohonan langsung kepada pejabat berwenang. WPR
ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan DPRD. WPR dilakukan
langsung dengan mengajukan IPR melalui surat permohonan kepada bupati/walikota.
Pemberian IUP, IUPK, dan IPR dijabarkan dalam UU No. 4 Tahun 2009. Pemilik IUP hanya
dapat diberikan untuk satu jenis mineral atau batubara. Apabila ditemukan mineral lain di
wilayah WIUP, pemegang IUP wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada pejabat
berwenang jika ingin mengusahakannya atau dapat menjaga mineral lain tersebut agar tidak
dapat dimanfaatkan pihak lain.

Kewajiban menjaga mineral lain tersebut mengikat pemilik IUP dan penemunya sampai masa
IUP habis (Pasal 40). Pada pemilik IUPK dapat dilakukan dengan prinsip satu izin untuk satu
tambang oleh menteri dalam satu WIUPK. Apabila pemegang IUPK menemukan mineral lain
di areanya, pemegang IUPK memperoleh prioritas utama dalam mengusahakannya melalui
prosedur pengajuan IUPK baru kepada menteri. Jika tidak berminat mengusahakannya,
pemilik harus menjaga agar tidak dimanfaatkan oleh pihak lain atau hingga menteri ESDM
memberikan IUPK kepada pihak lain (Pasal 74). Pemberian IUPK didasarkan pada
pertimbangan yang tertera pada Pasal 28, yaitu pemenuhan bahan baku industri dan energi
dalam negeri; sumber devisa negara; kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan
prasarana; berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi; daya dukung
lingkungan dan/atau penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar.

Pemilik IPR diberikan oleh bupati/walikota yang dapat dilimpahkan kepada camat sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian IUP dan IUPK dilakukan
secara bertahap mulai eksplorasi dan produksi operasi.
Secara umum, pemerintah mengatur setiap pemegang IUP dan IUPK mematuhi kewajiban
dan hak yang tertuang dalam Pasal 90 hingga Pasal 112. Pemegang IUP dan IUPK, sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, berhak untuk:
1. Melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik eksplorasi
maupun operasi produksi (Pasal 90 dan Pasal 94);
2. Memanfaatkan saran dan prasarana umum untuk keperluan pertambangan (Pasal 91);
3. Memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya atau batubara yang telah diproduksi
apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi, kecuali mineral ikutan
radioaktif (Pasal 92); dan
4. Melakukan penawaran di pasar saham Indonesia setelah melakukan eksplorasi pada
tahapan tertentu (Pasal 93 ayat 2);
Pada sisi lain; kewajiban pemegang IUP dan IUPK sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan adalah sebagai berikut:
1. Menerapkan kaidah teknik pertambangan yang balk (Pasal 95) termasuk ketentuan
lanjutannya yang tertuang dalam Pasal 96;
2. Mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia;
3. Meningkatkan nilai tambah sumberdaya mineral atau batubara;
4. Melaksanakan pengambangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;
5. Mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan;
6. Menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai karakteristik suatu
daerah (Pasal 97);
7. Menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumberdaya air y bersangkutan
(Pasal 98);
8. Menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pasca tambang pada
mengajukan permohonan tUP-OP atau IUPK-OP (Pasal 99);
9. Menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatamb (Pasal 100);
10. Meningkatkan nilai tambah sumberdaya mineral dan batub dalam pelaksanaan
penambangan, pengolahan dan pemurnian, se pemanfaatn mineral dan batubara
(Pasal 102);
11. Melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di d negeri (Pasal
103);
12. Mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang dan dalam negeri
(Pasal 106);
13. Mengikutsertakan pengusaha lokal yang ada di daerah tersebut (Pasal 107):
14. Menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (Pasal
108);
15. Menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi
dan operasi produksi kepada pejabat berwenang (Pasal 110);
16. Memberikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara kepada
pejabat berwenang (Pasal 111); dan
17. Melakukan divestasi saham yang dimiliki asing kepada pemerintah,
pemerintah daerah, BUMN, BUMD ataupun badan usaha swasta nasional
(Pasal 112).
Secara spesifik, pemegang IUP eksplorasi berhak untuk melakukan penyelidikan
umum, eksplorasi, dan studi kelayakan di area WIUP-nya dan menjual bahan
galian tambang tergali dengan mengajukan izin sementara untuk pengangkutan dan
penjualan (Pasal 43) serta mendapat jaminan untuk memperoleh IUP-OP sebagai
kelanjutan usaha pertambangannya (Pasal 46). Pemegang IUP eksplorasi
berkewajiban melaporkan kepada pemberi IUP atas mineral dan batubara tergali
yang didapatkan (Pasal 43 ayat 1) dan membayar iuran produksi kepada negara
yang secara tidak langsung merupakan pembagian keuntungan (Pasal 45).

Pada sisi lain, pemegang IPR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 69 sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku berhak untuk mendapatkan
pembinaan dan pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3),
lingkungan, teknis pertambangan, dan manajemen dari pemerintah dan/atau
pemerintah daerah, serta mendapatkan bantuan modal. Pada Pasal 70 dan Pasal
71 dinyatakan bahwa pemegang IPR berkewajiban melakukan kegiatan
penambangan paling lambat 3 bulan setelah IPR diterbitkan; mematuhi
peraturan perundang-undangan di bidang K3 pertambangan, pengelolaan
lingkungan dan memenuhi standar yang berlaku; mengelola lingkungan hidup
bersama dengan pemerintah daerah; membayar iuran tetap dan iuran produksi;
menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan rakyat secara
berkala kepada pemberi IPR; serta menaati ketentuan persyaratan teknis
pertambangan.
Pengaturan jangka waktu pemberian untuk IUP eksplorasi dan IUP-OP diatur
dengan jelas sesuai dengan UU No. 4 Tahun 2009 berdasarkan tipe bahan
galiannya, sebagaimana tertera dalam jangka waktu yang diberikan dalam izin
IUP hanya dibedakan berdasarkan dua jenis usaha pertambangan, yaitu
eksplorasi dan operasi/produksi, sedangkan KP diberikan per tahapan yang lebih
spesifik dengan jangka waktu berbeda, bergantung pada perjanjian usaha
pertambangan yang dilakukan, baik KK maupun PKP2B.
Tabel Jangka Waktu IUP
Bahan Galian IUP Eksplorasi IUP-OP Perpanjangan

Batubara 7 Tahun 20 Tahun 2 x 10IUP-OP


Tahun
Mineral logam 8 Tahun 20 Tahun 2 x 10 Tahun
Non-mineral 3 Tahun 10 Tahun -20 2 x 5 Tahun
Batuan 3 Tahun 5 Tahun 2 x 5 Tahun

IUPK eksplorasi dan IUPK-OP hanya diberikan untuk bahan galian batubara dan mineral
logam dengan ketentuan seperti yang tertera pada dibawah.

Tabel Jangka Waktu IUPK


Bahan Galian IUP Eksplorasi IUP-OP Perpanjangan

Batubara 7 Tahun 20 Tahun 2 x IUP-OP


10 Tahun
Mineral logam 8 Tahun 20 Tahun 2 x 10 Tahun

Luasan area yang diberikan dalam IUP dan IUPK juga telah ditentukan oleh pemerintah
dalam UU No. 4 Tahun 2009 dan dibedakan berdasarkan tipe bahan galiannya pada diatas.
Luasan ini harus dikurangi setelah 3 tahun kegiatan di bawah IUP eksplorasi sesuai dengan
peraturan pada PP No. 23 Tahun 2010. Konsep luasan areal ini juga berbeda dengan yang
diterapkan dalam sistem KP karena pemegang KP tidak mempunyai batasan luasan area yang
dapat dimanfaatkan dalam suatu perjanjian KK dan PKP2B. Pada pemegang IUPK, luasan
area hanya berlaku pada bahan galian logam dan batubara.

Tabel Luasan Area IUP/IUPK

Bahan Galian IUP Eksplorasi Pengurangan IUP Produksi


Luasan (PP No.23
Batubara 5.000 - 10.000 ha Maksimum hingga Maksimum
25.000 ha (setelah 3 15.000 ha
Mineral logam 5.000 - 10.000 ha Maksimum hingga Maksimum
50.000 ha (setelah 3 25.000 ha
Non-mineral logam 100 - 25.000 ha 12.500 ha (setelah 2 Maksimum 5.000
Batuan 5 - 5.000 ha Tahun)ha (setelah 1
2.500 ha
Maksimum 1.000
Tahun) ha
Permen No. 32 Tahun 2013 menyatakan bahwa pemegang izin sementara untuk
pengangkutan dan penjualan dan IUP-OP untuk penjualan wajib untuk melaksanakan
pengangkutan dan penjualan untuk komoditas tambang tergali sesuai dengan perundang-
undangan berlaku, membayar iuran produksi untuk mineral logam atau batubara, atau pajak
daerah untuk mineral bukan logam atau batuan tergali dan menyampaikan laporan hasil
penjualan kepada pejabat berwenang (Pasal 6 dan Pasal 12). Pemegang izin ini juga berhak
melakukan pengangkutan dan penjualan mineral atau batubara tergali dari lokasi penimbunan
sampai ke titik penyerahan di pelabuhan atau pengguna akhir dalam satu pulau, baik yang
berada dalam satu wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi maupun lintas wilayah provinsi.
Pemegang izin sementara untuk pengangkutan dan penjualan pada Pasal 5 dan IUP-OP untuk
penjualan pada Pasal 10 dinyatakan bahwa hanya diberikan 1 kali dan tidak dapat diperpanjang
dengan jumlah tonase sesuai dengan basil pemeriksaan dan evaluasi yang tercantum pada Pasal
4 ayat 3, sedangkan untuk IUP-OP untuk penjualan sesuai dengan Pasal 9 ayat 3. Para
pemegang IUP-OP untuk penjualan dilarang memindahkan IUP kepada pihak lain, serta
mengangkut dan menjual batubara atau mineral tergali ke luar Indonesia (Pasal 12), sedangkan
pada Pasal 6 dinyatakan bahwa pemegang izin sementara hanya tidak dapat mengangkut dan
menjual barang komoditas tergali ke luar negeri.
Pada Pasal 27 dan Pasal 54 dinyatakan bahwa pemegang IUP-OP khusus untuk pengolahan
dan permurnian wajib sesuai dengan ketentuan perundangundangan diwajibkan untuk sebagai
berikut:
1. menyampaikan RKAB pada tahun berjalan kepada pejabat berwenang;
2. menyampaikan laporan kegiatan operasi produksi;
3. memenuhi harga patokan penjualan mineral dan batubara;
4. memenuhi batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian dalam rangka penjualan
keluar negeri;
5. melaksanakan praktik teknik pengolahan dan/atau pemurnian komoditas tambang
dengan baik dan benar mengacu pada RKAB yang telah disetujui sebelumnya;
6. mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri;
7. membangun fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian, serta fasilitas pengangkutan dan
fasilitas bongkar muat sesuai standar teknis;
8. membantu pengembangan dan pemberdayaan masyarakat terhadap daerah terkena
dampak kegiatan;
9. mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja, barang, dan jasa lokal;
10. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan apabila menggunakan fasilitas jalan umum.;
11. memaksimalkan penjualan produk sampingan (by product);
12. bertanggung jawab atas keselamatan kesehatan kerja dan lingkungan yang ditimbulkan
oleh kegiatan usaha pengolahan dan/atau pemurnian;
13. menerima inspeksi petugas yang ditunjuk oleh pejabat berwenang; dan
14. menyediakan data dan informasi yang diperlukan oleh pejabat berwenang setiap saat.

Pada Pasal 55, Permen yang sama mengatur hak-hak yang dapat dimiliki oleh pemegang IUP-
OP khusus pengolahan dan pemurnian sesuai dengan ketentuan perundang-undangan untuk
membeli dan mengangkut komoditas tambang yang akan diolah dan/atau dimurnikan sesuai
naskah perjanjian kerja sama yang telah mendapatkan rekomendasi dari pejabat berwenang;
mengangkut dan menjual produk akhirnya; membuat perjanjian kerja sama dengan pihak lain
dalam pemanfaatan sisa dan/atau produk sampingan untuk bahan baku industri dalam negeri;
melakukan pencampuran produk komoditas tambang untuk memenuhi spesifikasi pembeli;
mendapatkan perizinan terkait, serta memanfaatkan fasilitas prasarana pengangkutan dan
dermaga atau pelabuhan.
Pasal 23 mengatur hak pemegang IUP-OP khusus ini untuk melakukan pembelian produk
komoditas tambang dari pemegang IUP-OP, IUPK-OP, IUP-OP khusus pengolahan dan
pemurnian, IPR dan IUP-OP khusus untuk pengangkutan dan penjualan yang telah
terintegrasi pada dirjen dan memiliki
sertifikat clear and clean; melakukan pengangkutan dan penjualan atas produk komoditas
tambang mineral atau batubara yang dibelinya mulai dari free on board barge atau free on board
vessel serta membangun/memanfaatkan fasilitas prasarana pengangkutan dan penjualan antara
lain stockpile, dermaga, atau pelabuhan khusus. Pada sisi lain, pemegang IUP-OP khusus
pengangkutan dan penjualan diberikan untuk 3 hingga 5 Tahun dengan dapat diperpanjang
selama 3 tahun untuk tiap kali perpanjangan sesuai dengan ketentuan Pasal 21. Sebelum dapat
mengajukan IUP-OP khusus, perusahaan harus terlebih dahulu mempunyai izin prinsip
pengolahan dan pemurnian untuk mempersiapkan dokumen studi kelayakan, penyusunan
perjanjian kerja sama, dan pengurusan perizinan lainnya. Pasal 43 menyebutkan untuk pemegang
izin akan diberikan waktu untuk jangka paling lama 3 tahun dengan perpanjangan satu tahun
untuk tiap kali perpanjangan, serta tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain (Pasal 42).
Apabila perusahaan telah memenuhi semua ketentuan yang telah diatur dalam Permen yang
sama, IUP-OP khusus pengolahan dan pemurnian untuk jangka waktu paling lama 20 Tahun,
termasuk 2 tahun konstruksi di dalamnya dan dapat diperpanjang hingga 10 Tahun setiap kali
pengajuan.

Pemerintah mengatur pemegang IUP-OP khusus pengolahan dan pemurniar untuk dapat
melakukan kerja sama (Pasal 41) dengan pemasok impol komoditas tambang mineral atau
batubara untuk diolah menjadi bahan bake industri; pemegang IUP-OP produksi; pemegang
IUPK-OP; pemegang IPR pemegang izin sementara untuk pengangkutan dan penjualan;
pemeganl IUP-OP untuk penjualan; pemegang IUP-OP khusus untuk pengangkutar dan
penjualan; serta pemegang IUP-OP khusus untuk pengolahan dan pemurnian. Dengan
demikian, pemegang IUP-OP khusus ini dapat membuka kesempatan bagi pemodal asing dan
domestik untuk berinvetasi di bidang pengolahan dan pemurnian tanpa harus memiliki
wilayah pertambangan. Peraturan ini diharapkan dapat mendukung percepatan investasi
dalam mendorong peningkatan nilai tambah komoditas tambang, serta membantu
mengoordinasikan sebuah usaha pengolahan dan pemurnian patungan bagi beberapa
perusahaan tambang.
Pembangunan usaha patungan seperti ini diharapkan mampu memberikan keringanan bagi
perusahaan dalam berinvestasi untuk usaha pengolahan dan permurnian. Sebagai contoh dari
penetapan aturan ini dilakukan oleh PT Antam Tbk dan PT Inalum serta dukungan mitra dari
Cina dalam membangun pengolahan bauksit di Indonesia menjadi grade alumina yang
menjadi bahan baku utama peleburan aluminium Inalum melalui usaha patungan bernama PT
Inalum Antam Alumina.
Pemegang IUP dan IUPK diwajibkan untuk membayar pendapatan negara dan pendapatan
daerah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, baik penerimaan pajak dan penerimaan bukan
pajak. Kewajiban finansial yang harus dibayarkan pemegang IUP dan IUPK berdasarkan
Pasal 128 dan Pasal 129 adalah sebagai berikut:
1. pajak-pajak yang menjadi kewenangan pemerintah sesuai dengan perundang-undangan
berlaku;
2. bea masuk dan cukai;
3. iuran tetap (Besaran iuran tetap diatur dalam Edaran Dirjen No. 04.E/35/DJB/2012
untuk tiap jenis izin yang diberikan. Pada IUP dan IUPK eksplorasi mineral logam dan
batubara sebesar 2 USD per hektare per tahun, sedangkan IUP dan IUPK operasi
produksi sebesar 4 USD per hektare per tahun. Pemegang IPR juga harus menyetorkan
iuran tetap sebesar 1 USD per hektare per tahun untuk mineral nonlogam dan batuan,
serta 2 USD per hektare per tahun untuk mineral logam dan batubara);
4. iuran eksplorasi;
5. iuran produksi atau royalti yang disesuaikan dengan ukuran tambang, tingkat produksi,
dan harga komoditas
6. royalti tambahan sebesar 10% dari keuntungan bersih untuk pemegang IUPK (40%-nya
disetorkan kepada pemerintah pusat);
7. kompensasi data informasi;
8. pajak daerah;
9. retribusi daerah;
10. pendapatan lain sesuai ketentuan pemerintah daerah; dan
11. pajak atas keuntungan bersih sejak berproduksi sebesar 4% kepada pemerintah pusat
dan 6% kepada pemerintah daerah.

Anda mungkin juga menyukai