PERBEDAAN DAN PERSAMAAN UU NO 11 TAHUN 1967 DAN UU NO 4
TAHUN 2009
Adapun hal-hal baru yang menjadi dasar dan membedakan UU No 11
Tahun 1967 dan UU No 4 Tahun 2009 adalah sebagai berikut : A. Isi Dari Undang-Undang UU No 11 Tahun 1967 terdiri atas 37 Pasal dan 12 Bab sedangkan UU No 4 Tahun 2009 terdiri atas 175 Pasal dan 26 Bab. B. Kandungan Tambang UU No 11 Tahun 1967 mengatur segala bahan galian seperti unsur-unsur kimia dan juga batu alam sedangkan UU No 4 Tahun 2009 yang disebut juga sebagai Undang-Undang Minerba lebih spesifik pada mineral dan batubara. C. Golongan Bahan Tambang Menurut UU No 11 Tahun 1967 bahan galian tambang dibagi atas 3 macam yaitu: 1. Golongan bahan galian strategis 2. Golongan bahan galian vital 3. Golongan bahan galian yang non strategis dan non vital Sedangkan menurut UU No 4 Tahun 2009 bahan galian tambang dibagi atas 5 macam yaitu: 1. Mineral radioaktif 2. Mineral logam 3. Mineral non-logam 4. Batuan 5. Batubara D. Penguasaan Pertambangan Menurut UU No 11 Tahun 1967 sektor pertambangan dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah sedangkan menurut UU No 4 Tahun 2009 Dikuasai negara, diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah setelah pemerintah berkonsultasi dengan DPR untuk menetapkan kebijakan demi kepentingan dalam negeri. E. Kewenangan Pengolahan Menurut UU No 11 Tahun 1967 kewenangan dalam pengolahan sektor pertambangan menjadi 2, yaitu: 1. Bahan galian golongan strategis dan vital oleh Menteri 2. Bahan galian golongan Vital dan Non strategis-Non Vital oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Sedangkan menurut UU No 4 Tahun 2009 kewenangan dalam pengolahan sektor pertambangan menjadi 3, yaitu: 1. Bupati/Walikota apabila Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) berada dalam satu wilayah Kabupaten/Kota 2. Gubernur apabila WIUP berada pada lintas Wilayah Kab/Kota 3. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah Provinsi F. Pengawasan Menurut UU No 11 Tahun 1967 pengawasan sektor pertambangan terpusat kepada menteri sedangkan menurut UU No 4 Tahun 2009 Pembinaan dan Pengawasan terhadap pemegang IUP dan IUPK dilakukan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya, sedangkan untuk IPR merupakan tugas Bupati/Walikota. G. Bentuk Perizinan Menurut UU No 11 Tahun perizinan tambang dibagi atas 4 macam yaitu: 1. Kuasa Pertambangan (KP), 2. Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD), 3. Surat Izin Pertambangan Rakyat (SIPR), 4. Kontrak Karya (KK)/ Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Sedangkan menurut UU No 4 Tahun 2009 perizinan tambang dibagi atas 3 macam yaitu: 1. Izin Usaha pertambangan (IUP) 2. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) 3. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) H. Pemilik Perizinan Menurut UU No 11 Tahun perizinan tambang dapat diberikan kepada : 1. Investor domestik (KP, SIPD, PKP2B) 2. Investor asing (KK, PKP2B) Sedangkan menurut UU No 4 Tahun 2009 perizinan tambang dapat diberikan kepada : 1. IUP (Izin Usaha Pertambangan) diberikan pada badan usaha, koperasi dan perseorangan (pasal 38). 2. IPR (Izin Pertambangan Rakyat) diberikan pada penduduk setempat, naik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan atau koperasi (pasal 67), dengan luas terperinci (pasal 68). 3. IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) diberikan pada badan usaha berbadan hukum Indonesia, baik BUMN, BUMD, maupun swasta. BUMN dan BUMD mendapat prioritas (pasal 75). I. Pelaksana Usaha Pertambangan Menurut UU No 11 Tahun pelaksana usaha pertambangan adalah : 1. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri 2. Perusahaan Negara 3. Perusahaan Daerah 4. Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan Daerah 5. Koperasi 6. Badan atau perseorangan swasta yang memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) 7. Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan/atau Daerah dengan Koperasi dan/atau Badan/Perseorangan Swasta yang memenuhi syarat- syarat yang dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) 8. Pertambangan Rakyat Sedangkan menurut UU No 4 Tahun 2009 pelaksana usaha pertambangan adalah : 1. Pemegang IUP atau IUPK 2. Badan Usaha 3. Koperasi 4. Perseorangan sesuai dengan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh klasifikasi Menteri. J. Penggunaan Lahan Dalam penggunaan lahan Menurut UU No 11 Tahun 1967 dilakukan pembatasan tanah yang dapat diusahakan sedangkan menurut UU No 4 Tahun 2009 Pembatasan tanah yang dapat diusahakan dan sebelum memasuki tahap operasi produksi pemegang IUP/IUPK wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak atas tanah.
Sedangkan untuk persamaannya, antara UU No 11 Tahun 1967 dengan UU No 4
Tahun 2009 ialah sama-sama mengatur tentang pertambangan. HAKEKAT HUKUM PERBURUHAN
Definisi hukum perburuhan
Keseluruhan peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang
mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan dibawah perintah/ pimpinan orang lain dan mengenai keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja tersebut” (Soetikno)
Hukum Perburuhan ialah suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun
tidak, yang berkenaan dengan suatu kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah “ (Imam Soepomo)
Untuk mengkaji hakikat hukum kerja, perlu dibandingkan hubungan
antara pekerja/buruh dan pengusaha dengan hubungan antara penjual dan pembeli. Seorang penjual dan pembeli bebas hendak melakukan hubungan hukum, dalam arti seorang penjual tidak dapat dipaksa untuk menjual barang yang dimilikinya jika harga yang ditawarkan tidak sesuai dengan kehendaknya. Demikian juga seorang pembeli tidak dapat dipaksa untuk membeli sesuatu barang dari penjual jika barang tersebut tidak sesuai kehendaknya.
Berbeda dengan hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha. Secara
yuridis hubungan mereka adalah bebas, seseorang tidak boleh diperbudak, diperulur maupun diperhambakan. Segala macam bentuk perbudakan, perhambaan , dan peruluran dilarang karena memang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila. Namun, secara sosiologis pekerja/buruh tidaklah bebas sebagai seorang yang tidak mempunyai bekal hidup. Karena bermodal tenaganya saja seorang pekerja/buruh kadangkala terpaksa menerima hubungan kerja dengan pengusaha meskipun hubungan itu memberatkan pekerja/buruh sendiri, lebih- lebih sekarang dengan banyaknya tenaga kerja yang membutuhkan pekerjaan yang tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yan tersedia.
Tenaga kerja/buruh yang menjadi kepentingan pengusaha merupakan
sesuatu yang sedemikian melekatnya pada pribadi pekerja/buruh sehingga pekerja/buruh itu selalu mengikuti tenaganya ke tempat dimana dipekerjakan, dan pengusaha kadang kala seenaknya memutuskan hubungan kerja pekerja/buruh karena tenaganya sudah tidak diperlukan lagi. Oleh karena itu, pemerintah dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan, turut serta melindungi pihak yang lemah (Pekerja/Buruh) dari kekuasaan penguasa, guna menempatkannya pada kedudukan yang layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia.
Dengan demikian, pada hakikatnya hukum kerja dengan semua peraturan
perundang-undangan yang ada bertujuan untuk melaksanakan keadilan sosial dengan jalan memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh terhadap kekuasaan penguasa.
Tujuan tersebut akan tercapai apabila pemerintah mengeluarkan peraturan
perundang-undangan yang bersifat memaksa dan memberikan sanksi yang tegas kepada pengusaha yang melanggarnya. Dengan siifatnya yang memaksa ikut campur tangannya pemerintah, membuat hukum kerja menjadi hukum publik dan hukum privat sekaligus.
Dikatakan sebagai hukum privat karena lahirnya hukum kerja adalah
karena adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang didasari adanya suatu perjanjian. Sementara itu dikatakan hukum publik karena untuk menegakkan, pemerintah harus campur tangan dengan cara mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-udangan di bidang hukum kerja.