NPM : 1819.01.247
KELAS : A6 sore
MATA KULIAH : Hukum Acara Perdata
Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata yang berlaku sampai saat ini adalah:
1.HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) reglement tentang melakukan pekerjaan
kepolisian, mengadili perkara perdata dan penuntutan hukuman buat bangsa Bumiputra
dan bangsa timur di tengah Jawa dan Madura, yang merupakan pembaruan dari
Reglement Bumiputra/Reglement Indonesia (RIB) dengan Staatsblad 1941 Nomor 44.
2.RBg (reglement tot regeling van het rechtswezen in de gewesten buiten java en madura)
reglement tentang hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura
dengan Staatsblad 1927 Nomor 227.
5.Ordonansi dengan Staatblad 1867 Nomor 29 tanggal 14 Maret 1867 tentang kekuatan
bukti, surat-surat di bawah Tangan yang diperbuat oleh orang Bangsa Bumi Putra atau oleh
yang disamakan dengan dia.
8.UU No. 20 Tahun 1947 tentang ketentuan Banding (Peradilan Ulangan) untuk daerah
Jawa dan Madura yang di tetapkan di Yogyakarta pada tanggal 24 Juni 1947 oleh Presiden
RI Ir. Soekarno.
9.UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan LN No. 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.
10.UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
berkaitan dengan Tanah (UUHT)
11.UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. LN No. 157 Tahun 2009 tanggal
29 Oktober 2009.
12.UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. LN No. 20 Tahun 1986 tanggal 8 Maret
1986 yang kemudian diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No.
2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. LN No 34 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004.
13.UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. LN No. 73 Tahun 1985 tanggal 30
Desember 1985 yang dirubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU
No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. LN No. 9 Tahun 2004 tanggal 15 Januari
2004.
14.UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Utang. LN No.
131 Tahun 2004 tanggal 18 November 2004.
15.UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
16.UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama.
17.UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. LN No. 77 Tahun 1986
yang di ubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. LN No. 35 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004.
18.UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. LN No. 98 Tahun 2003 tanggal 13
Agustus 2003.
19.UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung.
22.SEMA Nomor 6 Tahun 1992 Tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negeri, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta (uit voerbaar
bij voorraad) dan Provisionil, SEMA Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Permasalahan Putusan
Serta Merta (uit voerbaar bij voorraad), SEMA Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Bimbingan
dan Petunjuk Pimpinan Pengadilan Terhadap Hakim / Majelis Hakim dalam Menangani
Perkara.
23.Yurisprudensi
24.Dan sebagainya
2. Sebutkan asas-asas hukum perdata
Jawaban :
ASAS-ASAS HUKUM PERDATA
Beberapa asas yang terkandung dalam KUHPdt yang sangat penting dalam Hukum Perdata
adalah:
2. Asas Konsesualisme,
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal
tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata
kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa
perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan
pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam
hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan
sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang
dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan).
Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya,
yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat.
Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan.
Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan bentuk
perjanjian.
3. Asas Kepercayaan,
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan
perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.
6. Asas Keseimbangan,
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika
diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur
memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik
8. Asas Moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari
seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur.
Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan
sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan
menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang
bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral)
sebagai panggilan hati nuraninya
9. Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus
dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak
debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi
dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian
dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan
asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat
kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan
terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak
2. Kuasa Khusus
Pasal 1795 KUH Perdata menjelaskan, pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus,
yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi
landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan
pemberi kuasa sebagai pihak principal. Namun, agar bentuk kuasa yang disebut dalam
pasal ini sah sebagai surat kuasa khusus di depan pengadilan, kuasa tersebut harus
disempumakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang disebut dalam Pasal 123 HIR.
Mengenai hal ini, akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan yang akan datang.
Jadi, kalau tindakan khusus yang dilimpahkan kepada kuasa tidak dimaksudkan untuk
tampil mewakili pemberi kuasa di depan pengadilan, tidak diperlukan syarat tambahan,
cukup berpedoman pada ketentuan yang digariskan Pasal 1795 KUH Perdata. Misalnya,
kuasa untuk melakukan penjualan rumah. Kuasa itu merupakan kuasa khusus, terbatas
hanya untuk menjual rumah. Akan tetapi, meskipun bersifat kuasa khusus, kuasa itu tidak
dapat dipergunakan untuk tampil di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi
kuasa. Alasannya sifat khusus yang dimilikinya bukan untuk tampil di pengadilan, tetapi
hanya untuk menjual rumah.
3. Kuasa Istimewa
Pasal 1796 KUH Perdata mengatur perihal pemberian kuasa istimewa. Selanjutnya,
ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 157 HIR
atau Pasal 184 RBG. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai, diperlukan beberapa syarat
yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa.
Bersifat Limitatif kebolehan memberi kuasa istimewa hanya terbatas untuk tindakan
tertentu yang sangat penting. Pada prinsipnya, perbuatan hukum yang bersangkutan
hanya dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Jadi pada dasarnya, pembuatan
tersebut tidak dapat dilakukan oleh kuasa berdasarkan surat kuasa biasa. Untuk
menghilangkan ketidakbolehan itu, dibuatlah bentuk kuasa istimewa sehingga suatu
tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan secara pribadi, dapat
diwakilkan kepada kuasa. Tentang lingkup tindakan yang dapat diwakilkan berdasarkan
kuasa istimewa, hanya terbatas: 1) untuk memindahtangankan benda-benda milik
pemberi kuasa, atau untuk meletakkan hipotek (hak tanggungan) di atas benda tersebut,
2) untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga, 3) untuk mengucapkan sumpah
penentu (decisoir eed) atau sumpah tambahan (suppletoir eed) sesuai dengan ketentuan
Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG.
4. Apa perbedaan gugatan dengan permohonan dalam hukum acara perdata ?
Jawaban :
1. Permohonan
Secara yuridis, permohonan adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk
permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri. Istilah permohonan dapat juga disebut dengan gugatan voluntair yaitu
gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai tergugat.
2. Gugatan
gugatan adalah permasalahan perdata yang mengandung sengketa antara 2 (dua) pihak
atau lebih yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak sebagai
penggugat untuk menggugat pihak lain sebagai tergugat. Perkataan contentiosa, berasal
dari bahasa Latin yang berarti penuh semangat bertanding atau berpolemik. Itu sebabnya
penyelesaian perkara yang mengandung sengketa, disebut yuridiksi contentiosa yaitu
kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah
persengketaan antara pihak yang bersengketa.
Kepada Yth:
Ketua Pengadilan Agama Malang
Di-
Jl. Raden Panji Suroso No. 1, Kelurahan Polowijen, Kec. Blimbing, Kota Malang
Berdasarkan uraian tersebut diatas, Penggugat dengan ini memohon kepada Majelis
Hakim yang memeriksa perkara ini untuk memutuskan sebagai berikut :
PRIMAIR:
SUBSIDAIR:
Apabila Majelis Hakim berkehendak lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo
et bono ).
Hormat Saya,
Kuasa Hukum Penggugat