Anda di halaman 1dari 11

NAMA : Ghany Alfaridzi

NPM : 1819.01.247
KELAS : A6 sore
MATA KULIAH : Hukum Acara Perdata

Tugas hukum acara perdata

1. Sebutkan sumber-sumber hukum acara perdata


Jawaban :

Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata yang berlaku sampai saat ini adalah:
1.HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) reglement tentang melakukan pekerjaan
kepolisian, mengadili perkara perdata dan penuntutan hukuman buat bangsa Bumiputra
dan bangsa timur di tengah Jawa dan Madura, yang merupakan pembaruan dari
Reglement Bumiputra/Reglement Indonesia (RIB) dengan Staatsblad 1941 Nomor 44.

2.RBg (reglement tot regeling van het rechtswezen in de gewesten buiten java en madura)
reglement tentang hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura
dengan Staatsblad 1927 Nomor 227.

3.Rv (reglement op de rechtsvordering) reglement tentang hukum acara perdata dengan


Staatsblad 1847 Nomor 52 juncto 1849 Nomor 63.

4.RO ( reglement of de rechterlijke organisatie in het beleid der justitie in Indonesia /


reglement tentang organisasi Kehakiman dengan Staatblad 1847 NOmor 23).

5.Ordonansi dengan Staatblad 1867 Nomor 29 tanggal 14 Maret 1867 tentang kekuatan
bukti, surat-surat di bawah Tangan yang diperbuat oleh orang Bangsa Bumi Putra atau oleh
yang disamakan dengan dia.

6.BW (burgerlijk wetboek / Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / Kitab Undang-Undang


Hukum Sipil) yang dikodifikasi pada tanggal 1 Mei 1848. Di terjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia yang berlaku bagi mereka yang termasuk golongan Eropa, Tiong Hoa, dengan
beberapa pengecualiaannya yang dimuat dalam LN No. 129 Tahun 1917 dan golongan
Timur Asing lain dari Tiong Hoa dan beberapa pengecualiaannya dan penjelasan
sabagaimana dimuat dalam LN Nomor. 556 Tahun 1924).

7.Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) buku ke satu LN RI


Nomor 276 yang diberlakukan mulai tanggal 17 Juli 1938 dan buku ke dua LN Nomor 49
Tahun 1933.

8.UU No. 20 Tahun 1947 tentang ketentuan Banding (Peradilan Ulangan) untuk daerah
Jawa dan Madura yang di tetapkan di Yogyakarta pada tanggal 24 Juni 1947 oleh Presiden
RI Ir. Soekarno.

9.UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan LN No. 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.

10.UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
berkaitan dengan Tanah (UUHT)

11.UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. LN No. 157 Tahun 2009 tanggal
29 Oktober 2009.
12.UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. LN No. 20 Tahun 1986 tanggal 8 Maret
1986 yang kemudian diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No.
2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. LN No 34 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004.

13.UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. LN No. 73 Tahun 1985 tanggal 30
Desember 1985 yang dirubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU
No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. LN No. 9 Tahun 2004 tanggal 15 Januari
2004.

14.UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Utang. LN No.
131 Tahun 2004 tanggal 18 November 2004.
15.UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

16.UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama.

17.UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. LN No. 77 Tahun 1986
yang di ubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. LN No. 35 Tahun 2004 tanggal 29 Maret 2004.

18.UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. LN No. 98 Tahun 2003 tanggal 13
Agustus 2003.

19.UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung.

20.Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di


Pengadilan Mahkamah Agung.

21.Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1982 Tentang Peraturan Mahkamah


Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang disempurnakan.

22.SEMA Nomor 6 Tahun 1992 Tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negeri, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta (uit voerbaar
bij voorraad) dan Provisionil, SEMA Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Permasalahan Putusan
Serta Merta (uit voerbaar bij voorraad), SEMA Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Bimbingan
dan Petunjuk Pimpinan Pengadilan Terhadap Hakim / Majelis Hakim dalam Menangani
Perkara.

23.Yurisprudensi

24.Dan sebagainya
2. Sebutkan asas-asas hukum perdata
Jawaban :
ASAS-ASAS HUKUM PERDATA

Beberapa asas yang terkandung dalam KUHPdt yang sangat penting dalam Hukum Perdata
adalah:

1. Asas kebebasan berkontrak,


Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian
apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur
dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt,
yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme
yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen
dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo
de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme,
setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet
fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya
persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi
didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan
peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah
ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah
berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de
homme par l’homme.

2. Asas Konsesualisme,
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal
tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata
kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa
perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan
pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam
hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan
sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang
dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan).
Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya,
yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat.
Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan.
Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan bentuk
perjanjian.
3. Asas Kepercayaan,
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan
perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.

4. Asas Kekuatan Mengikat,


Asas kekuatan mengi kat ini adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian hanya
mengikat bagi para fihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan sifatnya
hanya mengikat ke dalam
Pasal 1340 KUHPdt berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”
Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku
bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat
pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPdt yang menyatakan: “Dapat pula
perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat
untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat
semacam itu.”
Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak
untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan
di dalam Pasal 1318 KUHPdt, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan
juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak
daripadanya.
Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPdt mengatur tentang perjanjian
untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPdt untuk kepentingan dirinya
sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya.
Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPdt mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan
Pasal 1318 KUHPdt memiliki ruang lingkup yang luas.

5. Asas Persamaan hukum,


Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan
perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka
tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu
berbeda warna kulit, agama, dan ras.

6. Asas Keseimbangan,
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika
diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur
memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik

7. Asas Kepastian Hukum,


Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas
yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas
bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh
para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini
pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa
terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan
dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang
diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur
keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti
sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan
tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata
sepakat saja.

8. Asas Moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari
seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur.
Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan
sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan
menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang
bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral)
sebagai panggilan hati nuraninya

9. Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus
dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak
debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi
dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian
dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan
asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat
kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan
terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak

10. Asas Kepatutan.


Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPdt. Asas ini berkaitan dengan ketentuan
mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya

11. Asas Kepribadian (Personality)


Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal
ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
Pasal 1315 KUHPdt menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa
untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya
sendiri.

12. Asas Itikad Baik (Good Faith)


Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu
pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad
baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik mutlak.
Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata
dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta
dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut
norma-norma yang objektif.
3. Sebutkan surat kuasa menurut hukum
Jawaban :
1. Kuasa Umum
Kuasa umum diatur dalam Pasal 1795 KUH Perdata. Menurut pasal ini, kuasa umum
bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa,
yaitu:
melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa;
pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberi
kuasa atas harta kekayaannya;
dengan demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan
pengurusan kepentingan pemberi kuasa.
Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum adalah pemberian kuasa mengenai
pengurusan, yang disebut beherder atau manajer untuk mengatur kepentingan pemberi
kuasa. Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum, surat kuasa umum, tidak dapat
dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa. Sebab, sesuai dengan
ketentuan Pasal 123 HIR, untuk dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi
kuasa, Penerima Kuasa harus mendapat surat kuasa khusus.

2. Kuasa Khusus
Pasal 1795 KUH Perdata menjelaskan, pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus,
yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi
landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan
pemberi kuasa sebagai pihak principal. Namun, agar bentuk kuasa yang disebut dalam
pasal ini sah sebagai surat kuasa khusus di depan pengadilan, kuasa tersebut harus
disempumakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang disebut dalam Pasal 123 HIR.
Mengenai hal ini, akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan yang akan datang.
Jadi, kalau tindakan khusus yang dilimpahkan kepada kuasa tidak dimaksudkan untuk
tampil mewakili pemberi kuasa di depan pengadilan, tidak diperlukan syarat tambahan,
cukup berpedoman pada ketentuan yang digariskan Pasal 1795 KUH Perdata. Misalnya,
kuasa untuk melakukan penjualan rumah. Kuasa itu merupakan kuasa khusus, terbatas
hanya untuk menjual rumah. Akan tetapi, meskipun bersifat kuasa khusus, kuasa itu tidak
dapat dipergunakan untuk tampil di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi
kuasa. Alasannya sifat khusus yang dimilikinya bukan untuk tampil di pengadilan, tetapi
hanya untuk menjual rumah.

3. Kuasa Istimewa
Pasal 1796 KUH Perdata mengatur perihal pemberian kuasa istimewa. Selanjutnya,
ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 157 HIR
atau Pasal 184 RBG. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai, diperlukan beberapa syarat
yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa.
Bersifat Limitatif kebolehan memberi kuasa istimewa hanya terbatas untuk tindakan
tertentu yang sangat penting. Pada prinsipnya, perbuatan hukum yang bersangkutan
hanya dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Jadi pada dasarnya, pembuatan
tersebut tidak dapat dilakukan oleh kuasa berdasarkan surat kuasa biasa. Untuk
menghilangkan ketidakbolehan itu, dibuatlah bentuk kuasa istimewa sehingga suatu
tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan secara pribadi, dapat
diwakilkan kepada kuasa. Tentang lingkup tindakan yang dapat diwakilkan berdasarkan
kuasa istimewa, hanya terbatas: 1) untuk memindahtangankan benda-benda milik
pemberi kuasa, atau untuk meletakkan hipotek (hak tanggungan) di atas benda tersebut,
2) untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga, 3) untuk mengucapkan sumpah
penentu (decisoir eed) atau sumpah tambahan (suppletoir eed) sesuai dengan ketentuan
Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG.
4. Apa perbedaan gugatan dengan permohonan dalam hukum acara perdata ?
Jawaban :

1. Permohonan

Secara yuridis, permohonan adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk
permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri. Istilah permohonan dapat juga disebut dengan gugatan voluntair yaitu
gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai tergugat.

2. Gugatan

gugatan adalah permasalahan perdata yang mengandung sengketa antara 2 (dua) pihak
atau lebih yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak sebagai
penggugat untuk menggugat pihak lain sebagai tergugat. Perkataan contentiosa, berasal
dari bahasa Latin yang berarti penuh semangat bertanding atau berpolemik. Itu sebabnya
penyelesaian perkara yang mengandung sengketa, disebut yuridiksi contentiosa yaitu
kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah
persengketaan antara pihak yang bersengketa.

5. Buat formulasi surat gugatan ?


Jawaban :

Contoh surat gugatan cerai


SURAT GUGATAN

Perihal : Gugatan Cerai Malang, 22 Februari 2017

Kepada Yth:
Ketua Pengadilan Agama Malang
Di-
Jl. Raden Panji Suroso No. 1, Kelurahan Polowijen, Kec. Blimbing, Kota Malang

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama : Dinar Fathi Mahartati, SH
Tempat dan Tanggal Lahir : Palembang, 28 Mei 1995
No. Tanda Pengenal/KTP 1671066805950005
Umur : 22 Tahun
Agama : Islam
Alamat : Jl. Sunan Kalijaga No. 27 Kota Malang
Pekerjaan : Advokat
Dalam hal ini bertindak sebagai KUASA HUKUM untuk dan atas nama:
Nama : Siti Nurmala binti Soleh
Tempat dan Tanggal Lahir : Malang, 26 Maret 1981
No. Tanda Pengenal/KTP 1532469001785620
Umur : 36 Tahun
Alamat : Jl. Sukun No. 3 Kota Malang
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Selanjutnya akan disebut sebagai PENGGUGAT
Dengan ini penggugat hendak mengajukan gugatan perceraian terhadap:
Nama : Kasan Kasdullah bin Buari
Tempat dan Tanggal Lahir : Malang, 29 April 1979
No. Tanda Pengenal/KTP 1534478090018765
Umur : 38 Tahun
Agama : Islam
Alamat : Jl. Rambutan No. 4 Kota Malang
Pekerjaan : Wiraswasta
Yang selanjutnya disebut sebagai
TERGUGAT
Adapun yang menjadi dasar-dasar diajukannya gugatan cerai ini adalah sebagai berikut :

1. Bahwa, pada tanggal 17 Agustus 1998 Penggugat dan Tergugat telah


melangsungkan pernikahan yang tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) Blimbing
berdasarkan Kutipan Akta Nikah No.:07/KUA-Blng/VIII/1998/Mlg;
2. Bahwa, pada awal masa perkawinan, Penggugat dan Tergugat telah tinggal
bersama-sama hidup rukun dan damai, bahkan Penggugat dan Tergugat telah
dikaruniai anak laki-laki dan perempuan yang bernama Indra Pramesawari, lahir di
Malang 01 Januari 2000, dan Ruksyah Pramesari, lahir di Malang 31 Desember
2003;
3. Bahwa, sejak tahun 2011, Penggugat curiga Tergugat mempunyai WIL (Wanita
Idaman Lelaki) dengan membuka handphone Tergugat tiap malam ada komunikasi
yang dianggap intim dengan seorang wanita yang diketahui bernama Siti
Maisaroh;
4. Bahwa, pada tahun 2016, Penggugat pernah minta tolong kepolisian di Polresta
Malang untuk menggrebek Tergugat di salah satu hotel di Kota Malang bersama
WIL dan memang didapati kenyataan suami bersama dengan WIL berdua saja di
dalam satu kamar hotel. Penggugat langsung melaporkan kejadian perselingkuhan
tersebut ke Polresta Malang dan diproses;
5. Bahwa, sejak penggerebekan, Penggugat dan anak-anak keluar dari rumah
bersama dan kembali ke rumah orang tua tanpa ijin dari Tergugat;
6. Bahwa, dengan adanya sikap dari Tergugat tersebut, maka perkawinan yang telah
dibina selama kurang lebih 18 (delapan belas) tahun tersebut tidak lagi dapat
menjalin hubungan untuk saling berbagi kasih, saling menyayangi, dan saling
membantu satu sama lain, serta menanamkan budi pekerti terhadap anak dari
Penggugat dan Tergugat.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, Penggugat dengan ini memohon kepada Majelis
Hakim yang memeriksa perkara ini untuk memutuskan sebagai berikut :
PRIMAIR:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;


2. Menyatakan putusnya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sebagaimana
dalam Akta Nikah No.:07/KUA-Blng/VIII/1998/Mlg;
3. Menyatakan hak asuh anak berada di dalam kekuasaan Penggugat;
4. Menyatakan seluruh harta bersama di bagi 2 (dua) sama rata diantara Penggugat
dan Tergugat;
5. Menghukum Tergugat untuk memberikan uang iddah kepada Pengggugat sebesar
Rp 3.000.00,- (tiga juta rupiah);
6. Menghukum Tergugat untuk memberi nafkah anak sebesar Rp 8.000.000,-
(delapan juta rupiah) setiap bulan hingga anak dewasa;
7. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.

SUBSIDAIR:

Apabila Majelis Hakim berkehendak lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo
et bono ).

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Hormat Saya,
Kuasa Hukum Penggugat

(Dinar Fathi Mahartati, SH)

Anda mungkin juga menyukai