Anda di halaman 1dari 8

September 19, 2012

Tujuan diterbitkannya Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012
Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan Dan Pemurnian
Mineral sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan
Pengolahan dan Pemurnian Mineral (“Permen ESDM tentang Kegiatan Pengolahan dan
Pemurnian Mineral”) adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 96 dan Pasal 111 Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Minerba”).

Permen ESDM tentang Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Permen ESDM tentang Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian
Mineral, golongan komoditas tambang mineral yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya adalah:

1. mineral logam;
2. mineral bukan logam; atau
3. batuan.

Selanjutnya, di dalam Pasal 3 ayat (1) Permen ESDM tentang Kegiatan Pengolahan dan
Pemurnian Mineral diatur bahwa peningkatan nilai tambah komoditas tambang dilaksanakan
melalui kegiatan:
Menurut Pasal 113 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU
Minerba”), suatu kegiatan usaha pertambangan yang sedang dilakukan oleh pemegang Ijin
Usaha Pertambangan (“IUP”) atau Ijin Usaha Pertambangan Khusus (“IUPK”) dapat
diberhentikan sementara, tanpa mengurangi masa berlaku IUP atau IUPK, apabila terjadi:

1. keadaan kahar;

2. keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh


kegiatan usaha pertambangan;

3. keadaan dimana kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung
beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batubara yang dilakukan di
wilayahnya.

Permohonan penghentian suatu kegiatan disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau


bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pihak yang berwenang lalu wajib mengeluarkan
keputusan tertulis diterima atau ditolak disertai alasannya atas permohonan penghentian
sementara  paling lama 30 hari sejak menerima permohonan tersebut.  Mengenai penghentian
kegiatan usaha pertambangan karena kondisi daya dukung lingkungan, hal ini dapat dilakukan
oleh inspektur tambang atau berdasarkan permohonan masyarakat kepada pihak yang
berwenang.

 
    

Latar Belakang

Pasal 95 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”)
mengatur beberapa kewajiban secara umum yang harus ditaati oleh pemegang IUP dan IUPK,
yakni:

a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik, yang mewajibkan pemegang IUP dan
IUPK untuk:

1. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;


2. keselamatan operasi pertambangan;
3. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan
pasca tambang;
4. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara;
5. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat,
cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media
lingkungan;

 
    

Dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”)
Bab XIII mengenai Hak dan Kewajiban, Pasal 90,91,dan 92 pemegang IUP dan IUPK, berhak :

1. melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi
maupun kegiatan operasi produksi.
2.  memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang telah diproduksi
apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi, kecuali mineral ikutan
radioaktif.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 93 UU Minerba perlu digaris bawahi bahwa Pemegang IUP dan
IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain.Untuk pengalihan
kepemilikan dan/atau saham di bursa saham Indonesia hanya dapat dilakukan setelah melakukan
kegiatan eksplorasi tahapan tertentu. Pengalihan kepemilikan dan/atau saham hanya dapat
dilakukan dengan syarat :
Persyaratan Perizinan Usaha Pertambangan Khusus

Pasal 1 angka 11 UU No. 4 Tahun 2009 tentang


Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) mengatur bahwa Izin Usaha
Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut dengan “IUPK”, adalah izin untuk
melaksanakan usaha pertambangan di Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (“WIUPK”).
Dalam bab XI mengenai Persyaratan Perizinan Usaha Pertambangan Khusus,  Pasal 86 UU
Minerba mengatur bahwa Badan usaha yang melakukan kegiatan dalam WIUPK wajib
memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan dan persyaratan
finansial, yang sama dengan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan
tipe-tipe Izin Usaha Pertambangan yang lain. Pemerintah berkewajiban mengumumkan rencana
kegiatan usaha pertambangan di suatu WIUPK, serta memberikan IUPK Eksplorasi dan IUPK
Operasi Produksi kepada masyarakat secara terbuka.

Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2012
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Minerba”), mengatur lebih lanjut mengenai persyaratan yang harus dipenuhi
untuk memperoleh IUPK. Dalam pasal 62 PP Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Minerba, IUPK terdiri atas IUPK Eksplorasi dan IUPK  Operasi Produksi.

Pasal 64 PP Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba mengatur bahwa untuk


memperoleh IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi  harus memenuhi persyaratan:

-
I. PENDAHULUAN

Ketika bicara hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan
paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue
miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim.
Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang
banyaknya para koruptor penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triyulnan rupiah dibebaskan
oleh pengadilan. Dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam.
Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari
keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan.
Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat
keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para
pihak dalam perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan
sejumlah uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena
yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya
dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada
pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.
Dalam situasi yang serba extra ordinary dimana bangsa dan negara kita ini sulit untuk keluar dari
tekanan krisis di segala bidang kehidupan tidak tertutup kemungkinan bangsa Indonesia akan
tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam dan menyeramkan, maka situasi
mencekam seperti ini tidak ayal hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena
dianggap tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Pasca tumbangnya
pemerintahan otoriter tahun 1998, hamper setiap saat dibumi pertiwi ini lahir peraturan
perundang-undangan untuk mengatur dan menjawab problematika kehidupan di Negara ini,
sehingga keberadaan bangka kita ini dalam kondisi hiperregulated society. Namun, dengan
segudang peraturan perundang-undangan, baik menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi
kegidupan manusia Indonesia, keteraturan (order) tidak kunjung datang. Malahan hukum kita
tampak kewelahan, yang akibatnya dengan seabrek peraturan perundang-undangan itu dalam
ranah penegakan hukum justru malah menerbitkan persoalan-persoalan baru ketimbang
menuntaskannya. Hal ini menurut Satjipto Rahardjo, komunitas hukum dianggap sebagai
komunitas yang sangat lamban dalam menangkap momentum.
Sejak tumbangnya pemerintahan otoriter 1998 yang selanjutnya disebut sebagai era reformasi,
sebenarnya merupakan momentum paling penting dan strategis dari segi kehidupan social dan
hukum, namun kondisi ini tidak mampu menggerakkan untuk mengambil manfaat dalam ranah
perbaikan. Institusi yang dijadikan tumpuan pembebasan dan pencerahan, justru menjadi sarang
troble maker bangsa. Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Dalam
situasi keterpurukan hukum seperti ini, maka apapun uapya pembenahan dan perbaikan dibidang
ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan suatu yang musykil dilakukan (mission
impossible) . Hal ini apabila dicermati , minimal terdapat dua faktor utama. Pertama, perilaku
penegak hukum (professional jurist) yang koruptif dan yang kedua, pola pikir para penegak
hukum Indonesia sebagian besar masih terkungkung dalam pikiran legalistic-positivistik,
meskipun system kelembagaan hukum telah ditabuh ke arah perubahan-perubahan namun
paradigma para penegak hukum masih berpola lama (orde baru).
Bahwa dalam harian Kompas tanggal 31 Mei tahun 2002, halaman 27 ditulis, panggung
peradilan Indonesia…., dikepung oleh pelbagai hal yang sangat rawan dengan urusan KKN…,
dan hedoisme…, uang yang bersileweran-pun bukan alang kepalang jumlahnya. Dalam harian
yang sama pada halaman 4 seorang Denny Indrayana mengatakan “sebenarnya persoalan
perilaku jurist itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Namun yang berlangsung di Indonesia
sungguh sudah keterlaluan.
Selanjutnya ketika dikaji dari sisi penegakan hukum yang legal-positivistik, menurut Anis
Ibrahim, rasanya kita sudah lebih dari cukup memiliki peraturan hukum yang dapat digunakan
sebagai garansi kepastian dan keadilan bagi mereka yang sedang berurusan dengan hukum,
Namun, sungguh sangat sulit mendapatkan data yang menggembirakan tentang keadilan yang
muncul dari hukum. Misalnya, Indonesia telah menyatakan korupsi merupakan extra ordinary,
dan karenanya dinyatakan Negara Indonesia berada dalam keadaan darurat korupsi. Hal ini,
melahirkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU nomor 20/2001 yang
mengubah UU Nomor 31/1999). Dan karena Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak mampu
menangani korupsi kelas kakap, maka lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
memiliki kewenangan luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Namun
pemberantasan korupsi yang dilakukan hanya sebatas popularitas, asal sikat dan sering salah
sasaran. Hal ini terbutki, koruptor kelas kakap yang menjarah BLBI trilyunan rupiah nyaris
belum tersentuh. Ironisnya menurut Anis Ibrahim, seandainya ada yang dibawa ke pengadilan
terdapat dua kemungkinan putusan, jika tidak dibebaskan dengan dalih kekurangan alat bukti,
bisa jadi vonisnya tidak jauh dari putusan penjahat sekelas preman jalanan.

II. PERMASALAHAN
Dari latar pemikiran sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan maka pertanyaanya adalah
“bagaimana cara keluar dari keterpurukan hukum di Indonesia ini”?

III. PEMBAHASAN
Menurut Satjipto rahardjo, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang
menjadikannya formal dan procedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan
formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan keadilan sejati atau keadilan substansial di
pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa
dalam praktiknya hukum itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi keadilan subsatansial.
Penggunaan hukum yang demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan
semata-mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai
keadilan.
Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH., progresivisme bertolak dari pandangan
kemanusiaan, bahwa manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih saying serta kepedulian
terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam
masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum menjadi buruk seperti selam ini terjadi di Negara
kita, yang menjadi sasaran adalah para aparat penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan
advokat. Meskipun, apabila kita berfikir jernih dan berkesinambungan, tidak sepenuhnya mereka
dipersalahkan dan didudukan sebagai satu-satunya terdakwa atas rusaknya wibawa hukum di
Indonesia.
Memang sangat menyedihkan hati, ketika melihat kondisi hukum di Indonesia dengan segala
bentuk praktisnya. Penggunaan hukum yang serba formal-prosedural dan teknikal , pada
dasarnya telah banyak melupakan sisi kebenaran materiil, keadilan substansial dan kemanusiaan.
Praktis-praktis hukum yang diterapkan dinegara kita, hingga kini belum mampu memberi garansi
untuk mencapai harkat kemanusiaan yang berkeyakinan, kebenaran materiil dan keadilan
substansial. Kepedulian terhadap hukum yang menjanjikan kebenaran, kemanusian dan keadilan
menurut Satjito Raharjo, baru dapat dicapai jika kita mau keluar dari tawan-tawanan undang-
undang yang serba formal procedural. Manakala menginginkan dan mempercayai hukum beserta
praktiknya masih dapat dijadikan media pencerah bangsa, maka harus berani mencari agenda
alternative yang sifatnya progresif.
Berfikir secara progresif, menurut Satjipto Raharjo berarti harus berani keluar dari mainstream
pemikiran absolutisme hukum, kemudianmenempatkan hukum dalam posisi yang relative.
Dalam hal ini, hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusian. Bekerja
berdasarkan pola pikir yang determinan hukum memang per;uj. Namun itu bukanlah suatu yang
mutlak dilakukan manakala para ahli hukum berhadapan dengan suatu masalah yang jika
menggunakan logika hukum modern akan menciderai posisi kemanusiaan dan kebenaran.
Bekerja berdasarkan pola pikir hukum yang progresif (paradigma hukum progresif), barang tentu
berbeda dengan paradigma hukum positivistis-praktis yang selama ini diajarkan di perguruan
tinggi. Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusua itu
sendiri. Sebaliknya paradigma hukum peositivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia.
Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif
berfikir bahwa justru hukum bolehlah dimarjinalkan untuk mencdukung eksistensialitas
kemanusian, kebenaran dan keadilan.
Agenda utama paradigma hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas
utama dari seluruh perbincangan tentang hukum. Penerimaan faktor manusia di pusat
pembicaraan hukum tersebut membawa kita untuk mempedulikan faktor perilaku (behavior,
experience) manusia. Dalam bahasa Oliver W. Holmes, logika peraturan disempurnakan dengan
logika pengalaman. Jika dalam filosofi paradigma hukum praktis posisi manusia adalah untuk
hukum dan logika hukum, sehingga manusia dipaksa untuk dimasukkan ke dalam hukum, maka
sebaliknya filosofi dalam paradigma hukum progresif adalah hukum untuk manusia. Apabila
faktor kemanusiaan yang ada didalammnyua termasuk juga kebenaran dan keadilan telah enjadi
titik pembahasan hukum, maka faktor etika dan moralitas dengan sendirinya akan ikut tersert
masuk ke dalamnya. Membicarakan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan tidak bisa dilepaskan
dari membicarakan etika dan moralitas. Jadi, dengan tegas paradigma hukum progresif menolak
pendapat yang memisahkan hukum dari faktor kemanusiaan dan moralitas. Disinilah letak
pembebasan dan pencerahan yang dilakukan oleh paradigma hukum progresif.
Hukum progresif mengingatkan, bahwa dinamika hukum tidak kunjung berhenti, oleh karena
hukum terus menerus berada pada status membangun diri, dengan demikian terjadinya
perubahan social dengan didukung oleh social engineering by law yang terencana akan
mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum progresif yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan
manusia. Untuk itu, perlu mendapatkan kehidupan hukum yang berada. Dalam hal ini, menurut
Prof. Dr. Muladi, SH., dibutuhkan predisposisi sebagai berikut :
1. menegakkan Rule of Law. Untuk menegakkan Rule of Law, ada empat hal yang harus
dipenuhi yaitu : Government is under the law, adanya independence of yurisdiction, access to the
counrt of law dan general acqual in certain application and same meaning .
2. Kedua; Democracy, prinsip-prinsip dasar demokrasi yaitu ; constitutional, chek and balance,
freedom of media, judicial independence of precident, control to civil to military, protection to
minoritary.
Kedua hal ini, adalah menjadi bagian dari prinsip-prinsip dari hukum progresif, dimana hukum
bukan sebagai raja, tetapi alat untuk menjabarkan kemanusiaan yang berfungsi memberikan
rahmat kepada dunia dan manusia, hukum bukan sebagai tehnologi yang tak bernurani
melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusian. Pembahsan hukum tidak menyumbat pintu
bagi issue manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu masalah manudia dan kemanusiaan akan
terus menyertai dan ikut mengalir mnemasuki hukum. Maka hukum itu tidak ada untuk dirinya
sendiri, melainkan untuk mengabdi dan melestarikan manusia dengan segala perbincangan
tentang kebenaran dan keadilan di dalamnya.
Kontribusi terbesar dari paradigma hukum progresif adalah menjadikan para jurist untuk menjadi
sososk manusia sebenar-benar manusia, bukan manusia sebagai robot/computer yang berisi
software hukum. Jika demikian, apa bedanya dengan computer jika dalam praktiknya para jurist
sekedar mengikuti perintah dan prosedur yang tercetak dalam undang-undang? Untuk apa
bertahun-tahun susah payah dan sibuk mencetak ahli hukum kika kerjanya tidak lebih dari
computer yang tinggal mencer-mencet? Jadi, paradigma hukum progresif akan mengarahkan
jurist menjadi sosok yang arif-bijaksana dan memiliki wawasan komprehensif dalam mencapai
kebenaran dan keadilan dalam setiap persoalan yang dihadapinya. Paradigma hukum progresif
akan dapat menjinakkan kekakuan dan kebekuan undang-undang. Bukankah UU Nomor 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman kita, mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

IV. PENUTUP/KESIMPULAN
Untuk keluar dari situasi keterpurukan hukum di Indonesia yang selalu dimuat diberbagai media,
bahkan menjadi bahan olok-olok dikampung-kampung, maka harus ada usaha pembebasan diri
dari cara kerja yang konvensional yang diwariskan oleh madzab hukum positif dengan segala
doktrin dan prosedurnya yang serba formal procedural yang justru melahirkan keadilan yang
bersifat formal bukan keadilan substansial. Pencerahan dan pembebasan dari belenggu formal
procedural itu barang tentu hanya dapat ditempuh melalui paradigma hukum progrosif yang
sangat peduli kepada kebenaran, kemanusiaan dan keadilan. Bukankah keberadaan hukum
ditengah-tengah masyarakat tidak hanya dibatasi untuk mencapai kepastian, tapi yang jauh lebih
besar dari itu adalah untuk mencapai kedilan sejati. Hal ini, hanya dapat terwujud dan didapatkan
melalui penegakan hukum secara progresif.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia ; penyebab dan solusinya, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2002.
Anis Ibrahim, Hukum Progresif : Pencarian, pembebasan dan pencerahan, Majalah Program
Doktor Ilmu Hukum UNDIP, April 2006.
Denny Indrayana, Let’s Kill the Lawyer (catatan kasus Elza Syarief), Kompas, 13 Mei 2002.
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia,
Makalah dalam Seminar Nasional Kerja sama IAIN Walisongo dengan Alumni Program Doktor
Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 8 Desember 2004.

Anda mungkin juga menyukai