Anda di halaman 1dari 12

LEGAL RESEARCH

Usaha Pemurnian Bahan Tambang dengan Sianida

Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, mengatur mengenai kegiatan usaha


Pertambangan yang tercantum di dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Pertambangan”). Adapun, dalam
Pasal 1 angka 6 UU Pertambangan, Usaha Pertambangan didefinisikan sebagai suatu
kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan, dan penjualan, serta pasca tambang (“Usaha Pertambangan”).

Dalam Pasal 34 ayat 1 UU Pertambangan, pada pokoknya Usaha Pertambangan


dikelompokkan ke dalam 2 (dua) jenis, sebagai berikut :
a. Pertambangan Mineral; dan
b. Pertambangan Batubara.

Terhadap Pertambangan Mineral sebagaimana dimaksud di atas UU Minerba,


mengkategorikan kegiatan Pertambangan Mineral, ke dalam beberapa golongan sebagai
berikut :
a. Pertambangan Mineral radioaktif;
b. Pertambangan Mineral logam;
c. Pertambangan Mineral bukan logam; dan
d. Pertambangan batuan.
selanjutnya disebut sebagai (“Kegiatan Pertambangan”)

Untuk dapat melakukan Kegiatan Pertambangan sebagaimana dimaksud di atas, Pelaku


Usaha terlebih dahulu harus memperoleh Izin Usaha Pertambangan (“IUP”) yang diterbitkan
oleh Pemerintah Pusat sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 ayat 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan (”PP Usaha
Pertambangan”), kepada Badan Usaha, Koperasi, ataupun Perusahaan Perorangan (“Pelaku
Usaha Pertambangan”). Adapun, perizinan sebagaimana dimaksud di atas, dilaksanakan
dalam bentuk:
a. Izin Usaha Pertambangan (IUP);
b. Izin Pertambangan Khusus (IUPK); dan/atau
c. Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

Adapun, untuk memperoleh perizinan sebagaimana dimaksud di atas, Pelaku Usaha


Pertambangan harus terlebih dahulu memperoleh Nomor Induk Berusaha dengan
mendaftarkan kegiatan usahanya yang didasarkan pada Klasifikasi Lapangan Baku Usaha
Indonesia (“KBLI”), yang sebagaimana diketahui KBLI atas kegiatan usaha pertambangan
khususnya pertambangan emas dan perak diklasifikasikan ke dalam KBLI 07301.

Terhadap tingkat resiko kegiatan usaha Pertambangan Emas dan Perak, diklasifikasikan ke
dalam kegiatan usaha yang memiliki tingkat resiko tinggi. Sehingga, sebagaimana diketahui,
dalam melaksanakan kegiatan usaha dengan tingkat resiko tinggi, pelaku usaha harus
memiliki perizinan berusaha berupa Izin, dalam hal ini berupa Izin Usaha Pertambangan.

Izin Usaha Pertambangan (IUP)

Sebagaimana tercantum di dalam pasal 28 PP Usaha Pertambangan, IUP pada dasarnya


diterbitkan oleh Pemerintah terhadap 2 (dua) tahap Kegiatan Pertambangan, yaitu berupa :

1. IUP Kegiatan Eksplorasi yaitu Izin yang diterbitkan untuk dapat melakukan kegiatan dan
tahapan yang mencakup kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan
atas kondisi geologi, indikasi mineralisasi, serta kelayakan ekonomis dan/atau teknis
atas usaha pertambangan yang termasuk analisis dampak lingkungan dan perencanaan
pascatambang, terhadap WIUP dengan luas paling banyak sebesar 100.000 (seratus
ribu hectare)

2. IUP Kegiatan Operasi Produksi yaitu Izin yang diterbitkan kepada Pelaku Usaha setelah
selesai tahapan eksplorasi sebagaimana dimaksud di atas, untuk dapat melakukan
kegiatan pertambangan yang mencakup kegiatan konstruksi, penambangan,
pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana
pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan, terhadap WIUP
dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu hektare.

Adapun, perolehan IUP Kegiatan Operasi Produksi tersebut di atas, dapat diperoleh apabila
Pelaku Usaha Pertambangan telah melewati tahap kegiatan Eksplorasi dan telah
memperoleh persetujuan permohonan peningkatan tahap kegiatan Operasi Produksi dari
Menteri.

Untuk memperoleh IUP Kegiatan Eksplorasi dan IUP Kegiatan Operasi Produksi sebagaimana
dimaksud di atas, Pelaku Usaha Pertambangan harus terlebih dahulu menyampaikan
permohonan kepada Menteri yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam jangka waktu
10 (sepuluh) hari kerja, sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 ayat 2 PP Usaha
Pertambangan. IUP akan diperoleh Pelaku Usaha Pertambangan, dalam hal telah memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
1. Administratif yang meliputi Surat Permohonan, Nomor Induk Berusaha, dan Data
Perseroan;
2. Persyaratan Teknis yang meliputi :
a. Surat Pernyataan dari ahli pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman
paling singkat 3 (tiga) tahun;
b. Peta usulan WIUP tahap Kegiatan Operasi Produksi yang dilengkapi koordinat berupa
garis lintang dan garis bujur sesuai dengan sistem informasi geografis yang berlaku
secara nasional;
c. Laporan lengkap tahap kegiatan Eksplorasi; dan
d. Laporan Studi Kelayakan yang telah disetujui oleh Menteri.
Persyaratan sebagaimana dimaksud poin b sampai dengan poin d di atas, berlaku
apabila Pelaku Usaha Pertambangan mengajukan permohonan IUP untuk kegiatan
Operasi Produksi.
3. Persyaratan lingkungan berupa :
a. Surat Pernyataan Kesanggupan memenuhi perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dalam hal Pelaku Usaha Pertambangan melakukan permohonan IUP Kegiatan
Eksplorasi; dan
b. Dokumen lingkungan hidup dan persetujuan yang diterbitkan oleh instansi
berwenang, serta dokumen rencana Reklamasi dan rencana pascatambang dalam
hal Pelaku Usaha Pertambangan melakukan permohonan IUP Kegiatan Operasi
Produksi
4. Persyaratan Finansial yang meliputi :
a. laporan keuangan 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik;
b. Surat Keterangan Fiskal;
c. Bukti Pelunasan iuran tetap tahap kegiatan Eksplorasi tahun terakhir (apabila Pelaku
Usaha Pertambangan melakukan permohonan IUP Kegiatan Operasi Produksi)

Izin Pertambangan Rakyat

Selain Izin Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud di atas, dalam Kegiatan Usaha
Pertambangan, terdapat Izin Usaha Pertambangan lain yang dapat diperoleh Pelaku Usaha
Pertambangan, yaitu berupa Izin Pertambangan Rakyat (“IPR”). Sebagaimana tercantum
dalam Pasal 1 angka 11 PP Usaha Pertambangan, IPR yaitu merupakan izin untuk
melaksanakan Usaha Pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas
wilayah dan investasi terbatas.

Untuk dapat memperoleh IPR sebagaimana dimaksud di atas, permohonan IPR hanya dapat
diajukan pada Wilayah Pertambangan Rakyat (“WPR”). Adapun, apabila mengacu pada
Pasal 22 UU Minerba, wilayah pertambangan yang dapat dikategorikan sebagai WPR, harus
memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi
dan tepi sungai;
b. Mempunyai cadangan primer mineral logam dengan kedalaman maksimal 100 (seratus)
meter
c. Endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba;
d. Luas maksimal WPR adalah 100 (seratus) hectare;
e. Menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang dan/atau
f. Memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha
Pertambangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Dalam melakukan permohonan IPR, persyaratan yang harus dipenuhi oleh Pelaku Usaha
Pertambangan Rakyat yaitu persyaratan yang pada umumnya diberlakukan pada
permohonan IUP sebagaimana dimaksud di atas. Akan tetapi, dalam Pelaksanaan IPR,
Pemegang IPR wajib melakukan kegiatan Penambangan dalam jangku waktu paling lambat 3
(tiga) bulan setelah IPR diterbitkan dengan menyusun rencana Penambangan berdasarkan
dokumen pengelolaan WPR yang disusun oleh Menteri yang berkaitan.

Rencana penambangan sebagaimana dimaksud di atas, sekurang-kurangnya memuat :


a. Metode penambangan;
b. Peralatan dan perlengkapan yang digunakan;
c. Jadwal kerja;
d. Kebutuhan personil; dan
e. Biaya atau permodalan.

Adapun, terhadap pelaksanaan IPR sebagaimana dimaksud di atas,PP Usaha Penambangan


memberikan persyaratan teknis kepada Pelaku Usaha Pertambangan dalam melakukan
penambangan untuk tidak :
1. Menggunakan bahan peledak;
2. Tidak menggunakan bahan berbahaya beracun yang dilarang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
3. Tidak melakukan penambangan dengan metode penambangan bawah tanah bagi
perseorangan; dan
4. Menerapkan kaidah tekni pertambangan yang baik khususnya pengelolaan lingkungan
dan keselamatan pertambangan.
Operasi Produksi dan Peningkatan Nilai Tambah Mineral (Pemurnian/Smelting)

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Angka 17 UU Minerba, Operasi Produksi


pertambangan yaitu merupakan suatu tahapan atas kegiatan usaha pertambangan yang
meliputi tahapan konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk
pengangkutan dan penjualan serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan
hasil studi kelayakan. Adapun, berdasarkan Pasal 103 UU Minerba, Pelaku Usaha yang telah
memperoleh IUP Operasi Produksi wajib melakukan peningkatan nilai tambah
pertambangan mineral.

Peningkatan nilai tambah pertambangan mineral sebagaimana dimaksud di atas, dapat


dilakukan terhadap golongan komoditas tambang mineral tertentu, yaitu sebagai berikut :
a. Mineral Logam;
b. Mineral Bukan Logam; dan
c. Batuan.

Peningkatan nilai tambah pertambangan mineral, khususnya terhadap komoditas mineral


logam dapat dilakukan dengan melakukan pengolahan dan pemurnian atas hasil
pertambangan di dalam negeri. Adapun, pemurnian sebagaimana dimaksud yaitu
merupakan proses ekstraksi untuk menghasilkan produk mineral dengan sifat fisik dan kimia
yang berbeda dari Mineral asal.

Sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 1827 K/30/MEM/2018


tentang Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan Yang Baik (“Kepmen ESDM Teknik
Pertambangan”), dalam proses pengolahan dan/atau pemurnian sebagaimana dimaksud di
atas, meliputi kegiatan :
1. Pengolahan dengan cara pengecilan ukuran (sizing), peningkatan kadar (concentrating),
dan pengurangan kadar air (dewatering);
2. Pemurnian mineral dengan cara pengambilan logam berharga (extracting), dan
pemurnian (refining);
Dalam hal proses pengolahan dan/atau pemurnian menggunakan bahan kimia beracun
untuk digunakan sebagai reagen, yang diantaranya yaitu sianida, asam sulfat, asam nitrat,
caustic soda, dan sejenisnya, penggunaan tersebut harus mengikuti standar, kriteria, dan
peraturan perundang-undangan yang mengatur bahan kimia beracun serta standar
pengelolaan sianida berdasarkan International Cyanide Code.

Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan
Berbahaya dan Beracun (“PP Bahan Berbahaya”), terminologi Bahan Berbahaya dan
Beracun (“B3”) didefinisikan sebagai bahan yang karena sifat dan/atau konsentrasinya
maupun karena jumlahnya baik secara langsung ataupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, atau membahayakan lingkungkan
hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. Adapun,
sebagaimana tercantum dalam pasal 4 PP Bahan Berbahaya, Pengelolaan B3 yang meliputi
kegiatan menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau
membuang B3, setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 sebagaimana
dimaksud di atas wajib mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup.

Pengelolaan Operasi Produksi Logam Emas Dengan Sianida yang menghasilkan Limbah

Sebagaimana yang telah diketahui sebelumnya, pada pokoknya Keputusan Menteri ESDM
Nomor 1827 K/30/MEM/2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan Yang Baik,
memperbolehkan Pelaku Usaha Pertambangan untuk menggunakan bahan Sianida dalam
proses pengolahan dan pemurnian hasil tambang. Adapun, dalam Keputusan Menteri ESDM
sebagaimana dimaksud di atas, penggunaan Sianida tersebut harus didasarkan pada standar
yang tercantum dalam International Cyanide Management Code, dan standar yang
tercantum dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan Bahan Berbahaya.

Dalam International Cyanide Management Code, tercantum pokok-pokok perihal yang harus
dilakukan oleh Pelaku Usaha Pertambangan sebagai standar Operasi Produksi
Pertambangan. Pada pokoknya International Cyanide Management Code memberikan
standar penggunaan Sianida dalam pertambangan, harus dilakukan dengan
memperhatikan seluruh tahapan operasi produksi yang aman dan melindungi manusia serta
lingkungan hidup. Adapun, untuk melindungi lingkungan hidup atas penggunaan Sianida
sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan dengan memperhatikan proses tailing atau
limbah sisa yang tertinggal di air dalam proses ekstraksi mineral logam.

Apabila mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang


Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“PP P3LH”),
sebagaimana tercantum dalam Pasal 274, setiap orang yang menghasilkan Limbah wajib
melakukan pengelolaan atas Limbah yang dihasilkannya. Adapun, pengelolaan Limbah
sebagaimana dimaksud yaitu merupakan pengelolaan terhadap Limbah B3 dan Limbah Non-
B3.

Dengan mengacu pada Lampiran IX PP P3LH, pada pokoknya Sianida dapat dikategorikan
sebagai Limbah B3, yang meliputi jenis Sianida sebagai berikut :

Barium Sianida Kalium Perak Sianida


Kalsium Sianida Etil Sianida
Tembaga Sianida Cu (CN) Perak Sianida
Sianida (garam sianida terlarut) Natrium Sianida
Hidrogen Sianida Seng Sianida
Nikel Sianida Kalium Sianida

Adapun, selain berdasarkan rincian Sianida sebagaimana dimaksud di atas, Karakteristik


Limbah B3 dapat dilihat dari sifat limbah tersebut, yang meliputi sifat mudah meledak,
reaktif, korosif dan beracun.
.

Perolehan Izin Lingkungan sebagai syarat untuk memperoleh Izin Usaha Pertambangan

Sebagaimana diketahui sebelumnya, untuk dapat memperoleh IUP, Pelaku Usaha


Pertambangan harus memenuhi studi kelayakan, adapun salah satu aspek di dalam studi
kelayakan yaitu analisis mengenai dampak lingkungan. Oleh karenanya dapat dipahami
Pelaku Usaha Pertambangan harus memenuhi analisis mengenai dampak lingkungan
(AMDAL) guna memperoleh Izin Lingkungan.

Pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah berdasarkan Pasal 22 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UUPLH”), AMDAL adalah Kajian
mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan, untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan serta termuat dalam Perizinan Berusaha, atau
persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

Selain itu, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021, tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk Pada
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Energi dan Sumber Daya
Mineral (Permen Usaha Mineral), dalam Lampiran III disebutkan bahwa standar usaha
pertambangan melalui lelang WIUP dengan KBLI 07301 yaitu usaha tambang emas, dibagi
menjadi 2, yaitu:

− untuk memperoleh IUP


dalam aspek lingkungan yaitu berupa surat pernyataan kesanggupan untuk mematuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.

− untuk peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP OP


dalam aspek lingkungan membutuhkan dokumen lingkungan hidup dan persetujuan
lingkungan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan dokumen rencana reklamasi dan rencana
pascatambang.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PP PPPLH), setiap rencana Usaha
dan/atau kegiatan yang berdampak terhadap Lingkungan Hidup wajib memiliki AMDAL.

Adapun kriteria usaha dan/atau kegiatan yang memiliki dampak penting terhadap
lingkungan dan wajib memiliki AMDAL adalah usaha yang:
a. melakukan pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran lingkungan
hidup dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan
sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan
buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
e. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi
sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
g. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
h. Kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara;
dan/atau
i. Penerapan teknologi yang diperkirakan, mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi lingkungan hidup.

Melalui ketentuan di atas dapat dipahami bahwa usaha pertambangan emas masuk ke
dalam kriteria usaha yang wajib AMDAL dan membutuhkan Izin Lingkungan karena resiko-
resiko yang disebutkan di atas.

Kepemilikan Sianida untuk Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan

Sebagaimana diketahui bersama, Sianida pada pokoknya merupakan salah satu bahan atau
zat kimia yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung
ataupun tidak langsung diakibatkan sifat racun yang terkandung di dalamnya. Adapun,
dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2022 tentang Pendistribusian dan
Pengawasan Bahan Berbahaya (“Permendag Pendistribusian B2”) mengatur ketentuan bagi
pengguna akhir bahan berbahaya yang dalam hal ini yaitu Pelaku Usaha yang menggunakan
Bahan Berbahaya sebagai bahan baku dan/atau penolong untuk memperoleh nilai
tambah (“Pelaku Usaha B2”), perolehan Bahan Berbahaya sebagaimana dimaksud di atas,
dapat diperoleh melalui distributor Bahan Berbahaya baik secara langsung ataupun tidak
langsung.

Dengan memperhatikan Lampiran I Permendag Pendistribusian B2, Bahan Berbahaya yang


dapat Pelaku Usaha B2 peroleh, yaitu salah satunya berupa Sianida (Sianida Oksida dan
Sianida Komplek), dengan kode pos tarif 28.37.

Kepemilikkan Bahan Berbahaya yang digunakan sebagai bahan baku dan/atau bahan
penolong untuk memperoleh nilai tambah sebagaimana dimaksud di atas, Bahan Berbahaya
tersebut dilarang untuk didistribusikan, diperdagangkan dan/atau dipindahtangankan oleh
Pelaku Usaha B2 kepada pihak lain.

Sanksi Pelanggaran dalam Kegiatan Usaha Pertambangan

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, pada pokoknya Pelaku Usaha Pertambangan
dalam menjalankan Kegiatan Usaha Pertambangan, baik dalam melakukan Kegiatan
Eksplorasi dan Kegiatan Operasi Produksi, Pelaku Usaha Pertambangan harus telebih dahulu
memiliki Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan Izin Usaha Pertambangan Operasi
Produksi yang diperoleh secara bertahap untuk dapat melakukan Kegiatan Usaha
Pertambangan secara Legal. Adapun, selain Izin Usaha Pertambangan sebagaimana
dimaksud di atas, dalam menjalankan kegiatan usahanya, Pelaku Usaha Pertambangan wajib
juga untuk memiliki Izin Lingkungan.

Sebagaimana yang telah diketahui sebelumnya, dalam melaksanakan Kegiatan Usaha


Pertambangan, Pelaku Usaha Pertambangan wajib memiliki IUP Eksplorasi dan IUP Operasi
Produksi untuk dapat mengelola dan melakukan pertambangan di Wilayah Usaha
Pertambangan. Dalam hal Pelaku Usaha Pertambangan tidak memiliki IUP Eksplorasi dan
IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud di atas, dapat dikenakan sanksi pidana
sebagaimana tercantum dalam Pasal 158 UU Minerba yaitu :

“Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”

Adapun, ketentuan Pidana juga diberlakukan terhadap pemegang IUP OP, IUPK yang
menampung, memanfaatkan melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, serta
penjualan mineral dan batubara, yang diperoleh bukan dari Pelaku Usaha yang memiliki
IUP OP, dan IUPK, dapat dipidana dengan ketentuan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun, dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000 (sepuluh milia rupiah)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 UU Minerba.

Selain itu, ketentuan Pidana juga dapat dijatuhkan kepada Setiap Pelaku Usaha
Pertambangan yang menyebabkan dampak kerusakkan dan pencemaran lingkungan, akan
tetapi tidak memperoleh izin lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 109 UU PPLH,
yaitu sebagai berikut:

“Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).”

Anda mungkin juga menyukai