Anda di halaman 1dari 10

Penyusunan Laporan Keuangan Perusahaan

Pertambangan – Berbasis PSAK & IFRS dan


Perpajakan Terkini
Posted on April 13, 2015 by admin
Industri Pertambangan merupakan industry yang spesifik dan memiliki karakteristik tersendiri.
Oleh karenanya, dalam penyusunan laporan keuangan diatur oleh pedoman khusus, termasuk juga
peraturan perpajakannya. Dalam pelatihan intensive dua hari ini para peserta akan dibekali
dengan pedoman penyajian laporan keuangan berbasik PSAK, IFRS dan perpajakan yang terkini.
Sehingga para peserta dapat membuat laporan keuangan dengan baik dan benar sesuai dengan
acuan yang berlaku

TUJUAN PELATIHAN
1. Memahami struktur laporan keuangan terutama bagi perusahaan pertambangan
2. Memahami acuan peraturan yang mendasari penyusunan laporan keuangan perusahaan
pertambangan
3. Memahami perubahan PSAK terbaru yang berbasis IFRS
4. Memahami peraturan perundangan dan perpajakan mengenai pengelolaan pertambangan
5. Dapat menyusun laporan keuangan dengan baik dan benar sesuai acuan yang berlaku
METODE PELATIHAN
o Interaktif Kelas dengan Case Study, Group Discussion, & Sharing Experience
o Rencana Kerja dan Capaian Hasil Pelatihan
o Para peserta akan diajak untuk mendiskusikan hasil pelatihan yang akan dijadikan rencana
kerja setelah kembali ke dunia kerja, dan capaian hasil rencana kerja
o Evaluasi Hasil Pelatihan (Optional)
o DMTc juga akan memberikan evaluasi hasil pelatihan para peserta selama pelatihan, jika
dibutuhkan oleh perusahaan
Pokok Bahasan
1. Laporan Keuangan Perusahaan Pertambangan
1. Karakteristik Usaha Industri Pertambangan
2. Tujuan, Bentuk, Prinsip Laporan Keuangan
3. PSAK & IFRS yang terkait
4. Perundangan – undangan & Keppres yang terkait
2. Struktur dan Karateristik Laporan Keuangan
1. Stuktur dan Komponen Laporan Keuangan serta Penjelasannya
2. Biaya Eksplorasi Tangguhan, Biaya Eksplorasi dan Pengembangan Tangguhan, Biaya
Pengelolaan dan Reklamasi Lingkungan Hidup Tangguhan
3. Beban Pokok Penjualan
4. Laporan Rugi Laba Komprehensif
5. Laporan Arus Kas
6. Laporan Perubahan Ekuitas
3. Pengakuan Biaya pada Tahap Pra Operasional.
1. Pengukuran Aset Eksplorasi
2. Komponen Biaya perolehan asset eksplorasi dan evaluasi
3. Pengukuran setelah pengakuan
4. Penurunan Nilai
4. Pengakuan Biaya pada Tahap Produksi dan Kontruksi
1. Biaya Pengupasan Tanah
2. Aktivitas Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3. Kegiatan Kontruksi di Area Pertambangan.
5. Corperate Sosial & Enviromental Liabilites
6. Sewa (Leasing)
1. Operasi – Insentif & Evaluasi Transaksi Bentuk Legal Sewa
2. Financial Lease
7. Aset Tetap & Asset Tak Berwujud
1. Asset Pertambangan
2. Harga Perolehan VS Revaluasi
3. Metode Penyusutan, Umur Manfaat Dan Nilai Sisa
4. Impairment – Mining Spesific Indicator
5. Pengakuan Pencatatan-Komersial vs Fiskal.
8. Inventories – Cost Capitalized.
1. Direct Cost
2. Overhead Cost.
3. Non Direct and Non Overhead Cost.
4. Pendapatan :
5. Penjualan Melalui Agen.
6. Kontrak Jangka Panjang.
7. Asset Swap
9. Valuta Asing.
10. Peristiwa Setelah Periode Laporan yang Memerlukan Penyesuaian.
11. Borrowing Cost.
12. PPh Pasal 21 dan Royalti pada Pertambangan
PESERTA PELATIHAN
Staf dan manager finance,accounting, pajak dan para staf dan manager fungsi lain yang ingin
mengupdate dan memahami standar akuntansi perusahaan tambang

INVESTASI DAN LOKASI PELATIHAN


DMTc Training Center, Gedung Ariobimo Sentral 5th Floor, Jl. HR. Rasuna Said Kav X-2 No.
5, Jakarta
Investasi Rp 4.000.000 per peserta
Discount Rp. 250.000,- untuk Early Bird (Pembayaran 2 minggu sebelum kegiatan training)
Peserta 3 (tiga) orang, discount Rp. 500.000,-/orang

JADWAL PELATIHAN 2017


Feb 23 – 24, Apr 20 – 21, Jun 15 -16, Aug 22 – 23, Oct 19 – 20, Dec 20 – 21
ASPEK PAJAK DAN NON PAJAK PADA IND
BATUBARA

ASPEK PERPAJAKAN DAN PENDAPATAN NEGARA NON PAJAK SERTA


PAJAK DAERAH
DALAM
INDUSTRI PERTAMBANGAN MINERBA
Oleh : Ary Brotodihardjo

I. PENDAHULUAN

Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2009, tentang


Pertambangan Mineral dan Batubara, seperti tersebut dalam Pasal 1 Angka 1, yang
menyatakan bahwa : Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan
dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang
meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca
tambang.

Dengan demikian secara garis besar, perusahaan yang bergerak dalam bidang
usaha industri pertambangan, mempunyai siklus usaha, meliputi :

 Penyelidikan umum,
 Eksplorasi,
 Studi Kelayakan,
 Konstruksi,
 Pertambangan/Eksploitasi,
 Reklamasi

II. KEWAJIBAN PERPAJAKAN DAN PENDAPATAN NEGARA/DAERAH LAINNYA

Dalam siklus usaha tersebut mengandung kewajiban perpajakan, yaitu :

A. KEGIATAN TEKNIS PERTAMBANGAN (BORONGAN)

1. Penyelidikan Umum

Untuk menentukan potensi mineral pada suatu daerah tertentu, perlu dilakukan
pengujian geologis, yang dilakukan dengan menggunakan Jasa dari Peneliti
Geologis sebagai Peneliti.
Jasa Peneliti (pihak lain) merupakan obyek PPN dan PPh Pasal 23/26 dengan
subyek pajak adalah pelaksananya.

2. Eksplorasi
Merupakan rangkaian kegiatan penelitian, pengujian kandungan mineral, pemetaan
wilayah dan kegiatan lainnya yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi tentang
lokasi, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya serta info lingkungan social dan
lingkungan hidup.
Jasa atas kegiatan ini (pihak lain) merupakan obyek PPN dan PPh Ps. 23/26
dengan subyek pajak adalah pelaksananya.

3. Studi Kelayakan

Dibutuhkan sebagai informasi kelayakan ekonomis dan teknis pertambangan,


proses analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pasca tambang.
Studi Kelayakan tersebut memuat data dan keterangan mengenai usaha
pertambangan tersebut, yang dilakukan oleh ahli mengenai hal tersebut.
Atas jasa kegiatan pengujian ini (pihak lain), maka kewajiban pajak yang melekat
adalah PPN dan PPh Ps. 23.

4. Konstruksi

Siklus kegiatan selanjutnya setelah diketahui bahwa proyek pertambangan layak


secara ekonomis, teknis dan lingkungan, maka dilakukan pengembangan
infrastruktur. Pembangunan infrastruktur biasanya dilakukan oleh perusahaan
konstruksi, sehingga Jasa Konstruksi (pihak lain) terkena PPN dan PPh Pasal 4
ayat (2).

5. Pertambangan/Eksploitasi :

Kegiatan Eksploitasi ini pada umumnya meliputi kegiatan :

a. Proses pembukaan lahan (land clearing),


b. Pengeboran dan Penggalian,
c. Pengolahan dan pemurnian
d. Pengangkutan dan Penjualan

Atas Jasa yang dilakukan oleh pihak lain tersebut, ditetapkan kewajiban perpajakan
PPh Ps. 23/26 dan PPN

6. Reklamasi

Reklamasi adalah proses rehabilitasi lingkungan yang rusak akibat kegiatan


penambangan. Apabila proses reklamasi dilakukan oleh pihak lain, maka memiliki
kewajiban pajak berupa PPh Pasal 23/26 dan PPN.

B. PPh Ps. 21

Kewajiban PPh Ps. 21 ditetapkan untuk :

1. Pegawai Tetap,
2. Pegawai Tidak Tetap,
3. Orang Pribadi yang bukan pegawai

C. Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) :


1. Undang-Undang/Peraturan/Surat Edaran

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang pajak Bumi dan
Bangunan yang menjadi obyek pajak bumi dan bangunan adalah bumi dan/atau
bangunan dan yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara
nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi,
dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan
Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 1 Angka 8, Sektor Pertambangan adalah
objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal usaha penambangan bahan-
bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital
dan bahan galian lainnya;
Pengenaan PBB sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) diatur di
dalam :
a. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2012 tanggal 28 Desember
2012 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor
Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan Batubara,
b. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-64/PJ/2012 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2012. Di dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan PBB Mineral dan
Batubara adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan yang
digunakan untuk kegiatan pertambangan mineral dan batubara.
Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minerba meliputi
wilayah izin pertambangan atau wilayah pertambangan sejenis dan wilayah di luar
wilayah izin pertambangan atau wilayah pertambangan sejenis yang merupakan
satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minerba.
2. Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
a. Objek pajak bumi dapat dibagi 2(dua) yaitu :
1) Permukaan bumi yang meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore)
dan/atau perairan lepas pantai (offshore),
2) Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi.
Permukaan bumi untuk areal onshore meliputi : areal produktif, areal belum produktif
(areal cadangan produksi dan areal yang belum dimanfaatkan), areal tidak produktif,
areal emplasemen, dan areal pengaman.
Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk
kegiatan eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan operasi produksi.
b. Obyek pajak bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada areal onshore dan/atau areal offshore.
3. Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar pengenaan dari PBB sektor pertambangan Minerba adalah NJOP yang
merupakan penjumlahan dari NJOP bumi dan NJOP bangunan.
NJOP bumi areal onshore atau areal offshore merupakan hasil perkalian antara total
luas areal yang dikenakan dengan NJOP bumi per meter persegi, sedangkan NJOP
tubuh bumi baik yang eksplorasi atau yang kegiatan operasi produksi merupakan
hasil perkalian antara luas Wilayah Kerja dengan NJOP bumi per meter persegi.
NJOP bumi per meter persegi tersebut merupakan hasil konversi nilai bumi per
meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi yang tercantum di dalam Peraturan
Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bumi.
NJOP bangunan merupakan hasil perkalian antara total luas bangunan dengan
NJOP bangunan per meter persegi, dimana NJOP bangunan per meter persegi
merupakan hasil konversi nilai bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi
NJOP bangunan yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang
klasifikasi NJOP Bangunan.
Nilai bumi per meter persegi masing-masing areal ditentukan sebagai berikut:
a. Areal onshore merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan total
luas areal onshore.
Total nilai bumi merupakan jumlah dari perkalian luas masing-masing areal dengan
nilai bumi per meter persegi masing-masing areal, dimana nilai bumi per meter
persegi untuk areal belum dimanfaatkan dan areal emplasemen ditentukan melalui
perbandingan harga tanah sejenis, dan areal cadangan produksi, areal tidak
produktif, dan areal pengaman ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi
per meter persegi untuk areal belum dimanfaatkan.
b. Tubuh bumi operasi produksi merupakan hasil pembagian antara nilai bumi untuk
tubuh bumi operasi produksi dengan luas Wilayah Kerja.
Nilai bumi untuk tubuh bumi operasi produksi merupakan perkalian Angka
Kapitalisasi dengan hasil bersih galian tambang dalam satu tahun sebelum Tahun
Pajak.
Hasil bersih ditentukan melalui pengurangan pendapatan kotor dengan biaya
produksi galian tambang sedangkan besarnya Angka Kapitalisasi ditetapkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
c. Areal offshore dan tubuh bumi eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak.
Nilai bumi per meter persegi untuk areal offshore ditentukan dengan
mempertimbangkan rata-rata nilai bumi untuk areal daratan terdekat dengan areal
offshore di wilayah Indonesia.
d. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998
Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 8, Besarnya Nilai Jual
Objek Pajak atas objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain
Pertambangan Energi Panas Bumi dan Galian C ditentukan sebagai berikut :
1) Areal Produktif adalah sebesar 9,5 x hasil bersih galian tambang dalam satu tahun
sebelum tahun pajak berjalan.
2) Areal belum produktif, tidak produktif dan emplasemen serta areal lainnya didalam
atau diluar wilayah kuasa pertambangan, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak
berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.
3) Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana
dimaksud pada Pasal 1 angka 15.
e. Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ.6/1999
Tentang Penyempurnaan Tata Cara Pengenaan PBB Sektor Pertambangan Non
Migas Selain Pertambangan Energi Panas Bumi Dan Galian C sebagaimana Diatur
Dengan Surat Edaran Nomor : Se-26/Pj.6/1999, pengenaan PBB atas areal belum
produktif dan areal tidak produktif disempurnakan dengan memperhitungkan
tahapan kegiatan penambangan sebagai berikut :
1) Penyelidikan umum, adalah sebesar 5% dari luas areal Wilayah Kuasa
Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan
dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama
Menteri Keuangan;
2) Eksplorasi pada tahun ke-satu s/d ke-lima, masing-masing sebesar 20% dari luas
areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah
sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
3) Eksplorasi untuk perpanjangan I dan II, adalah sebesar 50% dari luas areal
Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah
sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
4) Pembangunan Fasilitas Eksploitasi (konstruksi) sampai dengan produksi adalah
luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa
tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan.

D. IUP atau IUPK

UU Minerba yang baru yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU No. 4/2009)
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menggantikan UU No. 11/1967.
Usaha pertambangan sesuai dengan Pasal 35 UU No. 4/2009 dilaksanakan dalam
bentuk:
1. IUP atau Izin Usaha Pertambangan,
2. IPR atau Izin Pertambangan Rakyat, dan
3. IUPK atau Izin Usaha Pertambangan Khusus. Ketentuan Fiskal (Perpajakan)

Pasal 128 menyatakan bahwa Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar
pendapatan negara dan pendapatan daerah.
Pendapatan negara yang dimaksud yang terdiri atas penerimaan pajak dan
penerimaan negara bukan pajak. Adapun penerimaan pajak yang dimaksud terdiri
atas pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta bea masuk dan cukai.
Sedangkan penerimaan negara bukan pajak terdiri atas iuran tetap, iuran eksplorasi,
iuran produksi, dan kompensasi data informasi. Dalam hal pendapatan daerah terdiri
atas pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan lain yang sah berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
III. KETENTUAN FISKAL LAINNYA

A. Tarif perpajakan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dari


waktu ke waktu/prevailing law (Pasal 133 Ayat 3 dan Ayat 5, Pasal 136).

B. Adanya kewajiban perpajakan tambahan sekitar 10%, yakni 6% untuk pemerintah


pusat dan 4% untuk pemerintah daerah (Pasal 134 Ayat 1).

C. Besaran tarif iuran produksi (royalty) ditetapkan berdasarkan tingkat pengusahaan,


produksi dan harga (Pasal 137 Ayat 1).

IV. DINAMIKA PERPAJAKAN

Dengan dibentuknya KPP Pertambangan dan KPP Migas, maka Direktorat Jenderal
Pajak dapat semakin menggali penerimaan dari kedua sektor tersebut.
Selain itu, dengan dikeluarkannya PP No 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi
Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) di Bidang Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas), dimana jenis biaya operasi yang tidak dapat
dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan PPh, yang dulunya hanya
mencakup 5 biaya, sekarang mencakup 21 biaya, maka tunggakan-tunggakan pajak
perusahaan migas diharapkan dapat diselesaikan lebih cepat.
Langkah Direktorat Jenderal Pajak dengan membentuk KPP Pertambangan dan
KPP Migas juga untuk memenuhi harapan besar masyarakat luas agar DJP tegas
dalam menagih tunggakan-tunggakan pajak perusahaan-perusahaan besar
pertambangan dan migas.
Pembentukan KPP Pertambangan dan KPP Migas diharapkan oleh Pemerintah agar
dapat memenuhi harapan masyarakat Indonesia akan adanya keadilan dalam
membayar pajak antara perusahaan-perusahaan besar migas dan pertambangan
dengan perusahaan-perusahaan menengah dan kecil di Indonesia yang juga wajib
bayar pajak.
V. PERLAKUAN AKUNTANSI DAN PERPAJAKAN ATAS BIAYA PRA OPERASI
(Pre Operating Cost)
Terdapat cukup banyak praktisi Akuntansi di berbagai perusahaan yang keliru
memperlakukan Biaya Pra-Operasi dalam pelaporan keuangannya. Kerap
ditemukan Biaya Pra=Operasi yang timbul sebelum perusahaan beroperasi secara
komersial, dimasukkan seluruhnya sebagai Biaya Ditangguhkan di Neraca.
Menurut PSAK 6 mengenai Akuntansi dan Pelaporan bagi perusahaan dalam
tahap pengembangan, dalam Paragraf 5, diatur secara jelas, bahwa : Prinsip
Akuntansi yang berlaku umum berlaku untuk semua perusahaan dalam tahap
pengembangan (pra-operasi) baik dalam pengakuan pendapatan maupun dalam
menentukan apakah biaya dibukukan sebagai beban pada periode berjalan, atau
ditangguhkan pembebanannya (dikapitalisasi) untuk
disusutkan/diamortisasi selama periode sesuai dengan pemulihan manfaatnya di
masa depan. Penangguhan pembebanan tersebut hanya terbatas pada biaya-biaya
yang memiliki masa manfaat di masa depan yang antara lain meliputi beban
pendirian perusahaan
Dari paragraph tersebut diatas, jelas bahwa tidak semua biaya yang timbul selama
perusahaan masih dalam kondisi pra-operasi dapat ditangguhkan (dikapitalisasi).
Penangguhan pembebanan hanya diperbolehkan sebatas untuk biaya yang nyata-
nyata dapat memberikan manfaat untuk dapat lebih dari satu periode Akuntansi.
Untuk biaya yang tidak memenuhi criteria tersebut seperti misalnya, biaya kantor,
biaya umum harus langsung dibebankan dalam laba rugi tahun berjalan.
Peraturan Perpajakan juga mengatur perlakuan pencatatan fiscal atas biaya pra-
operasi. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir dengan
UU No. 17 tahun 2000 pasal 11A ayat 6, dijelaskan bahwa : Pengeluaran yang
dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2.

Kemudian, dalam bagian Penjelasan diuraikan lebih jauh bahwa dalam pengertian
pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersil (yang dapat
dikapitalisasi/ditangguhkan) adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi
komersil, misalnya : biaya strudi kelayakan, biaya produksi percobaan, tetapi tidak
termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti Gaji Pegawai, Biaya
Rekening Listrik dan Telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran
operasional yang bersifat rutin ini, tidak dapat dikapitalisasi tetapi dibebankan
sepenuhnya pada pada tahun pengeluaran
tersebut.www.facebook.com/arymanagement
Diposting oleh ARY MANAGEMENT SERVICES di 21.34
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
3 komentar:
1.

RNugraha3 Maret 2016 07.43

Izin copy Pak, terima kasih


Balas

2.

Unknown18 Maret 2016 05.45

Pak mau tanya dalam kasus ini berati tidak di kenakan pph pasal 25 yah ? seperti
apa pak maksudnya kalau dalam pph pasal 25?
Balas

3.

Thomas Hariyono22 Januari 2017 03.59

Izin bertanya:
1.Bagaimana pengenaan pajak onshore dan tubuh.bumi yg arealnya
keduluan.ditanami oleh perkebunan kelapa sawit, karena perusahaan tambang
belum mendapatkan izin pinjam pakai kawasan.hutan dari Kementerian.LH dan
Kehutanan.
2. Bagaimana pengenaan pajak onshore dan tubuh bumi yg belum bisa masuk
kawasan karena izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kementerian LH dan
Kehutanan belum.didapat, karena.terhambat oleh persyaratan Clear and Clean dari
Kementerian ESDM.Statusnya hanya punya izin usaha.tetapi belum.bisa memiliki
dan memanfaatkan areal.
Terima kasih
Balas

Anda mungkin juga menyukai