Anda di halaman 1dari 21

Ulasan Singkat tentang Aspek Perpajakan dalam Pertambangan

Posted on October 3, 2012 by tanyapajak1 Standard

Ada PAJAKers (istilah followers @tanyaPAJAK) yang bertanya tentang Aspek Perpajakan dalam Bidang Usaha Pertambangan. Kurang lebih 3 (tiga) tahun yang lalu, admin @tanyaPAJAK bekerja di perusahaan pertambangan sekaligus berkecimpung dalam pembuatan Studi Kelayakan Proyek dari beberapa usaha Pertambangan. Ada Petambangan Batubara, Timah Hitam, Timah Putih dan Pasir Besi. Nah saat ini admin @tanyaPAJAK mau jelaskan/ sharing secara singkat pengalaman admin dulu yang berhubungan dengan Aspek Perpajakan dalam Bidang Usaha Pertambangan. Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Karena itu, pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Pada umumnya suatu perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan mempunyai siklus usaha sebagai berikut : 1. Penyelidikan umum; 2. Eksplorasi; 3. Studi Kelayakan; 4. Konstruksi; 5. Pertambangan/Eksploitasi; 6. Reklamasi Masing-masing proses tersebut terdapat kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Berikut diampaikan kewajiban perpajakan masing-masing siklus: 1. Penyelidikan Umum: Untuk menentukan potensi mineral pada suatu daerah perlu dilakukan pengujian geologis, untuk itu dibutuhkan jasa dari pihak peneliti geologis untuk melakukan Penelitian. Atas jasa tersebut terutang PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung siapa yang melaksanakan.

2. Eksplorasi: Adalah rangkaian kegiatan penelitian, pengujian kandungan mineral, pemetaan wilayah dan kegiatan lainnya yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi tentang lokasi, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya serta info lingkungan sosial dan lingkungan hidup. Diperlukan jasa dari pihak ketiga yang akan terutang PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung pihak yang melaksanakan. 3. Studi Kelayakan: Dilakukan untuk mendapatkan informasi kelayakan ekonomis dan teknis pertambangan dan proses analisis mengenai dampak lingkungan dan perencanaan pasca tambang, studi kelayakan tersebut memuat data dan keterangan mengenai usaha tambang tersebut. Proses ini dilakukan oleh pihak ketiga yang ahli mengenai hal tersebut. Atas jasa pengujian tersebut terutang PPN dan PPh Ps 23. 4. Konstruksi: Setelah diketahui bahwa proyek pertambangan layak secara ekonomis teknis dan lingkungan, maka dilakukan pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur biasanya dilakukan oleh perusahaan konstruksi. Jasa akan terutang PPN dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi. 5. Pertambangan/Eksploitasi: Kegiatan ini biasanya meliputi Land clearing (proses pembukaan lahan), Pengeboran dan penggalian, pengolahan/pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Atas jasa yang dilakukan oleh pihak ketiga terutang PPh Pasal 23/26 dan PPN. 6. Reklamasi: Adalah proses rehabilitasi lingkungan yang rusak akibat kegiatan penambangan. Apabila proses reklamasi dilakukan oleh pihak ketiga maka akan terutang PPh Pasal 23/26 dan PPN. Selain jenis pajak tersebut diatas, juga terdapat kewajiban pembayaran pajak atas PPh Pasal 21 yaitu untuk pegawai tetap, pegawai tidak tetap, orang pribadi yang bukan pegawai atas upah yang diterima. Selain hal-hal diatas, harus diperhatikan juga tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 1. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada: a. Pasal 1 Angka 1 menyatakan bahwa Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang; b. Pasal 128 menyatakan bahwa Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. Pendapatan negara yang dimaksud yang terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Adapun penerimaan pajak yang dimaksud terdiri atas pajakpajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan serta bea masuk dan cukai. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak terdiri atas iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi, dan kompensasi data informasi. Dalam hal pendapatan daerah terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang pajak Bumi dan Bangunan yang menjadi obyek pajak bumi dan bangunan adalah bumi dan/atau bangunan dan yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai

suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan 3. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 1 Angka 8, Sektor Pertambangan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya; 4. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 8, Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain Pertambangan Energi Panas Bumi dan Galian C ditentukan sebagai berikut: a. Areal Produktif adalah sebesar 9,5 x hasil bersih galian tambang dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan. b. Areal belum produktif, tidak produktif dan emplasemen serta areal lainnya didalam atau diluar wilayah kuasa pertambangan, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya. c. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15. 5. Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ.6/1999 Tentang Penyempurnaan Tata Cara Pengenaan Pbb Sektor Pertambangan Non Migas Selain Pertambangan Energi Panas Bumi Dan Galian C Sebagaimana Diatur Dengan Surat Edaran Nomor : Se-26/Pj.6/1999, pengenaan PBB atas areal belum produktif dan areal tidak produktif disempurnakan dengan memperhitungkan tahapan kegiatan penambangan sebagai berikut: a. Penyelidikan umum, adalah sebesar 5% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan; b. Eksplorasi pada tahun ke-satu s/d ke-lima, masing-masing sebesar 20% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan; c. Eksplorasi untuk perpanjangan I dan II, adalah sebesar 50% dari luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan; d. Pembangunan Fasilitas Eksploitasi (konstruksi) sampai dengan produksi adalah luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan.

Ketentuan Fiskal (Perpajakan) Dalam UU Minerba, beberapa ketentuan fiskal di dalam UU Minerba adalah sebagai berikut: Tarif perpajakan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dari waktu ke waktu/prevailing law (Pasal 133 Ayat 3 dan Ayat 5, Pasal 136). Adanya kewajiban perpajakan tambahan sekitar 10%, yakni 6% untuk pemerintah pusat dan 4% untuk pemerintah daerah (Pasal 134 Ayat 1). Besaran tarif iuran produksi (royalty) ditetapkan berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi dan harga (Pasal 137 Ayat 1). Admin @tanyaPAJAK akan membahas sedikit tentang tentang UU Minerba. Saat ini UU Minerba yang baru yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU No. 4/2009) tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menggantikan UU No. 11/1967. Usaha pertambangan sesuai dengan Pasal 35 UU No. 4/2009 dilaksanakan dalam bentuk: 1) IUP atau Izin Usaha Pertambangan, 2) IPR atau Izin Pertambangan Rakyat, dan 3) IUPK atau Izin Usaha Pertambangan Khusus. Dengan diberlakukannya UU No. 4/2009, sesuai dengan ketentuan penutupnya, UU No. 11/1967 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Namun demikian, tidak semua ketentuan yang ada pada UU No. 11/1967 tersebut dicabut dan langsung dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam ketentuan peralihan Pasal 169 huruf a UU No. 4/2009 dinyatakan bahwa Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) masih berlaku sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian. Hal ini dikarenakan KK dan PKP2B merupakan suatu kontrak yang sah dan harus dihormati oleh pihak-pihak yang membuat. Admin kutip dari berita di web DJP: http://www.pajak.go.id/content/news/kpp-pertambangandan-kpp-migas-diharapkan-dapat-penuhi-harapan-masyarakat-akan-keadilan Saat ini Wajib Pajak (WP) perusahaan tambang besar yang merupakan hasil Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan kontrak karya kini diadministrasikan dan dipantau secara intensif pemenuhan kewajiban perpajakannya oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pertambangan. Tapi baru sebatas perusahaan pertambangan yang besar, yang PKP2B dan kontrak karya, kalau yang Izin Usaha Pertambangan (IUP)-nya Gubernur, Bupati, atau Walikota, itu belum. Dengan dibentuknya KPP Pertambangan dan KPP Migas, maka DJP dapat semakin menggali penerimaan dari kedua sektor tersebut. Selain itu, dengan dikeluarkannya PP No 79 Tahun 2010

tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas), dimana jenis biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan PPh, yang dulunya hanya mencakup 5 biaya, sekarang mencakup 21 biaya, maka tunggakan-tunggakan pajak perusahaan migas diharapkan dapat diselesaikan lebih cepat. Langkah DJP dengan membentuk KPP Pertambangan dan KPP Migas juga untuk memenuhi harapan besar masyarakat luas agar DJP tegas dalam menagih tunggakan-tunggakan pajak perusahaan-perusahaan besar pertambangan dan migas. Pembentukan KPP Pertambangan dan KPP Migas diharapkan dapat memenuhi harapan masyarakat Indonesia akan adanya keadilan dalam membayar pajak antara perusahaan-perusahaan besar migas dan pertambangan dengan perusahaan-perusahaan menengah dan kecil di Indonesia yang juga wajib bayar pajak. Mengutip Rakyat Merdeka (5/4 2012), Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) dan anggota Komisi XI DPR fraksi Golkar, Nusron Wahid, mengemukakan bahwa potensi kerugian pajak negara terbesar berasal dari sektor penambangan, termasuk minyak dan gas (migas), khususnya yang melibatkan korporasi asing. Potensi itu terjadi karena sampai saat ini peraturan perpajakan pemerintah belum dapat menyentuh ke sana, ucap Nusron. DPR mendorong Ditjen Pajak memiliki peraturan yang jelas. Dengan demikian setidaknya negara akan mendapatan pendapatan sebesar Rp 250 triliun setiap tahunnya. Jika itu terealisasi maka pemerintah tidak perlu menaikkan harga ba-han bakar minyak. Selain itu Ditjen Pajak perlu merombak total sistem pajak perusahaan minyak dan gas. karena saat ini masih rancu sehingga memungkinkan beberapa perusahaan migas, khususnya perusahaan migas asing seperti, Exxon Mobil, Chevron, Freeport tidak mau tunduk dengan sistem perpajakan Indonesia. Mereka berdalih karena merujuk pada perjanjian internasional, ujar Nusron. Pernyataan anggota DPR itu mewakili keprihatinan besar masyarakat banyak, apalagi mengingat pemerintah telah menerbitkan 10.235 Izin Usaha Pertambangan (IUP), namun yang terdaftar sebagai wajib pajak baru 5.800 perusahaan saja. Mengutip Republika.co.id, Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Thamrin Sihite pernah mengungkapkan bahwa hanya 41 persen izin tambang di Indonesia yang tak bermasalah. Dari 10.235 pemegang IUP, sebanyak 6.084 izin bermasalah, papar Thamrin. Artinya, hanya 4.151 izin perusahaan pertambangan yang tak bermasalah.

B. Biaya-Biaya yang Tidak Dapat Dikurangkan dari Penghasian Bruto ( Pasal 9 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 )

a) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. b) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota. c) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali : - cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank, sewa guna usaha dengan hak opsi, dan asuransi - cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan yang ketentuan dan syaratsyaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. d) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak orang pribadi yang bersangkutan (wajib dipotong PPh Pasal 21). Apabila pembayaran premi asuransi tersebut belum dibebankan sebagai biaya oleh wajib pajak pemberi kerja, maka wajib pajak dapat melakukan penyesuaian fiskal negatif (SE - 03/PJ.41/2003) e) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali : - Penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh karyawan di tempat kerja secara bersama-sama. - Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu. - Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. - Lihat Keputusan Menteri Keuangan 213/PJ./2001 Jo SE - 14/PJ.31/2003 Nomor 466/KMK.04/2000 Jo KEP -

f) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau pihak yang memiliki hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan. g) Harta yang dihibahkan, bantuan, sumbangan, dan warisan, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayar oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama islam kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. h) Pajak Penghasilan i) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.

j) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. k) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan. l) Pajak Masukan atas Perolehan BKP/JKP yang tidak dapat dikreditkan karena : - Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang PPN (Faktur Pajak Standar cacat), kecuali dapat dibuktikan bahwa PPN tersebut nyata-nyata telah dibayar. - Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP yang termasuk dalam Pasal 9 UndangUndang Nomor 17 Tahun 2000. m) Biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan obyek pajak, yang pengenaan pajaknya bersifat final, pengenaan pajaknya berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dan Norma Penghitungan Khusus. n) Kerugian dari harta atau utang yang tidak dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Obyek Pajak. o) PPh yang ditanggung pemberi kerja, kecuali PPh Pasal 26 sepanjang PPh tersebut ditambahkan sebagai dasar penghitungan untuk pemotongan PPh PPh Pasal 26 tersebut.

Pengertian Akuntansi Pajak Akuntansi perpajakan merupakan suatu seni dalam mencatat, menggolongkan, mengihtisarkan serta menafsirkan transaksi-transaksi finansial yang dilakukan oleh perusahaan dan bertujuan untuk menentukan jumlah penghasilan kena pajak (penghasilan yang digunakan sebagai dasar penetapan beban dan pajak penghasilan yang terutang) yang diperoleh atau diterima dalam suatu tahun pajak untuk dipakai sebagai dasar penetapan beban dan/atau pajak penghasilan yang terutang oleh perusahaan sebagai wajib pajak. Secara sederhana Akuntansi Perpajakan dapat didifinisikan sebagai: Bidang Akuntansi yang mengkalkulasi, menangani, mencatat, bahkan menganalisa dan membuat strategi perpajakan sehubungan dengan kejadian-kejadian ekonomi (transaksi) perusahaan. Prinsip Akuntansi Perpajakan meliputi : Kesatuan Akuntansi Kesinambungan Harga pertukaran yang objektif Konsistensi Konservatif Fungsi Akuntansi Perpajakan adalah mengelola data kuantitatif untuk menyajikan laporan keuangan yang memuat perhitungan perpajakan, yang kemudian akan digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan. Tujuan kualitatif dalam Akuntansi Perpajakan adalah : Relevan Dapat dimengerti Daya Uji Netral Tepat Waktu Daya Banding Lengkap Peranan Akuntansi Perpajakan dalam perusahaan Membuat perencanaan dan strategi perpajakan. Memberikan analisa dan prediksi mengenai potensi pajak perusahaan di masa yang akan datang. Dapat menerapkan perlakuan akuntansi atas kejadian perpajakan (mulai dari penialian/penghitungan, pencatatan (pengakuan) atas pajak, dan dapat menyajikannya

di dalam laporan komersial maupun laporan fiskal perusahaan. Dapat melakukan pengarsipan dan dokumentasi perpajakan dengan lebih baik, sebagai bahan untuk melakukan pemeriksaan dan evaluasi. Pentingnya Akuntansi Pajak Pajak penghasilan seringkali dikenakan atau dipungut atas dasar berbagai asas, tujuan, dan pertimbangan-pertimbangan yang sebagian besar diantaranya justru tidak berhubungan dengan penentuan laba rugi periodik atau penetapan beban dan pendapatan sebagai salah satu tujuan pokok akuntansi keuangan. Sehingga untuk melaksanakan kewajiban pajak dengan benar terutama dalam pengisian dan pelaporan SPT Tahunan sangat penting untuk mengetahui dan mempelajari akuntansi pajak. Pengertian Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Kewajiban Dalam Akuntansi Pajak Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah nilai kewajiban yang diakui oleh Direktorat Jendral Pajak dalam penghitungan laba fiskal atau nilai tercatat kewajiban dikurangi dengan setiap jumlah yang dapat dikurangkan pada masa mendatang. Misalnya : Nilai tercatat beban yang masih harus dibayar (accured expenses) 100. Biaya tersebut dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal dengan dasar kas. DPP-nya adalah nol. Nilai tercatat pendapatan bunga diterima dimuka 100. Untuk tujuan fiskal, pendapatan bunga tersebut dikenakan pajak dengan dasar kas. DPP-nya adalah nol. Nilai tercatat beban masih harus dibayar (accrued expense) 100. Untuk tujuan fiskal biaya tersebut telah dikurangkan. DPP-nya adalah 100. Nilai tercatat beban denda yang masih harus dibayar 100. Untuk tujuan fiskal, beban denda tersebut tidak dapat dikurangkan. DPPnya adalah 100. Nilai tercatat pinjaman yang diterima 100. Pelunasan pinjaman tersebut tidak mempunyai konsekuensi pajak. DPP-nya adalah 100. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) ditentukan menurut prinsip dasar yang digunakan dalam Pernyataan PSAK 46, dengan beberapa pengecualian, perusahaan harus mengakui kewajiban pajak tangguhan apabila pelunasan nilai tercatat kewajiban tersebut akan mengakibatkan pembayaran pajak pada periode mendatang lebih kecil dibandingkan dengan pembayaran pajak sebagai akibat pelunasan kewajiban yang tidak memiliki konsekuensi pajak. Beberapa pengertian istilah dalam akuntansi Perpajakan Pajak Penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan.

Pajak Penghasilan Final adalah pajak penghasilan yang bersifat final, yaitu bahwa setelah pelunasannya, kewajiban pajak telah selesai dan penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan final tidak digabungkan dengan jenis penghasilan lain yang terkena pajak penghasilan yang bersifat tidak final. Pajak jenis ini dapat dikenakan terhadap jenis penghasilan, transaksi, atau usaha tertentu. Laba adalah laba atau rugi bersih selama satu periode sebelum dikurangi beban pajak. Penghasilan kena paiak atau laba fiskal (taxable profit) atau rugi pajak (tax loss) adalah laba atau rugi selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan yang menjadi dasar penghitungan. Beban paiak (tax expense) atau penghasilan pajak (tax income) adalah jumlah agregat pajak kini (current tax) dan pajak tangguhan (deferred tax) yang diperhitungkan dalam penghitungan laba atau rugi pada satu periode. Pajak kini (current tax) adalah jumlah pajak penghasilan terutang (payable) atas penghasilan kena pajak pada satu periode. Kewajiban pajak tanguhan (deferred tax liabilities) adalah jumlah pajak penghasilan terutang (payable) untuk periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak. Aset pajak tangguhan (deferred tax assets) merupakan jumlah pajak penghasilan terpulihkan (recoverable) pada periode mendatang sebaga; akibat adanya : (a) -perbedaan temporer yang boleh dikurangkan, dan (b) -sisa kompensasi kerugian penghasilan. Beban paiak (tax expense) atau penghasilan pajak (tax income) adalah jumlah agregat pajak kini (current tax) dan pajak tangguhan (deferred tax) yang diperhitungkan dalam penghitungan laba atau rugi pada satu periode. Pajak kini (current tax) adalah jumlah pajak penghasilan terutang (payable) atas penghasilan kena pajak pada satu periode Kewajiban pajak tanguhan (deferred tax liabilities) adalah jumlah pajak penghasilan terutang (payable) untuk periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak Aset pajak tangguhan (deferred tax assets) adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan (recoverable) pada periode mendatang sebaga; akibat adanya :

Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan, dan Sisa kompensasi kerugian Setiap pembayaran/pemungutan/pemotongan pajak yang dilakukan perusahaan adalah transaksi finansial yang harus dicatat sesuai dengan tugas dan fungsi akuntansi. Pajak mempunyai beberapa sifat sbb : 1. Pajak merupakan Iuran masyarakat kepada pemerintah yang pembayarannya dapat dipaksakan. Karena dapat dipaksakan ini sering petugas pajak berlaku sewenangwenang dalam menjalankan tugasnya. Hal ini juga dipicu oleh banyaknya wajib pajak yang tidak memenuhui kewajibannyanya sebagaimana mestinya serta kekeliruan dalam mencatat transaksi, khususnya yang berhubungan dengan pajak. Pemungutan pajak berdasarkan undang-undang dan berpihak kepada kepentingan pemerintah. Banyak pengusaha menilai undang-undang dan pertauran perpajakan tidak kondusif. 2. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah 3. Wajib pajak tidak mendapat imbalan jasa (kontraperstasi) secara langsung, akan tetapi wajib pajak mendapat perlindungan dari negara dalam mendapatkan pelayanan sesuai haknya sebagai warga negara. 4. Pajak mempunyai fungsi mengatur sektor sosial, ekonomi maupun budaya. Berdasarkan cara pemungutannya (khususnya pajak pusat) dapat dibagi atas: a. Pajak langsung, Pajak Penghasilan, Pajak kekayaan yang dikenakan berulang-ulang pada waktu tertentu sesuai undang-undang. Pajak penghasilan dan pajak kekayaan ditanggung dan dibayar oleh wajib pajak dan tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain. b. Pajak tidak langsung, Pajak Penjualan, Bea meterai, dikenakan pada saat terjadinya perbuatan/transaksi kena pajak, dapat dipindahkan kepada pihak lain. Berikut ini adalah beberapa jenis pajak yang secara umum selalu dihadapi oleh perusahaan : Pajak penghasilan Perseroan : Pajak yang dipungut atas penghasilan (laba bersih) Walaupun penentuan besarnya Pph, berdasarkan penghasilan bersih menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Akhir, Wajib pajak diminta untuk melakukan angsuaran

bulanan. Maka mencatat angsuran pajak perseroan dicatat sebagai beban/Pajak dibayar dimuka. Beban/Pajak Dibayar dimuka x,xxx,xxx Kas x,xxx,xxx Pada akhir tahun Beban/Pajak dibayar dimuka dilakukan penyesuaaian dengan kewajiban pajak sesungguhnya. Pajak penghasilan karyawan (Pph 21) yaitu pajak menjadi beban karyawan atas penghasilan yang diperoleh. Dengan demikian pajak ini tidak merupakan beban perusahaan. Dalam hal ini perusahaan hanya berkewajiban menghitung dan memotong gaji/upah. Oleh karena itu setiap terjadi pemotongan yang telah dilaksanakan timbul utang kepada pemerintah sampai dlakukan penyetoran ke kas negara. Jurnal pencatatan PPh 21 a. Pada saat pemotongan (dilakukan pada saat pembayaran gaji) Biaya Gaji xxx,xxx Pajak penghasilan (PPh 21) xxx,xxx Kas ( Gaji yang dibayarkan) xxx,xxx b. Saat menyetor ke kas negara Pajak penghasilan (pph 21) x,xxx,xxx Kas x,xxx,xxx Penyetoran pajak penghasilan (PPh) pasal 21 adalah penyetoran kewajiban karyawan yang dipotong dari penghasilannya sesuai undang-undang yang tidak terkait dengan asset/beban/biaya perusahaan sehingga mencatat penyetoran pajak penghasilah sebagai biaya dibayar dimuka adalah kekeliruan. PPN, Biaya meterai adalah pajak yang dikenakan pada saat terjadinya transaksi dengan pengusaha kena pajak atau disebuut PKP (penjualan), biasanya dibebankan kepada pembeli. PPN merupakan bagian dari beban/biaya bukan Asset dan dapat dipindahkan kepada pihak lain bila barang tersebut dijual. PPN, Biaya meterai juga tidak dicatat sebagai biya dibayar dimuka Pada saat membeli barang yang dikenakan PPN timbul kewajiban atas PPN (PPN Masukan) yang merupakan bagian dari rekening Pasiva (Hutang). Dalam pembayaran

pembelian tersebut sebagian kas yang dibayarkan adalah untuk membayar Utang PPN tersebut. (tidak ada hubungannya dengan biaya dibayar dimuka). Pada saat menjual, perusahaan berkewajiban memungut pajak atas penjualan barang kena pajak,(PPN Keluaran) sehingga timbul utang kepada negara dan hutang tersebut dapat dikompensasikan langsung dengan beban pajak yang terjadi pada saat membeli barang tersebut (PPN Masukan). Bila PPN Keluaran lebih besar dari PPN Masukan maka pada neraca akan terlihat sebagai hutang sedangkan bila PPN Masukan lebih besar dari pada PPN keluaran tidak akan ditampilkan pada neraca karena dicatat sebagai beban perusahaan. Pencatatan PPN sebagai biaya dibayar dimuka adalah kekeliruan. Contoh Jurnal PPN. Saat Pembelian Pembelian/Persediaan barang dagang x,xxx,xxx PPN x,xxx,xxx Kas/utang x,xxx,xxx Saat Penjualan Kas/Piutang x,xxx,xxx Penjualan x,xxx,xxx PPN x,xxx,xxx Jika Saat pembelian dicatat sebagai persediaan maka Persediaan x,xxx,xxx Harga Pokok x,xxx,xxx Bila pada periode tertentu menaca menunjukan adanya hutanng PPn, maka utang tersebut berarti ppn keluaran lebih besar dari pada ppn masukan dan kelebihan tersebut harus disetor ke kas negara. Jurnal Pada Saat Penyetoran ke kas negara PPN x,xxx,xxx Kas x,xxx,xxx Penggunaan dana perusahaan yang disebutkan sebagai piutang pemegang saham, oleh petugas pajak dapat dianggap sebagai penghasilan bagi pemegang saham, dan dikenakan PPh.

Perhitungan PPN. Ada dua cara untuk menghitung PPN yaitu : Exclude PPN (Excl) : Yaitu PPN dihitung n % dari nilai jual barang /Jassa kena pajak setelah dikurangi discount. Include PPn (InCl) : Yaitu Nilai Jual sudah termasuk PPN n % Non PPN adalah bentuk transaksi hanya berlaku untuk penyerahan barang dan jasa tidak kena pajak.

EKSPLORASI

Perlakuan Akuntansi

Biaya yang timbul atas kegiatan eksplorasi dan evaluasi di suatu Area of Interest wajib dibebankan pada periode berjalan, kecuali bilamana memenuhi salah satu dari kondisi di bawah ini, maka biaya tersebut dapat ditangguhkan pembebanannya.

a) Ijin untuk melaksanakan eksplorasi di Area of interest tersebut masih berlaku dan kegiatan eksplorasinya pada tanggal neraca belum selesai, serta kegiatan eksplorasi yang berarti (significant) dalam Area of interest terkait masih terus berlangsung, sehingga pada tahap ini belum dapat ditentukan apakah eksplorasi tersebut akan dapat menghasilkan Cadangan Terbukti. b) Ijin untuk melaksanakan kegiatan pertambangan di Area of interest tersebut masih berlaku dan dapat dibuktikan bahwa biaya eksplorasi yang terjadi diharapkan dapat diperoleh (recovered) kembali dari hasil produksi Cadangan Terbukti yang bersangkutan atau dari hasil yang akan diperoleh bilamana hak penambangannya dipindahtangankan /dialihkan kepada pihak lain.

18. Biaya penyusutan aktiva tetap yang mendukung kegiatan eksplorasi dialokasikan sebagai bagian biaya eksplorasi.

19. Apabila suatu penyelidikan umum tidak dikaitkan secara khusus pada program eksplorasi tertentu, maka biaya yang dikeluarkan untuk penyelidikan umum tersebut dibebankan pada periode berjalan.

20. Biaya bunga yang terjadi karena pendanaan kegiatan eksplorasi ditangguhkan (selama biaya eksplorasinya pun dapat ditangguhkan) dengan mengacu kepada PSAK No. 26 tentang Akuntansi Bunga untuk Periode Konstruksi.

21. Biaya umum dan administrasi yang berkaitan langsung dengan kegiatan eksplorasi ikut ditangguhkan sebagai bagian dari Biaya Eksplorasi yang Ditangguhkan.

22. Pendapatan lain-lain yang diperoleh sehubungan dengan kegiatan eksplorasi dikurangkan dari Biaya Eksplorasi yang Ditangguhkan .

23. Amortisasi Biaya Eksplorasi yang Ditangguhkan lihat paragraf 31 (e).

24. Nilai Tunai Biaya Eksplorasi yang Ditangguhkan harus ditaksir dan dilaporkan sebagaimana diatur pada paragraf 50.

Penyajian Laporan Keuangan

25. Jumlah biaya eksplorasi yang dibebankan pada periode berjalan (di luar biaya amortisasi atas Biaya Eksplorasi yang Ditangguhkan) disajikan secara tersendiri dalam laporan laba-rugi sebagai Beban Eksplorasi.

26. Biaya yang ditangguhkan atas kegiatan eksplorasi disajikan sebagai Biaya Eksplorasi yang Ditangguhkan.

Pengungkapan

27. Hal-hal berikut ini wajib diungkapkan dalam catatan laporan keuangan.

a) Kebijakan akuntansi sehubungan dengan dasar penentuan: i) Biaya Eksplorasi yang Ditangguhkan atas kegiatan eksplorasi yang masih berjalan dengan penjelasan mengenai jangka waktu kontrak untuk Area of Interest yang bersangkutan; ii) Biaya Eksplorasi yang Ditangguhkan atas kegiatan eksplorasi yang sudah menemukan adanya Cadangan Terbukti dengan penjelasan bahwa amortisasinya baru akan dilaksanakan pada saat dimulainya produksi.

b) Dalam penyajian Biaya Eksplorasi yang Ditangguhkan harus dibedakan antara Biaya Eksplorasi yang Ditangguhkan atas kegiatan eksplorasi yang masih berjalan dengan Biaya Eksplorasi yang Ditangguhkan atas kegiatan eksplorasi yang telah menemukan Cadangan Terbukti.

c) Apabila terdapat lebih dari satu Area of Interest, maka harus diungkapkan rincian dari Biaya Eksplorasi yang Ditangguhkan untuk tiap-tiap Area of Interest.

d) Jumlah pembebanan biaya eksplorasi pada periode berjalan serta alasan pembebanannya.

Pengembangan Dan Konstruksi

a) Biaya yang terjadi atas kegiatan pengembangan suatu Area of Interest tertentu baik langsung maupun tidak langsung ditangguhkan pembebanannya sebagai Biaya Pengembangan yang Ditangguhkan.

b) Biaya penyusutan aktiva tetap yang dipergunakan dalam melaksanakan kegiatan pengembangan ditangguhkan sebagai bagian dari Biaya Pengembangan yang Ditangguhkan .

c) Biaya umum dan administrasi yang berkaitan langsung dengan kegiatan pengembangan ditangguhkan sebagai bagian dari Biaya Pengembangan yang Ditangguhkan; sedangkan biaya umum dan administrasi yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan pengembangan harus diperlakukan sebagai beban pada periode berjalan.

d) Pada saat sejak dimulainya produksi suatu Area of Interest, Akumulasi Biaya Pengembangan yang Ditangguhkan dan Akumulasi Biaya Eksplorasi yang Ditangguhkan atas Area of lnterestyang sama dijumlahkan, dan penjumlahan biaya tersebut diamortisasi; biaya amortisasi dibebankan sebagai biaya produksi.

e) Perhitungan amortisasi didasarkan pada metode unit produksi. Pada keadaan tertentu, apabila dianggap dapat memberikan informasi keuangan yang lebih tepat, amortisasi dihitung berdasarkan taksiran umur ekonomis dari Area of/nteres tersebut. Dasar perhitungan amortisasi yang dipilih harus diterapkan secara konsisten. Apabila dipergunakan metode unit produksi, maka tingkat amortisasi tiap tahunnya harus didasarkan pada jumlah cadangan yang secara wajar dapat diproduksi sampai dengan akhir periode eksploitasi Area of Interest yang bersangkutan. Apabila amortisasi didasarkan pada jangka waktu, maka taksiran umur ekonomis tidak boleh lebih panjang dari periode eksploitasi. Periode eksploitasi yang dimaksud adalah berdasarkan perijinan yanq berlaku.

f) Apabila terjadi penundaan produksi di suatu Area of Interest tertentu setelah kegiatan pengembangan selesai, maka pada setiap akhir periode akuntansi selama masa penundaan tersebut, jumlah Akumulasi Biaya Pengembangan dan Biaya Eksplorasi yang Ditangguhkan harus di evaluasi apakah masih dapat diperoleh kembali (recovered) dari nilai taksiran hasil produksi Cadangan yang bersangkutan. Apabila ternyata nilai taksiran hasil produksi tersebut lebih rendah daripada jumiah biaya yang ditangguhkan, maka selisihnya harus dibebankan pada periode berjalan. Metode dan faktor- faktor yang digunakan dalam melaksanakan evaluasi ini diatur pada paragraf 50.

32. Biaya Konstruksi. Semua biaya yang terjadi atas pekerjaan konstruksi dan prasarana dikapitalisasi sebagai aktiva tetap, dan selanjutnya disusutkan berdasarkan umur ekonomis dari aktiva yang bersangkutan. Saat dimulainya penyusutan dan pembebanan biaya penyusutan diatur sebagai berikut:

a) Aktiva tetap yang dipergunakan langsung dalam proses produksi, penyusutannya mulai dihitung pada saat produksi komersial dimulai; dan biaya penyusutannya dibebankan sebaqai biaya produksi. b) Sedangkan terhadap aktiva tetap yang penggunaannya tidak langsung berhubungan dengan proses produksi, penyusutannya dimulai pada saat selesainya pekerjaan konstruksi aktiva tetap yang bersangkutan; dan biaya penyusutannya dibebankan sebagai beban usaha periode berjalan.

33. Biaya-bunga yang terjadi karena pendanaan untuk pekerjaan pengembangan dan konstruksi ditangguhkan atau dikapitalisasi dengan mengacu kepada PSAK No. 26 tentang Akuntansi Bunga untuk Periode Konstruksi.

Penyajian Laporan Keuangan

34. Biaya Pengembangan yang Ditangguhkan disajikan dalam neraca bersama-sama dengan Biaya Eksplorasi yang Ditangguhkan (atas kegiatan eksplorasi yang sudah menemukan cadangan terbukti) sebagai Biaya Eksplorasi dan Pengembangan yang Ditangguhkan.

35. Untuk periode akuntansi di mana produksi komersial telah dimulai, Biaya Eksplorasi dan Pengembangan yang Ditangguhkan disajikan sebesar jumlah netonya, yaitu setelah dikurangi dengan amortisasi.

36. Jumlah penurunan (write down) akibat dilakukannya evaluasi terhadap Biaya Eksplorasi dan Pengembangan yang Ditangguhkan sebagaimana yang disebutkan pada paragraf 31 (f), disajikan secara tersendiri dalam laporan laba-rugi sebagai penurunan nilai Biaya Eksplorasi dan Pengembangan yang Ditangguhkan .

37. Biaya pekerjaan konstruksi dan prasarana yang masih dalam pelaksanaan disajikan sebagai Pekerjaan Konstruksi dalam Penyelesaian

Pengungkapan

38. Hal-hal berikut wajib diungkapkan dalam catatan laporan keuangan.

a) Kebijakan akuntansi sehubungan dengan: i) Dasar penentuan ditangguhkannya biaya pengembangan dan kapitalisasi biaya pekerjaan konstruksi dan prasarana. ii) Metode amortisasi dan penyusutan yang dipergunakan dengan penjelasan jangka waktu perijinan nenambanqan dan taksiran umur ekonomis tambang.

b) Biaya Pengembangan yang Ditangguhkan atas kegiatan pengembangan yang masih berjalan.

c) Biaya Eksplorasi dan Pengembangan yang Ditangguhkan dimana terjadi penundaan masa produksi, meliputi penjelasan

i) Alasan terjadinya penundaan, ii) Amortisasi belum diperhitungkan karena belum dinilainya produksi, dan iii) Jumlah penurunan (write down) akibat dilakukannya evaluasi bila ada, terhadap biaya yang ditangguhkan tersebut, serta metode dan asumsi utama yang dipergunakan dalam menghitung penurunan nilai tersebut. d) Apabila terdapat lebih dari satu Area of Interest maka harus diungkapkan rincian dari Biaya Eksplorasi dan Pengembangan yang Ditangguhkan untuk tiap-tiap Area of Interest.

Produksi

42. Semua biaya yang terjadi sehubungan dengan produksi dicatat sebagai Barang dalam Proses Produksi.

43. Beban Pokok Produksi meliputi biaya produksi dengan memperhitungkan saldo awal dan akhir Barang dalam Proses Prn ksti

44. Beban Pokok Persediaan per unit dihitung dengan menggunakan metode rata-rata atau first in first out.

45. Persediaan meliputi persediaan dalam proses produksi, barang jadi, dan persediaan bahan penunjang.

46. Biaya pengupasan tanah penutup dibedakan antara pengupasan tanah awal untuk membuka tambang, yaitu pengupasan tanah yang dilakukan sebelum produksi dimulai dan pengupasan tanah lanjutan yang dilakukan selama masa produksi. Biaya pengupasan tanah awal merupakan bagian dari Biaya Pengembangan yang Ditangguhkan, sedangkan biaya pengupasan tanah laniutan dibebankan sebagai biaya produksi.

Sebelum produksi dilaksanakan, dihitung terlebih dahulu Rasio Rata-Rata Tanah Penutup (Average Stripping Ratio), yaitu perbandingan antara taksiran kuantitas lapisan batuan/tanah penutup terhadap taksiran ketebalan bahan galian (seperti batubara) yang juga dinyatakan dalam satuan unit kuantitas.

47. Biaya pengupasan tanah lanjutan pada dasarnya dibebankan sebagai biaya produksi berdasarkan Rasio RataRata Tanah Penutup. Dalam keadaan di mana Rasio Aktual Tanah Penutup (yaitu rasio antara kuantitas tanah/batuan yang dikupas pada periode tertentu terhadap kuantitas bagian cadangan yang diproduksi untuk periode yang sama) tidak berbeda jauh dengan rasio rata-ratanya, maka biaya pengupasan tanah yang timbul pada periode tersebut seluruhnya dapat dibebankan sebagai biaya produksi . Dalam hal rasio aktual berbeda jauh dengan rasio rata-ratanya, maka bila rasio aktual lebih besar dari rasio rata-ratanya, kelebihan biaya pengupasan ditangguhkan pembebanannya dan dibukukan sebagai Biaya Pengupasan yang Ditangguhkan. Selanjutnya, biaya yang ditangguhkan ini dibebankan sebagai biaya produksi pada periode di mana rasio aktual jauh lebih kecil dari rasio rata-ratanya .

48. Bila terjadi perubahan atas Rasio Rata-Rata Tanah Penutup, maka perubahan ini merupakan perubahan estimasi.

49. Selama masa produksi, secara berkala harus dievaluasi besarnya taksiran Cadangan Terbukti yang dapat diproduksi dan biaya pengembangan lanjutan yang ditaksir akan dibutuhkan untuk memproduksi cadangan tersebut di masa mendatang. Hal ini merupakan dasar perhitungan amortisasi Biaya Eksplorasi dan Pengembangan yang Ditangguhkan.

50. Tiap-tiap akhir periode akuntansi, saldo dari Biaya Eksplorasi dan Pengembangan yang Ditangguhkan harus dievaluasi kelayakannya dengan membandingkan saldo tersebut terhadap nilai tunai (present value) dari taksiran produksi bahan galian tambang yang akan diproduksi selama sisa umur tambang (sisa umur tambang tidak boleh lebih panjang dari periode eksploitasi sesuai dengan ijin yang berlaku). Apabila ternyata nilai taksiran hasil produksi tersebut lebih rendah dari saldo biaya yang ditangguhkan tersebut, maka selisihnya harus dibebankan pada periode berjalan.

Penyajian Laporan Keuangan

51. Persediaan dinyatakan di neraca sebesar harga yang terendah antara harga perolehan dengan harga pasar. Harga pasar merupakan taksiran harga jual pada tanggal neraca dikurangi dengan taksiran beban yang akan terjadi dalam menjual barang tersebut.

52. Jumlah penurunan (write down) dari Biaya Eksplorasi dan Pengembangan yang Ditangguhkan disajikan seperti diatur pada paragraf 36.

Pengungkapan

53. Hal-hal berikut wajib diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.

a) Kebijakan akuntansi sehubungan dengan: i) Metode penentuan Beban Pokok Persediaan dan dasar penilaiannya, ii) Metode pembebanan biaya pengupasan tanah dan iii) Metode perhitungan Rasio Rata-Rata Tanah Penutup.

b) Jumlah Biaya Pengupasan Tanah yang Ditangguhkan dengan penjelasan mengenai perbedaan antara Rasio Aktual Tanah Penutup terhadap rasio rata-ratanya.

c) Perubahan atas Rasio Rata-Rata Tanah Penutup (bila ada).

d) Pengungkapan seperti yang diwajibkan pada paragraf 38 (c)

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

58. Biaya pengadaan prasarana PLH dikapitalisasikan sebagai Aktiva Tetap dan disusutkan secara sistematis berdasarkan umur ekonomisnya.

59. Taksiran kewajiban PLH harus diakru, apabila memenuhi persyaratan berikut.

a) Terdapat petunjuk yang kuat bahwa telah timbul kewajiban pada tanggal neraca akibat kegiatan yang telah dilakukan;

b) Terdapat dasar yang wajar untuk menghitung jumlah kewajiban yang timbul.

60. Taksiran biaya untuk PLH yang timbul sebagai akibat kegiatan eksplorasi dan pengembangan diakru dengan mendebet Biaya PLH yang Ditangguhkan dan mengkredit Kewajiban (Provision) PLH. Biaya yang ditangguhkan ini akan diamortisasi pada saat mulainya produksi komersial; biaya amortisasinya dibukukan sebagai Biaya Produksi.

61. Taksiran biaya untuk PLH yang timbul sebagai akibat kegiatan produksi tambang dibebankan sebagai biaya produksi denqan mengkredit Kewajiban (Provision) PLH.

62. Pembayaran atas kewajiban PLH selama tahun berjalan dibukukan sebagai pengurang taksiran Kewajiban PLH.

63. Pada tanggal neraca, jumlah taksiran Kewajiban PLH harus dievaluasi kembali untuk menentukan apakah jumlah akrualnya telah memadai.

64. Apabila jumlah pengeluaran PLH yang sesungguhnya terjadi pada tahun berjalan sehubungan dengan kegiatan periode lalu lebih besar dari pada jumlah akrual yang telah dibentuk, maka selisihnya dibebankan ke biaya produksi periode di mana kelebihan tersebut timbul.

Penyajian Laporan Keuangan

65. Taksiran Kewajiban PLH disajikan di neraca sebesar jumlah kewajiban yang telah diakru, setelah dikurangi dengan jumlah pengeluaran yang sesungguhnya terjadi.

Pengungkapan

66. Hal-hal berikut ini wajib diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.

a) Kebijakan akuntansi sehubungan dengan: i) Perlakuan akuntansi atas pembebanan biaya PLH, ii) Metode amortisasi atas biaya PLH yang ditangguhkan, dan

iii) Metode penyusutan prasarana PLH.

b) Mutasi taksiran kewajiban PLH selama tahun berjalan dengan menunjukkan:

i) Saldo awal, ii) Penyisihan yang dibentuk, iii) Pengeluaran sesungguhnya, dan iv) Saldo akhir.

c) Kegiatan PLH yang telah dilaksanakan dan yang sedang berjalan .

d) Kewajiban bersyarat sehubungan dengan PLH dan kewajiban bersyarat lainnya sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan.

Anda mungkin juga menyukai