Anda di halaman 1dari 34

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

(PBB) DAN BEA PEROLEHAN


HAK ATAS TANAH DAN
BANGUNAN (BPHTB)
Disusun oleh kel. 6 :
Farhan Syukri
Rabbi Atul Adawiyah
Vira Annisa Putri
PAJAK BUMI DAN PEMBANGUNAN (PBB)
A. Definisi dan Konsep Dasar
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau
bangunan yang dibayarkan setiap tahun berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No.12 Tahun 1994. PBB merupakan
pajak yang bersifat kebendaan, artinya besarnya pajak yang terutang ditentukan oleh keadaan objek
yaitu bumi dan/atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan
besarnya pajak. Dalam perkembangannya PBB sektor pedesaan dan perkotaan menjadi Pajak Daerah
yang diatur dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(PDRD) Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 mulai tahun 2010.

Dalam UU N0 28 Tahun 2009 memuat tentang Ketentuan Umum yang memberikan penjelasaan
mengenai istilah-istilah teknis atau definisi PBB:
 - Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Pengertian ini berarti bukan
hanya tanah permukaan bumi saja tetapi meliputi tubuh bumi dari permukaan sampai dengan
magma, hasil tambang, gas material yang lainnya.
. - Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan.
Dalam pasal 77 ayat (2) Undang-Undang PDRD, disebutkan bahwa termasuk dalam pengertian
bangunan adalah :
 Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan
emplasemennya dan lain-lain yang satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut

 Jalan TOL
 Kolam renang
 Pagar mewah
 Tempat olahraga
 Galangan kapal; dermaga
 Taman mewah
 Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak
 Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
B. Objek Pajak

Yang menjadi Objek pajak PBB adalah "Bumi dan/atau Bangunan". Pengertian Bumi
adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah
Indonesia, dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.. Misalnya pekarangan, sawah, ladang,
kebun, rawa-rawa,tambak, dll. Sedangkan pengertian Bangunan adalah kontruksi
teknik yang di tanam atau di lekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Contohnya yaitu rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat,
pusat perbelanjaan, jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olah raga, anjungan
minyak lepas pantai, dan fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Objek pajak terbagi menjadi 2 jenis, yakni :

Objek Pajak Umum, yaitu objek pajak yang memiliki kriteria konstruksi bangunan
umum dengan luas tanah berdasarkan kriteria tertentu. Objek pajak umum dibedakan menjadi :
a) Objek pajak standar yang memiliki kriteria sbb :
- Luas tanah ≤ 10.000 m²
- Jumlah lantai bangunan ≤ 4 lantai
- Luas bangunan ≤ 1000 m²
b) Objek pajak non standar, dengan kriteria sbb :
- Luas tanah ≥ 10.000 m²
- Jumlah lantai bangunan ≥ 4 lantai
- Luas bangunan ≥ 1000 m²
Objek Pajak Khusus, yaitu objek pajak yang memiliki kriteria konstruksi
bangunan khusus. Kriteria bangunan khusus ditinjau dari segi bentuk, material pembentuk dan
keberadaannya yang memiliki arti khusus. Contoh objek pajak khusus adalah pelabuhan, Bandar
udara, jalan tol, tempat wisata, dan lain- lain.
Termasuk Objek pajak yang dikecualikan dari pengenaan PBB adalah:

1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial,


pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan memperoleh
keuntungan. Misalnya tempat ibadah (mesjid, gereja, dll), social, kesehatan,
pendidikan, panti asuhan, candi, dan lain-lain.

2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenisnya.

3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, dll.

4. Digunakan oleh Perwakilan Diplomatik, Konsulat, berdasarkan azas timbal balik.

5. Digunakan oleh Organisasi Internasional misalnya Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB),


dll yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
C. Subjek pajak
Subyek Pajak PBB adalah Orang Pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai hak atas
bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan. Lalu bagaimana jika suatu objek pajak diakui oleh beberapa
subyek pajak yang secara bersama-sama menjadi wajib pajak?

Apabila suatu objek pajak dimiliki/dikuasai oleh beberapa subjek pajak atau satu belum jelas
siapa Wajib Pajaknya, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah melihat perjanjian (agreement)
antara para pihak yang berkepentingan terhadap objek pajak tersebut. Dalam perjanjian tersebut
biasanya terdapat salah satu pasal yang menunjukan penanggung pajak (PBB). Namun jika dalam
perjanjian tersebut tidak disebutkan siapa yang menjadi wajib pajak, maka sesuai UU No 12 tahun
1994 Pasal 4 ayat (3) DirJen Pajak dapat menetapkan subjek pajaknya.
D. Penentuan Besaran PBB
1. Dasar Pengenaan Pajak

Yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atas Pajak Bumi dan Bangunan adalah Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP). Besarnya NJOP ditentukan per wilayah berdasarkan keputusan Kepala Kantor
Wilayah DirJend Pajak dengan memperhatikan :

a) harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar;

b) perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan telah
diketahui harga jualnya;

c) nilai perolehan baru;

d) penentuan nilai jual objek pengganti


Besarnya NJOP dikurangi NJOPTKP menjadi NJKP (Nilai Jual Kena Pajak). Dengan
demikian yang menjadi dasar dalam penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak
(NJKP). Besarnya NJKP adalah sebagai berikut:

a) Objek pajak perkebunan adalah 40%


b) Objek pajak kehutanan adalah 40%
c) Objek pajak pertambangan adalah 20%
d) Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):

- apabila NJOP-nya > Rp1.000.000.000,00 adalah 40%

- apabila NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00 adalah 20%


2. Cara Menghitung & Tarif PBB

Besarnya tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah 0,5%. Rumus perhitungan
besarnya PBB = Tarif x Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) NJKP = NJOP-NJOPTKP

a) Jika NJKP dibawah 1 milyar = tarif x 20% x NJKP PBB = 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP) =
0,1% x NJKP
b) Jika NJKP = 40% x (NJOP - NJOPTKP) PBB = 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP) = 0,2% x NJKP
E. Mekanisme Pembayaran PBB
Mekanisme Penagihan Dan Pembayaran Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) Pada Badan
Pendapatan Daerah Kota Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui mekanisme
penagihan dan pembayaran pajak bumi dan bangunan Pada Badan Pendapatan Daerah Kota
Makassar, mengingat pajak bumi dan Bangunan telah dialihkan menjadi pajak daerah dan baru
dioperasikan pada awal Tahun 2015. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif
yaitu jenis Penelitian yang digunakan penulis dengan menggambarkan hasil observasi datadata
yang diperoleh dari tempat penelitian.

Hasil penelitian menujukkan bahwa Mekanisme penagihan dan pembayaran pajak bumi dan
bangunan diawali Dengan diterbitkannya Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Wajib Pajak
Dapat mengambil Surat Pemberitahuan Pajak Terutang ke tempat pelayanan unit Terpadu atau
petugas pemungut pajak bumi dan bangunan lalu membayarkan Pajak terutangnya. Pembayaran
dapat dilakukan melalui kantor POS, atau Dilakukan secara online melalui Anjungan Tunai Mandiri
(ATM) atau Bank yang Telah ditunjuk oleh Badan Pendapatan Daerah Kota Makassar.
F. Keringanan PBB
Pemerintah telah berupaya untuk menciptakan keadilan bagi para wajib pajak, Khususnya wajib
pajak yang kurang mampu dalam memenuhi kewajiban pajak Terutangnya. Dalam rangka
menciptakan keadilan dalam pemungutan pajak bumi dan Bangunan, maka diatur kebijakan tentang
pengurangan pajak bumi dan bangunan. UU No. 12 Tahun 1994 tentang pajak bumi dan bangunan
pasal 19, bahwa Menteri Keuangan dapat memberikan pengurangan pajak yang terhutang.
Pengurangan pajak Bumi dan bangunan (PBB) adalah pemberian keringanan pajak yang terutang
atas Objek pajak (Hairul Pahmi, 2009)

Menyangkut persentase pemberian pengurangan ini khusus untuk veteran Aturannya adalah
sudah baku yaitu 75% sedangkan untuk yang lain belum ada. Pemberian pengurangan pajak bumi
dan bangunan di KPP Pratama antara satu Dengan yang lain bervariasi tergantung kebijakan masing-
masing. Artinya bahwa Persentase pemberian pengurangan masih bersifat subjektif, sehingga
diperlukan Paraturan yang baku (Sujono, 2009).
G. Sanksi dan Penegakan Hukum

Bagi Wajib Pajak PBB yang tidak melunasi pembayaran PBB sesuai dengan
batas waktu yang telah ditetapkan dapat dikenai sanksi denda administrasi
sebesar 2% perbulan maksimal selama 24 bulan berturut-turut atau total denda
administrasi sebesar 48%. Media pemberitahuan pajak yang terutang melewati
batas waktu yang terlah ditetapkan adalah dengan Surat Tagihan Pajak (STP). Jika
dalam waktu 30 hari setelah STP terbit belum ada pembayaran dari WP, maka
dapat diterbitkan Surat Paksa (SP) sesuai dengan pasal 13.
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN
BANGUNAN (BPHTB)
A. Definisi dan Konsep Dasar
Sesuai dengan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, di samping
memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat
menguntungkan. Di samping itu, bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh
karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian
nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini adalah
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang BPHTB Adalah:

1. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan sistem self assessment, yaitu Wajib Pajak
menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
2. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
(NPOPKP).
3. Agar pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dapat berlaku secara efektif, maka baik kepada Wajib
Pajak maupun kepada pejabat-pejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak
melaksanakan kewajibannya, dikenakan sanksi menurut peraturan perundang- undangan yang
berlaku.
4. Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan negara yang sebagian besar diserahkan
kepada Pemerintah Daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai
pembangunan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah.
5. Semua pungutan atas perolchan hak atas tanah dan bangunan di luar ketentuan ini tidak Atau
Diperkenankan
Dalam pembahasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, akan dijumpai
beberapa pengertian pengertian yang sudah baku. Pengertian-pengertian tersebut
antara lain adalah:

1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan
atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dalam pembahasan ini, BPHTB
selanjutnya disebut pajak.
2. Perolehan hak atas tanah dan atan bangunan, adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan Diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh Orang
pribadi atau badan.
3. Hak atas tanah dan alan bangunan, adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang undangan
yang berlaku lainnya.
Dasar Hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah :

1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang


Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Undang-
undang ini menggantikan Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291.
2. Peraturan Pemerintah No. III Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena waris dan
hibah.
3. Peraturan Pemerintah No. 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena pemberian
Hak Pengelolaan.
4. Peraturan Pemerintah No. 113 Tahun 2000 tentang
5. Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB.
B. Objek BPHTB
Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan
hak atas tanah dan atau Bangunan meliputi:

1. Pemindahan hak karena:

- Jual-beli

- Tukar menukar

- Hibah

- Hibah wasiat

- Waris

2. Pemberian hak baru karena:


 Kelanjutan pelepasan hak
 Di luar pelepasan hak
Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:

 Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas Perlakuan timbal balik


 Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum
 Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas
badan usaha atau perwakilan Organisasi tersebut.
 Orang pribadi atau badan karena konversi hak aata Karena perbuatan hukum lain dengan tidak
adanya penambahan nama
 Orang pribadi atau badan karena wakaf
 Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
C. Subjek BPHTB

Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan


yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek pajak
yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak
BPHTB mmenuru Undang-Undang BPHTB.
D. Perhitungan dan Tarif BPHTB
Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP
ditentukan sebesar:

1. Harga transaksi, dalam hal: jual beli


2. Nilai pasar objek pajak, dalam hal:
3. Harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang, dalam hal: penunjukan pembeli
dalam lelang.
4. Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB), apabila besarnya NPOP
sebagaimana dimaksud dalam poin 1 dan 2 tidak diketahui atau NPOP lebih rendah
daripada NJOP PBB. Contoh: Tuan Aryo membeli tanah dan bangunan dengan NPOP
(harga transaksi) Rp 100.000.000,00. NJOP PBB tersebut yang digunakan dalam
pengenaan PBB adalah Rp Rp 120.000.000,00, maka yang dikenakan sebagai dasar
pengenaan BPHTB adalah Rp 120.000.000,00 dan bukanRp 100.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat
ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp
300.000.000.00 (tiga ratus juta rupiah). Besarnya NPOPTKP dapat diubah dengan Peraturan
Pemerintah dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta
perkembangan harga umum tanah dan atau bangunan.

BPHTB dikenakan untuk semua transaksi properti, yang dibeli dari perorangan maupun
developer dan besarnya 5% dari nilai transaksi setelah dikurangi NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak
Tidak Kena Pajak). NJOPTKP sendiri berbeda besarannya di setiap daerah.
Agar lebih memudahkan Anda untuk mengerti perhitungan BPHTB, berikut ini contoh
simulasi cara menghitungnya. Seseorang membeli sebuah rumah di Jakarta dengan luas tanah
200m2 dan luas bangunan 100m2. Berdasarkan NJOP, harga tanah Rp700.000 per m2 dan nilai
bangunan Rp600.000 per m2. Lalu bagaimana cara menghitung BPHTB-nya?

Penyelesaian :

 Harga Tanah : 200m² × Rp700.000 = Rp 140.000.000


 Harga Bangunan : 100m² × Rp600.000 = Rp60.000.000
 Jumlah Harga Pembelian Rumah : Rp200.000.000
 Nilai Tidak Kena Pajak : Rp60.000.000
 Nilai untuk Penghitungan BPHTB : Rp140.000.000
 Biaya BPHTB yang harus dibayar : (5% × Rp140.000.000) = Rp 7.000.000
E. Mekanisme Pembayaran BPHTB
Mekanisme pemungutan BPHTB ini memiliki 5 tahapan proses, yakni proses penetapan,
proses pengisian Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) BPHTB, proses penghitungan pajak
terutang, proses penelitian (verifikasi) SSPD, proses pembayaran. Dalam proses penetapan
disini penetapan objek pajak, subjek pajak dan wajib pajak, tarif pajak. Proses pengisian Surat
Setoran Pajak Daerah (SSPD) BPHTB dapat melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau
Notaris, dan dapat juga melalui Kantor yang membidangi Lelang Negara atau Kepala Kantor
yang membidangi pertanahan.

Proses perhitungan pajak terutang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan yang nilai perolehannya di atas Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).
Proses penelitian (verifikasi) SSPD meneliti kebenaran pengisian SSPD. Proses pembayaran
dapat dilakukan melalui Bank yang ditunjuk (Bank Jatim) atau Bendahara Penerimaan Dinas.
F. Pengecualian dan Keringanan BPHTB

Objek yang Tidak Dikenakan BPHTB adalah Negara untuk penyelenggaraan


pemerintah atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum. Badan
atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan Menteri Keuangan.
Seorang individu atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama.

Pemerintah DKI Jakarta memberikan keringanan BPHTB kepada wajib pajak


orang pribadi untuk perolehan pertama kali atas objek berupa rumah atau rumah
susun dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) bernilai lebih dari Rp2
miliar hingga Rp3 miliar.
G. Pelaporan dan Administrasi BPHTB
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan
hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah suatu perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak tanah atau bangunan. Objek Pajak BPHTB
terdiri dari 2 faktor, yaitu dari pemindahan hak dan pemberian hak baru. Dalam penulisan Laporan
Praktek Kerja Nyata ini, penulis memfokuskan Laporan PKN pada objek pajak dari faktor pemindahan
hak, yaitu pemindahan karena transaksi jual beli. Penulis fokus terhadap objek pajak pemindahan hak
karena transaksi jual beli karena dari pelaporan BPHTB yang sering diterima oleh DPPKD berasal dari
pemindahan hak karena transaksi jual beli. Dalam transaksi jual beli, pihak yang terutang BPHTB
adalah pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, yaitu pembeli. Pembeli atau pihak yang
memperoleh tanah dan bangunan wajib membayar BPHTB yang terutang agar dapat mengurus Akta
Pemindahan Hak atas Tanah dan Bangunan.
G. Pelaporan dan Administrasi BPHTB
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan
hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah suatu perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak tanah atau bangunan. Objek Pajak BPHTB
terdiri dari 2 faktor, yaitu dari pemindahan hak dan pemberian hak baru. Dalam penulisan Laporan
Praktek Kerja Nyata ini, penulis memfokuskan Laporan PKN pada objek pajak dari faktor pemindahan
hak, yaitu pemindahan karena transaksi jual beli. Penulis fokus terhadap objek pajak pemindahan hak
karena transaksi jual beli karena dari pelaporan BPHTB yang sering diterima oleh DPPKD berasal dari
pemindahan hak karena transaksi jual beli. Dalam transaksi jual beli, pihak yang terutang BPHTB
adalah pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, yaitu pembeli. Pembeli atau pihak yang
memperoleh tanah dan bangunan wajib membayar BPHTB yang terutang agar dapat mengurus Akta
Pemindahan Hak atas Tanah dan Bangunan.
TIPS PRAKTIS DAN STRATEGI
A. Cara Mengelola PBB dan BPHTB dengan Efektif
Efektivitas suatu organisasi Tergantung kepada sejauh mana organisasi Tersebut mencapai tujuannya.
Apabila Suatu organisasi berhasil mencapai Tujuan, maka organisasi tersebut Dikatakan telah berjalan
dengan efektif. Berdasarkan hasil rekapitulasi penilaian Tingkat Efektifitas Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB-P2) di Kabupaten Enrekang menunjukkan Kategori Tidak Efektif dengan total Bobot yang
di peroleh sebanyak 1560.

Tidak efektifnya kegiatan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) di Kabupaten Enrekang
dikarenakan tidak optimalnya unsur-unsur efektivitas yang meliputi Input (masukan), Troughput
(perubahan), Output (keluaran) pada kegiatan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2). Padahal
jika 3 unsur efektivitas ini dapat berjalan baik akan dapat meningkatkan kinerja pemungutan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB-P2). Berdasarkan pendapat Steers (2006:4) cara yang terbaik untuk meneliti suatu
efektivitas adalah memperhatikan secara serempak tiga buah konsep yang saling berhubungan, antara lain:
input, throughput dan output dalam pencapaian tujuan.
B. Strategi pengurangan pajak secara Legal
Manajemen, Strategi dan Pengelakan dalam Pajak. Dalam melaksanakan kewajiban pajak sehari-hari
secara optimal, terdapat beberapa unsur penting yang perlu diketahui setiap wajib pajak. Pekerjaan
perpajakan yang harus dijalankan wajib pajak dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni manajemen pajak,
strategi pajak, dan pengelakan pajak.

 Manajemen Pajak
Manajemen pajak yang biasa digunakan yaitu:
1. Tax Compliance

Berhubungan dengan kegiatan untuk mematuhi aturan perpajakan, yang meliputi: administrasi,
pembukuan, pemotongan/pemungutan pajak, penyetoran, pelaporan, memberikan data untuk keperluan
pemeriksaan pajak, dan sebagainya. Secara umum peraturan pajak akan dipatuhi oleh wajib pajak bila
biaya untuk mematuhinya (compliance cost) relative murah.
2. Tax Planning

Merupakan strategi untuk mengatur akuntansi dan keuangan perusahaan untuk meminimalkan kewajiban
perpajakn dengan cara-cara yang tidak melanggar peraturan perpajakan (in legal way). Dalam arti yang lebih luas
meliputi keseluruhan fungsi manajemen perpajakan.

3. Tax Litigation

Merupakan usaha untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa pajak dengan pihak lain, terutama kantor
pajak. Sengketa pajak terjadi karena adanya perbedaan penafsiran atas suatu ketentuan perpajakn / atas masalah-
masalah yang tidak ada aturannya secara jelas antara wajib pajak dengan fiskus dalam pemeriksaan / penelitian
pajak

4. Tax Research

Merupakan proses untuk mencari jawaban, solusi atau rekomendasi atas suatu permasalahan perpajakan.
Kegiatan yang dilakukan biasanya meliputi:

- Menentukan fakta-fakta yang akan dianalisis


- Mengindetifikasi isu-isu pajak yang berkaitan dengan fakta-fakta tersebut
 Strategi Pajak
1. Tax Saving
Tax saving adalah upaya untuk mengefisienkan beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan
pajak dengan tarif yang lebih rendah.
2. Tax avoidance
Tax avoidance adalah upaya mengefisienkan beban pajak dengan cara menghindari pengenaan pajak
dengan mengarahkan pada transaksi yang bukan objek pajak.
3. Penundaan/pengeseran pembayaran pajak
Penundaan/penggeseran pembayaran kewajiban pajak dapat dilakukan tanpa melanggar peraturan
perpajakan yang berlaku.
4. Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan.
5. Menghindari pemeriksaan pajak dengan cara dengan menghindari lebih bayar

Hal ini meliputi mengajukan pengurangan pembayaran angsuran, dan mengajukan permohonan pembebasan.
 Pengelakan Pajak

Ada empat cara pengelakan pajak yang biasa dipraktikan, yaitu:

1. Penggeseran Pajak (tax shifting)

Ialah pemindahan atau pentransferan beban pajak dari subjek pajak kepada pihak lain, dengan
demikian orang atau beban yang dikenakan pajak mungkin sekali tidak menanggungnya.

2. Kapitalisasi Pajak

Pengurangan harga objek pajak yang besarnya sama dengan jumlah pajak yang akan dibayarkan
kemudian oleh pembeli. Kapitalisasi ini sering terjadi jika pembeli harga tetap seperti tanah atau
gedung dibebani pajak balik nama. Agar beban pajak tidak menjadi tanggungan pembeli, maka beban
pajak dialihkan kepada penjual. Dengan demikian, harga beli harta menjadi berkurang. Kapitalisasi
pajak ini dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk pengalihan pajak ke  belakang.
3. Transformasi

Cara pengelakan pajaka yang dilakukan oleh pabrik dengan cara menanggung
beban pajak yang dikenakan terhadapnya. Cara ini biasanya dilakukan oleh
produsen sehingga kenaikkan harga jual tidka menurunkan pangsa pasar.

4. Pengecualian Pajak (Tax Exemption)

Pengecualian pajak yang diberikan kepada perorangan atau badan berdasarkan


undang-undang.
Terima
Kasih

Anda mungkin juga menyukai