Anda di halaman 1dari 11

PERPAJAKAN 1

NAMA : MARIANTI ANGELY BAWIMBANG


NIM : 21043070
KELAS : 3C-D4 AKUNTANSI KEUANGAN
MATERI :
 PAJAK BUMI BANGUNAN (PBB)
 BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)
 BEA MATERAI

A. Pajak Bumi dan Bangunan


PBB adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan yang bersifat kebendaan dalam
arti besamya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau
bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Dasar hukum pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah Undang-undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. PBB merupakan jenis pajak pusat yang
dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota selanjutnya disebut pajak daerah.
Pengalihan tersebut dimulai pada tanggal 1 Januari 2010 paling lambat per 1 Januari 2014.
Pengalihan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah merupakan suatu bentuk tindak lanjut kebijakan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Hal ini adalah titik balik dalam pengelolaan PBB-
P2. Dengan pengalihan ini maka kegiatan proses pendataan, penilaian, penetapan,
pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan PBB-P2 akan diselenggarakan
oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota).
Tujuan Pengalihan pengelolaan PBB-P2 menjadi pajak daerah sesuai dengan Undang-
Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah:

1. Meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah,


2. Memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan baru
(menambah jenis PDRD),
3. Memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi dengan
memperluas basis pajak daerah,
4. Memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak daerah, dan
5. Menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada
daerah.
Objek Pajak
Objek PBB adalah bumi dan atau bangunan. Bumi adalah permukaan bumi (tanah dan
perairan) dan tubuh bumi yang ada di pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Contoh:
sawah, ladang, kebun, tanah, perkarangan, tambang, rawa-rawa, dan lain-lain. Bangunan
adalah kontruksi teknik yang ditaman atau diletakan secara tetap pada tanah dan atau
perairan. Pengertian bangunan adalah:
1. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik,
dan emplasemennya dan lain-lain yang satu kesatuan dengan kompleks bangunan
tersebut;
2. Jalan tol;
3. Kolam renang;
4. Pagar mewah;
5. Tempat olah raga;
6. Galangan kapal;
7. Dermaga;
8. Taman mewah;
9. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas;
10. Pipa minyak;
11. Menara;
12. Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Objek pajak yang tidak dikenakan PBB sebagai berikut.

1. Digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan


2. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah,
panti asuhan, candi, dan lain-lain.
3. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu.
4. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang disukai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu
hak
5. Digunakan oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
6. Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi intemasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan.
Subjek Pajak
Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak
atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau
memperoleh suatu mamfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan
pajak bukan merupakan bukti kepemilikan hak. Dalam pengertian di atas dapat
diartikan/disimpulkan bahwa subjek pajak terdiri atas:
1. Mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau bangunan.
2. Memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau bangunan.
3. Memiliki, menguasai atas bumi, dan/atau bangunan.
Dasar Pengenaan Pungutan PBB
Dasar pengenaan pungutannya disebut Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dihitung
berdasarkan harga rata-rata atau harga pasar pada transaksi jual beli. Dalam hal ini, objek
pajak yang dimaksud adalah bumi (tanah/lahan) dan bangunan sebagai tempat usaha.
NJOP akan selalu ditetapkan setiap tahun oleh Menteri Keuangan (Menkeu). Namun,
meskipun ditentukan langsung oleh Menteri Keuangan, NJOP untuk setiap daerah berbeda-
beda karena adanya faktor yang menentukan dasar NJOP tersebut.
Beberapa faktor yang menentukan NJOP bumi yaitu letak, pemanfaatan, peruntukan, dan
kondisi lingkungan. Sedangkan faktor yang menentukan dasar penetapan NJOP bangunan di
antaranya bahan yang digunakan dalam bangunan, rekayasa, letak, dan kondisi lingkungan.
Cara Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Cara Menghitung PBB dapat dilakukan dengan 3 tahap, yaitu menentukan NJOP,
menentukan NJKP, dan Menghitung PBB.
1. Menentukan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah besarnya harga Objek baik bumi maupun
bangunan atau adalah harga untuk properti tanah dan bangunan. Jadi, sebelum
menghitung besarnya PBB yang harus dibayarkan, maka harus mengetahui terlebih
dahulu harga tanah dan bangunan tersebut.
2. Menentukan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) merupakan dasar penghitungan PBB sebagai nilai jual
objek yang akan dimasukkan ke dalam perhitungan pajak terutang. Sesuai dengan
Keputusan Menteri Keuangan No. 201/KMK.04/2000 tentang ketentuan persentase
NJKP yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, yaitu:
a. Untuk perkebunan adalah sebesar 40%.
b. Untuk pertambangan adalah sebesar 40%.
c. Untuk kehutanan adalah sebesar 40%.
d. Untuk objek pajak lainnya seperti Pedesaan dan Perkotaan dilihat dari Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP) yaitu : lebih dari Rp1.000.000.000,00, sebesar 40%
dan Jika kurang dari Rp1.000.000.000,00, maka persentase sebesar 20%.
Berdasarkan uraian dari Keputusan Menteri Keuangan tersebut, maka cara untuk menghitung
NJKP adalah dengan mengalikan persentase NJKP dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Rumus untuk menghitungnya yaitu:
NJKP = % NJKP x NJOP

3. Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)


Setelah NJOP dan NJKP diketahui, maka dapat diperoleh Cara Menghitung PBB
dengan rumus berikut:
PBB = 0,5% x NJKP
Contoh Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Misalkan di sebuah kota terdapat bangunan yang digunakan sebagai tempat usaha seharga
Rp500.000.000,00 yang di bangun di atas tanah seluas 50 meter persegi dengan harga tanah
Rp 2.000.000,00 per meter persegi.
Dari permasalahan tersebut akan diketahui besar PBB dengan cara sebagai berikut:
1. Tentukan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Harga Bangunan = Rp 500.000.000,00
Harga Tanah 50 x Rp2.000.000,00 = Rp 100.000.000,00 +
Jumlah = Rp 600.000.000,00
2. Tentukan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Untuk tanah dan bangunan di kota dengan
harga kurang dari Rp 1.000.000.000,00 persentasenya adalah 20%.
NJKP = % NJKP x NJOP = 20% x Rp 600.000.000,00 = Rp 120.000.000,00
3. Hitung PBB
PBB = 0,5% x NJKP = 0,5 x Rp 120.000.000,00 = Rp 600.000,00
Dengan demikian, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dipungut atas aset rumah dan
bangunan tersebut sebesar Rp600.000,00 per tahun.
Cara Menghitung PBB cukup mudah, hanya saja perlu dilakukan perhitungan setiap
tahunnya karena harga properti dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan.
Solusi yang tepat adalah dengan selalu mengetahui perkiraan harga aset tanah dan bangunan,
agar dapat menunaikan kewajiban membayar PBB.
Menghitung Denda Keterlambatan Pajak Bumi dan Bangunan
Perhitungan denda dan keterlambatan pajak yang satu ini perlu juga kalian perhatikan. Tentu
saja jika kalian telat melakukan pembayaraan dan melakukan pelanggaran akan diberikan
denda. Adapun biasanya sanksi dan denda pembayarannya berbeda-beda. Sesuai dengan apa
yang kalian langgar. Cara penghitungannya denda ini juga cukup spesifik.
Sanksi Keterlambatan Pembayaran
Jika kalian melebihi batas pembayaran yang sudah ditentukan atau bisa dibilang terlambat
dalam membayar PBB tersebut maka kalian akan diberikan sanksi yang berlaku sesuai
Undang-Undang. Denda yang harus kalian bayar adalah sebesar dua persen dari pajak bumi
dan bangunan yang setiap tahun kalian bayarkan, ini akan berlaku pada saat bulan-bulan
setelah kalian telat membayarnya. Kalian harus membayar Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang dengan tambahan 2 persen. Selain itu ada juga penghitungan denda yang harus
kalian bayar.
Langkah Perhitungan Denda
Jika kalian terlambat untuk membayar besarnya nilai PBB maka kalian akan dikenakan
sanksi. Seperti yang disebutkan sebelumnya yaitu dua persen setiap bulannya. Jika kalian
terus menerus terlambat membayar maka utang tersebut akan semakin banyak dan
menumpuk. Cara untuk mengitungnya adalah seperti berikut.
Jika pajak yang harus kalian bayar adalah 2 juta rupiah selama 1 tahun dan terlambat
membayar setahun, maka total yang harus dibayarkan:
1.000.000 x 2% x dua belas bulan = 240.000 rupiah.
Jadi kalian harus membayar 1.000.000 + 240.000 = 1.240.000 rupiah.

B. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan


Secara umum pengertian BPHTB adalah biaya berupa pajak yang diatur oleh pemerintah atas
transaksi pemindahan kepemilikan tanah atau properti lainnya.
Pada penerapannya, tarih BPHTB adalah bea yang perlu ditanggung oleh pribadi atau suatu
badan yang terlibat atas transaksi properti. Kemudian, biaya tersebut akan menjadi salah satu
sumber pemasukan bagi negara.
Dalam pembahasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, akan dijumpai beberapa
pengertian-pengertian yang sudah baku. Pengertian-pengertian tersebut antara lain adalah :
1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan
atas tanah atau bangunan. Dalam pembahasan ini, BPHTB selanjutnya disebut pajak.
2. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan,adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatka diperolehnya ha katas tanah dan atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan.
3. Hak atas tanah dan atau bangunan, adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-undang Nomor
16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku lainnya.
Pemerintah Indonesia menetapkan dasar hukum BPHTB dalam aturan Undang-Undang No.
21 Tahun 1997 tentang BPHTB. Namun kemudian regulasi tersebut diatur kembali dalam
UU No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB yang mengandung aturan mulai dari pengertian
hingga sanksi hingga objek pajak yang dikenakan aturan pembayaran.
Subjek Pajak
Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan dengan kata lain adalah pihak yang menerima pengalihan hak baik itu badan
maupun orang pribadi. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi
wajib pajak.
Objek Pajak
Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah atau bangunan yaitu terhadap peristiwa
hukum atau perbuatan hukum atas transaksi/peralihan haknya yang meliputi pemindahan hak
dan pemberian hak baru.
1. Pemindahan hak
a. Jual beli,
b. Tukar menukar,
c. Hibah yaitu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas
tanah atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu,
d. Hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian
hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum
tertentu, yang berlaku setalah pemberi hibah meninggal dunia,
e. Waris yaitu pengalihan hak yang dilakukan terhadap tanah dan atau bangunan
dalam garis keturunan lurus,
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau kepada badan hukum
lainnya,
g. Pemisahan yang menyebabkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak
bersama atas tanah dan atau bangumm oleh orang pribadi atau badan kepada
sesama pemegang hak bersama,
h. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu
pemilihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak
kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut,
i. Penunjukkan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh
pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang,
j. Penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih
dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan
melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung,
k. Peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan
cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang
bergabung tersebut,
l. Pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu usaha menjadi dua usaha atau lebih
dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aset dan
pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa likuidasi badan
usaha yang lama,
m. Hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan
bangunan yimg dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada
penerirna hadiah.
2. Pembcrian hak baru
a. Kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang
pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari pelepasan
hak,
b. Di luar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang
pribadi atau badan hukum dari negara atau dari pemegang hak milik menurut
peraturan perundang-undang yang berlaku.
Jenis hak atas tanah diatur dalam UU Pokok Agraria (Undang-Undang Nomorr 5/1960)
yaitu:
a. Hak milik, yaitu hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang pribadi atau badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah,
b. Hak guna usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung
oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-
undangan yang berlaku,
c. Hak guna bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas
tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam
undang-undang Nmnor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria,
d. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah
yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain sesuai dengan
perjanjian, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan
tanah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku,
e. Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat
bagian bersama benda bersama, tanah bersama yang semuanya merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan,
f. Hak pengelolaan yaitu hak menguasai dari negara yang kewenangan
pelaksanaanya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain
berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk
keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian dari tanah tersebut kepada
pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga
Bukan Objek Pajak
Yang bukan merupakan objek yang dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang
diperoleh:

a. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik,


b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintah dan atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum,
c. Badan atau perwakilan organisasi intemasional yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan,
d. Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan
tidak adanya perubahan nama,
e. Karena wakaf atau warisan,
f. Untuk digunakan kepentingan ibadah,
g. Objek pajak tertentu.

Tarif BPHTB
Berapa BPHTB yang harus Anda bayar setelah menerima hak atas tanah/ bangunan?
Tarif BPHTB terbaru kini senilai 5% dari pengurangan Nilai Perolehan Objek Pajak
(NPOP) dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Sedangkan
untuk dua aspek tersebut jumlahnya tergantung dari jenis properti yang Anda beli dan
dimana domisili pembelian terjadi.
Cara Menghitung BPHTB
BPHTB adalah pungutan yang dihitung dengan mempertimbangkan nilai NPOPTKP dan
perlu dibayarkan dari sisi pembeli. Adapun rumus cara menghitung BPHTB adalah:
BPHTB = Tarif Pajak 5% x (NPOP - NPOPTKP)
Cara Menghitung BPHTB Warisan
Pada dasar hukum BPHTB yaitu UU No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB dijelaskan
bahwa pemindahan hak atas tanah dan bangunan juga bisa didapatkan dari warisan. Lalu,
apakah cara menghitungnya sama dengan penghitungan BPHTB pada umumnya?
Menurut Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (3) PP No.34 Tahun 2016, pihak yang
mengalihkan properti mendapat pengecualian dari kewajiban pembayaran Pajak
Penghasilan (PPh). Berhubungan dengan hal tersebut, ahli waris harus menuju ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) untuk mengajukan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh dengan
menyertakan surat pernyataan pembagian waris atas saudara kandung.
Sehingga, properti objek pajak yang diwariskan tidak akan dikenakan Pajak Penghasilan
Tanah dan Bangunan. Sedangkan, jika dilihat dari segi BPHTB harus tetap dibayarkan
oleh ahli waris. Cara menghitung BPHTB warisan yang didapat sama dengan
penghitungan pada umumnya.
Nilai perolehan objek pajak
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP dapat
berupa harga transaksi atau nilai pasar atau NJOP.
1. Jual beli adalah harga transaksi;
2. tukar-menukar adalah nilai pasar;
3. hibah adalah nilai pasar;
4. hibah wasiat adalah nilai pasar;
5. waris adalah nilai pasar;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
8. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap adalah nilai pasar;
9. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai
pasar;
10. pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
11. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
12. peleburan usaha adalah nilai pasar;
13. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
14. hadiah adalah nilai pasar;
15. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam
risalah lelang.
Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a
sampai dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang
digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan,
dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan.
Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD pasal 85 ayat (4), (5)
dan (6) besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) ditetapkan
paling rendah sebesar Rp60.000.000,00 untuk setiap WP. Kemudian untuk perolehan hak
karena waris atau hibah wasiat NPOPTKP ditetapkan paling rendah Rp300.000.000,00.
NPOPTKP menurut UU PDRD tersebut akan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Tempat Terutang
Tempat pajak terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Provinsi yang meliputi
letak tanah dan atau bangunan
Contoh BPHTB
Agar lebih jelas, coba simak contoh menghitung BPHTB berikut ini.
Budi membeli properti rumah di Jakarta senilai Rp1 miliar. Sedangkan besar NPOPTKP
di Jakarta adalah Rp350 juta. Maka berapa jumlah contoh BPHTB yang harus dibayar
Budi?
BPHTB = 5% x (NPOP - NPOPTKP)
\= 5% x (1 miliar - 350 juta)
\= 32,5 juta
Melihat dari contoh BPHTB di atas, bisa disimpulkan bahwa contoh BPHTB yang harus
dibayarkan Budi untuk melegalkan properti yang ia ambil hak milik adalah sebesar
Rp32,5 juta.
C. Bea Materai
Bea Meterai adalah pajak atas dokumen yang terutang sejak saat dokumen tersebut ditanda
tangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan, atau dokumen tersebut selesai dibuat atau
diserahkan kepada pihak lain bila dokumen tersebut hanya dibuat oleh satu pihak.
Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 4/PMK.03/2021 tentang Pembayaran Bea
Meterai, Ciri Umum dan Ciri Khusus Meterai Tempel, Meterai Dalam Bentuk Lain,
dan Penentuan Keabsahan Meterai, Serta Pemeteraian Kemudian.
Objek Bea Meterai
1. Bea Meterai dikenakan atas:
a. Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu
kejadian yang bersifat perdata;
b. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
2. Dokumen yang bersifat perdata, meliputi:
a. surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang
sejenis, beserta rangkapnya;
b. akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya,
c. akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya,
d. surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
e. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak
berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
f. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang,
salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang,
g. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang
 menyebutkan penerimaan uang, atau
 berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah
dilunasi atau diperhitungkan,
h. Dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Tarif Umum
Bea Meterai yang berlaku mulai 1 Januari 2021 (UU No. 10 Tahun 2020) adalah
Rp.10.000,-
1. Meterai tempel memiliki ciri umum dan ciri khusus
a. Ciri umum paling sedikit memuat
 gambar lambang negara Garuda Pancasila,
 frasa "Meterai Tempel"; dan
 angka yang menunjukkan nilai nominal
b. Selain memiliki ciri umum, meterai tempel juga memiliki ciri khusus sebagai
unsur pengaman yang terdapat pada desain, bahan, dan teknik cetak yang
dapat bersifat terbuka, semi tertutup, dan tertutup. Ketentuan lebih lanjut
mengenai penentuan ciri umum dan ciri khusus pada meterai tempel serta
pemberlakuannya diatur dalam Peraturan Menteri.
2. Meterai elektronik memiliki kode unik dan keterangan tertentu yang diatur dalam
Peraturan Menteri.
3. Meterai dalam bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri merupakan Meterai yang
dibuat dengan menggunakan mesin teraan Meterai digital, sistem komputerisasi,
teknologi percetakan, dan sistem atau teknologi lainnya. Ketentuan lebih lanjut
mengenai Meterai dalam bentuk lain diatur dalam Peraturan Menteri.
Surat Setoran Pajak
Pembayaran Bea Meterai juga dapat dilakukan dengan menggunakan surat setoran pajak
dalam hal mekanisme pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai dianggap
tidak elisien atau bahkan tidak dimungkinkan. Misalnya, untuk Dokumen yang akan
digunakan sebagai alat bukti di pengadilan dalam jumlah besar, yang pembayarannya
melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Pemberian alternatif dalam pembayaran Bea Meterai ini dimaksudkan untuk memberikan
kemudahan dalam pembayaran Bea Meterai.
BUKAN Objek Bea Meterai
1. Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang:
a. surat penyimpanan barang.
b. konosemen,
c. surat angkutan penumpang dan barang
d. bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang.
e. surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
f. surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan surat sebagaimana dimaksud
pada huruf a sampai dengan angka e;
2. segala bentuk Ijazah,
3. tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan
pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang
diserahkan untuk mendapatkan pembayaran dimaksud,
4. tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank,
dan lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan,
5. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat
dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah,
bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan
perundangundangan;
6. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi,
7. Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran
uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang
menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh
kustodian kepada nasabah,
8. surat gadai,
9. tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan
nama dan dalam bentuk apa pun; dan
10. Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka
pelaksanaan kebijakan moneter.
Pihak Yang Terutang
 Apabila dokumen dibuat sepihak, bea materai terutang oleh pihak yang menerima
dokumen.
 Apabila dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, Bea Meterai terutang oleh
masing-masing pihak atas Dokumen yang diterimanya.
 Dokumen yang berupa surat berharga, maka bea materai terutang oleh pihak yang
menerbitkan surat berharga.
 Bea Meterai juga terutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat
manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan
menentukan lain.
Saat Terutang Bea Meterai
1. Dokumen dibubuhi Tanda Tangan, untuk:
a. surat perjanjian beserta rangkapnya;
b. akta notaris beserta grosse, salinan, dan, dan
c. akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya.
2. Dokumen selesai dibuat, untuk:
a. berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun, dan
b. transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun
3. Dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen tersebut dibuat, untuk:
a. keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta
rangkapnya;
b. Dokumen lelang, dan
c. Dokumen yang menyatakan jumlah uang
4. Dokumen diajukan ke pengadilan, untuk Dokumen yang digunakan sebagai alat
bukti di pengadilan
5. Dokumen digunakan di Indonesia, untuk Dokumen yang dibuat di luar negeri.
Atau ditetapkan saat lain terutangnya Bea Meterai oleh Menteri.
Permeteraian Kemudian
Apabila terdapat dokumen yang akan digunakan:
1. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan,
2. Dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya,
dapat dilakukan Pemeteraian Kemudian
Pihak yang wajib membayar Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian merupakan
Pihak Yang Terutang. Bea Meterai yang terutang atas dokumen yang tidak atau kurang
Bea Meterai yang terutang.
Masa Transisi
Selama masa transisi (s.d. 31 Des 2021) materai Rp 3.000,00 dan Rp 6.000,00 masih
berlaku. Cara penggunaan meterai Rp 3.000 dan meterai Rp 6.000 untuk dokumen
selama masa transisi sebagai pengganti materai Rp 10.000:
 Menempelkan materai Rp 6.000 dan materai Rp 3.000 secara berdampingan
dalam satu dokumen yang memerlukan materai.
 Menempelkan 3 materai Rp 3.000 secara berdampingan dalam satu dokumen
yang memerlukan materai.
 Menempelkan 2 materai Rp 6.000 secara berdampingan dalam satu dokumen
yang memerlukan materai.

Anda mungkin juga menyukai