Anda di halaman 1dari 13

PEMBERDAYAAN PAJAK PROPERTI UNTUK KEPENTINGAN PEMERINTAH DAERAH

Arief Hadianto, SE, M.Ec.Dev dan Raden Murwantoro, Ak*)

1. Latar Belakang Pajak properti mencakup: Pajak properti riil (the riil property tax), pajak yang dikenakan atas nilai OP (tanah dan improvement yang ada di atasnya). Pajak properti personal (the personal property tax), pajak yang dikenakan pada properti personil yang berwujud, seperti :furniture and equipment, animals, inventories dan pada property personil yang tidak berwujud seperti uang, saham, obligasi dll. Penentuan Basis Pajak Properti tergantung pada dasar pengenaan pajak, wajib pajak, tanggungjawab penilaian, struktur pemerintahan, kemampuan administrative dan bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dasar pengenaan pajak : Nilai Modal (Capital Value) Nilai modal dapat dihitung dengan beberapa pendekatan yaitu: 1. Pendekatan data pasar (market data approach) dengan cara membandingkan property yang hamper sama yang telah diperjualbelikan melalui proses penyesuaian (adjustment) 2. Pendekatan biaya (Cost Approach) dengan cara menghitung biaya pembangunan/penggantian improvement baru yang mirip dikurangi dengan penyusutan (depreciation) 3. Pendekatan pendapatan (Income Approach) dengan cara mengkonversi pendapatan operasi bersih atau Net Operating Income (NOI) yang akan diterima di masa mendatang dengan tingkat kapitalisasi tertentu untuk menjadi nilai sekarang (present value). Nilai Sewa Tahunan (Annual Rental Value) Nilai sewa tahunan menggunakan nilai sewa baik dalam bentuk sewa kotor atau sewa bersih yang diestimasi dihasilkan oleh obyek pajak tiap tahunnya. Nilai Tanah (Land Value) Penggunaan nilai tanah sebagai basis pajak property digunakan untuk pengenaan tanah kosong (unimproved) yaitu hanya dengan mempertimbangkan kondisi tanah kosong semata tanpa melihat aspekaspek lain. Pengenaan pajak atas tanah kosong dilaksanakan dengan dasar bahwa timbulnya nilai atas tanah sebenarnya disebabkan oleh lingkungan sekitar. Proses penilaian tanahnya dilaksanakan dengan dasar highest and best uses yang mendorong pemilik tanah untuk tidak

membiarkan tanahnya dalam kondisi kosong dan berusaha menggunakan tanahnya dalam kondisi highest and best uses. Dasar Penentuan Tarif Struktur tarif pajak yang dikenakan pada wajib pajak dalam bentuk flat atau progresif. Tarif flat administrasinya tentu lebih sederhana dan meminimalkan kemungkinan kolusi antara wajib pajak dengan fokus. Pembedaan tariff memungkinkan pemerintah mengenakan pajak lebih fleksibel, misalnya dengan mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi untuk property yang mempunyai nilai lebih tinggi. Pembedaan tariff juga memudahkan meminimalkan dampak inflasi. 2. Pajak-Pajak Poperti di Indonesia Pajak Bumi dan Bangunan

Berdasarkan UU No. 12 tahun 1994 tentang perubahan UU No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Obyek PBB adalah bumi dan bangunan. Obyek PBB yang dikecualikan adalah tanah dan bangunan untuk : 1). melayani kepentingan umum di bidang ibadah, social, kesehatan, pendidikan yang dimaksudkan tidak memperoleh keuntungan. 2). Kuburan umum, peninggalan purbakala dan museum 3). Perwakilan diplomatik atau konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik 4). Hutan lindung, hutan suaka alam, taman nasional, tanah pengembalaan dan tanah Negara yang belum dibebani hak 5). oleh Menkeu Perwakilan organisasi Internasional yang ditentukan

Subyek pajak PBB adalah orang atau badan yang mempunyai hak, memperoleh manfaat, memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang ditentukan berdasarkan perbandingan harga transaksi property lain yang sejenis atau nilai perolehan/penggantian baru. Nilai jual obyek pajak yang dipakai dalam perhitungan besarnya pajak terutang adalah NJOP setelah dikurangi NJOPTKP yang ditetapkan setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00. Tarif PBB merupakan tarif tunggal 0,5% dan perhitungan PBB terutangnya adalah 0,5% dikalikan Nilai Jual Kena Pajak.

Berdasarkan PP No 16 tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 82/KMK.04/2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan PBB antara Pemerintah Pusat dan Daerah, imbangan pembagian hasil penerimaan PBB adalah: a. Pemerintah Pusat 10%, dikembalikan lagi ke daerah dengan rincian: 65% dibagikan secara merata kepada kabupaten/kota 35% sebagai insentif kepada daerah kabupaten/kota yang realisasi PBB sektor pedesaan dan perkotaan yang TA sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan b. Daerah 90% dengan rincian: 16,2% untuk Propinsi 64,8% untuk kabupaten/kota 9% untuk biaya pemungutan Bangunan (BPHTB) Bea Perolahan Hak atas Tanah dan

BPHTB merupakan pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan yang diatur dalam UU No.21 tahun 1997 jo. UU No.20 tahun 2000. Pemberlakukan BPHTB dilatarbelakangi pemikiran bahwa tanah dan bangunan sebagai bagian dari sumber daya alam memiliki fungsi sosial, dimana selain memenuhi kebutuhan akan papan/lahan usaha juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Penggalian sumber penerimaan BPHTB memberikan arti utama bagi sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah dalam rangka memantapkan otonomi daerah, karena merupakan penerimaan negara yang keseluruhan hasilnya diserahkan kepada daerah. Hal ini sejalan dengan UU No. 17 tahun 1997 jo. UU No. 34 tahun 2000. Salah satu tujuan reformasi perpajakan daerah adalah menyederhanakan jenis pajak dan retribusi daerah yang diharapkan penerimaan daerah dapat meningkat melalui efisiensi pemungutan yang menitikberatkan pada pajak dan retribusi daerah yang potensial disamping BPHTB. Obyek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi: 1. Pemindahan hak (hak milik, HGU, HGB, Hak Pakai, HMSRS, Hak Pengelolaan) karena jual beli, tukar menukar, hibah, wasiat, pemasukan dalam perseroan dsb. 2. Pemberian pelepasan hak, di luar pelepasan hak Obyek BPHTB yang dikecualikan adalah untuk: 1. perwakilan diplomatik, konsulat atas perlakuan timbal balik hak baru karena

2. negara umum

untuk

menyelenggarakan

pemerintahan/kepentingan

3. badan atau perwakilan organisasi internasional 4. orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak ada perubahan nama karena wakaf,warisan untuk kepentingan ibadah 5. Hibah wasiat dan hak pengelolaan yang diatur PP No. 35/1997. Subyek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP): Jual beli adalah harga transaksi Tukar Menukar adalah nilai pasar obyek pajak Hibah adalah nilai pasar obyek pajak Pemasukan dalam perseroan adalah nilai pasar obyek pajak Pemisahan hak adalah nilai pasar obyek pajak Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi lelang Peralihan hak adalah nilai pasar obyek pajak Pemberian hak baru atas tanah adalah nilai pasar obyek pajak Pemberian hak baru atas tanah adalah nilai pasar obyek pajak Tarif BPHTB adalah 5%. NPOPTKP sebesar setinggi-tingginya Rp 60 juta, kecuali perolehan karena waris atau hibah wasiat sebesar Rp 300 juta. Perhitungan BPHTB terutangnya 5% dikalilkan NPOP setelah dikurangi NPOPTKP. Sesuai Kep.Menkeu No. 635/KMK.04/1997 tentang pembagian hasil BPHTB mengatur hasil penerimaan dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan imbangan pembagian sekurang-kurangnya 80% untuk Pemda Tk. II dan 20% untuk Pemda Tk I. Pajak Penghasilan (PPh) atas Properti 1. Penghasilan dari pengalihan harta berwujud berupa tanah dan bangunan sesuai UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan dan bersifat final. Nilai jual obyek pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Obyek Pajak menurut SPPT PBB. Tarif sebesar 5% dari bruto nilai pengalihan atau 2% dari bruto nilai pengalihan untuk rumah susun, rumah sangat sederhana dan rumah susun sederhana.

PPh atas properti tersebut mencakup:

2. Penghasilan dari sewa tanah dan bangunan sesuai UU No. 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan dan SE-22/PJ.04/1996 tentang PPh atas penghasilan dari sewa tanah dan atau bangunan. Obyek sewa adalah tanah dan bangunan berupa rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, ruang kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri. Tarif pajak sebesar 10 % dari bruto nilai sewa dan bersifat final 3. Penghasilan dari selisih penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) yang terjadi ketidaksesuaian unsur biaya dan penghasilan karena perkembangan harga. Tarif sebesar 10% dari bruto selisih antara hasil revaluasi dengan nilai sebelumnya dan bersifat final. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Properti

Berdasarkan PP No. 143 tahun 2000 tentang PPN atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi/badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain untuk luas bangunan lebih atau sama 200m2. Tarifnya 10% X 40% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan membangun sendiri. 3. Praktek-praktek Pemungutan Pajak Properti di Luar Negeri Beberapa praktek pemungutan Pajak Properti di berbagai negara dapat digambarkan sebagai berikut: Amerika Serikat Pemungutan dan administrasi pajak dilakukan oleh negara bagian. Dasar pengenaan adalah capital value dari tanah dan pengembangan tetapi terdapat perbedaan untuk masing-masing negara bagian Penilaian adalah Nilai pasar wajar dan sesuai Highest and Best Use. Inggris Dasar pengenaan adalah manfaat dari pendudukan tanah dan bangunan. Nilai pengenaan adalah sewa bersih yang dikenakan multiplier pajak. Penilaian dilakukan oleh Valuation Office Agency (VOA). Metode penilaian sesuai dengan tipe property, tetapi sebagian besar dengan pendekatan pendapatan (sewa tahunan) serta Metode Biaya. Perancis Dasar pengenaan ditentukan oleh pemerintah pusat dan tidak dapat diubah oleh pemerintah local. Tarif pajak bervariasi diantara unit-unit pemerintahan. Penilaian menggunakan nilai sewa dari suatu properti. Properti dikenakan sesuai koefisien tahunan yang ditetapkan pemerintah pusat yang secara periodic disesuaikan oleh administrasi pajak pusat.

Singapura

Dasar pengenaan adalah nilai tahunan yaitu sewa kotor per tahun dimana pemilik membayar pengeluaran untuk perbaikan, asuransi, perawatan dan seluruh pajak. Tarif untuk bangunan residential pemilikpenghuni adalah 4% dan 12% dan tahun 2001 dikurangi menjadi 10%. Penilaian adalah nilai tahunan yaitu sewa tahunan yang diperoleh seandainya bangunan disewakan. Australia Pengenaan pajak atas modal dan dikenakan pada nilai tanah kena pajak yang belum dibangun. Tarif marginal dan tarif dari Negara bagian memiliki perbedaan cukup besar dimana tarif paling tinggi di Victoria sebesar 4%. Di Australia, dikenal Capital Gain Tax yang obyek pajaknya aset yang dapat dikenai pajak dan telah dimiliki wajib pajak lebih dari 12 bulan dan dikenakan atas keuntungan riil setelah dikurangi inflasi yang diderita wajib pajak dari pengalihan asetnya. Korea Selatan Pajak yang berkaitan dengan tanah dibedakan jelas antara tanah dan bangunan. Pajak atas pemilikan tanah dikenakan dnegan tarif yang dihitung dari nilai sebidang tanah. Penilaian dilakukan dengan menentukan Standard Value for Taxation (SVT). Walaupun harga tanah meningkat dengan cepat, besarnya SVT tidak akan mengalami kenaikan yang tinggi. SVT berkisar antara 15%-20% dari harga pasarnya. Pajak peningkatan nilai tanah mencegah dorongan spekulasi tanah. Tanah yang dikenakan pajak berupa tanah kosong, tanah tidur, dan tanah tidak untuk usaha yang dimiliki perusahaan. Taiwan Pajak tanah merupakan pajak propinsi (Provincial Taxes). Jenis-jenis pajak tanah adalah: 1. Pajak nilai tanah atas dasar jumlah nilai tanah yang dimiliki tiap orang dan per lokasi. Tarif terendah 1% dan tertinggi 5,5%. 2. Pajak atas tanah pertanian tergantung kategori dan kelas tanah dari lahan pertanian dan sekarang ditiadakan. 3. Pajak atas Pertambahan Nilai Tanah untuk menangkal spekulasi dan monopoli dalam bidang pertanahan atas dasar jumlah kenaikan nilai tanah yang dilakukan pada saat pengalihan hak atas tanah. Tarif dibedakan dalam 3 kategori : 40%, 50% dan 60%. 4. Pajak atas pengalihan tanah yang tarifnya ditentukan sebesar 5%.

5. Pajak atas warisan dan hibah dimana tarifnya progresif tergantung dari nilai harta warisan yang ditinggalkan. Hongkong Pajak properti dikenakan atas pemilik tanah atau bangunan berdasarkan nilai sewa yang diterima dari penyewa tanah dan/atau bangunan. Pajak ini dipungut tiap-tiap tahun berdasarkan perhitungan atas kepemilikan hak dari properti dengan tarif 15%. Selain itu, terdapat pajak Rating Ordinance yang dikenakan atas nilai tanah, rumah dan turutannya dengan tarif 2,5% untuk General Rates dan 3,5% untuk Urban Rates. Di luar itu, ada Estate Duty Ordinance (EDO) dikenakan atas aset-aset yang ada di Hongkong dengan tarif antara 0%, 6%, 12% dan 18%. 4. Pemberdayaan Pajak Properti untuk Kepentingan Pemerintah Daerah Pengelolaan Pajak Properti di Beberapa Negara

Sistem pengelolaan pajak properti tergantung pada kepentingan nasional. Kalau secara nasional, pajak properti lebih menguntungkan di kelola daerah, pajak properti menjadi pajak daerah. Namun sebaliknya, jika secara nasional pajak properti lebih menguntungkan dikelola pusat, pajak properti menjadi pajak pusat. Berikut ini perbandingan pengelolaan pajak properti di berbagai negara menurut William Dilinger 4 (1990).
No 1 2 3 4 Pusat Daerah Pusat Daerah Pengelolaan Penilaian Pemungutan Pusat Daerah Daerah Pusat Perancis, Swedia, Turki, Jordania, Chili, Denmark, Indonesia Amerika Serikat, Jepang, India, Nigeria Inggris, Jerman, Colombia, Kenya Belanda, Tunisia Negara

Dari tabel tersebut terlihat bahwa pengelolaan pajak properti di beberapa negara bervariasi ada yang seluruhnya ditangani Pusat, seluruhnya ditangani Daerah dan ada yang kombinasi keduanya. Sistem pengelolaan pajak properti dari sisi kewenangan dalam perumusan kebijakan, pengelolaan administrasi dan pemungutannya dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Pengelolaan secara Sentralistik yang diterapkan di negara Perancis, Singapura, Swedia, Chili dan Indonesia.

2. Pengelolaan secara Desentralistik yang diterapkan di negara AS, Kanada, Australia dan Swiss. 3. Pengelolaan secara Kombinasi yang dipraktekkan oleh Inggris, Jepang, Israel, Denmark dan Belanda. Keragaman pengelolaan pajak properti di beberapa negara sangat dipengaruhi oleh corporate culture-nya. Potret Pajak Properti di Indonesia

Pajak properti di Indonesia meliputi PBB, BPHTB, Pajak Penghasilan atas Tanah dan Bangunan dan PPN Membangun Sendiri. Berikut ini proporsi Pajak Properti, Total Pajak, GDP dan rasio pajak dari tahun 2000-2007 (budgeted) (dalam miliar Rp).

Tahun Fiskal

Pajak Properti

Total Pajak

GDP

Persentase PBB Thd Tot. Pajak Thd GDP 0,46 0,45 0,49 0,61 0,64 0,72 0,72 0,75

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

4.456,1 6.662,9 7.827,7 10.905,3 14.680,0 19.596,2 22.540,0 26.656,9

115.912,5 185.540,9 210.087,5 242.048,2 280.897,6 346.819,2 425.053,1 509.462,0

971.502,6 1.467.654,8 1.610.565,0 1.786.690,9 2.303.031,0 2.721.261,9 3.119.073,5 3.531.087,5

3,84 3,59 3,73 4,50 5,23 5,65 5,30 5,23

Dari tabel di atas, terlihat bahwa penerimaan pajak Properti (PBB dan BPHTB) terus menerus mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Hal ini tidak terlepas dari peranan Pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan pajak. Berdasarkan PMK No. 03/PMK.07/2007 tentang Penetapan Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil PBB dan BPHTB Bagian Daerah TA 2007, ditetapkan sebagai berikut: Pasal 2 (1) Penerimaan PBB dibagi 10% Pemerintah Pusat dan 90% Pemda. Pasal 2 (2) Penerimaan BPHTB dibagi 20% Pemerintah Pusat dan 80% Pemda. Pasal 3(1) Dana Bagi Hasil PBB 90% dibagi : 16,2% Pemerintah Provinsi, 64,8% Pemerintah Kabupaten/kota dan 9% biaya pemungutan.

Pasal 3 (2) Dana Bagi Hasil BPHTB 80% dibagi : 16% Pemerintah Provinsi dan 64% Pemerintah Kabupaten/Kota. Pasal 4 (3) Perkiraan alokasi dana Bagi Hasil PBB bagian daerah sebesar Rp 17.191.826.369.862,00 dan dana Bagi hasil BPHTB bagian daerah sebesar Rp 4.311.879.040.000,00. Selanjutnya, PMK Nomor 05/PMK.07/2007 tentang Penetapan Perkiraan Alokasi PBB dan BPHTB Bagian Pemerintah Pusat yang dibagikan kepada Seluruh Kabupaten dan Kota TA 2007 ditetapkan sebagai berikut: Pasal 3 (1) Penerimaan PBB bagi Pemerintah Pusat 10% dialokasikan kepada seluruh kabupaten/kota. Pasal 3 (2) Alokasi untuk kabupaten/kota adalah 6,5% dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten/kota serta 3,5% dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten/kota yang realisasi penerimaan PBB sektor pedesaan dan perkotaan TA sebelumnya melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan. Pasal 3 (3) Penerimaan BPHTB bagian Pemerintah Pusat 20% dialokasikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota. Pasal 4 (3) perkiraan alokasi PBB bagian Pemerintah Pusat dan BPHTB bagian Pemerintah Pusat yang dibagikan kepada seluruh kabupaten/kota adalah PBB sebesar Rp 1.382.356.156.989,00 dan BPHTB sebesar Rp 1.077.980.000.000,00. Dari Ke-2 Peraturan Menteri Keuangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh bagian pemerintah Pusat untuk penerimaan PBB dan BPHTB dibagikan seluruhnya ke daerah (provinsi dan kabupaten/kota) secara proporsi tertentu. Implikasinya, daerah penghasil penerimaan PBB dan BPHTB yang lebih besar memberikan subsidi kepada daerah yang berpenghasilan PBB dan BPHTB yang kurang yaitu berupa 10 % dari penerimaan PBB dan 20% dari penerimaan BPHTB. Analisis Pemberdayaan Pajak Properti untuk Kepentingan Daerah Dilihat dari aspek sistem pengelolaan pajak, Indonesia menganut sistem Sentralistik dengan catatan dalam pelaksanaannya melibatkan langsung pemerintah daerah dalam kegiatan identifikasi obyek dan subyek pajak serta pemungutannya. Pengkajian atas pengelolaan pajak properti dapat ditinjau dalam 3 (tiga) aspek yaitu: 1. Aspek Penerimaan (Revenue). Berdasarkan aspek ini, pajak properti merupakan sumber penerimaan yang potensial bagi daerah. Hal ini menurut Bahl, dikarenakan pajak properti merupakan keuntungan yang harus dibayar oleh pemilik

tanah yang memperoleh manfaat terbesar dari pelayanan pemerintah lokal. 2. (Administration) Aspek Pengelolaan Administrasi

Aspek pengelolaan administrasi meliputi identifikasi subyek dan obyek pajak, pemeliharaan basis data, penilaian dan pemungutan. Dalam hal ini dibutuhkan infrastruktur yang lengkap dan mahal agar pajak properti dapat diadministrasikan dengan baik. 3. Aspek Wewenang Dilihat dari aspek wewenang perlu adanya local taxing power dimana wewenang perumusan kebijakan PBB diserahkan kepada daerah, sehingga daerah dapat lebih leluasa dalam merencanakan penerimaan PBB untuk membiayai pembangunan daerahnya. Selain itu, Pemerintah Daerah dapat juga memiliki local taxing power yaitu kondisi dimana pemerintah daerah memiliki sumber penerimaan dan kewenangan penuh untuk menentukan tarif dan pengelolaan administrasi serta pemungutannya. Masalah pengelolaan pajak properti harus dilaksanakan pada tingkat daerah atau tingkat pusat tidak sesederhana dengan menerapkan sistem negara maju ke negara berkembang (misalnya Indonesia), karena masing-masing negara mempunyai corporate culture. Pengelolaan administrasi pajak properti juga tidak ada hubungan langsung dan menentukan antara kemajuan, besar kecilnya negara atau berkembangnya iklim demokrasi. Indonesia menerapkan pengelolaan pajak properti secara terpusat tidak dapat dilepaskan dari sejarah pajak properti, struktur negara serta filosofi yang dianut. Filosofi Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 45 yaitu bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini berarti pengaturan hal-hal yang sifatnya untuk kemakmuran rakyat secara keseluruhan diatur oleh pemerintah pusat dengan memperhatikan potensi daerah. Dari berbagai pajak properti di atas, pembagian hasil pemungutannya adalah sebegai berikut: PBB adalah untuk daerah pemungut (Pem.Prov, Pemkab/Kota,Upah pemungut) sebesar 90% dan sebesar 10% dibagi ke seluruh daerah. BPHTB adalah untuk daerah pemungut sebesar 80% dan sebesar 20% dibagi ke seluruh daerah. Apabila dilihat dari esensi Pajak Properti yang sifatnya obyeknya tetap/tidak berpindah, maka Pemerintah Daerahlah yang seharusnya

menerima manfaat dari penerimaan pajak tersebut. Pemerintah daerah yang merasa menghasilkan penerimaan pajak Properti yang lebih besar mungkin menganggap kurang adil. Tapi mungkin itu konsekuensi dari negara Kesatuan seperti Indonesia yang harus memelihara kebersamaan. Menurut penulis, Penerapan Sentralisasi perpajakan properti dapat terus dilanjutkan mengingat beberapa pertimbangan antara lain: Memenuhi amanat UUD 45 pasal 33 yaitu bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Implikasinya pengelolaan pajak secara umum bertujuan untuk kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Pemerintah Pusat sebagai aranger kebijakan mengarahkan untuk tujuan tersebut sesuai potensi, identifikasi obyek dan subyek, pemeliharaan data base serta pengumpulan hasil penerimaan pajaknya. Menghindari ketiadakseragaman dalam pengaturan kebijakan perpajakan di bidang properti. Ketidakseragaman pengaturan dapat berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi daerah maupun secara nasional. Hal ini dapat dilihat dari pemerintah daerah berlomba lomba dalam meningkatkan PAD melalui pengaturan yang melakukan perubahan terhadap obyek, subyek maupun tarifnya. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat secara perlahan-lahan telah melakukan inventarisasi dan membatalkan Perda-Perda yang mengganggu perekonomian secara nasional. Pengelolaan administrasi pajak properti telah melibatkan Pemerintah dalam identifikasi Obyek dan subyek serta pemungutannya. Hal ini, dapat dilihat dari keterlibatan aparat-aparat mulai dari tingkat RT,RW, lurah/Kepala Desa,Camat dan Bupati dalam membantu KP PBB untuk pemungutan PBB dan BPHTB. Namun demikian, Untuk lebih mengoptimalkan penerimaan pajak-pajak properti, hal-hal yang perlu dilakukan Pemerintah Pusat adalah: Perlunya sinkronisasi kebijakan di bidang perpajakan dengan peraturan-peraturan daerah yang berkaitan dengan pajak properti, misalnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Perencanaan Pembangunan Daerah, Rencana Investasi Daerah dan sebagainya. Perlunya pengkajian ulang mengenai alokasi dana bagi hasil untuk menjamin keadilan dalam pembagian hasil terutama bagi daerah pemungut yang berkontribusi sangat dominan dalam realisasi penerimaan pajak. Perlunya keterlibatan aktif dari pemerintah daerah mulai dari tingkat bawah dalam penentuan obyek sekaligus nilainya (NJOP)

mengingat merekalah yang mengerti betul dalam daerahnya sehingga validitas data base-nya dapatlah diandalkan. 5. Simpulan Pajak properti di Indonesia terdiri dari PBB, BPHTB, PPh pasal 21 atas pengalihan Hak serta PPN kegiatan membangun sendiri. Penentuan Basis Pajak Properti tergantung pada dasar pengenaan pajak, wajib pajak, tanggungjawab penilaian, struktur pemerintahan, kemampuan administrative dan bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Terdapat berbagai keragaman pemungutan dan penilaian pajak properti di beberapa negara yang dapat dibagi menjadi 3 (tiga) sistem yaitu Sentralistik, Desentralistik dan Kombinasi keduanya. Penerimaan pajak Properti (PBB dan BPHTB) terus menerus mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Hal ini tidak terlepas dari peranan Pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan pajak. Seluruh bagian pemerintah Pusat untuk penerimaan PBB dan BPHTB dibagikan seluruhnya ke daerah (provinsi dan kabupaten/kota) secara proporsi tertentu. Implikasinya, daerah penghasil penerimaan PBB dan BPHTB yang lebih besar memberikan subsidi kepada daerah yang berpenghasilan PBB dan BPHTB yang kurang yaitu berupa 10 % dari penerimaan PBB dan 20% dari penerimaan BPHTB. Menurut penulis Menurut penulis, Penerapan Sentralisasi perpajakan properti dapat terus dilanjutkan mengingat beberapa pertimbangan antara lain: 1. Memenuhi amanat UUD 45 pasal 33 yaitu bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 2. Menghindari ketiadakseragaman dalam pengaturan kebijakan perpajakan di bidang properti 3. Pengelolaan administrasi pajak properti telah melibatkan Pemerintah dalam identifikasi Obyek dan subyek serta pemungutannya. ----SELESAI======= Referensi : 1) UU No. 12 tahun 1994 tentang perubahan UU No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

2) PP No 16 tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 82/KMK.04/2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan PBB antara Pemerintah Pusat dan Daerah 3) UU No.21 tahun 1997 jo. UU No.20 tahun 2000 tentang Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). 4) Kep.Menkeu No. 635/KMK.04/1997 tentang pembagian hasil BPHTB 5) UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan 6) SE-22/PJ.04/1996 tentang PPh atas penghasilan dari sewa tanah dan atau bangunan 7) PP No. 143 tahun 2000 tentang PPN atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi/badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain untuk luas bangunan lebih atau sama 200m2 8) PMK No. 03/PMK.07/2007 tentang Penetapan Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil PBB dan BPHTB Bagian Daerah TA 2007 9) PMK Nomor 05/PMK.07/2007 tentang Penetapan Perkiraan Alokasi PBB dan BPHTB Bagian Pemerintah Pusat yang dibagikan kepada Seluruh Kabupaten dan Kota TA 2007 *) PFA pada Perwakilan BPKP Prov DIY

Anda mungkin juga menyukai