Anda di halaman 1dari 12

PERPAJAKAN

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

KELOMPOK IV

Ketua :
Dewa Gede Alit Swandana (2102612010969)
Anggota :
1. Putri Emilia Yanti (2102612010967)
2. Ni Luh Gede Swandewi (2102612010970)
3. I Dewa Ayu Putri Oktayeni (2102612010973)
4. Ni Putu Chintya Nitri Dewi (2102612010976)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR

TAHUN AJARAN

2022
1. Dasar Hukum PBB

Landasan Hukum PBB, adalah Undang–Undang Nomor 12 Tahun 1985 Sebagaimana


telah diubah dengan Undang–Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan. Ada empat asas utama yang harus diperhatikan dalam Pajak Bumi dan Bangunan,
yaitu:

a) Sederhana, dengan pengertian mudah dimengerti dan dapat dilaksanakan.


b) Adil, dalam arti keadilan vertikal maupun horizontal dalam pengenaan Pajak Bumi
dan Bangunan yang disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak.
c) Mempunyai kepastian hukum, dengan pengertian bahwa pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan diatur dengan Undang-Undang dan peraturan atau ketentuan pemerintah
sehingga mempunyai kekuatan dan hukum.
d) Gotong-royong, dimana semua masyarakat baik berkemampuan rendah maupun
tinggi ikut berpartisipasi dan bertanggung-jawab mendukung pelaksanaan Undang-
Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan sertaketentuan Peraturan Perundang-
undangan.

Besarnya tarif Pajak Bumi dan Bangunan adalah 0,5% dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
sebagaimana telah ditentukan di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994
Tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Tarif (setengah persen) 0.5% merupakan tarif pajak
tunggal yang berlaku sama untuk semua jenis obyek pajak (persawahan, perkantoran,
perkebunan, industri, dan sebagainya) diseluruh Indonesia. Dimana Persentase Nilai Jual
Kena Pajak (NJKP) besarnya presentasenya sebagaimana pada pasal 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 2002 Tentang penetapan besarnya NJKP untuk penghitungan PBB adalah
sebagai berikut :

a) Objek pajak perkebunan adalah 40%


b) Objek pajak kehutanan adalah 40%
c) Objek pajak pertambangan adalah 40%
d) Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan) dengan ketentuan apabilla NJOP nya >
Rp 1.000.000.000,- adalah 40% dan apabila NJOP nya < Rp 1.000.000.000,- adalah
20%.
2. Definisi PBB
Rochmat Soemitro memberikan pengertian dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
sebagai berikut : ”Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang dikenakan atas harta
tidak bergerak, maka yang dipentingkan adalah obyeknya dan oleh karena itu keadaan status
orang atau badan yang dijadikan subyek tidak penting dan tidak mempengaruhi besarnya
pajak” (Rochmat Soemitro, 2001: 45). Menurut Mardiasmo, memberikan pengertian di
bawah ini :
“Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
terdiri atas pajak terhadap bumi dan bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi
yang ada di bawahnya, meliputi tanah dan perairan, serta laut wilayah Republik Indonesia.
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan
atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan” (Mardiasmo,
1997: 91).
Dari pengertian tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diatas maka dapat disimpulkan
bahwa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah penerimaan negara yang berasal dari rakyat
atas kebendaan objek atau bumi, tanah dan atau bangunan yang sebagian besar hasilnya
diserahkan kepada daerah masing-masing untuk meningkatkan pendapatan daerah tersebut.

3. Subyek PBB

Subyek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menurut Pasal 4 Ayat (1) Undang- Undang
Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun
1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah orang pribadi atau badan yang secara
nyata:

a) Mempunyai suatu hak atas bumi.


b) Memperoleh manfaat atas bumi.
c) Memiliki bangunan.
d) Menguasai bangunan.
e) Memperoleh manfaat atas bangunan.
Menurut ketentuan undang-undang, Wajib Pajak adalah Subyek Pajak yang dikenakan
kewajiban membayar pajak. Dengan demikian maka yang wajib membayar Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) bukan saja pemilik tanah dan/atau bangunan tetapi juga penyewa atau siapa
saja yang memanfaatkan tanah dan atau bangunan misalnya penghuni rumah dinas suatu
instansi (Marihot P. Siahaan, 2004: 154).

4. Obyek PBB

Obyek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diatur dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Pasal 2

1) Yang menjadi obyek pajak adalah bumi dan atau bangunan.


2) Klasifikasi obyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri
Keuangan.
Pasal 3
1) Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah objek pajak
yang :
a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah,
sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan;
b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, taman
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani
suatu hak;
d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbal balik;
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan
oleh Menteri Keuangan.
2) Obyek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan,
penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
3) Besarnya nilai jual obyek pajak tidak kena pajak ditetapkan setinggi-tingginya sebesar
Rp 12.000.000,00 untuk setiap wajib pajak.
4) Penyesuaian besarnya nilai jual obyek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditetapkan oleh menteri keuangan.
5. Tarif dan Dasar Pengenaan PBB

Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Nilai jual Objek Pajak (NJOP).NJOP
adalah harga rata-rata atau harga pasar pada transaksi jual beli tanah, yang setiap tahunnya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan Indonesia. Beliaulah yang menetapkan harga-harga
tersebut dengan mempertimbangkan masukan dari Bupati dan Walikota setempat.

Dalam hal menetapkan NJOP, ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan. Antara lain :

a) Untuk NJOP Bumi, dasar penetapannya adalah letak, pemanfaatan, peruntuhan dan
kondisi lingkungan.
b) Sedangkan untuk NJOP Bangunan,dasar penetapannya adalah bahan yang digunakan
di dalam bangunan, rekayasa, letak dan kondisi bangunan.

Selain NJOP, adapa pula Nilai Jual Objek Pajak Tidak kena pajak (NJOPTKP) dan Nilai Jual
Kena Pajak (NJKP). NJOPTKP adalah batas Nilai Jual Objek Pajak atas bumi dan bangunan
yang tidak kena pajak. Besarnya di berbagai wilayah cenderung berbeda-beda.

Berdasarkan Keputusan menteri keuangan Nomor 201/KMK.04/2000, NNJOPTKP untuk


setiap daerah di kabupaten/kota ditetapkan setinggi-tingginya senilai Rp. 12.000.000,- dengan
memperhatikan ketentuan sebagai berikut :

1. Setiap wajib pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak 1 klai dalam 1


Tahun Pajak.
2. Jika wajib pajak memiliki lebih dari 1 objek pajak, maka yang bisa atau mendapat
pengurangan NJOPTKP hanya 1 objek pajak yang nilainya paling besar dan tidak bisa
digabungkan dengan objek pajak lainnya yang wajib pajak miliki.

Sedangkan NJKP adalah dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan. NJKP juga dikenal
sebagai Assessment Value atau nilai jual objek yang akan dimasukkkan ke dalam perhitungan
pajak terutang. Dengan kata lain, NJKP merupakan bagian dari NJOP.

Besarnya tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah 0,5% dari Nilai Jual Kena Pajak
(NJKP) sebagaimana telah ditentukan di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Tarif (setengah persen) 0.5% merupakan
tarif pajak tunggal yang berlaku sama untuk semua jenis obyek pajak
(persawahan,perkantoran, perkebunan, industri, dan sebagainya) diseluruh Indonesia. Dimana
Persentase Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) besarnya presentasenya sebagaimana pada pasal 1
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 Tentang penetapan besarnya NJKP untuk
penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah sebagai berikut :

a) Objek pajak perkebunan adalah 40%


b) Objek pajak kehutanan adalah 40%
c) Objek pajak pertambangan adalah 40%
d) Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan) dengan ketentuan apabila NJOP
nya > Rp 1.000.000.000,- adalah 40% dan apabila NJOP nya < Rp
1.000.000.000,- adalah 20%.
6. SPOP, SPPT, SKP

a) SPOP

Surat Pemberitahuan Objek Pajak atau yang biasa disingkat dengan SPOP ini
merupakan suatu sarana yang dapat digunakan oleh Wajib Pajak dalam mendaftarkan
objek pajak yang dipakai nantinya sebagai dasar perhitungan atas Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) yang terutang. Singkatnya, Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP)
ini merupakan dokumen yang dibutuhkan sebagai syarat dalam pengurusan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB). Dalam surat ini, Wajib Pajak dapat melaporkan data-data yang
menjadi subjek dan objek dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang atas Pajak Bumi dan Bangunan yang berlaku.

b) SPPT

SPPT adalah bentuk surat keputusan yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) terkait pajak yang terutang selama satu tahun pajak. SPPT ini sudah diatur dalam
UU No. 12 Tahun 1994 yang secara khusus mengatur Pajak Bumi dan Bangunan.
Berdasarkan UU tersebut, SPPT adalah dokumen yang menunjukkan besarnya utang atas
PBB yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak pada waktu yang telah ditentukan.
Pada umumnya, SPPT didapatkan sekaligus dengan Izin Memberikan Bangunan (IMB)
dan juga sertifikat. Namun, perlu diingat bahwa SPPT tidak termasuk atau dikategorikan
sebagai bukti kepemilikan objek pajak. SPPT adalah penentu atas objek pajak tersebut
dan patokan jumlah pajak yang dibebankan terhadap objek pajak yang harus dibayarkan
oleh pemilik.

c) SKP

Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah Surat Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Pratama yang memberitahukan besarnya pajak yang terutang termasuk denda
administrasi, kepada Wajib Pajak (WP).
1) Dasar Penerbitan SKP, SKP diterbitkan apabila :
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) :tidak diisi dengan jelas, benar dan lengkap
serta tidak ditandatangani oleh WP; tidak disampaikan kembali dalam jangka waktu 30
hari dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam
Surat Teguran; berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak
yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang
disampaikan oleh WP;

2) Jumlah Pajak Terutang Dalam SKP


Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang disebabkan SPOP tidak diisi dengan
jelas, benar, dan lengkap serta tidak ditandatangani oleh WP atau pengembalian SPOP
lewat 30 hari setelah diterima WP, adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan denda
administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak.
Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang didasarkan atas hasil pemeriksaan atau
keterangan lain adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain dengan pajak terutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda
administrasi sebesar 25 % dari selisih pajak yang terutang.

3) Tata Cara Pembayaran, Penagihan dan Denda

Tata cara pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diatur dalam Pasal 11
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), adalah
sebagai berikut :

1) Pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang sebagaimana


dimaksud dalam pasal 10 ayat 1 harus dilunasi selambat- lambatnya 6 bulan sejak
tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang oleh wajib pajak.
2) Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4) harus dilunasi selambat- lambatnya 1 bulan
sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak oleh wajib pajak.
3) Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau
kurang dibayar dikenakan denda administrasi sebesar 2% sebulan, yang dihitung
dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling
lama 24 bulan
4) Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 ditambah dengan hutang
pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak yang
harus dilunasi selambat-lambatnya 1 bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan
Pajak oleh wajib pajak.
5) Pajak yang terhutang dibayar di bank, kantor pos dan giro dan tempat lain yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
6) Tata cara pembayaran dan penagihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), (3),
(4), (5) diatur oleh Menteri Keuangan.

7. Keberatan dan Banding


1) Pengertian Keberatan
Dalam UU KUP Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 26A maupun PMK 9/2013 s.t.d.t.d
PMK 202/2015 tidak menjabarkan definisi keberatan secara eksplisit. Namun secara
sederhana, keberatan adalah upaya yang dapat ditempuh wajib pajak yang
merasatidak/kurang puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau
atas gugatan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini, Wajib Pajak dapat mengajukan.
keberatan kepada Dirjen Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak di mana Wajib Pajak
yang bersangkutan terdaftar.
2) Keberatan dapat diajukan atas :
a) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
c) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
d) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
e) Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.
f) Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi dari
surat ketetapan pajak, yang meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau
terhadap materi atau isi dari pemotongan atau pemungutan pajak.
g) Sebagian besar Wajib Pajak melakukan proses keberatan karena Surat
Ketetapan Pajak (SKP) yang dianggap tidak adil. Dan surat ketetapan pajak itu
biasanya diterbitkan sebagai produk dari pemeriksaan pajak. Keberatan
umumnya didahului dengan proses pemeriksaan.
3) Syarat Pengajuan Keberatan
a) Satu Keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa pajak
b) Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
c) Wajib menyatakan alasan-alasan secara jelas
d) Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang menurut penghitungan Wajib
Pajak.
e) 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1
(satu) pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
f) Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi, sebelum Surat Keberatan
disampaikan.
4) Seseorang yang dapat mengajukan keberatan
a) Bagi Wajib Pajak Badan oleh Pengurus
b) Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi oleh Wajib Pajak yang bersangkutan
c) Pihak yang dipotong/dipungut pihak ketiga
d) Kuasa yang ditunjuk oleh mereka pada butir diatas.
e) Jangka waktu pengajuan keberatan
f) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal SKP atau
sejak tanggal dilakukan pemotongan/ pemungutan, kecuali Wajib Pajak dapat
menunjukkan jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena di luar
kekuasaannya.
g) Surat keberatan yang diantar langsung ke Kantor Pelayanan Pajak, maka
jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKP atau sejak dilakukan
pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat keberatan diterima
oleh Kantor Pelayanan Pajak.
h) Surat keberatan yang dikirim melalui pos (harus dengan pos tercatat), maka
jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKP atau sejak dilakukan
pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai dengan tanggal bukti
pengiriman melalui Kantor Pos dan Giro.
i) Jika lewat tiga bulan, surat keberatan tidak dianggap karena tidak memenuhi
syarat formal. Tetapi juga membolehkan jangka waktu lebih dari tiga bulan
jika “dalam keadaan diluar kekuasaannya.” Inilah klausul yang sering
dimanfaatkan oleh Wajib Pajak. Pengajuan Keberatan tidak menunda
kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
5) Pengertian Banding
.Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding,
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Putusan
Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan
Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
1) Syarat Pengajuan Banding
a) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan
peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan.
b) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan
yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan
diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
c) Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.
d) Yang dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.
e) Bagi Wajib Pajak Badan oleh Pengurus.
f) Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi adalah yang bersangkutan atau ahli warisnya.
g) Kuasa Hukum dari butir diatas.
2) Pencabutan Banding
a) Terhadap Banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada
Pengadilan Pajak.
b) Banding yang dicabut dihapus dari daftar sengketa dengan penetapan Ketua
dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang dilaksanakan.
c) putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat
pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan terbanding.
d) Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan, tidak dapat
diajukan kembali.

8. Perhitungan PBB (C3)


1) Subjek PBB

Subjek Pajak Bumi dan Bangunan tidak akan mempengaruhi seberapa besar pajak
yang harus dibayarkan. Hanya objek pajaknya ] yang bisa mempengaruhi hal ini. Namun, kita
juga harus mengenal siapa saja yang akan menjadi subjek dari pajak ini. Untuk menjadi
subjek PBB, harus ada beberapa kriteria yang bisa menentukan apakah seseorang wajib
membayarkan Pajak Bumi dan Bangunan setiap periode tahunnya. Kriteria yang sesuai
dengan Pasal 4 UU No. 12 Tahun 1985 dan UU No.12 Tahun 1994 tersebut adalah:

a) Memiliki bukti kepemilikan sah atas bumi (tanah)


b) Mendapatkan beragam manfaat atas bumi (tanah) yang dimiliki
c) Memiliki bangunan fisik
d) Memiliki hak dan kekuasaan atas bangunan
e) Memperoleh beragam manfaat aset bangunan
2) Penentuan PBB

Nilai Jual Objek Pajak atau NJOP, sesuai dengan Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU
No.12 Tahun 1994 jo. Pasal 2 (3) KMK-523/KMK.04/1998 menjadi dasar penentu dalam
PBB. Hal ini menjadi dasar dari penentuan seberapa besar pajak yang harus dibayarkan.
NJOP menunjukan harga pasar atau bisa juga acuan per meter persegi. NIlai ini akan diatur
oleh Kementerian Keuangan. Setiap tiga tahun sekali akan ditentukan NJOP pada suatu
daerah. Terkecuali untuk daerah tertentu yang akan ditetapkan setahun sekali sesuai dengan
perkembangan daerahnya.

Dasar penentuan selanjutnya adalah Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).
Sebuah bangunan atau tanah bisa saja tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. Untuk
besarannya akan berbeda pada setiap daerah. Tapi, berdasarkan aturan yang dikeluarkan oleh
Menteri Keuangan, besaran terendah NJOPTKP adalah Rp10.000.000 untuk setiap wajib
pajak.

Serta dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB), telah diatur tarif pajak yang dikenakan. Tarifnya adalah sebesar 0,5%.

NJKP merupakan nilai jual objek yang akan dimasukan dalam perhitungan pajak terutang.
KMK Nomor 201/KMK.04/2000, menyatakan rincian persentase yang harus dibayarkan
adalah sebesar 40%. Bagi objek pajak perkebunan, objek pajak pertambangan, dan objek
pajak kehutanan.Jika NJOP lebih besar dari 1 miliar Rupiah, persentase NJKP-nya 40%. Jika
NJOP di bawah 1 miliar Rupiah, persentase NJKP-nya 20%

3) Perhitungan PBB
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP), dan
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) menjadi elemen penting di sini. Beberapa rumus yang bisa
digunakan adalah:

NJOP = (NJOP Bumi = luas tanah x nilai tanah) + (NJOP Bangunan = luas bangunan x nilai
bangunan).

NJKP = 40% dari NJOP atau 20% dari NJOP untuk perhitungan PBB

PBB yang terutang = 0,5% x NJKP (jumlah PBB yang harus dibayar setiap tahun).

Contoh Soal :

bu Desi punya properti rumah seluas 60 meter persegi dengan nilai Rp500.000 per meter.
Rumahnya berdiri di atas tanah seluas 100 meter persegi dengan nilai Rp1.000.000 per meter.
Berikut cara menghitung pajaknya:

Nilai rumah: 60 x Rp500.000 = Rp30.000.000

Nilai tanah: 100 x Rp1.000.000 = Rp100.000.000

NJOP: Rp30.000.000 + Rp100.000.000 = Rp130.000.000

NJKP: 20% x Rp130.000.000 = Rp26.000.000

Nilai Pajak Bumi dan Bangunan yang harus dibayar adalah: 0,5% x Rp26.000.000 =
Rp130.000.

Anda mungkin juga menyukai