Pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah dengan beberapa kondisi, antara lain :
1. Pemungutan BPHTB dapat dilakukan oleh daerah secara optimal, dan
2. Pelayanan kepada masyarakat tidak mengalami penurunan.
Masa transisi pengalihan BPHTB ditetapkan selama 1 tahun sejak berlakunya UU No.28/2009 dan
mulai efektif menjadi pajak daerah pada tanggal 1 Januari 2011.
Secara konsepsional, terdapat beberapa dasar pemikiran mengenai kebijakan pengalihan BPHTB
menjadi pajak daerah, antara lain :
a. BPHTB layak ditetapkan sebagai pajak daerah karena BPHTB memenuhi kriteria dan prinsip-
prinsip pajak daerah yang baik, seperti :
Objek pajaknya terdapat daerah (local-origin),
Objek pajak tidak berpindah-pindah (im-movable)
Terdapat hubungan yang erat antara pembayar pajak dan pihak yang menikmati hasil pajak tersebut
(the benefit-tax link principle).
b. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Penetapan BPHTB sebagai pajak daerah akan
meningkatkan pendapatan yang bersumber dari daerah itu sendiri. Hal ini berbeda dengan
penerimaan BPHTB sebagai pajak pusat, meskipun pendapatan BPHTB kemudian diserahkan
kepada daerah, penerimaan tersebut tidak dimasukan ke dalam kelompok PAD, melainkan sebagai
dana perimbangan (Dana Bagi Hasil).
c. Meningkatkan akuntabilitas daerah (local accountability) Dengan menetapkan BPHTB sebagai
pajak daerah, maka kebijakan BPHTB ditetapkan oleh daerah dan disesuaikan dengan kondisi dan
tujuan pembangunan daerah.
d. Praktek di berbagai negara yang menempatkan BPHTB sebagai pajak daerah.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang besar antara ketentuan mengenai BPHTB yang diatur
dalam UU No.21/1997 – yang diubah dengan UU No.20 Tahun 2000. BPHTB semula sebagai pajak
pusat kemudian dialihkan menjadi pajak daerah yang diatur dalam UU No.28/2009 – Perbedaan
pokok BPHTB sebagai pajak daerah terletak pada fleksibilitas yang diberikan kepada daerah dalam
perumusan kebijakan BPHTB untuk memberi ruang bagi daerah dalam menetapkan kebijakan
perpajakan yang sesuai dengan kondisi daerahnya.
Dasar pemungutan BPHTB adalah peraturan daerah yang harus disesuaikan dengan kebijakan yang
termuat dalam UU atau PP.
Kebijakan pokok mengenai BPHTB yang diatur dalam UU No.28/2009 adalah sebagai berikut :
a. Objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, baik pemindahan hak maupun
pemberian hak baru.
b. Sejumlah objek pajak tidak dikenakan BPHTB khusus mengenai badan atau perwakilan
lembaga internasional yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB diatur dalam Keputusan Men.Keu
No.147/PMK.07/2010 tanggal 27 Agustus 2010.
c. Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yg memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
d. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan
termasuk wajib pajak BPHTB adalah PPAT/notaris, Kepala Kantor Lelang Negara dan Kepala
Kantor Pertanahan yang berdasarkan UU diberi kewajiban tertentu dalam proses pemungutan
BPHTB.
e. Tarif BPHTB paling tinggi 5% setiap daerah dapat menetapkan tarif BPHTB sesuai dengan
kebijakan daerahnya sepanjang tidak melampaui 5%.
f. Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dan saat terutang BPHTB
adalah tanggal peralihan hak.
Terdapat tiga instansi yang secara fungsional memiliki tugas dan tanggungjawab dalam
pelaksanaan pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah, yaitu :
a. Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan.
b. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan
c. Direktorat Jenderal Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri.
Pasal 95 ayat (3) : Perda tentang pajak paling sedikit mengatur tentang :
nama, objek dan subjek pajak.
dasar pengenaan tarif dan cara penghitungan pajak.
wilayah pemungutan.
masa pajak.
penetapan.
tata cara pembayaran dan penagihan.
kadaluwarsa.
sanksi administratif dan tanggal mulai berlakunya.
Objek Pajak adalah Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang meliputi :
a. Pemindahan hak karena :
1. Jual-beli.
2. Tukar menukar.
3. Hibah.
4. Hibah wasiat.
5. Waris.
6. Pemasukan dalam perseroan/badan hukum lainnya.
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.
8. Penunjukan pembeli dalam lelang.
9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
10. Penggabungan usaha.
11. Pemekaran usaha.
12. Peleburan usaha.
13. Hadiah.
Objek Pajak yang tidak dikenakan BPHTB (dikecualikan) adalah : objek pajak yang diperoleh :
a. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum.
c. Badan/perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Menteri dengan syarat
tidak menjalankan usaha atau menjalankan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas
badan/perwakilan organisasi.
d. Orang pribadi/badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya
perubahan nama.
e. Orang pribadi atau badan karena wakaf.
f. Orang pribadi/badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Subjek BPHTB : Orang pribadi/badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau memperoleh hak
atas tanah dan atau bangunan.
Besarnya BPHTB dihitung dgn cara : tarif pajak x (NPOP – NPOPTKP) = 5% x NPOPKP
2. Nilai Pasar :
harga rata-rata dari transaksi jual-beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan bangunan.
Nilai pasar dipakai dalam hal :
a. Tukar menukar (kedua belah pihak dikenakan BPHTB)
b. Hibah.
c. Hibah wasiat.
d. Waris.
e. Pemasukan dalam perseroan/badan hukum.
f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.
g. Peralihan hak karena putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
h. Pemberian hak baru.
i. Penggabungan usaha.
j. Peleburan usaha.
k. Pemekaran usaha.
l. Hadiah.
Pengenaan BPHTB :
a. Pengenaan BPHTB karena waris dan hibah wasiat : BPHTB yang terutang atas perolehan hak
karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang.
Dasar pengenaan (NPOP) adalah nilai pasar pada saat pendaftaran hak;
Apabila NPOP lebih kecil dari NJOP PBB maka yg menjadi dasar pengenaan adalah NJOP PBB;
Apabila NPOP lebih kecil dari NJOP PBB maka yang menjadi dasar pengenaan adalah NJOP PBB;
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOTKP) terdiri dari 2 jenis :
1) Maksimum Rp300 juta terhadap waris dan juga terhadap hibah wasiat yang diterima oleh orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat
ke atas dan satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat termasuk suami/istri; dan
2) Maksimum Rp60 juta terhadap penerima hibah wasiat selain dari yang di atas.
Contoh :
1. Seorang anak menerima warisan dari orang tuanya sebidang tanah dan bangunan dengan nilai
pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp350 juta. Terhadap tanah dan bangunan tersebut
telah dikenakan PBB dengan NJOP sebesar Rp425 juta. Apabila NPOPTKP karena waris untuk
daerah tersebut ditentukan sebesar Rp300 juta maka BPHTB yang terutang adalah sebesar :
50% x 5% x (Rp425 juta – Rp300 juta) = Rp 3.125.000,-
2. Seorang cucu menerima hibah wasiat dari kakeknya sebidang tanah seluas 300 M2 dengan nilai
pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp325 juta. Terhadap tanah tersebut telah diterbitkan
SPPT PBB pada tahun pendaftaran hak dengan NJOP sebesar Rp250 juta. Apabila NPOPTKP
pada daerah tersebut ditentukan sebesar Rp50 juta maka BPHTB yang terutang adalah sebesar :
50% x 5% x (Rp325 juta – Rp50 juta ) = Rp6.875.000,-
3. Sebuah Yayasan Yatim Piatu “ Al-Attin” menerima hibah wasiat dari seorang dermawan sebidang
tanah seluas 1.000 M2 dengan nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp700 juta. Apabila
NPOPTKP pada daerah tersebut ditentukan sebesar Rp60 juta maka BPHTB terutang yang harus
dibayar oleh Yayasan tersebut adalah sebesar : 50% x 5% x ( Rp700 juta – Rp60 juta) =
Rp16.000.000,-
b. Pengenaan BPHTB karena pemberian HPL : besarnya BPHTB karena pemberian HPL adalah sbb:
0% dari BPHTB yang sehrsnya terutang dalam hal penerima HPL adalah departemen, lembaga
pemerintah non departemen, Pemda Propinsi, Pemda Kab/Kota, lembaga pemerintah lainnya dan
Perum Perumnas.
50% dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam hal penerima HPL selain penerima HPL
dimaksud di atas.
Contoh :
1. Perum Perumnas menerima Hak Pengelolaan dari Pemerintah sebidang tanah seluas seluas 5 Ha
dengan nilai pasar pada waktu penerbitan hak sebesar Rp3 milyar. Apabila NPOPTKP pada daerah
tersebut ditetapkan sebesar Rp60 juta maka besarnya BPHTB yang harus diabayar oleh Perum
Perumnas tersebut adalah : 0% x 5% x (Rp3 milyar – Rp60 juta) = 0 ( nihil ).
2. Sebuah perusahaan negara milik daerah ( BUMD Perpakiran ) menerima hak pengelolaan dari
pemerintah sebidang tanah dan sebuah gedung untuk parkir dengan nilai pasar pada waktu
penerbitan hak sebesar Rp1 milyar. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan SPPT
PBB dengan NJOP sebesar Rp1,25 milyar. Apabila NPOPTKP atas daerah tersebut ditetapkan se-
besar Rp50 juta maka besarnya BPHTB yang harus dibayar oleh BUMD Perpakiran tersebut adalah
sebesar : 50% x 5% x (Rp1,25 milyar – Rp50 juta) = Rp30 juta
Ketentuan tata cara pembayaran BPHTB tercantum dalam Pasal 10 UU BPHTB yang dijabarkan
lebih lanjut dengan Keputusan Men.Keu. No.517/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Men.Keu No.168/PMK.03/2007 tentang Perubahan Atas Keputusan Men.Keu No.
517/KMK.04/2000 tentang Penunjukan Tempat dan Tata Cara Pembayaran BPHTB, yang kemudian
ditindak lanjuti dengan Keputusan Dirjen Pajak No.269/PJ/2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pembayaran BPHTB Dan Bentuk Serta Fungsi Surat Setoran BPHTB (SSB) dan Surat Edaran
Dirjen Pajak No.09/PJ.6/2001 yang intinya adalah sebagai berikut :
1. Pembayaran tidak mendasarkan kepada adanya Surat Ketetapan Pajak;
2. Dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Bea ( SSB ) ke Kas Negara melalui Bank/Kantor Pos
atau Tempat Pembayaran lain yg ditunjuk;
3. SSB juga berfungsi sebagai SPOP dan sekaligus digunakan untuk melaporkan data perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan.
Kewajiban Bayar adalah pada saat :
1. Dibuat & ditandatanganinya Akta;
2. Pendaftaran Hak untuk Waris & Hibah Wasiat;
3. Ditunjuknya pemenang Lelang;
4. Ditandatanganinya SK Pemberian Hak dalam hal pemberian Hak Baru;
5. Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pemberian subsidi dimaksud diberikan dalam bentuk pemberian fasilitas BPHTB bagi pembeli
Rumah Sederhana Sehat (RSH) dan Rumah Susun Sederhana (RSS) yang selama ini telah
dilakukan oleh pemerintah.
Pengurangan BPHTB diberikan dalam hal :
1. Dalam hal kondisi tertentu Wajib Pajak (WP) yang ada hubungannya dengan Objek Pajak :
a. WP pribadi memperoleh hak baru melalui program Pemerintah di bidang Pertanahan dan tidak
mempunyai kemampuan ekonomis mendapat pengurangan sebesar 75%;
b. WP Badan memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau
bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun mendapat pengurangan sebesar 50%;
c. WP pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan RS dan RSS langsung dari
pengembang dan membayar secara angsuran mendapat pengurangan sebesar 25%;
d. WP pribadi menerima hibah dari keluarga sedarah satu derajad keatas dan kebawah mendapat
pengurangan sebesar 50%.
3. Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata
tidak untuk mencari keuntungan seperti panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, mendapat
pengurangan sebesar 100%.