Anda di halaman 1dari 20

Hukum pajak - Materi bphtb

Maria Emelia Retno. K


 Berdasarkan UU No.28/2009 tentang PDRD, salah satu jenis pajak pusat yang dialihkan menjadi
pajak daerah adalah BPHTB.

 Pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah dengan beberapa kondisi, antara lain :
1. Pemungutan BPHTB dapat dilakukan oleh daerah secara optimal, dan
2. Pelayanan kepada masyarakat tidak mengalami penurunan.

 Masa transisi pengalihan BPHTB ditetapkan selama 1 tahun sejak berlakunya UU No.28/2009 dan
mulai efektif menjadi pajak daerah pada tanggal 1 Januari 2011.

 Secara konsepsional, terdapat beberapa dasar pemikiran mengenai kebijakan pengalihan BPHTB
menjadi pajak daerah, antara lain :
a. BPHTB layak ditetapkan sebagai pajak daerah karena BPHTB memenuhi kriteria dan prinsip-
prinsip pajak daerah yang baik, seperti :
 Objek pajaknya terdapat daerah (local-origin),
 Objek pajak tidak berpindah-pindah (im-movable)
 Terdapat hubungan yang erat antara pembayar pajak dan pihak yang menikmati hasil pajak tersebut
(the benefit-tax link principle).

b. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah  Penetapan BPHTB sebagai pajak daerah akan
meningkatkan pendapatan yang bersumber dari daerah itu sendiri. Hal ini berbeda dengan
penerimaan BPHTB sebagai pajak pusat, meskipun pendapatan BPHTB kemudian diserahkan
kepada daerah, penerimaan tersebut tidak dimasukan ke dalam kelompok PAD, melainkan sebagai
dana perimbangan (Dana Bagi Hasil).
c. Meningkatkan akuntabilitas daerah (local accountability)  Dengan menetapkan BPHTB sebagai
pajak daerah, maka kebijakan BPHTB ditetapkan oleh daerah dan disesuaikan dengan kondisi dan
tujuan pembangunan daerah.
d. Praktek di berbagai negara yang menempatkan BPHTB sebagai pajak daerah.

 Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang besar antara ketentuan mengenai BPHTB yang diatur
dalam UU No.21/1997 – yang diubah dengan UU No.20 Tahun 2000. BPHTB semula sebagai pajak
pusat kemudian dialihkan menjadi pajak daerah yang diatur dalam UU No.28/2009 – Perbedaan
pokok BPHTB sebagai pajak daerah terletak pada fleksibilitas yang diberikan kepada daerah dalam
perumusan kebijakan BPHTB untuk memberi ruang bagi daerah dalam menetapkan kebijakan
perpajakan yang sesuai dengan kondisi daerahnya.

 Dasar pemungutan BPHTB adalah peraturan daerah yang harus disesuaikan dengan kebijakan yang
termuat dalam UU atau PP.

 Kebijakan pokok mengenai BPHTB yang diatur dalam UU No.28/2009 adalah sebagai berikut :
a. Objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, baik pemindahan hak maupun
pemberian hak baru.
b. Sejumlah objek pajak tidak dikenakan BPHTB  khusus mengenai badan atau perwakilan
lembaga internasional yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB diatur dalam Keputusan Men.Keu
No.147/PMK.07/2010 tanggal 27 Agustus 2010.
c. Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yg memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
d. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan
 termasuk wajib pajak BPHTB adalah PPAT/notaris, Kepala Kantor Lelang Negara dan Kepala
Kantor Pertanahan yang berdasarkan UU diberi kewajiban tertentu dalam proses pemungutan
BPHTB.
e. Tarif BPHTB paling tinggi 5%  setiap daerah dapat menetapkan tarif BPHTB sesuai dengan
kebijakan daerahnya sepanjang tidak melampaui 5%.
f. Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dan saat terutang BPHTB
adalah tanggal peralihan hak.

 Terdapat tiga instansi yang secara fungsional memiliki tugas dan tanggungjawab dalam
pelaksanaan pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah, yaitu :
a. Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan.
b. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan
c. Direktorat Jenderal Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri.

 Pengertian mengenai BPHTB :


a. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
b. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
c. Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya
sebagaimana dimaksud dalam UUPA dan peraturan perundangan lain yang berlaku.
 Dasar hukum pengenaan BPHTB :
 UU No.28/2009 dalam Pasal 108 angka 6 disebutkan tentang pengalihan kewenangan
pemungutan BPHTB sebagai Pajak Kabupaten/Kota, dilaksanakan sepenuhnya oleh
Kabupaten/Kota mulai 1 Januari 2011.
 Sesuai Pasal 95 ayat (1) dan (2) : pemungutan pajak daerah harus ditetapkan dengan peraturan
daerah dan tidak berlaku surut.

 Pokok-Pokok Pengaturan BPHTB dalam UU No.28/2009 :


 Ditetapkan dengan Perda yaitu :
 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) – Pasal 87 ayat (4 dan 5) : besarnya
ditetapkan paling rendah sebesar Rp.60 juta untuk setiap WP dan untuk waris atau hibah wasiat
ditetapkan paling banyak sebesar Rp. 300 juta.
 tarif BPHTB – Pasal 88 : ditetapkan paling tinggi sebesar 5 %.

 Pasal 95 ayat (3) : Perda tentang pajak paling sedikit mengatur tentang :
 nama, objek dan subjek pajak.
 dasar pengenaan tarif dan cara penghitungan pajak.
 wilayah pemungutan.
 masa pajak.
 penetapan.
 tata cara pembayaran dan penagihan.
 kadaluwarsa.
 sanksi administratif dan tanggal mulai berlakunya.

 Objek Pajak adalah Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang meliputi :
a. Pemindahan hak karena :
1. Jual-beli.
2. Tukar menukar.
3. Hibah.
4. Hibah wasiat.
5. Waris.
6. Pemasukan dalam perseroan/badan hukum lainnya.
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.
8. Penunjukan pembeli dalam lelang.
9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
10. Penggabungan usaha.
11. Pemekaran usaha.
12. Peleburan usaha.
13. Hadiah.

b. Pemberian hak baru karena :


14. Kelanjutan pelepasan hak.
15. Di luar pelepasan hak.

 Hak atas tanah yang dimaksudkan dalam BPHTB adalah :


HM, HGU, HGB, Hak Pakai, HMSRS, Hak Pengelolaan.

Objek Pajak yang tidak dikenakan BPHTB (dikecualikan) adalah : objek pajak yang diperoleh :
a. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum.
c. Badan/perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Menteri dengan syarat
tidak menjalankan usaha atau menjalankan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas
badan/perwakilan organisasi.
d. Orang pribadi/badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya
perubahan nama.
e. Orang pribadi atau badan karena wakaf.
f. Orang pribadi/badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

 Subjek BPHTB : Orang pribadi/badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau memperoleh hak
atas tanah dan atau bangunan.

 Besarnya BPHTB dihitung dgn cara : tarif pajak x (NPOP – NPOPTKP) = 5% x NPOPKP

 Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) untuk BPHTB didasarkan 3 jenis :


1. Harga transaksi :
harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Harga transaksi
diterapkan dalam hal :
a. Jual-beli.
b. Penunjukan pembeli dalam lelang.

2. Nilai Pasar :
harga rata-rata dari transaksi jual-beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan bangunan.
Nilai pasar dipakai dalam hal :
a. Tukar menukar (kedua belah pihak dikenakan BPHTB)
b. Hibah.
c. Hibah wasiat.
d. Waris.
e. Pemasukan dalam perseroan/badan hukum.
f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.
g. Peralihan hak karena putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
h. Pemberian hak baru.
i. Penggabungan usaha.
j. Peleburan usaha.
k. Pemekaran usaha.
l. Hadiah.

3. Nilai Jual Objek Pajak PBB (NJO PBB) :


NJO PBB digunakan jika NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari NJO PBB.

 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) :


Besarnya nilai perolehan objek pajak maksimum yang tidak dikenakan BPHTB  ditetapkan regional
(kabupaten/kota) dengan ketentuan :
a. Paling banyak Rp. 300 juta dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang
diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat ke atas atau ke bawah dengan pemberi hibah termasuk isteri/suami.
b. 49 juta rupiah dalam hal perolehan hak Rumah Sederhana Sehat dan Rumah Susun Sederhana.
c. 10 juta rupiah dalam hal perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku
usaha kecil/mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikat Tanah utk memperkuat penjamin-
an kredit bagi usaha mikro dan kecil.
d. Paling banyak Rp.60 juta dalam hal selain butir a, b, dan c.

 Pengenaan BPHTB :
a. Pengenaan BPHTB karena waris dan hibah wasiat : BPHTB yang terutang atas perolehan hak
karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang.
 Dasar pengenaan (NPOP) adalah nilai pasar pada saat pendaftaran hak;
 Apabila NPOP lebih kecil dari NJOP PBB maka yg menjadi dasar pengenaan adalah NJOP PBB;
 Apabila NPOP lebih kecil dari NJOP PBB maka yang menjadi dasar pengenaan adalah NJOP PBB;
 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOTKP) terdiri dari 2 jenis :
1) Maksimum Rp300 juta terhadap waris dan juga terhadap hibah wasiat yang diterima oleh orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat
ke atas dan satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat termasuk suami/istri; dan
2) Maksimum Rp60 juta terhadap penerima hibah wasiat selain dari yang di atas.

Contoh :
1. Seorang anak menerima warisan dari orang tuanya sebidang tanah dan bangunan dengan nilai
pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp350 juta. Terhadap tanah dan bangunan tersebut
telah dikenakan PBB dengan NJOP sebesar Rp425 juta. Apabila NPOPTKP karena waris untuk
daerah tersebut ditentukan sebesar Rp300 juta maka BPHTB yang terutang adalah sebesar :
50% x 5% x (Rp425 juta – Rp300 juta) = Rp 3.125.000,-

2. Seorang cucu menerima hibah wasiat dari kakeknya sebidang tanah seluas 300 M2 dengan nilai
pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp325 juta. Terhadap tanah tersebut telah diterbitkan
SPPT PBB pada tahun pendaftaran hak dengan NJOP sebesar Rp250 juta. Apabila NPOPTKP
pada daerah tersebut ditentukan sebesar Rp50 juta maka BPHTB yang terutang adalah sebesar :
50% x 5% x (Rp325 juta – Rp50 juta ) = Rp6.875.000,-

3. Sebuah Yayasan Yatim Piatu “ Al-Attin” menerima hibah wasiat dari seorang dermawan sebidang
tanah seluas 1.000 M2 dengan nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp700 juta. Apabila
NPOPTKP pada daerah tersebut ditentukan sebesar Rp60 juta maka BPHTB terutang yang harus
dibayar oleh Yayasan tersebut adalah sebesar : 50% x 5% x ( Rp700 juta – Rp60 juta) =
Rp16.000.000,-
b. Pengenaan BPHTB karena pemberian HPL : besarnya BPHTB karena pemberian HPL adalah sbb:
 0% dari BPHTB yang sehrsnya terutang dalam hal penerima HPL adalah departemen, lembaga
pemerintah non departemen, Pemda Propinsi, Pemda Kab/Kota, lembaga pemerintah lainnya dan
Perum Perumnas.
 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam hal penerima HPL selain penerima HPL
dimaksud di atas.

Contoh :
1. Perum Perumnas menerima Hak Pengelolaan dari Pemerintah sebidang tanah seluas seluas 5 Ha
dengan nilai pasar pada waktu penerbitan hak sebesar Rp3 milyar. Apabila NPOPTKP pada daerah
tersebut ditetapkan sebesar Rp60 juta maka besarnya BPHTB yang harus diabayar oleh Perum
Perumnas tersebut adalah : 0% x 5% x (Rp3 milyar – Rp60 juta) = 0 ( nihil ).

2. Sebuah perusahaan negara milik daerah ( BUMD Perpakiran ) menerima hak pengelolaan dari
pemerintah sebidang tanah dan sebuah gedung untuk parkir dengan nilai pasar pada waktu
penerbitan hak sebesar Rp1 milyar. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan SPPT
PBB dengan NJOP sebesar Rp1,25 milyar. Apabila NPOPTKP atas daerah tersebut ditetapkan se-
besar Rp50 juta maka besarnya BPHTB yang harus dibayar oleh BUMD Perpakiran tersebut adalah
sebesar : 50% x 5% x (Rp1,25 milyar – Rp50 juta) = Rp30 juta

 Saat terutangnya BPHTB untuk :


a. Jual-beli, tukar menukar, hibah : sejak tanggl dibuat dan ditandatangani-nya akta.
b. Waris atau hibah wasiat : sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke
kantor pertanahan.
c. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, pemasukan dalam perseroan/badan hukum : sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.
d. Lelang : sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.
e. Putusan hakim : sejak tanggal putusan pengadilan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.
f. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru di luar
pelepasan hak : sejak tanggal diterbitkannya SK pemberian hak.
g. Peleburan/pemekaran/penggabungan usaha : sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta.
h. Hadiah : sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.
 Tempat Pajak Terutang adalah :
Di wilayah Kab/Kota/Propinsi yang meliputi letak tanah dan bangunan. Cara pembayaran BPHTB :
wajib pajak membayar pajak yang terutang tanpa mendasarkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak ke
kas negara melalui kantor pos/bank BUMN/BUMD dengan Surat Setoran BPHTB.

 Ketentuan tata cara pembayaran BPHTB tercantum dalam Pasal 10 UU BPHTB yang dijabarkan
lebih lanjut dengan Keputusan Men.Keu. No.517/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Men.Keu No.168/PMK.03/2007 tentang Perubahan Atas Keputusan Men.Keu No.
517/KMK.04/2000 tentang Penunjukan Tempat dan Tata Cara Pembayaran BPHTB, yang kemudian
ditindak lanjuti dengan Keputusan Dirjen Pajak No.269/PJ/2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pembayaran BPHTB Dan Bentuk Serta Fungsi Surat Setoran BPHTB (SSB) dan Surat Edaran
Dirjen Pajak No.09/PJ.6/2001 yang intinya adalah sebagai berikut :
1. Pembayaran tidak mendasarkan kepada adanya Surat Ketetapan Pajak;
2. Dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Bea ( SSB ) ke Kas Negara melalui Bank/Kantor Pos
atau Tempat Pembayaran lain yg ditunjuk;
3. SSB juga berfungsi sebagai SPOP dan sekaligus digunakan untuk melaporkan data perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan.
 Kewajiban Bayar adalah pada saat :
1. Dibuat & ditandatanganinya Akta;
2. Pendaftaran Hak untuk Waris & Hibah Wasiat;
3. Ditunjuknya pemenang Lelang;
4. Ditandatanganinya SK Pemberian Hak dalam hal pemberian Hak Baru;
5. Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

 Pemberian Fasilitas BPHTB melalui pengurangan BPHTB


 Dalam APBN Tahun 2009 diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d UU No. 41 Tahun 2008 tentang
APBN Tahun 2009, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 26 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas APBN Tahun 2009, pemerintah memberikan subsidi terhadap BPHTB dalam bentuk pajak yang
ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 500 miliar rupiah. Pelaksanaan dari DTP BPHTB tersebut
dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan.

 Pemberian subsidi dimaksud diberikan dalam bentuk pemberian fasilitas BPHTB bagi pembeli
Rumah Sederhana Sehat (RSH) dan Rumah Susun Sederhana (RSS) yang selama ini telah
dilakukan oleh pemerintah.
 Pengurangan BPHTB diberikan dalam hal :
1. Dalam hal kondisi tertentu Wajib Pajak (WP) yang ada hubungannya dengan Objek Pajak :
a. WP pribadi memperoleh hak baru melalui program Pemerintah di bidang Pertanahan dan tidak
mempunyai kemampuan ekonomis mendapat pengurangan sebesar 75%;
b. WP Badan memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau
bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun mendapat pengurangan sebesar 50%;
c. WP pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan RS dan RSS langsung dari
pengembang dan membayar secara angsuran mendapat pengurangan sebesar 25%;
d. WP pribadi menerima hibah dari keluarga sedarah satu derajad keatas dan kebawah mendapat
pengurangan sebesar 50%.

2. Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu :


a. WP memperoleh hak dari hasil pembelian uang ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya
dibawah NJOP mendapat pengurangan sebesar 50%;
b. WP memperoleh hak sebagai penggantian dari tanah yang dibebaskan pemerintah untuk
kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus, mendapat pengurangan sebesar 50%;
c. WP Badan terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan
perekonomian nasional sehingga WP harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha
sesuai kebijaksanaan pemerintah, mendapat pengurangan sebesar 75%;
d. WP Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari BBD, BDN, Bapindo dan Bank
Exim dalam rangka merger, mendapat pengurangan sebesar 100%;
e. WP Badan melakukan Merger atau Konsolidasi dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan
likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan pengunaan Nilai Buku dlm rangka peng-
gabungan atau peleburan usaha tersebut dari Dirjen Pajak, mendapat pengurangan sebesar 50%;
f. WP memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi karena bencana alam
dlsb yang terjadi dalam waktu 3 bulan setelah penandatanganan Akta, mendapat pengurangan
sebesar 50%;
g. WP pribadi (Veteran, PNS, TNI, Polri, pensiunan, purnawirawan, janda/dudanya) yang memproleh
hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas pemerintah, mendapat pengurangan 75%;
h. WP Badan Korpri yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan dalam rangka pengadaaan
perumahan bagi anggota Korpri/PNS, mendapat pengurangan sebesar 100%;
i. WP Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang memperoleh hak atas
tanah dan atau bangunan yang berasal dari peusahaan induknya selaku pemegang saham tunggal
sebagai kelanjutan dari pelaksanaan Keputusan MenKeu tentang Kesehatan Keuangan Perusa-
haan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, mendapat pengurangan sebesar 50%;
j. WP yang domisilinya termasuk dalam wilayah program rehabilitasi dan rekonstruksi yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan melalui program pemerintah di bidang pertanahan
atau WP yang objek pajaknya terkena bencana lam gempa bumi dan gelombang tsunami di
Propinsi NAD dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara, mendapat pengurangan sebesar 100%;
k. WP yang objek pajaknya terkena bencana alam gempa bumi di Propinsi DIY dan sebagian Propinsi
Jawa Tengah yang perolehan haknya atau saat terhutangnya terjadi 3(tiga) bulan sebelum
terjadinya bencana, diberi pengurangan sebesar 100%;
l. WP yang objek pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami di pesisir Pantai Selatan
Pulau Jawa yang perolehan haknya atau saat terhutangnya terjadi 3 (tiga) bulan sebelum
terjadinya bencana, diberi pengurangan sebesar 100%.

3. Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata
tidak untuk mencari keuntungan seperti panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, mendapat
pengurangan sebesar 100%.

Anda mungkin juga menyukai