Anda di halaman 1dari 20

Mengetahui cara menghitung Pajak

Penjual dan Pajak Pembeli dalam


Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan
Posted By: redon: 04 Mar 2017 | 14:33 In: BeritaNo CommentsViews: 25,992 kali
Print Email

Pemerintah telah mengeluarkan peraturan baru Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas tanah
dan/atau bangunan yang mengatur tarif PPh atas pengalihan tanah dan/atau bangunan turun
menjadi 2.5% dari sebelumnya 5% berlaku 30 hari setelah tanggal diundangkan yaitu tanggal
8 Agustus 2016. Selain mengatur tentang turunnya tarif PPh Final, aturan tersebut tersebut
mengatur tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas tanah dan/atau bangunan (PPJB) sudah
terutang PPh Final.

Ketentuan baru tersebut ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2016 (PP-
34/2016) tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah
Dan/Atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan
Beserta Perubahannya. Peraturan tersebut mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas
Tanah dan/ atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah
Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

Salah satu pertimbangan pemerintah mengeluarkan kebijakan baru tersebut adalah dalam
rangka mendorong pertumbuhan ekonomi diperlukan percepatan pembangunan infrastruktur
oleh pemerintah untuk kepentingan umum.

Berikut ini disampaikan hal-hal penting yang diatur oleh Peraturan Pemerintah No.34 tahun
2016 (PP-34/2016) tersebut:

Objek Pajak

Yang menjadi objek PPh Final adalah atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan dari:

1. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau


2. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya

Berdasarkan aturan baru tersebut maka transaksi berupa Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(PPJB) tanah dan/atau bangunan sudah terutang PPh Final walaupun belum dibuat Akte Jual
Beli.

Tarif PPh Final

Terdapat 3 jenis tarif PPh Final yang diatur dalam PP-34/2016 tersebut:

1
1. 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/
atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan berupa Rumah
Sederhana atau Rumah
Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan;
2. 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau
bangunan; atau
3. 0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah,
badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau
badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah,
sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bag, pembangunan untuk
kepentingan umum.

Dikecualikan dari Pengenaan PPh Final

Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan PPh Final


adalah:

1. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak
yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto
pengalihannya kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
2. orang pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan
dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
badan keagamaan, badan pendidikan, badansosial termasuk yayasan, koperasi atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan;
3. badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara
hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah
tersebut tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihakpihak yang bersangkutan;
4. pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena waris;
5. badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dalam
rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan
Menteri Keuangan untuk menggunakan nilai buku; orang pribadi atau badan yang
melakukan pengalihan harta berupa bangunan dalam rangka melaksanakan perjanjian

2
bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang milik negara berupa
tanah dan/ atau bangunan; atau
6. orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan
pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan.

Filosofi utama yang melandasi pajak ialah peran serta


masyarakat dalam pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat
melalui peningkatan penerimaan negara dengan cara pengenaan pajak. Mengapa BPHTB
(Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) dinamai bea, bukan pajak? Tidak banyak
orang yang tahu mengapa BPHTB dinamai dengan bea dan bukan pajak. Namun, ternyata
terdapat beberapa ciri khusus yang membedakan bea dengan pajak.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan dikenakan terhadap orang atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan atas suatu hak atas tanah dan atau
bangunan ini bisa diartikan bahwa orang atau badan tersebut mempunyai nilai lebih atas
tambahan atau perolehan hak tersebut, di mana tidak semua orang mempunyai kemampuan
lebih untuk mendapatkan tanah dan atau bangunan.

Adapun, mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB diatur dalam
UU No. 21 Tahun 1997 dan telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 (selanjutnya hanya
disebut UU BPHTB). Disebutkan bahwa BPHTB adalah bea yang dikenakan atas perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan.

Setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan, warga negara diwajibkan membayar BPHTB.
Dalam bahasa sehari-hari BPHTB juga dikenal sebagai bea pembeli, jika perolehan
berdasarkan proses jual beli. Tetapi dalam UU BPHTB, BPHTB dikenakan tidak hanya
dalam perolehan berupa jual beli. Semua jenis perolehan hak tanah dan bangunan dikenakan
BPHTB.

Sesuai bunyi pasal 2 Undang-undang BPHTB, yang menjadi objek


BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Adapun, perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan tersebut meliputi:

1. Jual beli;
2. Tukar-menukar;

3
3. Hibah;
4. Hibah wasit;
5. Waris;
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. Penunjukan pembeli dalam lelang;
9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. Penggabungan usaha;
11. Peleburan Usaha;
12. Pemekaran Usaha; dan
13. Hadiah.

Namun dari Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang sering terjadi dalam
masyarakat adalah:

1. Jual beli;
2. Tukar-menukar;
3. Hibah (Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dari pemberi hibah, namun
pemberi hibah masih hidup);
4. Hibah wasit (Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada penerima hibah
namun belaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia); dan
5. Waris.

Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)

NPOP dalam jual beli tanah adalah harga transaksi. Hal ini berbeda misalnya dengan tukar
menukar, hibah atau warisan, yang dasar NPOP-nya menggunakan nilai pasar (Nilai Jual
Objek Pajak/NJOP).

Nilai Perolehan Obyek Pajak atau harga transaksi bisa lebih besar atau bisa juga lebih kecil
dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), tergantung dari kesepakatan penjual dan pembeli –
terkadang harga transaksi itu bisa juga sama dengan nilai NJOP. Apabila harga transaksi
lebih kecil dari NJOP, maka yang menjadi dasar penentuan NPOP adalah nilai NJOP.
Sebaliknya, jika harga transaksi lebih besar dari NJOP, maka nilai penentuan NPOP
berdasarkan harga transaksi tersebut – nilai yang paling tinggi diantara NPOP dan NJOP.

Selain NPOP dan NJOP, faktor lainnya yang perlu diperhatikan dalam menentukan besarnya
BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP
adalah nilai pengurangan NPOP sebelum dikenakan tariff BPHTB. Misalnya, jika harga
transaksi tanah Rp. 100.000.000, maka sebelum harga transaki tersebut dikenakan tariff
BPHTB (5%) terlebih dahulu harga transaski itu dikurangi NPOPTKP – dikurangi
NPOPTKP sebesar Rp. 60.000.000 untuk daerah Jawa Timur. Hal ini membuat nilai pajak
pembeli lebih kecil dibandingkan nilai pajak penjual – penjual tidak dikenakan NPOPTKP.

Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebesar ;

1. Rp.60.000.000,- untuk semua jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan
2. Kecuali untuk hak karena Waris atau Hibah Wasiat sebesar Rp300.000.000,-

4
Catatan: Dengan catatan NPOPTKP diberikan sekali pada setiap wajib pajak dalam satu
tahun.

Contoh Perhitungan BPHTB

Diperjual-belikan sebidang tanah kosong di Desa Rejoso dimana Pak.Gino sebagai Penjual
dan Pak Broto sebagai Pembeli dengan data-data sebagai berikut:

Luas Tanah = 1.000m2


NJOP = 100.000,-/meter ( bisa di lihat dari SPPT/Pipil Pajak)
NJOPTKP = adalah Rp.60.000.000,-
Harga kesepakatan antara penjual dan pembeli adalah Rp105.000,-/meter
Maka nilai NPOP (Nilai Transaksi) = 1.000 x 105.000,- = Rp.105.000.000,-

Besarnya PPh dan BPHTB adalah sebagai berikut:

PPh = 2,5 % x NPOP


Besarnya PPh = 2,5 % x Rp.105.000.000,- = Rp.2.625.000,-
BPHTB = 5 % x (NPOP – NPOPTKP)
Besarnya BPHTB = 5 % x (Rp.105.000.000,-– Rp60.000.000) = Rp.2.250.000

Secara awam/umum/lazim disebutkan untuk PPh adalah pajak penjual dan BPHTB adalah
pajak pembeli, dengan demikian maka;

Pajak Penjual/P.Gino = Rp.2.625.000,-

Pajak Pembeli/P.Broto = Rp.2.250.000

Demikianlah serba-serbi pengertian dan cara menghitung BPHTB. Membayar bea merupakan
kewajiban setiap masyarakat yang ingin memenuhi hak dan kewajiban untuk memiliki tempat
tinggal. Untuk itu, sudah menjadi pengabdian untuk kita menaati dan menegakkan aturan
demi kebaikan bersama.

5
Pertanyaan :
Pajak Penjual dan Pembeli dalam Transaksi Jual Beli Tanah
Apakah penjual dan pembeli dikenakan pajak jika melakukan transaksi jual beli tanah? Dasar
hukumnya apa?
Jawaban :

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul “Pajak
Penjual dan Pembeli” yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pernah
dipublikasikan pada Jumat, 15 Oktober 2010.

Intisari:

Dalam transaksi jual beli tanah, baik penjual maupun pembeli dikenakan pajak. Untuk
penjual, dikenakan Pajak Penghasilan (“PPh”). Dasar hukum pengenaan PPh untuk
penjual tanah adalah Pasal 1 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun
2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah
dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau
Bangunan Beserta Perubahannya.

Untuk pembeli, dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (“BPHTB”),
yaitu pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dasar
hukumnya adalah Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf a angka 1) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun
1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, serta peraturan daerah
setempat. Seperti misalnya di DKI Jakarta, BPHTB diatur dalam Peraturan Daerah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Penjelasan lebih lanjut, silakan simak ulasan di bawah ini.

Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Pajak Bagi Penjual

6
Dalam transaksi jual beli tanah, baik penjual maupun pembeli dikenakan pajak. Untuk
penjual, dikenakan Pajak Penghasilan (“PPh”). Dasar hukum pengenaan PPh untuk
penjual tanah adalah Pasal 1 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 34
Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak
Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas
Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya sebagai berikut:

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
dari:
a. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
b. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta
perubahannya, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penghasilan yang diterima atau
diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui
penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah,
waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.

Pajak Bagi Pembeli


Sementara untuk pembeli, dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(“BPHTB”), yaitu pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan.1[1] Hal ini didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf a angka
1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan, yang mengatur bahwa yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut salah
satunya meliputi pemindahan hak karena jual beli.

Akan tetapi, mengenai BPTHB Anda perlu melihat kembali peraturan di daerah setempat.
Seperti misalnya di DKI Jakarta, BPHTB diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan (“Perda DKI Jakarta 18/2010”) serta Peraturan
Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 193 Tahun 2016
tentang Pembebasan 100% (Seratus Persen) Atas Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan karena Jual Beli atau Pemberian Hak Baru Pertama Kali
dan/atau Pengenaan Sebesar 0% (Nol Persen) Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan karena Peristiwa Waris atau Hibah Wasiat dengan Nilai Jual
Objek Pajak Sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (Dua Miliar Rupiah) (“Pergub
DKI Jakarta 193/2016”).

Berdasarkan Perda DKI Jakarta 18/2010, tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima
persen).2[2] Akan tetapi, berdasarkan Pergub DKI Jakarta 193/2016, ada pembebasan
BPHTB sebesar 100% (seratus persen) kepada Wajib Pajak Orang Pribadi yang

7
memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan karena jual beli dengan Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) sampai dengan Rp 2 miliar.3[3]

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya;
3. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18 Tahun 2010
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
4. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 193 Tahun 2016
tentang Pembebasan 100% (Seratus Persen) Atas Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan karena Jual Beli atau Pemberian Hak Baru Pertama Kali dan/atau
Pengenaan Sebesar 0% (Nol Persen) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
karena Peristiwa Waris atau Hibah Wasiat Dengan Nilai Jual Objek Pajak Sampai
dengan Rp2.000.000.000,00 (Dua Miliar Rupiah).

8
Contoh dan Cara Menghitung BPHTB
pada Jual Beli

Mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB diatur dalam UU
No. 21 Tahun 1997 dan telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 (selanjutnya hanya
disebut UU BPHTB), menyebutkan bahwa BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

Setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan, warga negara diwajibkan membayar
BPHTB. Dalam bahasa sehari-hari BPHTB juga dikenal sebagai pajak pembeli, jika
perolehan berdasarkan proses jual beli. Tetapi dalam UU BPHTB, BPHTB dikenakan tidak
hanya dalam perolehan berupa jual beli. Semua jenis perolehan hak tanah dan bangunan
dikenakan BPHTB, diantaranya:

1. Jual Beli
2. Tukar Menukar
3. Hibah
4. Hibah Wasiat
5. Waris
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
8. Penunjukan pembeli dalam lelang
9. Pelaksanaan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
10. Penggabungan usaha
11. Peleburan usaha
12. Pemekaran usaha
13. Hadiah
14. Hasil Lelang Non Eksekusi

9
BPHTB dalam Jual Beli

Untuk peralihan hak berupa jual beli, pajak dikenakan kepada kedua belah pihak baik kepada
penjual ataupun pembeli. Kepada penjual dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan pembeli
dikenakan BPHTB, yang besarnya dihitung berdasarkan harga perolehan hak atau Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP).

Dalam bahasa sehari-hari NPOP bisa juga diartikan sebagai nilai transaksi atau nilai
kesepakatan harga antara penjual dan pembeli.

Ada faktor lain yang menentukan besarnya BPHTB yaitu Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
yaitu nilai yang tertera dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan
Bangunan (SPPT PBB) atau dalam kehidupan sehari-hari dinamakan NJOP saja.

Jika nilai transaksi lebih tinggi dari NJOP maka dasar pengenaan BPHTB adalah nilai
transaksi tersebut. Namun jika sebaliknya, nilai transaksi lebih rendah dari NJOP maka dasar
pengenaan BPHTB adalah NJOP tersebut.

Karena ada perbedaan antara harga pasar suatu objek dengan NJOP-nya. Sering kita melihat
suatu bidang tanah yang nilai NJOP-nya masih sangat rendah tetapi harga pasaran dari tanah
tersebut beberapa kali lebih tinggi dari NJOP.

Misalnya sebidang tanah di daerah Ciangsana, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten


Bogor, Jawa Barat nilai NJOP-nya 35.000 rupiah per-meter persegi.

Namun harga pasar dari tanah ini adalah 500.000 rupiah per-meter persegi. Itu hanya sebagai
suatu contoh saja, jika Anda memiliki sebidang tanah silahkan lihat harga yang tertera pada
SPPT PBB-nya dan bandingkan dengan harga pasar tanah tersebut.

Baca juga: Workshop Developer Properti di Indonesia yang Wajib Anda Ikuti

Atau rasa-rasakan kemungkinan harga yang Anda inginkan jika ingin menjual tanah tersebut.
Tentu Anda ingin menjual dengan harga yang lebih tinggi dari NJOP kan? Itulah harga
pasarnya. Patokannya bagi Anda adalah transaksi jual beli yang terjadi (jika ada) di sekitar
tanah Anda. Itulah strategi untuk menentukan harga pasar suatu lokasi.

10
Penyebab nilai transaksi lebih tinggi atau lebih rendah dari NJOP

Ada saja kemungkinan nilai NPOP ini bisa lebih besar atau lebih kecil dari Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP). Banyak faktor yang mempengaruhi nilai NPOP, seperti perkembangan yang
luar biasa di suatu daerah dalam waktu singkat sehingga harga tanah meningkat dengan cepat.
Daerah seperti ini nilai NPOP bisa jauh lebih besar dari NJOP.

Misalnya perencanaan tata ruang wilayah suatu daerah akan membangun jalan protokol di
suatu lokasi, maka daerah yang dilalui jalan protokol tersebut akan tergerek harganya.
Lainnya, pembangunan fasilitas massal juga bisa menyebabkan naiknya harga tanah. Seperti
di sekitar Majalengka, Jawa Barat dimana akan dibangun bandar udara, maka di daerah
sekitarnya sudah naik duluan harga tanahnya.

Demikian juga rencana adanya pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, daerah di sekitar
stasiun kereta tersebut juga sudah pasti harga tanahnya naik berkali lipat.

Sebaliknya ada daerah yang nilai NPOP-nya lebih rendah dari nilai NJOP seperti daerah yang
direncanakan akan dijadikan tempat pembuangan sampah, daerah yang berdekatan dengan
area pemakaman, lokasi yang berada di dekat Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi atau
Sutet, daerah dengan potensi konflik atau sengketa di kemudian hari, daerah banjir dan lain-
lain.

Dalam transaksi jual beli tanah dan bangunan, selain ada pajak yang dibayarkan oleh
pembeli, juga ada pajak yang dibayarkan oleh penjual atau Pajak Penghasilan (PPh) yang
bersifat final.

PPh atas peralihan tanah dan bangunan dihitung sebesar 2,5 % dari NPOP atau NJOP.
Sedangkan untuk perhitungan BPHTB, NPOP dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) kemudian dikali 5 %.

Besarnya NPOPTKP ini berbeda tiap daerah, sebagai contoh untuk DKI Jakarta NPOPTKP
adalah Rp. 80 Juta sedangkan untuk daerah Bogor, Depok,Tangerang dan Bekasi adalah Rp.
60 Juta. Untuk daerah lain di Indonesia sebaiknya ditanyakan ke Kantor Pajak atau
Pertanahan atau ke Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) setempat.

Untuk contoh perhitungan bisa dilihat sebagai berikut:

Diperjual-belikan sebidang tanah kosong di Jakarta Selatan dengan data-data sebagai berikut:

11
 Luas 1.000 m2
 NJOP = 1.000.000,- per meter
 NPOPTKP adalah Rp. 80.000.000,- (DKI Jakarta)
 Harga kesepakatan antara penjual dan pembeli adalah Rp. 2.000.000,- per meter
 Maka nilai NPOP (Nilai Transaksi) = 1.000 x 2.000.000,- = Rp. 2.000.000.000,-

Besarnya PPh dan BPHTB adalah sebagai berikut:

 PPh = 2.5 % x NPOP


 Besarnya PPh = 2.5 % x Rp. 2.000.000.000,- = Rp. 50.000.000,-
 BPHTB = 5 % x (NPOP – NPOPTKP)
 Besarnya BPHTB = 5 % x (Rp. 2.000.000.000 – Rp. 80.000.000) = Rp. 96.000.000,-

Perhitungan BPHTB untuk Peralihan Hak secara Hibah

Pada hibah, perhitungan BPHTB sama dengan jual beli, bedanya terletak pada dasar
pengenaannya. Jika pada jual beli dasar pengenaan BPHTB adalah nilai transaksi atau NJOP,
sementara pada hibah dasar pengenaannya hanya NJOP.

Hibah dilakukan untuk peralihan hak antar orang yang memiliki pertalian darah seperti orang
tua ke anak, anak ke orang tua atau antar saudara.

Dalam hibah, pertalian darah dibedakan menjadi dua yaitu pertalian darah vertikal dan
pertalian darah horizontal. Pertalian darah vertikal adalah pertalian darah antara orang tua dan
anak, sementara pertalian darah horizontal adalah pertalian darah antar saudara sekandung.

Satu lagi perbedaan hibah dengan jual beli adalah pengenaan PPh, jika pada jual beli
pengenaan PPh wajib dikenakan sementara pada hibah tidak ada PPh kecuali hibah
horizontal. Jadi hibah orang tua ke anak atau anak ke orang tua tidak dikenakan PPh.

Syarat hibah vertikal adalah adanya bukti yang menyatakan bahwa antara pemberi dan
penerima hibah ada pertalian orang tua dan anak yang ditunjukkan dengan akta kelahiran si
anak dan surat nikah orang tua.

Namun hibah horizontal tetap dikenakan PPh dengan dasar pengenaan NJOP. Jadi hibah
antar saudara dikenakan PPh seperti jual beli, yang besarnya 2,5% dari NJOP. Makanya
banyak orang yang membuat peralihan hak antar saudara menggunakan akta jual beli karena
pajak-pajak yang dibayarkan sama besar.

Alasan lainnya orang lebih suka membuat akta jual beli dibanding hibah jika peralihan hak
antar saudara adalah untuk keamanan masing-masing pihak di kemudian hari. Jika peralihan
karena hibah, ada kekhawatiran suatu saat nanti ada ahli waris yang mempertanyakan.

Namun jika peralihan haknya berupa jual beli maka prosesnya sudah terputus karena ada akta
jual beli yang ditandatangani diiringi dengan syarat-syarat jual beli. Itulah pengalaman
seorang teman yang berprofesi sebagai Notaris.

12
BPHTB atas perolehan hak karena warisan

Perhitungan BPHTB karena warisan sama dengan perhitungan BPHTB karena jual beli dan
hibah. Perbedaannya terletak pada besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak
(NPOPTKP). Jika pada jual beli dan hibah NPOPTKP rata-rata 60 juta (untuk DKI Jakarta 80
juta), maka NPOPTKP untuk warisan adalah 300 juta rupiah. (untuk DKI Jakarta 350 juta).

Jadi untuk contoh diatas, jika tanah tersebut akan dibaliknama ke atas nama ahli waris, maka
BPHTB-nya menjadi:

= 5% x (NJOP – NPOPTKP)

= 5% x (1.000.000.000 – 350.000.000)

= 32.500.000

13
PPN Atas Transaksi Penjualan Tanah
by Taripar Doly, SE, MM | Nov 18, 2016 | Perpajakan | 1 comment

Pernah dulu sekali, seseorang bertanya kepada penulis tentang kewajiban perpajakan
khususnya Pajak Pertambahan Nilai atas pembelian tanah. Simpelnya, pertanyaannya adalah
apakah tanah persawahan yang dimiliki perseorangan dari warisan leluhur ketika dijual
kepada PKP atau Non PKP terutang Pajak Pertambahan Nilai?

Seiring berjalannya waktu muncul pertanyaan lanjutan bagaimana perlakuan Pajak


Pertambahan Nilai atas pembelian tanah dari Pengusaha Kena Pajak yang bisnisnya
merupakan penyedia lahan baik untuk industri maupun usaha, apakah terutang PPN dan
apabila terutang PPN Apakah Pembeli dapat mengkreditkannya? Dan yang lebih menarik lagi
bagaimana dengan PKP pembeli yang belum berproduksi apakah dapat mengkreditkan PM
atas pembelian tanah tersebut, karena beberapa pendapat mengatakan bahwa tanah bukan
barang modal?

Dalam tulisan kali ini penulis mencoba menguraikan dari perspektif penulis atas rangkaian
aturan Pajak Pertambahan Nilai semoga menambah informasi yang bermanfaat bagi pembaca
setia blog ini, selamat menikmati.

Subjek Pajak Pajak Pertambahan Nilai

Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN 1984) membagi Subjek Pajak menjadi
beberapa jenis yaitu :

a. Pengusaha Kena Pajak

Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/ atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang PPN
(Pasal 1 angka 15). Manifestasinya sebagaimana diatur dalam :

 Pasal 4 huruf a : penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean


 Pasal 4 huruf c : penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean
 Pasal 4 huruf f : ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
 Pasal 4 huruf g : ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
 Pasal 4 huruf h : ekspor Jasa Kena Pajak
 Pasal 16 D : Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak
berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh
Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak
dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.”

b. Non Pengusaha Kena Pajak

14
Juga diatur bagi Bukan PKP yang melakukan transaksi sebagaimana disebutkan dibawah ini
diwajibkan untuk menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai, yaitu :

 Pasal 4 huruf b : impor Barang Kena Pajak;


 Pasal 4 huruf d : pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean;
 Pasal 4 huruf e : pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
 Pasal 16 C : Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri
yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau
badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan
tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.”

c. Pengusaha Kecil

Pengertian Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah) (PMK 197/PMK.03/2013).

Dalam Pasal 3A UU PPN 1984 menyebutkan bahwa Pengusaha yang melakukan penyerahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h,
kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib
memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang terutang. Artinya bagi Pengusaha Kecil (batasan peredaran bruto tidak
lebih dari Rp. 4.8 Milyar) dikecualikan dari kewajiban sbb :

 melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;


 memungut pajak yang terutang;
 menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak
Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta
menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan
 melaporkan penghitungan pajak.

d. Pemungut PPN

Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara Pemerintah, badan, atau instansi
pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan
melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara Pemerintah, badan, atau
instansi Pemerintah tersebut.

Berdasarkan uraian tentang jenis Subjek Pajak di atas Penulis menyimpulkan hal-hal sebagai
berikut :

1. Apabila Penjual adalah Pengusaha Kena Pajak maka atas Penyerahan Barang Kena
Pajak dan Jasa kena Pajak yang dilakukan wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai.

15
2. Apabila Penjual adalah bukan Pengusaha Kena Pajak atas Penyerahan Barang Kena
Pajak dan Jasa Kena Pajak tidak terutang PPN kecuali sebagaimana disebutkan di
atas.
3. Apabila Penjual adalah pengusaha kecil maka Penyerahan Barang Kena Pajak dan
Jasa Kena Pajak yang dilakukan tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan tidak
diperkenankan memungut PPN kecuali Pengusaha Kecil tersebut memilih untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
4. Apabila pembeli khusus (Pemungut) melakukan Penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa
Kena Pajak maka pembeli khusus tersebut Wajib Memungut PPN dengan batasan
transaksi sebagaimana diatur dalam ketentuan.

Objek Pajak Pertambahan Nilai

Seperti kita ketahui bahwa UU PPN 1984 menganut asas negatif list artinya semua barang
dan jasa secara prinsip adalah Barang dan Jasa Kena Pajak (dikenakan PPN) kecuali
ditentukan lain oleh UU PPN (Pasal 4A UU PPN 1984), pengertian Barang Kena Pajak
sendiri adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang PPN 1984 (Pasal 1
angka 3).

Terkait Tanah, disebutkan bahwa jenis barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran
yang diambil langsung dari sumbernya adalah minyak mentah (crude oil), gas bumi, panas
bumi, pasir dan kerikil batubara sebelum diproses menjadi briket batubara, dan bijih besi,
bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel dan bijih perak serta bijih bauksit.

Pajak Pertambahan Nilai Atas Penjualan Tanah

Penjualan Tanah Oleh Bukan PKP

Orang Pribadi (Bukan PKP) yang menjual tanah baik kepada PKP maupun Non PKP, maka
atas penyerahan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai berapapun nilainya.

Penjualan Tanah Oleh PKP (Non Usaha)

Bagi Pengusaha Kena Pajak (Non Usaha) yang melakukan penjualan tanah, maka dikatakan
bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan BKP dapat berupa aktiva (tanah)
yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, sepanjang
Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan (Pasal 16
D).

Kondisi di atas dapat menjadi tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai sepanjang :

1. Tidak terdapat kegiatan perubahan atau penambahan atas tanah


2. tanah tersebut merupakan tanah mentah yang belum dimatangkan;
3. pada saat perolehannya tidak terdapat PPN yang dibayarkan yang dapat dikreditkan;
dan
4. selama memiliki tanah tersebut tidak terdapat PPN atas pemeliharaan tanah yang telah
dikreditkan.

Penjualan Tanah Oleh PKP

16
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang bisnisnya adalah sektor usaha properti yang meliputi
pengembang dan/atau pengelola real estate, jasa konstruksi maka terdapat beberapa objek
pajak yang harus diperhatikan yang meliputi :

 PPh Pasal 4 ayat (2) atas pemanfaatan jasa konstruksi


 PPh Pasal 23 atas pemanfaatan jasa selain jasa konstruksi
 Pasal 4 ayat (2) atas pengalihan tanah dan/atau bangunan
 PPN atas jasa konstruksi; dan
 PPN dan/atau PPnBM atas penyerahan tanah (Kaveling) dan/atau bangunan;

Disebutkan bahwa atas penyerahan tanah (kaveling) harus dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai karena tidak termasuk jenis barang yang tidak dikenakan Pajak pertambahan Nilai.

a. Kewajiban PKP Penjual Tanah

Setiap PKP yang melakukan penjualan atau transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan
wajib membuat faktur pajak dengan mencantumkan identitas pembeli (NPWP pembeli) serta
menyampaikan SPT Masa PPN.

b. Kewajiban PKP Pembeli Tanah

Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembelian tanah baik setelah maupun sebelum
berproduksi dapat mengkreditkan faktur Pajak Masukan atas pembelian tanah tersebut hal ini
mengacu pada semangat dalam UU PPN itu sendiri. Memang beberapa perdebatan adalah
apakah atas pembelian tanah oleh Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi dapat
dikreditkan atau tidak?, apakah tanah yang tidak dapat disusutkan bisa dikategorikan sebagai
barang modal?

Adalah Pasal 9 ayat (2a) UU PPN 1984 yang menyatakan “Bagi Pengusaha Kena Pajak yang
belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak
Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.”

Pengertian barang modal sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 16 ayat (2) Peraturan
Pemerintah nomor 1 tahun 2012 adalah “Barang modal adalah harta berwujud yang memiliki
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, termasuk pengeluaran berkaitan dengan perolehan barang modal yang
dikapitalisasi ke dalam harga perolehan barang modal tersebut” atau disimpulkan pengertian
barang modal sebagai berikut:

 Harta berwujud;
 Memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun;
 Tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan;
 Digunakan secara langsung untuk menghasilkan atau meningkatkan, atau
memperlancar produksi dan distribusi barang atau jasa.

… Loading

17
Artikel Terkait :

 Perolehan BKP/JKP Sebelum Berproduksi


 Sekilas Perpajakan Dalam Properti/Real Estate I

PPN Jual beli tanah

Pencetus Pendapat

milanimaniac

Newbie 21 Apr 2008 16:45

bagaimanakah perlakuan PPN pada jual beli tanah dan bangunan..?


Location : Back Ass I.
Joined : 02 Apr 2008.
sampai batasan mana..?
Posts : 14. misalnya ada contoh Perush A beli tanahd an pergudangan dengan harga
1M.
terus pajak apa yang dikenakan baik bagi pembeli maupun penjual..?
adakah aturan yang melandasi pelaksanaan pajak tsb..?
makasie

evan212

Genuine 22 Apr 2008 08:05

untuk PPN dilihat dulu apakah pada saat beli bangunan/tanah dipungut
Location : Jakarta.
Joined : 07 Apr 2008.
PPN/tidak jika PPN dipungut maka penjualannya kena pasal 16 D (aktiva yg
Posts : 763. tujuan semula untuk tidak diperjual belikan). perlu diperhatikan kata2
dalam UU PPN adalah dapat/tidak dapat dikreditkan terlepas apakah itu
dikreditkan atau dikapitalisasi/dibiayakan.

Pajak untuk penjual adalah PPh final Pasal 4(2) sebesar 5% dari harga
jual/NJOP (yang mana paling tinggi). < 60 jt tidak kena pajak
Untuk Pembeli kena BPHTB sebesar 5%-NJOPTKP x harga jual/NJOP,
NJOPTKP masing2 daerah berbeda2 (biasanya 30 jt)

budimafajar

Newbie 22 Apr 2008 08:27

Sorry mas Evan, menurut UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Location : Jakarta.
Joined : 14 Sep 2007.
UU No. 21 T. 1997 Tentang BPHTB, perhitungan BPHTB seharusnya adalah
Posts : 9. 5% x (harga jual-Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak). Thanx.

livie

Junior 22 Apr 2008 09:37

18
Location : .
Joined : 02 Apr 2008. 1. Perlakuan PPN atas jual beli tanah & bangunan (T & B), harus diliat dulu
Posts : 88. apakah T & B tsb merupakan persediaan atau aktiva tetap...klo T & B itu
merupakan persediaan, dan penjualnya adalah PKP maka atas penjualan T
& B tsb terutang PPN 10 % sbgmana penjualan BKP biasa. sdgkan apabila T
& B tsb merupakan aktiva, maka penyerahan T & B tsb bisa terutang PPN
bisa juga tdk, spanjang pd saat perolehannya terutang PPN & dapat
dikreditkan oleh penjual, maka terutang PPN Pasal 16D.
2. Pajak untuk penjual T & B adalah PPhTB sebesar 5 % dari Harga Penjualan
atau NJOP PBB (mana yg lbh tinggi). sifat dari PPhTB tergantung dari
penjualnya apakah WP Badan atau WP OP..Apabila WP Badan PPhTB yg tlah
dibayarkan tsb merupakan kredit pajak yg dapat dikreditkan pada saat
perhitungan PPh akhir tahun, sdgkan apabila WP OP PPhTB yg telah
dibayarkan bersifat final shg tidak dpt mengurangi PPh akhir tahun. Apabila
yg menyerahkan T & B merupakan WP Badan yg semata-mata melakukan
penyerahan T & B (developer), maka tidak ada PPhTB yg hrs dibayarkan.
3. Untuk aspek pajak atas pembeli T & B, saya setuju dg pendapat rekan
budimafajar.
Thanks, mohon koreksinya.

subroto

Newbie 01 May 2008 08:41

duh jadi bingung,


Location : .
Joined : 22 Jan 2008.
Posts : 1. mao tanya donk emang beda pphTB (pajak perolehan hak atas tanah dan
bangunan) sama BPHTB (bea perolehan hak atas tanah dan bangunan) ?

mardi

Groupie 01 May 2008 13:35

PPhTB itu termasuk PPh pasal 25 yang sifatnya final buat orang pribadi dan
Location : Jakarta
Siang - Tangerang
yayasan ato sejenisnya, kalo badan selain yayasan ato sejenisnya tidak final,
Malam . yang bayar yang jual tanah/bangunan,
Joined : 01 May 2008.
Posts : 245.
kalo BPHTB itu bea, bukan PPh , yang bayar yang menperoleh hak atas
tanah dan ato bangunan baik perolehan hak baru ato kelanjutan pelepasan
hak...

Kalo tarifnya sama2 5% tapi DPPnya beda:


PPhTB = 5% x Harga jual(klo NJOP lebih tinggi dari harga jual pake NJOP
PBB)
BPHTB = 5% x [Harga jual(klo NJOP PBB lebih tinggi dari harga jual pake
NJOP)-NPOPTKP)

Pengalihan tanah ato bangunan kena PPN nggak dilihat:

19
1. Yang mengalihkan PKP
2. PM saat perolehan dapat dikreditkan tidak (dapat bisa berarti sudah,
belum maupun tidak dikreditkan)
3. Pengalihan dalam kegiatan usaha/ kegiatan PKP, kalo nggak ya harus
masuk pasal 16D

Kalo syarat2 itu tidak terpenuhi berarti nggak dikenakan PPN.

Tolong tambahi kalo masih kurang..............

ical

Newbie 22 May 2008 13:59

setuju dengan 3 syarat yang ditulis oleh mardi.. kayaknya itu ambil dari
Location : .
Joined : 05 Apr 2008.
buku Pak Untung Sukardji ya, master PPN indonesia
Posts : 50.

apakatadunia

Newbie 14 Jun 2009 15:50

mas ical,,, judul buku Pak Untung Sukardji tsb. apa dan berapa harganya,
Location : Jakarta.
Joined : 14 Jun 2009.
terbitan mana? thanks ya
Posts : 35.

akinya_najme
e
15 Jun 2009 08:11
Junior
Originaly posted by mardi:

Location : Bandung.
PPhTB itu termasuk PPh pasal 25 yang sifatnya final buat orang pribadi dan
Joined : 19 May 2009. yayasan ato sejenisnya, kalo badan selain yayasan ato sejenisnya tidak
Posts : 94.
final,

masaaak seehh?
rasa2nya sekarang final juga lho....
Pasal 8(1)PP 71 taon 2008 menyatakan : Bagi Wajib Pajak yang melakukan
transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pembayaran Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) bersifat final.

keep smiling
& salaaam.....

20

Anda mungkin juga menyukai