Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PERPAJAKAN

SEMESTER 3

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

KELOMPOK 9

1. SILVIA RAHMAWATI 2160302100160


2. LISNA FAIZATUL HIKMAH 2160302100118
3. PUTRI
4. NOVA

1
Kata Pengantar

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segalarahmatNya sehingga makalah
ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Tulungagung 13 September 2022


Penyusun

2
DAFTAR ISI

3
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Ketentuan mengenai Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diatur
dalam UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
sebagaimana terakhir diubah dengan UU no. 20 tahun 2000.

Undang – Undang No. 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali perubahan, Pertama : UU No. 7 tahun 1991, ke dua : UU No. 10 tahun
1994, Ke tiga : UU No. 17 tahun 2000 dan diubah terakhir dengan UU Pajak
Pengahasilan No. 32 tahun 2008.

Undang – Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU N0. 28 tahun
2007.

Pajak adalah iuran atau pungutan wajib yang dupungut oleh pemerintah dari
masyarakat untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa
balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung. Namun secara logika pajak yang
dibayar oleh masyarakat tersebut mempunyai dampak secara langsung terhadap
kesejahteraan masyarakat seperti pembangunan jalan, jembatan, dan tempat-tempat
umum lainnya.

4
I.2 Rumusan Masalah

1.Apa yang dimaksud dengan BPHTB?

2.Apa subjek dan objek dalam BPHTB?

3.Bagaimana dasar pengenaan BPHTB?

4.Bagaimana cara perhitungan dalam BPHTB?

I.3 Tujuan Penulisan

Dengan adanya makalah ini maka pembaca dapat mengetahui Pengertian BPHTB,
Subjek dan Objek BPHTB, Pengenaan BPHTB, cara perhitungan BPHTB dan semua
yg menyangkut tentang BPHTB.

5
BAB II
LANDASAN TEORI

II.1 Pengertian BPHTP


Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yaitu perbuatan atas
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan oleh
orang pribadi atau badan. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah
termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya.

Ketentuan yang menjadi dasar pelaksanaan BPHTB :


1. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
Dan Bangunan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2000 Tentang Pengenaan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah Dan Bangunan Karena Pemberian Hak Pengelolaan.
3. Peratuturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 Tentang Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan.
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 515/KMK.04/2000 Tentang Pencabutan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 638/KMK.04/1997.

Prinsip yang di anut dalam Undang-Undang BPHTB adalah:

 Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan sistem self assessment,


yaitu wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
 Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Pajak
Kena Pajak (NPOPKP)
 Agar pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dapat berlaku secara efektif, maka
baik kepada Wajib Pajak maupun kepada pejabat–pejabat umum yang
melanggar ketentuan atau tidak melaksankan kewajibanya, di kenakan sanksi
menurut perundang-undangan yang berlaku
 Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan negara yang sebagian besar
di serahkan kepada Pemerintah Daerah, untuk meningkatkan pendapatan
6
daerah guna membiayai pembangunan daerah dan dalam rangka menempatkan
otonomi daerah
 Semua pungutan atas perolehan ha katas tanah dana tau bangunan di luar
ketentuan ini tidak di perkenankan.

II.2 SUBJEK DAN OBJEK PAJAK


Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak
atas tanah dan bangunan. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak
menjadi Wajib Pajak (Pasal 4).

Objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan BPHTB dikenakan
kepada peristiwa hukum atau perbuatan hukum atas transaksi atau peralihan haknya
yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru.
Pemindahan hak dapat terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat,
waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya. Pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan, penunjukkan pembeli dalam lelang usaha, peleburan usaha,
pemekaran usaha, dan hadiah.

Hak atas tanah meliputi :


1. Hak milik, yaitu turun menurun yang dapat dipunyai oleh orang pribadi atau badan
hukum tertentu.
2. Hak guna usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung
oleh negara.
3. Hak guna bangunan, yaitu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan –
bangunan atas tanah yang hukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang telah
ditetapkan.
4. Hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain sesuai perjanjian.
5. Hak pengelolaan, yaitu hak menguasai oleh negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya.

7
Objek yang tidak dikenakan pajak :
1. Perwakilan diplomatik
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintah dan pelaksaan pembangunan guna
kepentingan umum.
3. Badan untuk perwakilan organisasi internasional baik pemerintah maupun non
pemerintah
4. Orang pribadi atau badan
5. Orang pribadi atau badan karena wakaf
6. Orang pribadi atau badan yang digunakkan untuk ibadah.

II.3 TARIF DASAR PENGENAAN PAJAK DAN CARA PERHITUNGAN PAJAK


Tarif BPHTB adalah tarif tunggal yang ditetapkan sebesar 5% dasar penggunaan pajak
BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak (NPOP) sebagaimana diatur dalam pasal 6.

TRANSAKSI PEROLEHAN : DASAR PENGENAAN :


a) Jual beli. a) Harga transaksi.
b) Tukar menukar. b) Nilai pasar.
c) Hibah. c) Nilai pasar.
d) Hibah wasiat. d) Nilai pasar.
e) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum e) Nilai pasar.
lainnya. f) Nilai pasar.
f) Pemberian hak baru atas tanah sebagai g) Nilai pasar.
kelanjutan dari pelepasan hak. h) Nilai pasar.
g) Pemberian hak baru atas tanag diluar pelepasan i) Nilai pasar.
hak. j) Harga transaksi yang
h) Penggabungan, pelabuhan, dan pemekaran tercantum dalam risalan
usaha . lelang.
i) Hadrah.
j) Petunjuk pembeli dalam lelang.

8
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Nilai Perolehan
Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP). Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak setempat paling lambat satu bulan sebelum tahun pajak dimulai.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan,
menetapkan besarnya NPOP secara regional dengan ketentuan :
a) Perolehan hak waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih
dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas
atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri. Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling tinggi Rp
300.000.000,-.
b) Untuk perolehan lainnya NPOP – TKP paling tinggi Rp 60.000.000,- Besarnya
pajak tentang dihitung dengan cara mengalihkan tarif pajak dengan Nilai Perolehan
Objek Pajak Kena Pajak, yaitu :

BPHTP = 5% x (NPOP – NPOPTKP)

atau

BPHTP = 5% x (NJOP – NPOPTKP)

BPHTB yang terutang atas perolehan karena waris, hibah, hibah wasiat adalah
50% dari yang seharusnya terutang (PP No 111 Tahun 2000) terutang sejak tanggal
pendaftaran peralihan hak ke Kantor Pertahanan Kabupaten atau Kota yang
bersangkutan.

9
II.4 SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG
Saat yang menentukan terutangnya pajak adalah:
1. Sejak tanggal dibuat dan ditanda tanganginya akta, untuk:
a) Jual beli
b) Tukar menukar
c) Hibah
d) Hibah wasiat
e) Pemasukan dalam perseroan atau badan hokum lainya
f) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
g) Penggabungan usaha
h) Peleburan usaha
i) Pemekaran usaha
j) Hadiah
2. Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang
3. Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hokum yang tetap,
untuk putusan hakim
4. Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor
bidang pertahanan, untuk waris
5. Sejak tanggal di terbitkanya surat keputusan pemberian hak, untuk:
a) Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
b) Pemberian hak baru di luar pelepasan hak

BPHTB yang terutang harus di lunasi pada saat terjadinya perolehan hak

II.5 PEMBAYARAN PAJAK


Wajib Pajak wajib membayar pajak terutang dengan tidak mendasarkan pada
adanya Surat Ketetapan Pajak (Self Assysment System).

Pajak terutang dibayar ke Kas Negara melalui kantor pos dan atau badan usaha
milik negara atau bank badan usaha milik daerah atau tempat pembayaran lain yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan diwilayah Kabupaten Atau Kota yang meliputi letak
10
tanah dan atau bangunan. BPHTB yang terutang disetor dengan surat setoran BPHTB
(SBB) dan di pindah bukukan saldo penerimaan BPHTB ke Bank Operasional V
BPHTB .

Kewajiban membayar sebagaimana tersebut diatas dilaksanakan sebelum :


a) Akta pindahan haka tas tanah dan bangunan ditanda tangani oleh PPAT /
NOTARIS
b) Risalah lelang ditanda tangani oleh pejabat lelang
c) Dilakukan pendaftaran hak oleh kepala kantor pertanahan dalam hal :
1. Pemberian hak baru.
2. Pemindahan hak karena pelaksanaan keputusan hakim, hibah wasiat atau
waris.

Fungsi SBB antara lain :


a) Digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran BPHTB terutang.
b) Sekaligus digunakan untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan
bangunan.
c) Sebagai surat pemberitahuan Objek Pajak Bumi Dan Bangunan (SPOPPBB)

Penyampaian SSB sebagaimana tersebut diatas dilakukan dalam jangka waktu


paling lama 7 hari sejak tanggal pembayaran atau perolehan hak atas tanah atau

bangunan.

II.6 PENETAPAN PAJAK


Dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat terutangnya wajib pajak, Direktur
Jendral Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan atas Tanah Dan Bangunan
kurang bayar apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata
jumlah pajak yang terutang kurang bayar.

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Keputusan Bea Perolehan
Hak atas Tanah Dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2 % sebulan dalam jangka waktu paling lama 24

11
bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai diterbitkannya Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah Dan Bangunan Kurang Bayar.

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah Dan Bangunan Tambahan (SKBHTB) ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % dari jumlah kekurangan pajak tersebut,
kecuali wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

II.7 PENAGIHAN PAJAK


Direktorat Jendral Pajak dapat menerbitkan STBPHTB apabila :
a) Pajak terutang atau kurang bayar.
b) Dari hasil pemeriksaan kantor STBPHTB terdapat kekurangan pembayaran pajak
sebagai akibat salah tulis atau salah hitung.
c) Wajib pajak dikenakan sanksi atau bunga.

Sanksi administrasi dikenakan berupa bunga sebesar 2% sebulan jangka paling


lama 24 bulan sejak tanggal terutang.

Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STBPHTB)
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak, sehingga
penagihan dapat dilanjutkan dengan Surat Paksa.

Dasar penagihan pajak meliputi Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
Dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan
Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembelian, Surat Keputusan
atau Putusan Banding menyebabkan pajak yang harus dibayar bertambah maksimal
satu bulan.

II.8 KEBERATAN BANDING


Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jendral Pajak atas
suatu :
a) Surat Ketetapan Bea Perolehan Atas Tanah Dan Bangunan Kurang Bayar
(SKBKB);
b) Surat Ketetapan Bea Perolehan Atas Tanah Dan Bangunan Tambahan (SKBKBT);
12
c) Surat Ketetapan Bea Perolehan Atas Tanah Dan Bangunan Lebih Bayar (SKBLB);
d) Surat Ketetapan Bea Perolehan Atas Tanah Dan Bangunan Bangunan Nihil
(SKBN).

Syarat Pengajuan Keberatan :


a) Mengemukakan jumlah pajak terutang dengan disertai alasan yang jelas.
b) Diajukan waktu paling lama 3 bulan sejak dibuktikannya dengan tanda terima atau
tenda pengiriman kantor pos kecuali apabila wajib pajak tidak menunjukkan waktu
tidak dapat dipenuhi karena sakit atau kena musibah.

Keberatan yang tidak memenuhi syarat dianggap sebagai Surat Keberatan


sehingga tidak dipertimbangkan. Apabila diminta oleh wajib pajak untuk keperluan
pengajuan keberatan, direktorat jenderal pajak memerikan keterangan secara tertulis
sebagai dasar pengenaan pajak. Wajib pajak mengajukan permohonan banding hanya
kepada badan penyelesaian sengketa pajak mengenai keberatan yang ditetapkan.
Permohonan banding ditetapkan maksimal 3 bulan sejak dikeluarkan surat keberatan
permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak. Apabila keberatan
banding dikabulkan, imbalan bunga sebesar 2% untuk maksimal 24 bulan sejak
pembayaran yang menyebabkan kelebihan sampai dengan keputusan keberatan atau
putusan banding.

PENGURANGAN PAJAK

Atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan yang terutang dapat diberikan oleh
Menteri Keuangan, karena :
a. Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak, yaitu :
1. Wajib pajak yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah;
2. Wajib pajak pribadi menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai
hubungan keluarga;
3. Wajib pajak memperoleh hak baru selain hak pengelolaan.
b. Kondisi wajib pajak yang ada hubungannya dengan sebab sebab tertentu, yaitu :
1. Wajib pajak memperoleh hak atas tanah melalui dari pembelian ganti rugi.
2. Wajib pajak memperoleh hak atas tanah melalui dari tanah yang dibebaskan
13
3. Wajib pajak memperoleh hak atas tanah melalui dari selain hak pengelolaan.
c. Tanah atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial pendidikan yang semata
– mata tidak untuk mencari keuntungan.

II.9 PENGAMBILAN KELEBIHAN PEMBAYARAN


Pengambilan kelebihan pembayaran pajak (restitusi) terjadi apabila jumlah kredit
pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang
atau yang telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya terutang dengan
catatan wajib pajak tidak mempunyai catatan utang pajak lain.
a. Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pajak.
1. Dalam halam hal ini jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih
besar daripada jumlah pajak yang terutang :
a. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan restitusi ke direktorat jenderal
pajak yang terutang;
b. Direktur Jendral Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, menerbitkan surat ketetapan
pajak lebih bayar dalam hal :
 Pajak Penghasilan, apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada
jumlah pajak yang terutang;
 Pajak Pertambahan Nilai, apabila jumlah kredit pajak lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut
oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang
dihitung dengan cara  jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak
yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau;
 Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, apabila jumlah pajak yang dibayar
lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
c. SKPLB diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lama 12 (dua belas)
bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
 Apabila dalam jangka waktu 12 bulan sejak permohonan restitusi,
Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka permohonan

14
dianggap dikabulkan, dan SKPLB diterbitkan dalam waktu paling lambat
1 (satu) bulan setelah jangka waktu berakhir.
 Apabila SKPLB terlambat diterbitkan, kepada Wajib Pajak diberikan
imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak
berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan tersebut sampai dengan saat
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
2. Dalam hal pembayaran pajak yang seharusnya tidak terhutang:
Pajak yang yang seharusnya tidak terutang adalah pajak yang telah dibayar oleh
WP yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau kesalahan
pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau
dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut
berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan atau bukan merupakan
objek pajak.
a. Wajib Pajak (WP orang pribadi dan badan termasuk orang pribadi yang
belum memiliki NPWP) dapat mengajukan permohonan restitusi ke kantor
Direktur Jenderal Pajak melalui KPP tempat WP terdaftar atau berdomisili,
apabila terjadi kesalahan pembayaran pajak atas pajak yang seharusnya
tidak terutang.
Surat permohonan harus melampirkan :
 Asli bukti pembayaran pajak;
 Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
 Alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang.
b. WP yang dipotong atau dipungut (PPh, PPN dan PPnBM) dapat mengajukan
permohonan restitusi ke kantor Direktur Jenderal Pajak melalui KPP tempat
WP yang dipotong atau yang dipungut terdaftar atau melalui KPP tempat
Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dikukuhkan dengan catatan PPh dan
PPN serta PPnBM yang dipotong atau dipungut belum dikreditkan atau
dibiayakan.
Surat permohonan harus melampirkan:
 Asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;

15
 Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
 Alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang.
c. WP yang melakukan pemotongan atau pemungutan dapat mengajukan
permohonan restitusi ke kantor Direktur Jenderal Pajak melalui KPP tempat
WP yang melakukan pemotongan atau pemungutan terdaftar atau
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan dikukuhkan, apabila
terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukannya
dan pihak yang dipotong atau dipungut adalah :
 Orang pribadi yang belum memiliki NPWP;
 Subjek pajak luar negeri; atau
 Terdapat kesalahan penerapan ketentuan oleh pemotong atau
pemungutan kecuali WP yang melakukan pemotongan atau pemungutan
tidak dapat ditemukan yang disebabkan antara lain karena pembubaran
usaha.

Surat permohonan harus melampirkan :


 Asli bukti pembayaran pajak;
 Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
 Alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang; dan d. Surat kuasa dari pihak yang dipotong atau dipungut
kepada WP yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan.
d. Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap permohonan
pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan WP diterima
secara lengkap dan menerbitkan SKPLB bila hasil penelitian tersebut
terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Apabila hasil
penelitian tidak terdapat pajak yang seharusnya tidak terutang, maka Direktur
Jenderal Pajak harus memberitahu secara tertulis kepada WP.
b. Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak Kepada Wajib Pajak yang Memenuhi
Persyaratan Tertentu.
16
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang dapat diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah :
1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh
kurang dari Rp1.800.000.000,00 (satu milyar delapan ratus juta rupiah) dan
jumlah lebih bayarnya kurang dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling
banyak 0,5% (setengah persen) dari jumlah peredaran usaha yang tercantum
dalam SPT Tahunan PPh tersebut;
3. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam SPT
Tahunan PPh paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan
jumlah lebih bayarnya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); atau;
4. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan untuk suatu Masa Pajak paling
banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan jumlah lebih bayarnya
paling banyak Rp 28.000.000,00 (dua puluh delapan juta rupiah).

Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib


Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, Kepala KPP melakukan penelitian atas :
1. Kelengkapan SPT dan lampiran-lampirannya;
2. Kebenaran penulisan dan penghitungan pajak;
3. Kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh WP; dan
4. Kebenaran alamat yang tercantum dalam SPT tersebut atau dalam SPT perubahan
alamat. dan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk
Pajak Penghasilan dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima
secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal hasil penelitian
menyatakan tidak lebih bayar, lampiran SPT tidak lengkap, pembayaran pajak tidak
benar, atau alamat tidak sesuai dengan yang tercantum dalam SPT atau dengan
pemberitahuan perubahan alamat sehingga Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak tidak diterbitkan, maka Kepala KPP harus
memberitahu secara tertulis kepada WP.
17
II.10 PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PAJAK
Berdasarkan Keputusan Mentri Keuangan Nomor 519/KMK.04/2000,
penerimaan Negara dari Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Banunan dibagi dengan
imbangan :
 20% untuk Pemerintah Pusat kemudia dibagikan secara merata kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota.
 80% untuk Pemerintah Daerah yang bersangkutan untuk dibagikan kembali dengan
imbalan sebagai berikut :
 Pemerintah Propinsi sebesar 16%, atau 20% dari 80%.
 Pemerintah Kabupaten/Kotamadya 64% atau 80% dari 80%.

II.11 KETENTUAN LAINNYA


Ketentuan untuk pejabat :
 Pejabat Pembuat Akta Tanah / Notaris hanya dapat menandatangani akta
pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat WP menyerahkan bukti
pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
 Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak
atas tanah dan bangunan pada saat WP menyerahkan bukti pembayaran pajak
berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
 Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan
pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan Surat
Keputusan yang dimaksud pada saat WP menyerahkan bukti pembayaran pajak
berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
 Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat
hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertahanan Kabupaten / Kota pada saat WP
menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Ha
katas Tanah dan Bangunan.

Pejabat yang melanggar akan dikenakan sanksi, berupa :


18
 Denda sebesar Rp 7.500.000,00 jika penandatanganan akta atau risalah lelang
tanpa SSP.
 Denda sebesar Rp 250.000,00 untuk setiap pelanggaran pembuatan laporan.

II.12 PENGHITUNGAN PAJAK


Secara umum besarnya BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh
dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan
pada rumus dibawah ini:
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)    XXXXX
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)  XXXXX (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) XXXXX

Besarnya BPHTB terutang = 5 % X NPOPKP  XXXXX

BAB III

STUDY KASUS DAN PENYELESAIANYA


19
Contoh Soal :
1. Seorang cucu menerima hibah wasiat dari kakeknya sebidang tanah seluas 300
M2 dengan nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp 300.000.000,00.
Terhadap tanah tersebut telah diterbitkan SPPT PBB pada tahun pendaftaran hak
dengan NJOP sebesar Rp 250.000.000,00. Apabila NPOPTKP pada daerah tersebut
ditentukan sebesar Rp 50.000.000,00 juta BPHTB yang terutang adalah sebesar :
NJOP = Rp 300,000,000
NPOPTKP = Rp 50,000,000
NPOPKP Rp 250,000,000

BPHTP yang seharusnya terutang (5% x Rp 75.000.000) = Rp 12,500,000


BPHTP yang terutang (50% x Rp 3.750.000) = Rp 6,250,000
2. Sebuah Yayasan Yatim Piatu “ Al-Jannah” menerima hibah wasiat dari seorang
dermawan sebidang tanah seluas 1.000 M2 dengan nilai pasar pada waktu
pendaftaran hak sebesar Rp 800.000.000,00. Apabila NPOPTKP pada daerah tersebut
ditentukan sebesar Rp 60.000.000,00 maka BPHTB terutang yang harus dibayar oleh
Yayasan tersebut adalah sebesar :
NJOP = Rp 800,000,000
NPOPTKP = Rp 60,000,000 -
NPOPKP Rp 740,000,000

BPHTP yang seharusnya terutang (5% x Rp 75.000.000) = Rp 37,000,000


BPHTP yang terutang (50% x Rp 3.750.000) = Rp 18,500,000
3. Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya dengan nilai pasar Rp.
500.000.000,00. NJOP yang tercantum dalam SPPT Rp. 800.000.000,00. NPOPTKP
Rp. 300.000.000,00. Berapa Besarnya BPHTB-nya?
NJOP = Rp 800,000,000
NPOPTKP = Rp 300,000,000 -
NPOPKP Rp 500,000,000

BPHTP yang seharusnya terutang (5% x Rp 75.000.000) = Rp 25,000,000


BPHTP yang terutang (50% x Rp 3.750.000) = Rp 12,500,000
4. Suatu Yayasan Panti Asuhan Anak yatim memperoleh hibah wasiat sebidang
Tanah dan Bangunan dengan nilai pasar Rp. 1.000.000.000,00. SPPT dengan NJOP
Rp. 900.000.000. Apabila NPOP TKP Rp. 300.000.000, maka BPHTB adalah?
20
NJOP = Rp 1,000,000,000
NPOPTKP = Rp 300,000,000 -
NPOPKP Rp 700,000,000

BPHTP yang seharusnya terutang (5% x Rp 75.000.000) = Rp 35,000,000


BPHTP yang terutang (50% x Rp 3.750.000) = Rp 17,500,000

BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah bea yang dikenakan pada
setiap pemindahan hak atau hibah wasiat atas harta tetap dan hak-hak kebendaan
atas tanah yang pemindahan haknya dilakukan dengan akta.

21
Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas
tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajibah wajib membayar
BPHTB yang menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak.

IV.2 Saran
Isi dari makalah ini masih belum lengkap dan jauh dari kodisi sempurna, oleh
sebab itu penulis dengan senang hati mengaharapkan masukan dan kritikan dari
pembaca guna penyempurnaan lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

22

Anda mungkin juga menyukai