Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

Perlindungan Hukum Terhadap Pihak yang Melakukan Jual Beli

Tanah Dan Bangungan Dikaitkan Dengan Kewajiban

Membayar BPHTB dan PPh

Disusun Oleh:

Muhammad Aldi

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM MALANG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah yang berjudul “ Perlindungan Hukum Terhadap Pihak yang Melakukan Jual
Beli Tanah Dan Bangungan Dikaitkan Dengan Kewajiban Membayar BPHTB dan
PPh” dapat tersusun sampai selesai.Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materi.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Malang, 20 Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI

JUDUL ...................................................................................................

KATA PENGANTAR ..........................................................................

DAFTAR ISI .........................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ...................................................................


B. Rumusan masalah ..............................................................

BAB II PEMBAHASAN
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
setiap pelaksanaan peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah obyek pajak.
Sebagai obyek pajak, peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan pajak dari
kedua sisi, yaitu dari sisi penjual dan pembeli.
Bagi pihak penjual dikenakan Pajak Penghasilan (yang selanjutnya disingkat dengan
PPh) yang diperoleh dari penjualan tanah dan/atau bangunan. Sementara itu bagi pihak
pembeli dikenakan pajak yang berupa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
(yang selanjutnya disingkat dengan BPHTB). Pembayaran pajak yang menyangkut PPh
dan BPHTB adalah jual beli tanah yang ada haknya. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas
negara berdasarkan Undang – Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat
jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan, dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum.1
Wajib pajak adalah subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak. Karena
yang menjadi subjek pajak adalah pihak yang memperoleh hak atas tanah dan/atau
bangunan, yang menjadi wajib pajak tentulah pihak yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan sesuai dengan perolehan hak yang terjadi. Kewajiban pembayaran pajak ini
harus dilakukan oleh wajib pajak pada saat terutangnya pajak sesuai ketentuan Undang-
Undang. Bila kewajiban ini belum terpenuhi, perolehan hak akan tertunda. Dalam hal ini,
pejabat yang berwenang tidak akan mengesahkan perolehan hak tersebut sebelum
BPHTB terutang dibayar/dilunasi oleh wajib pajak.2
PPh yang diperoleh dari penjualan tanah dan/atau bangunan bagi penjual tersebut
bersifat final, hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48
Tahun 1994, tertanggal 27 Desember 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, yang mulai berlaku

1
Mardiasmo, Perpajakan (edisi revisi), Andi Offset, Yogyakarta, 2005, hal 1.
2
Marihot P. Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, hal. 73.
sejak 1 Januari 1995 (selanjutnya disingkat dengan PP No. 48 Tahun 1994). Besarnya
PPh yang harus dibayar oleh penjual diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah tersebut,
yaitu sebesar 5 % (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 ini
kemudian diubah berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
1996, tertanggal 16 April 1996 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Pengalihan
Hak atas Tanah dan/atau bangunan (selanjutnya disingkat dengan PP No. 27 Tahun 1996)
Perubahan tersebut diantaranya mengenai: 3

1. Besarnya pajak, dibedakan antara PPh yang berlaku bagi wajib pajak developer yang
menjual

barang dagangannya sebesar 2 % (dua persen), dan wajib pajak lain dan developer yang
menjual tanah dan/atau bangunan yang bukan merupakan barang dagangannya sebesar 5
% (lima persen).

2. Sifat final PPh tersebut diubah, bagi wajib pajak developer yang menjual barang
dagangannya dapat dikompensasikan dengan pajak terutang pada tahun berjalan,
sedangkan bagi wajib pajak lainnya dan developer yang menjual tanah dan/atau
bangunan selain barang dagangannya bersifat final.

Pembayaran PPh dilakukan oleh Wajib Pajak/wakilnya/kuasanya ke kas Negara


dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (yang selanjutnya disingkat dengan SSP)
melalui Bank Persepsi yang ditunjuk atau Kantor Pos, sebelum akta pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (selanjutnya disingkat dengan PPAT).

Khusus mengenai pajak yang dibebankan kepada pembeli, yang berupa BPHTB
diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan/atau Bangunan, juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2000, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan,
dirumuskan sebagai berikut: “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah
3
Pasal 4 Juncto Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 Tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 48 tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang selanjutnya
disebut pajak.”

BPHTB merupakan pajak yang terutang dan harus dibayar oleh pihak yang
memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan agar akta risalah lelang, atau surat
keputusan pemberian hak dapat dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
Mengenai saat terutang pajak yang berupa BPHTB tersebut diatur dalam Pasal 9 ayat (1)
Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU BPHTB), yaitu:

a. Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.

b. Tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.

c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.

d. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke


kantor

Pertanahan.

e. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat
dan

ditanda-tanganinya akta.

f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak adalah sejak tanggal dibuat dan
ditanda-

tanganinya akta.

g. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.

h. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum

tetap.

i. Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya
ke

kantor pertanahan
j. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak
tanggal

ditanda-tanganinya dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak.

k. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditanda tanganinya
dan

diterbitkannya surat keputusan pemberian hak.

l. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

m. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.

n. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

o. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

Pajak yang terutang dibayar ke Kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan
Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran atau penyetoran
BPHTB dari Wajib Pajak dan memindahbukukan saldo penerimaan BPHTB ke Bank
Operasional V BPHTB, yang wewenang penunjukannya dilimpahkan kepada Direktur
Jenderal Anggaran4 dengan Keputusan Direktur Jenderal Anggaran Nomor
KEP-04/A/2002 tanggal 28 Januari 2002 tentang Penunjukan Bank Persepsi BPHTB dan
Bank Operasional V BPHTB. Dalam pelaksanaan jual beli, pada umumnya para penjual
dan/atau pembeli melakukan pembayaran pajak pada saat perbuatan hukum jual beli
tersebut dilakukan dihadapan PPAT.

Demi menjaga kemungkinan agar tidak terjadinya penundaan pembayaran pajak,


biasanya pembayaran pajak yang menjadi kewajiban penjual maupun pembeli dalam
pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan dilakukan pada hari dan tanggal akta jual
belinya ditandatangani oleh para pihak di hadapan PPAT, dan demi menjaga kepastian
pembayaran pajak tersebut dilakukan oleh para pihak, biasanya PPAT yang bersangkutan
dengan sukarela membantu para pihak untuk membayarkan pajak tersebut kepada
instansi yang berwenang melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi. Pembayaran pajak
harus dilakukan sebelum akta jual beli dilakukan dihadapan PPAT, meskipun sedemikian

4
Departemen Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan Tentang Penunjukan Tempat dan Tata Cara
Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Kepmen Keuangan
No.517/KMK.04/2000, Pasal 4 ayat (1).
rupa kinerja PPAT untuk memprioristakan pembayaran pajak tersebut, tetap saja ada
masalah yang ditemukan di lapangan, seperti yang akan penulis kutip dari Artikel Renvoi
yang akan disebut di bawah ini tentang Notaris Kecewa Pelayanan Bank Persepsi.

PPAT seharusnya tetap menjaga dan menjunjung tinggi fungsinya sebagai pejabat
umum yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mencatat dan menjamin tanggal dari
perbuatan hukum yang dilakukan dihadapannya agar akta yang dibuatnya dapat
memenuhi syarat sebagai akta otentik. Pertimbangan perlunya dituangkan dalam bentuk
akta otentik adalah untuk menjamin kepastian hukum guna melindungi pihak pihak.5
Dalam hal ini yang dimaksud dengan perbuatan pidana dengan memasukkan data palsu
ke dalam aktanya adalah melakukan pergeseran nomor dan tanggal akta jual beli sesuai
dengan bukti pembayaran pajaknya.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini adalah :

1. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum para pihak dalam pelaksanaan jual beli
tanah dan bangunan dikaitkan dengan kewajiban pembayaran BPHTB dan PPh ?
2. Bagaimana peran PPAT untuk melindungi para pihak dalam pelaksanaan pembayaran
dan penyetoran BPHTB dan PPh terhadap jual beli tanah dan bangunan ?

1.3 TUJUAN

Tujuan dari makalah ini adalah untuk :

1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap para pihak dalam kewajiban
pembayaran BPHTB dan PPh.
2. Untuk mengetahui peran PPAT melindungi para pihak dalam hal penyetoran BPHTB
dan PPh atas jual beli tanah dan bangunan tersebut.

5
Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation Studies of Business Law
(CDSBL), Yogyakarta, 2003, hal. 49.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM


PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN/ATAU BANGUNAN DIKAITKAN DENGAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh
Di dalam Pasal 1457 KUHPerdata dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan jual beli
adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu barang, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan
dan juga dalam Pasal 1458 KUHPerdata disebutkan “Jual Beli dianggap telah terjadi
antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang
barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya
belum dibayar.6 Perjanjian atau perikatan secara hukum masuk ke wilayah hukum
keperdataan karena mengatur kepentingan-kepentingan perorangan, dan mendapat
pengaturannya dalam Buku III KUHPerdata.
Perjanjian atau perikatan secara hukum masuk ke wilayah hukum keperdataan karena
mengatur kepentingan-kepentingan perorangan, dan mendapat pengaturannya dalam
Buku III KUHPerdata. Buku III KUHPerdata berjudul perihal perikatan (Verbintenis),
ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang
memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya,
sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.7 Sebenarnya istilah
perikatan dalam KUHPerdata sendiri mempunyai arti lebih luas dari sekedar perjanjian,
karena dalam Buku III KUHPerdata, selain diatur mengenai perikatanperikatan yang

6
R. Subekti, AnekaPerjanjian, Alumni, Bandung, 1977, hal. 1-2.
7
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXXI, Jakarta Intermasa, 2003, hal. 122
timbul karena adanya persetujuan/perjanjian, juga diatur mengenai perikatan-perikatan
yang timbul karena Undang-Undang.
Perikatan yang timbul karena Undang-Undang, misalnya perikatan yang timbul
karena adanya perbuatan yang melanggar hukum (Onrechtmatige daad) dan perikatan
yang timbul karena perbuatan pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan
persetujuan (Zaakwaarneming). Sebagian besar Buku III KUHPerdata ditujukan untuk
perikatanperikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi berisi hukum
perjanjian.8 Mengenai Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata, ada dikenal
dengan Perjanjian Bernama. Perjanjian Bernama yaitu merupakan perjanjian-perjanjian
yang diatur dalam KUHPerdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini misalnya: jual
beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain. Selain dikenal dengan adanya
perjanjian bernama ada juga perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, Jadi dalam
hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu, dan ketentuan yang ditetapkan
oleh para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi masing-masing pihak.9 Dengan
adanya sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, maka hal itu telah menimbulkan hak
dan kewajiban sesuai dengan apa yang telah disepakati. Jadi Undang-Undang tidak
mensyaratkan adanya bukti tertulis untuk sahnya suatu perikatan. Dengan tercapainya
kata sepakat diantara para pihak saja, telah cukup bagi perjanjian tersebut untuk
mengikat dan menimbulkan hak serta kewajiban bagi para pihak yang membuatnya.
Namun demikian perjanjian ini akan sangat lemah sifatnya, karena akan sangat
tergantung dari itikad baik masing-masing pihak. Apabila salah satu pihak yang
berkewajiban untuk melakukan suatu prestasi tidak memenuhi kewajibannya
(prestasinya) kepada pihak lainnya dan menyangkal telah membuat perjanjian itu, atau
menyatakan mengakui membuat perjanjian tetapi tidak sesuai seperti yang dituntut oleh
lawannya, maka pihak yang menuntut pemenuhan prestasilah yang berkewajiban untuk
membuktikkan tentang adanya janji tersebut.
Undang-Undang menentukan pihak yang menuntutlah yang berkewajiban untuk
membuktikkan haknya, sehingga karena itu untuk menjamin kepastian dipenuhinya
prestasi dari masing-masing pihak yang membuat perjanjian diperlukanlah adanya suatu
alat bukti dalam setiap perjanjian. Alat bukti tersebut menurut ketentuan Pasal 1866 bisa
berupa: bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.

8
Ibid. Subekti memberikan penjelasan bahwa perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan
suatu perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit.
9
R.M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978, hal. 10.
Alat bukti tulisan (surat) dapat dibedakan menjadi surat-surat akta dan surat-surat lain.
Surat akta ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal
atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani. Sedangkan surat yang
berbentuk akta masih dapat dibedakan lagi menjadi akta otentik dan akta dibawah
tangan.
Akta otentik (akta resmi) ialah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang
pejabat umum yang menurut Undang-Undang ditugaskan untuk membuat surat-surat
akta tersebut, sedangkan akta dibawah tangan (onderhand) ialah tiap akta yang tidak
dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum. Alat pembuktian yang
terakhir menurut Undang-Undang adalah sumpah, dimana sumpah ini dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu sumpah yang menentukan (Decissoire eed) dan sumpah
tambahan (Supletoir eed). Istilah tersebut juga dikenal dengan sumpah Promissoir yaitu
sumpah untuk berjanji menentukan sesuatu dan sumpah Assertoir yaitu sumpah untuk
memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu benar demikian atau tidak. 10 Dari
ke lima macam alat pembuktian yang telah diuraikan tersebut, pembuktian dengan suatu
akta memang suatu cara pembuktian yang paling utama, maka dapatlah dimengerti
mengapa pembuktian dengan tulisan ini oleh UndangUndang disebutkan sebagai cara
pembuktian nomor satu dan demikian itu UndangUndang untuk beberapa perbuatan atau
perjanjian yang dianggap sangat penting, mengharuskan pembuktian suatu akta.11
Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang di
dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Jadi unsur-unsur yang
terkandung dalam suatu akta otentik adalah:12
1. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu.
2. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang.
3. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai
kewenangan
untuk membuat akta itu ditempat di mana akta itu dibuatnya.
Suatu akta otentik haruslah mempunyai bentuk yang ditentukan oleh UndangUndang.
Namun apabila syarat ini tidak terpenuhi, akta yang bersangkutan tidaklah menjadi batal,
akan tetapi akan kehilangan sifat otentiknya, karenanya akan berlaku sebagai akta di

10
Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2002, hal. 179.
11
Ibid, hal. 178-179.
12
Lumban, Tobing, G.H.S, S.H, Peraturan Jabatan Notaris, cet. Ke 3, Erlangga, Jakarta, 1983, hal. 48.
bawah tangan. Apabila hal itu sampai terjadi pada jual beli atas benda tidak bergerak
Pasal 617 KUHPerdata memberikan ancaman kebatalan. Dalam hal pelaksanaan untuk
melakukan jual beli, maka para pihak seperti penjual dan pembeli harus memenuhi
syarat-syarat untuk terjadinya suatu perjanjian jual beli. Adapun syarat-syarat tersebut
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
a. Kesepakatan para pihak
Pengertian sepakat diartikan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui oleh para
pihak (overeenstemende Wilsverklaring), dan persetujuan kehendak itu sendiri adalah
kesepakatan. Sepakat berarti telah terjadinya kesepakatan antara para pihak terlebih
dahulu terhadap hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan antara para pihak
tersebut. Kesepakatan tersebut terjadi secara timbal balik di mana pihak yang satu
menyetujui dan mengetahui isi dari maksud perjanjian tersebut begitu sebaliknya.
b. Kecakapan untuk berbuat sesuatu
Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan diatur dalam
Pasal 1329 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1331 KUHPerdata. Pasal 1329
KUHPerdata menyatakan bahwa: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, jika ia oleh Undang-Undang dinyatakan tidak cakap”. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan, hal ini mempunyai arti bahwa orang yang membuat
suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah
dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Namun tidak semuanya
cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Sistem Hukum Perdata yang berlaku di
Indonesia menghendaki kepada para Notaris untuk memperhatikan bahwa ada
beberapa subjek-subjek hukum yang karena Undang-Undang dibatasi penggunaan
haknya dalam lalu lintas hukum. Oleh karena itu tidak semua subjek hukum yang
datang menghadap ke kantor Notaris adalah cakap dan dapat dilayani untuk
pembuatan akta-akta Notaris. Orang-orang yang menurut Undang-undang dinyatakan
tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah:13
1. Orang-orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan yaitu orang-orang dewasa tapi
dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros.
3. Orang-orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk melakukan perbuatan-

13
Lihat Pasal 1330 KUHPerdata jo Pasal 433 KUHPerdata jo Pasal 47 Undang-Undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974.
perbuatan hukum tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan orang yang cakap untuk melakukan
perbuatan hukum adalah orang yang dewasa, dan sehat akal pikirannya serta tidak
dilarang oleh suatu Undang-Undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum
tertentu.
c. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, berupa prestasi yang perlu dipenuhi
dalam suatu perjanjian, dan merupakan objek perjanjian. Sebagai syarat yang ketiga
ini untuk sahnya suatu perjanjian adalah perjanjian itu harus mengenai suatu hal
tertentu, artinya apa yang diperjanjikan sebagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
kedua belah pihak jika timbul perselisihan. Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu
atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua
belah pihak jika timbul perselisihan dalam perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga
perselisihan itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada objek perjanjian.
Akibat tidak dipenuhinya syarat ini, perjanjian batal demi hukum.14
d. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal sebagai syarat keempat untuk sahnya perjanjian sering juga
disebut dengan oorzaak (bahasa belanda) dan cause (bahasa latin). Sebab adalah suatu
yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat
perjanjian. Tapi yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320
KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong
orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri”
yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.15
Jadi pada dasarnya suatu kunci untuk melakukan kesepakatan adalah dengan telah
dipenuhinya kelima unsur di atas, bagaimana pula seperti yang telah dikemukakan di
atas bahwa perjanjian berdasarkan kesepakatan itu akan lemah sifatnya apabila
masing-masing pihak dalam melakukan kesepakatan jual beli tersebut tidak beritikad
baik, seperti yang dipaparkan. Dimana dalam judul penulis tertulis Perlindungan
Hukum terhadap Para Pihak, itu berarti mencakup Perlindungan Hukum terhadap
Penjual, Pembeli dan PPAT. Ada sebuah contoh yang dapat penulis kutip yang dalam
melaksanakan jual beli, masing-masing pihak telah menandatangani Akta Jual Beli
tersebut dan mereka telah sepakat terhadap segala isi yang tercantum di dalam akta

14
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1986, hal. 94
15
Ibid.
tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 dan Pasal 5 Akta Jual Beli yang
dibuat dihadapan PPAT, tetapi dalam contoh kasus ini yang terjadi bahwa setelah 3
(tiga) tahun kemudian, pembeli melakukan permasalahan luas tanah yang tidak sesuai,
dimana di dalam sertifikat luas tanah berbeda. Sementara berdasarkan pemeriksaan
pembeli dengan melakukan pengukuran sendiri mengatakan luas tanah sebenarnya
adalah hanya 100 m2. Pembeli menuntut penjual membayar ganti rugi. Di sini
dipertanyakan dimanakah perlindungan hukum terhadap penjual yang bertikad baik
yang kemudian dirugikan karena luas tanah tersebut. Bukannya pengukuran luas
tanah adalah merupakan hak dari Kepala Kantor Badan Pertanahan, jadi apabila
hendak melakukan penuntutan seharusnya aparat penegak hukum kita harus
memproses sesuai jalur yang ada dengan mengembalikannya ke Kantor Badan
Pertanahan untuk melakukan pengecekan kembali. Dengan adanya hal ini telah
menimbulkan kerugian bagi penjual, sehingga tidak adanya perlindungan hukum bagi
penjual. Sedangkan perlindungan hukum terhadap pembeli dapat kebalikan dari
peristiwa di atas dimana penjual yang tidak beritikad baik sehingga merugikan
pembeli. Berdasarkan uraian di atas, apabila luas tanah ex sertifikat dengan NJOP ex
SPPT PBB tidak sama, maka harus dilakukan penyesuaian dengan mengikuti nilai riil
yang tertinggi karena sesuai dengan amanah dari Pasal 6 UU BPHTB, dan ini
merupakan tugas PPAT untuk melakukan penyesuaian terhadap luas tanah tersebut.

2.2 Peran PPAT Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris Terhadap

Setiap Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan

Menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang


Jabatan Notaris, menjelaskan kewenangan seorang Notaris dan menyatakan bahwa:
“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse,
salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
Undang-Undang”. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004,
tentang Jabatan Notaris pada tanggal 6 Oktober 2004, ketentuan-ketentuan yang
mengatur mengenai Notaris yang berlaku sebelumnya, yaitu:

1. Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesia (Stb. 1860: 3) sebagaimana telah

diubah terakhir dalam Lembaran Negara 1945 Nomor 101.

2. Ordonansi 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris.

3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris

Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 700).

4. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum (Lembaran Negara Tahun

2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Berita Negara Nomor 4379).

5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/janji Jabatan Notaris.

Secara tegas dinyatakan tidak berlaku lagi.16 Pembuatan akta otentik ada yang
diharuskan oleh peraturan Perundangundangan dalam rangka menciptakan kepastian,
ketertiban dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan
PPAT, bukan saja karena diharuskan oleh Peraturan Perundang-undangan, tetapi juga karena
dikhendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para
pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan
sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. 17

Berdasarkan Pasal 1 angka 7 dan Pasal 38 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun


2004 tentang Jabatan Notaris, yang dimaksud dengan Akta Notaris adalah Akta otentik yang
dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu setiap Akta Notaris terdiri atas: Awal Akta, Badan
Akta dan Akhir Akta. Akta yang dibuat oleh Notaris harus dibacakan dihadapan para
penghadap, para saksi sebelum ditandatangani oleh penghadap, saksi-saksi dan Notaris.
Peraturan tentang jabatan PPAT di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 37 Tahun 1998, Pasal 1 angka (1) (Diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1998
Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3746) Tentang PPAT adalah Pejabat Umum
16
Indonesia, Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris, UU Nomor 30 Tahun 2004, Ketentuan Penutup.
17
Lihat, Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
yang diberi kewenangan untuk membuat aktaakta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

PPAT pada umumnya adalah Notaris. Berkaitan dengan fungsi Notaris sebagai
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dalam bidang hukum, namun
demikian berdasarkan kebutuhan maka pemerintah menunjuk beberapa pejabat lain
sebagai PPAT khusus. Hal ini diatur di dalam Pasal (1) angka (2) dan (3) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 1998 tentang PPAT. Pasal 1 angka (1) dinyatakan bahwa PPAT Sementara
adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas
PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. Menurut A.P.
Parlindungan, PPAT Sementara ini adalah Camat atau Kepala Desa tertentu untuk
melaksanakan tugas PPAT, karena di daerah tersebut belum cukup PPAT.18 PPAT adalah
pejabat yang berwenang membuat akta untuk perjanjianperjanjian yang bermaksud
memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah
atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan. Yang dapat diangkat
menjadi PPAT ialah:19

a. Notaris.

b. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Direktorat Jenderal Agraria yang
dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang Peraturan-peraturan Pendaftaran
Tanah dan Peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan
hak atas tanah.

c. Para pegawai pamong praja yang pernah melakukan tugas seorang PPAT.

d. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang diadakan oleh Direktorat Jenderal

Agraria.

Dasar hukum dari kewenangan Notaris selaku PPAT dalam melakukan


Pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut sebelum dilakukan transaksi atas tanah
tersebut antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah


beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.


18
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, CV. Mandar Madju, Bandung, 1999, hal. 177.
19
Efendi Perangin, SH., Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari sudut Pandang Praktisi Hukum, Ed.1 Cet.
4, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 3-4.
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.

Peran PPAT dalam melindungi para pihak terhadap pelaksanaan jual beli
tanah dan/atau bangunan adalah dengan melakukan pemeriksaan sertifikat (cek
bersih) sebelum ditandatanganinya akta oleh para pihak. Secara Materiil kewenangan
pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut terletak pada Kantor Badan Pertanahan
Nasional setempat, sedangkan PPAT hanya secara formil saja yakni melakukan
pemeriksaan sertifikat ke Kantor Badan Pertanahan Nasional. Jadi pada intinya
pemeriksaan sertifikat tersebut telah bersih atau tidak, bukan merupakan hak dari
PPAT tetapi merupakan hak dari BPN yang menentukan apakah sertifikat tersebut
bersih dengan arti tidak terdapat silang sengketa maupun terikat suatu hak tanggungan
pada bank. Pentingnya pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut merupakan suatu
hal yang diharuskan, agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan para pihak-pihak
maupun pihak ketiga. Hal ini dilakukan bertujuan untuk menjamin kepastian hukum
terhadap keadaan dari tanah yang akan diperjanjikan tersebut. Hal tersebut sangat
penting untuk menghindari agar pihak yang akan mendapatkan hak berupa tanah dari
obyek jual beli tanah tersebut tidak mendapatkan masalah atau kerugian dari tanah
yang dimilikinya tersebut. Sementara itu, berkenaan dengan tata cara pembuatan akta
jual beli tanah dan/atau bangunan dikaitkan dengan ketentuan perpajakan, seorang
PPAT tunduk kepada ketentuan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000 tentang BPHTB di mana akta pemindahan hak atas tanah dan/atau
bangunan ditandatangani apabila telah melunasi SSB, diserahkan kepada PPAT
bersangkutan, serta menyerahkan satu lembar fotocopy dari SSB tersebut. Apabila
pembeli sebagai wajib pajak tidak membayar BPHTB maka secara otomatis akta jual
beli secara PPAT tidak dapat dilaksanakan.

Dalam hal peran PPAT terhadap pembayaran pajak adalah memberitahukan


kepada wajib pajak agar segera melakukan pembayaran pajak supaya akta jual belinya
dapat dilakukan, dan sebagai seorang PPAT kita juga dapat membantu para klien
untuk membayar pajaknya apabila para klien tidak mengetahui tata cara pembayaran
pajak tersebut atau awam mengenai perpajakan. 20 Pembayaran Pajak tersebut
sebenarnya memang kewajiban dari masing-masing wajib pajak tapi pada
20
Tjong Deddy Iskandar, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008.
kenyataannya para PPAT yang membantu melakukan pembayaran pajak seperti yang
dikemukakan oleh seorang PPAT, bahwa itu adalah merupakan fee tanpa ada
pungutan lain dalam hal membantu pembayaran pajak itu, tetapi ada juga yang para
wajib pajak yang hanya tidak bisa mengisi formulir pembayaran pajak tersebut, dan
PPAT hanya membantu melakukan pengisian formulir tetapi pembayaran dilakukan
oleh wajib pajak tersebut.21 Keterkaitan PPAT dalam pelaksanaan pemungutan
BPHTB, telah dijelaskan sebagai pejabat umum yang mengesahkan terjadinya
transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan di mana disyaratkan agar sebelum
menandatangani akta dipenuhi segala syarat-syarat termasuk di dalamnya pembayaran
pajak-pajak. Disinilah peranan PPAT muncul untuk memberikan informasi sekaligus
sebagai “First Gate” (Gerbang Pertama) dalam pengamanan penerimaan BPHTB
sebelum melakukan Akta Jual Beli. Pada tahap ini PPAT harus dapat memberikan
gambaran yang jelas tentang bentuk-bentuk pajak yang akan dikenakan kepada para
pihak pada setiap transaksi peralihan hak atas tanah, pihak penjual dan pihak pembeli
masing-masing mempunyai kewajiban dalam hal pembayaran pajak.

Untuk Pihak penjual menanggung PPh yaitu sebagai konsekwensi dari


penghasilan yang ia peroleh atas dasar pemindahan haknya sedangkan bagi pihak
pembeli diwajibkan membayar BPHTB dari hak yang ia peroleh. Seorang PPAT
mempunyai tanggung jawab yang besar selain memastikan para pihak untuk
melakukan pembayaran pajak sebelum akta jual beli tersebut dilakukan, maka seorang
PPAT harus juga melakukan pengecekan/pemeriksaan terhadap sertifikat hak atas
tanah. Dasar hukum dari kewenangan PPAT dalam melakukan pemeriksaan sertifikat
hak atas tanah telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang PPAT dalam
melaksanakan tugasnya apabila adanya pengalihan hak atas tanah sebelum diadakan
atau dilaksanakannya pengalihan hak atas tanah tersebut dibuat dalam akta otentik
maka harus dilakukan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah seperti tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 3
Tahun 1997.

Kewenangan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah pada Kantor Pertanahan


setempat adalah didasarkan kepada kewenangan PPAT tersebut dalam pembuatan
akta. Pentingnya pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut merupakan suatu hal.
21
Edy, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008.
yang diharuskan, hal ini guna mengetahui bahwa objek tanah tersebut bebas dari
silang sengketa maupun tidak terikat hak tanggungan pada suatu bank. Sementara itu,
dasar hukum sebelum dipergunakan ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di
atas untuk kewenangan PPAT dalam melakukan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah
adalah hanya bersifat umum yang secara tersirat dapat dikatakan merupakan tanggung
jawab moril dari seorang pejabat umum dalam membuat suatu akta otentik seperti:

1. Berdasarkan KUHPerdata yaitu dalam Pasal 1868 KUHPerdata tentang akta

otentik.

2. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris Stbl. 1860 No. 3 jo Pasal 1 angka 1
Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, bahwa jika tahapan pembuatan akta tidak dapat
dilakukan sebelum pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut dilakukan.
Ketentuan yang demikian terlihat jelas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 97 ayat
(1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN) No. 3 Tahun 1997 yang menyebutkan:

1. Sebelum Melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan


hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, Notaris/PPAT wajib terlebih
dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian
sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan
dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan
sertifikat asli.

2. Pemeriksaan sertifikat hak atas tanah yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
setiap pembuatan akta oleh Notaris/PPAT dengan ketentuan bahwa untuk pembuatan
akta pemindahan hak atau pembebanan hak atas bagian-bagian tanah hak induk dalam
rangka pemasaran hasil dan pengembangan oleh perusahaan real estat, kawasan
industri dan pengembangan sejenis, cukup dilakukan pemeriksaan sertifikat induk 1
(satu) kali, kecuali apabila Notaris/PPAT yang bersangkutan menganggap perlu
dilakukan pemeriksaan sertifikat ulang.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas mengenai Pasal 97 Peraturan


Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) tersebut, maka terlihat
dengan jelas bahwa hal tersebut telah memberikan kewenangan kepada PPAT untuk
melakukan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah jika PPAT tersebut melakukan
pembuatan akta Jual Beli. Pembayaran PPh dilakukan oleh Wajib Pajak ke Kas
Negara dengan menggunakan SSP melalui Bank Persepsi atau Bank yang melayani
pembayaran Pajak Penghasilan tersebut sebelum akta pengalihan hak atas tanah dan
bangunan ditandatangani oleh dan dihadapan PPAT. Demikian halnya dengan
pembayaran pajak atas BPHTB dilakukan oleh wajib pajak ke kas negara dengan
menggunakan SSB. Suatu Perolehan hak atas tanah dan bangunan pada dasarnya hasil
dari proses peralihan hak. Hal ini dapat terjadi karena dua hal yaitu beralih dan
dialihkan. Yang dimaksud dengan dialihkan adalah suatu peralihan hak yang
dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemilik asalnya dan
menjadi milik pihak lain. Dengan kata lain terjadinya karena adanya suatu perbuatan
hukum tertentu, seperti wasiat, hibah, jual beli, tukar menukar dan hibah wasiat. 22
Subjek dalam peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah orang pribadi
(nature person) atau badan (legal person). Orang pribadi atau badan yang dimaksud di
sini bisa berkedudukan sebagai pembeli atau penjual. Bagi pembeli dikenakan pajak
atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diterimanya yaitu BPHTB
sedangkan bagi penjual dikenakan PPh atas penjualan tanah.

Sedangkan objek pajak pembeli adalah perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan, hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2000 tentang BPHTB Bagi pihak penjual maka yang menjadi objek adalah
penghasilan yang diperoleh penjual atas tambahan ekonomi yang diterimanya dalam
hal terjadinya peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan. PPh atas penghasilan dari
pengalihan harta berupa tanah atau bangunan diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 (diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985) tentang Perubahan Ketiga
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dalam Pasal 4
ayat (2) dinyatakan bahwa atas penghasilan-penghasilan tertentu penanganan
pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP), pasal tersebut berbunyi sebagai
berikut: Atas Penghasilan berupa penghasilan dari pengalihan berupa tanah dan atau
bangunan serta penghasilan tertentu lainnya pengenaan pajaknya diatur dengan
peraturan pemerintah. Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan dibedakan:

1. Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan oleh pribadi.


22
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 180.
2. Pengalihan Hak oleh wajib pajak badan yang usaha pokoknya melakukan

pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (wajib pajak real estat).

3. Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang dilakukan oleh wajib pajak

Badan diluar usaha pokoknya.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Bentuk Perlindungan Hukum atas transaksi jual beli hak atas tanah dan bangunan itu mencakup
perlindungan terhadap penjual maupun pembeli.

a. Perlindungan Hukum yang dapat diberikan oleh PPAT adalah dengan terlebih dahulu membuat
suatu perjanjian jual beli. Dengan adanya perjanjian jual beli tersebut dapat mengikat kedua belah
pihak, sehingga perjanjian tersebut tidak dapat dibatalkan secara sepihak Dasar Hukumnya mengacu
kepada Pasal 1338 ayat (3) dan Pasal 1320 KUHPerdata.

b. Perjanjian jual beli yang telah dilakukan dengan lunas dapat dicantumkan klausula kuasa menjual,
tetapi apabila perjanjian jual beli tersebut belum lunas, maka dilakukan perjanjian pendahuluan
berupa panjar atas objek tanah tersebut. Perhitungan panjar tersebut berdasarkan nilai tertinggi dari
transaksi harga jual, tetapi apabila NJOP lebih tinggi dari harga jual maka yang dipergunakan dalam
perhitungan panjar adalah NJOP.

2. Peran PPAT dalam melindungi para pihak adalah terlebih dahulu melakukan pemeriksaan
sertifikat secara formil ke Kantor Badan Pertanahan setempat sebelum dilaksanakannya jual beli, hal
ini guna menghindari objek tanah tersebut terdapat silang sengketa maupun terikatnya hak
tanggungan pada suatu bank. Sedangkan dalam hal pembayaran pajak, PPAT hanya dapat
memberikan jasa tambahan secara sukarela untuk membantu membayar pajak pada bank-bank
persepsi yang ditunjuk untuk itu. Namun dalam hal ini PPAT tidak mendapatkan honorarium ataupun
ongkos dalam penyetoran BPHTB, karena pada kenyataannya insentif yang diberikan ditarik kembali.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas, Syed Muhammad Al Naquib, 1981, Islam dan Sekularisme,: Penerbit Pustaka,
Bandung.

Ali, A. Mukti, 1994, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Djambatan, Jakarta.

Fadlurrahman Ashidqi, (2014), Problem Doktrin Sekulerisme Vol. 12, No. 2

Ismail Sunny, 1987, makanisme demokrasi kita, Edisi VI, Aksara Baru, Jakarta.

Pachoer, D. A. (2016). Sekularisasi dan Sekularisme Agama. Jurnal Agama Dan Lintas


Budaya, 1(1)

Responses of Indonesians muslim intellectuals to the concept of democracy 1966-1993


(hambur: Abera Verlag. 1997).

Sutarjo Adisusilo, JR (2013) Sejarah Pemikiran Barat; Dari yang Klasik Sampai yang
Modern.

Anda mungkin juga menyukai