Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

“BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN”


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pajak
Dosen Pengampu: Agus Yulianto, S.H., M.H.

Disusun Oleh: KELOMPOK 5

MEY BELL FANIA PUTRI WULANDARI 205010101111087


NAJWA PUTRI ISLAMAY 205010101111094
ANANDA ALIYA REGIENA 205010101111096
FAISAL AULIA RAHMAN 205010101111102
ANISA MAGDALENA NABABAN 205010101111105
ERZA FACHREZA 205010101111118

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2022
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulilah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT


yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah
Hukum Pajak, dengan judul: “Bea Perolehan Hak Atas Tanah”.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari sempurna


dikarenakan terbatasnya pengalaman dna pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap makalah ini dapat
memberikan manfaat bagu perkembangan dunia pendidikan.

Malang, 21 Maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI .....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 2
1.3 Tujuan ..................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 3

2.1 Pengertian dan Dasar Hukum BPHTB .................................................... 3


2.2 Objek, Subjek dan Wajib BPHTB .......................................................... 4
2.3 Tarif, Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung BPHTB ......................... 7
2.4 Tata Cara Penetapan dan Penagihan BPHTB ....................................... 10
2.5 Syarat-Syarat Mengurus BPHTB .......................................................... 15
2.6 Restitusi dan Pembagian Hasil Penerimaan BPHTB ............................ 16

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 20

3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di


Indonesia, setiap pelaksanaan peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah
obyek pajak. Sebagai obyek pajak, peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dikenakan pajak dari kedua sisi, yaitu dari sisi penjual dan pembeli. Bagi pihak
penjual dikenakan Pajak Penghasilan (yang selanjutnya disingkat dengan PPh)
yang diperoleh dari penjualan tanah dan/atau bangunan. Sementara itu bagi pihak
pembeli dikenakan pajak yang berupa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau
Bangunan (yang selanjutnya disingkat dengan BPHTB). Pembayaran pajak yang
menyangkut PPh dan BPHTB adalah jual beli tanah yang ada haknya.
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang –
Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan, dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum. Fungsi pajak ada dua yaitu, fungsi budgetair
(sumber keuangan negara) dan fungsi regulerend (mengatur).
Fungsi budgetair (sumber keuangan negara)adalah pajak mempunyai
fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan
pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan,
sebagai sumber keuangan negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara
ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan
peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai,
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain-lain.
Fungsi regulerend (mengatur) adalah pajak mempunyai fungsi mengatur
artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
pemerintah dalam bidang sosial dan eonomi, dan mencapai tujuan-tujuan tertentu
di luar bidang keuangan.
Wajib pajak adalah subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar
pajak. karena yang menjadi subjek pajak adalah pihak yang memperoleh hak atas

1
tanah dan/atau bangunan, yang menjadi wajib pajak tentulah pihak yang
memperoleh hak atas tanah dan bangunan sesuai dengan perolehan hak yang
terjadi. Kewajiban pembayaran pajak ini harus dilakukan oleh wajib pajak pada
saat terutangnya pajak sesuai ketentuan Undang-Undang. Bila kewajiban ini
belum terpenuhi, perolehan hak akan tertunda.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud BPHTB dan bagaimana dasar hukumnya?
2. Apa saja objek, subjek, dan wajib pajak BPHTB?
3. Apa saja syarat dalam mengurus BPHTB?
4. Bagaimana tarif, dasar pengenaan, dan cara menghitung BPHTB?
5. Bagaimana tata cara penetapan dan penagihan BPHTB?
6. Bagaimana restitusi dan imbalan bunga serta pembagian hasil penerimaan
BPHTB?

1.3 Tujuan

Dengan disusunnya makalah ini, penulis berharap pembaca dapat


mengetahui pengertian BPHTB, dasar hukumnya, subjek dan objek BPHTB,
syarat-syarat untuk mengurus BPHTB, tarif dan dasar pengenaannya, cara
menghitung, dan semua yang menyangkut dengan BPHTB. Serta tersusunnya
makalah ini betujuan untuk memenuhi Tugas Terstruktur 1 perkuliahan Hukum
Pajak Univeritas Brawijaya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Dasar Hukum BPHTB


Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB, diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu dengan UU No. 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Menurut UU
No. 21 Tahun 1997, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak
yang dikenakan atas perolehan hak katas tanah dan/atau bangunan. Dengan kata
lain, BPHTB merupakan Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pada
UU BPHTB juga disebutkan bahwa Perolehan Hak atas Tanah dan atau bangunan
adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak
atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Adapun Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah hak atas tanah,
termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud
dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU
No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya. Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tersebut menyebutkan
bahwa hak-hak atas tanah yang dimaksud ialah:
1. hak milik;
2. hak guna usaha;
3. hak guna bangunan;
4. hak pakai;
5. hak sewa;
6. hak membuka tanah;
7. hak memungut hasil hutan; dan
8. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.
Pada no. 8 di atas, hak-hak yang sifatnya sementara tersebut ialah hak
gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur

3
untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan
hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat.

2.2 Objek, Subjek, dan Wajib BPHTB


2.2.1 Objek BPHTB
Dalam Pasal 2 UU BPHTB, Objek pajak yang dikenakan BPHTB
adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan ha katas
tanah dan atau bangunan tersebut meliputi:
1. Pemindahan Hak, karena:
a. Jual Beli
b. Tukar Menukar
c. Hibah
d. Hibah Wasiat
e. Waris
f. Pemasukan dalam Perseroan/ Badan Hukum lainnya
g. Pemisah Hak yang mengakibatkan peralihan
h. Penunjukan pembeli dalam lelang
i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap
j. Penggabungan usaha
k. Peleburan usaha
l. Pemekaran usaha
m. Hadiah
2. Pembentukan Hak Baru karena:
a. Kelanjutan Pelepasan Hak
b. Diluar Pelepasan Hak
Sedangkan jenis-jenis hak atas tanah yang perolehan haknya
dikenakan BPHTB sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) UU BPHTB,
meliputi:

1. Hak Milik
2. Hak Guna Usaha
3. Hak Guna Bangunan

4
4. Hak Pakai
5. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
6. Hak Pengelolaan

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) terdapat beberapa objek


pajak yang tidak dikenakan BPHTB, yaitu:

1. Objek yang diperoleh perwakilan diplomatic, konsulat berdasar


azas perlakuan timbal balik
2. Objek yang diperoleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan
dan atau untuk pelaksanaan pemabngunan guna kepentingan umum
3. Objek yang diperoleh Badan/ Perwakilan organisasi internasional
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan
syarat tidak menjalankan usaha/kegiatan lain diluar fungsi dan
tugasnya
4. Objek yang diperoleh orang pribadi/ Badan karena KONVERSI
HAK atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya
perubahan nama
5. Objek yang diperoleh orang pribadi/ Badan karena WAKAF
6. Objek yang diperoleh orang pribadi/ Badan karena kepentingan
IBADAH.

Objek pajak yang diperoleh karena waris, hibah wasiat, dan


pemberian hak pengelolahan pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Dasar Pengenaan Pajak adalan Nilai Perolehan Objek Pajak
(NPOP). Nilai perolehan objek pajak (NPOP) meliputi:

1. Jual beli adalah harga transaksi


2. Tukar menukar adalah nilai pasar
3. hibah adalah nilai pasar
4. hibah wasiat adalah nilai pasar
5. Waris adalah nilai pasar
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai
pasar
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar

5
8. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar
9. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan
hak adalah nilai pasar
10. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai
pasar
11. Penggabungan usaha adalah nilai pasar
12. Peleburan usaha adalah nilai pasar
13. Pemekaran usaha adalah nilai pasar
14. Hadiah adalah nilai pasar
15. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang
tercantum dalam Risalah Lelang.

Sementara dalam ketentuan pasal 6 ayat (1) Undang-Undang


Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB disebutkan bahwa dasar
pengenaan pajak (bea) ialah Nilai Perolehan Objek Pajak (Nilai
Transaksi). Sementara pasal 6 ayat (3) mensyaratkan bahwa jika nilai
transaksi Objek Pajak lebih rendah dari nilai jual Objek Pajak, maka yang
menjadi dasar pengenaan pajak yang digunakan ialah nilai jual Objek
Pajak. 1 Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak tidak diketahui atau lebih
rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan
Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar
pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi
dan Bangunan.Sedangkan, apabila Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan belum ditetapkan, besarnya Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi
dan Bangunan ditetapkan oleh Menteri.

2.2.2 Subjek BPHTB


Yang menjadi subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan
yang memperoleh hak atas tanah atau

1 Eka Wijaya Silalahi. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas
Warisan, Apakah Warisan (Dalam Garis Keturunan Sedarah) Harus Dikenai BPHTB?. E-
journal Hukum & Pembangunan, 49 (4), 2019, hlm 885

6
bangunan. Subjek pajak BPHTB sesuai dengan ketentuan yang menjadi
wajib pajak BPHTB apabila dikenakan kewajiban membayar pajak. Pasal
5 UU BPHTB menyatakan bahwa tarif BPHTB merupakan tarif tunggal
sebesar 5 %.
2.2.3 Wajib Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan meliputi, pembayar


pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan. Pasal 5 UU BPHTB menyatakan bahwa tarif
BPHTB merupakan tarif tunggal sebesar 5 %. Penentuan tarif tunggal ini
dimaksudkan untuk kesederhanaan dan kemudahan perhitungan.
Pemungutan pajak BPHTB dilakukan dengan sistem pemajakan sendiri
(Self Assessment System). Wajib pajak BPHTB yang melakukan
penghitungan besarnya BPHTB tanggungan dan membayar secara pribadi
pada negara melalui kantor pos pada saat munculnya tanggungan BPHTB,
dan menginfokan sendiri perhitungan dan pembayaran BPHTB
tanggungan. Disamping itu, menginfokan mengenai penghitungan dan
pembayaran BPHTB tersebut dilakukan juga oleh Notaris/PPAT atau
kantor pertanahan kabupaten atau kota atau pejabat lelang. Adapun, dalam
rangka pembayaran BPHTB, direktur jendral pajak dapat menerbitkan:2

1. Surat BPHTB kurang bayar (SKBBPHTBKB)


2. Surat Ketetapan BPHTB kurang bayar tambahan (SKBPHTBKBT)
atau
3. Surat tagihan BPHTB

2 Anak Agung Triana Putri, dkk. Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah Dan Bangunan (BPHTB) di Kota Denpasar. E-journal Konstruksi Hukum, 2(3),
2021, hlm 452

7
2.3 Tarif, Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung BPHTB
2.3.1 Tarif BPHTB
Pasal 5 UU BPHTB menyatakan bahwa tarif BPHTB merupakan
tarif tunggal sebesar 5%. Penentuan tarif tunggal ini dimaksudkan untuk
kesederhanaan dan kemudahan perhitungan,
2.3.2 Dasar Pengenaan BPHTB
Dalam hal ini, yang menjadi dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai
Perolehan Objek Pajak atau disingkat NPOP sesuai ketentuan Pasal 6 UU
BPHTB. Berdasarkan jenis perolehan haknya, NPOP tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Jual Beli = Harga Transaksi
2. Tukar Menukar = Nilai Pasar
3. Hibah = Nilai Pasar
4. Hibah Wasiat = Nilai Pasar
5. Waris = Nilai Pasar
6. Pemasukan dalam Perseroan / Badan Hukum lainnya = Nilai Pasar
7. Pemisahan Hak = Nilai Pasar
8. Peralihan Hak karena Putusan Hakim = Nilai Pasar
9. Pemberian Hak Baru = Nilai Pasar
10. Penggabungan Usaha = Nilai Pasar
11. Peleburan Usaha = Nilai Pasar
12. Pemekaran Usaha = Nilai Pasar
13. Hadiah = Nilai Pasar
14. Lelang = yang tercantum dalam Risalah Lelang

Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (3), bila NPOP tidak diketahui atau
NPOP lebih rendah dari NJOP PBB maka yang menjadi dasar pengenaan
adalah NJOP PBB dan apabila NJOP PBB belum ditetapkan maka sesuai
dengan ketentuan Pasal 6 ayat (4) besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.

Selanjutnya di dalam Pasal 7, pemerintah menentukan suatu batas


nilai perolehan tidak kena pajak yang disebut Nilai Perolehan Objek Pajak

8
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Ketentuan Pasal 7 ini dijabarkan lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan yang terakhir adalah Peraturan
Pemerintah (PP) No. tentang Pen tuan Besarnya NPOPTKP.

PP No. 113 Tahun 2000 ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri


Keuangan (KMK) No. 516/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000
tentang Tata Cara Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB, yang telah
diubah beberapa kali dengan:

1. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 86/PMK 03/2006 tentang


Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor
516/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Penentuan Besarnya NPOPTKP
BPHTB,
2. PMK No. 33/PMK 03/2008 Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Penentuan
Besarnya NPOPTKP BPHTB;
3. PMK No. 14/PMK 03/2009 Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 516/KMK 04/2000 Tentang Tata Cara Penentuan
Besarnya NPOPTKP BPHTB. Peraturan ini berisikan ketentuan
sebagai berikut:
a. untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke
bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri,
ditetapkan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah);
b. untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan
Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan
Melalui KPR Bersubsidi sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
07/PERMEN/M/2008, dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana

9
diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan
Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan
Melalui KPR Sarusun Bersubsidi, ditetapkan sebesar
Rp55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah);
c. untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang
diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka Program
Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat Penjaminan
Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
d. untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud
pada huruf a huruf b, dan huruf e, ditetapkan paling banyak
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah);
e. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar
daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak
sebagaimana dimaksud pada huruf b ditetapkan sama dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan
pada huruf d;
f. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar
daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak
sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan sama dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan
pada huruf d. Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional,
maksudnya adalah NPOPTKP tersebut ditetapkan per daerah
tingkat II (Kabupaten/Kota) dengan mempertimbangkan usulan
dari Kepala Daerah yang bersangkutan.

10
2.3.3 Cara Menghitung BPHTB
Untuk menghitung besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Kena
Pajak (NPOPKP) adalah dengan cara mengurangkan NPOP dengan
NPOPTKP. Dengan demikian untuk menghitung besarnya BPHTB
terutang adalah BPHTB terutang-Tarif x NPOPKP atau 5% x (NPOP-
NPOPTKP)

2.4 Tata Cara Penetapan dan Penagihan BPHTB


Diatur dalam UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
2.4.1 Tata Cara Penetapan BPHTB

Penetapan pembayaran adalah ketentuan besaran yang harus


dibayarkan oleh wajib pajak kepada pemerintah apakah sudah sesuai
dengan yang terdapat dalam peraturan daerah. Tata cara penetapan
BPHTB diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12 sebagai berikut:

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 UU BPHTB, bahwa:

1. Bilamana dalam jangka watu 5 (lima) tahun berdasarkan hasil


pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang
terutang kurang dibayar, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar.
2. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Keputusan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan Kurang Bayar ditambah
dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar.

11
Contoh: Wajib Pajak memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal
29 Maret 1998.
Nilai perolehan Objek Pajak..............………………… Rp
110.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak......….. Rp
30.000.000,00(-)
------------------------
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak …………….. Rp
80.000.000,00
Pajak yang terutang = 5% x Rp 80.000.000,00 = Rp 4.000.000,00

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 30


Desember 1998, ternyata ditemukan data yang belum lengkap yang
menunjukkan bahwa Nila Perolehan Objek Pajak sebenarnya adalah
Rp160.000.000,00 maka Pajak yang seharusnya terutang adalah
sebagai berikut:

Nilai perolehan Objek Pajak.......…………………....... Rp


160.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak.....…... Rp
30.000.000,00(-) ----------------------------
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak…………....... Rp
130.000.000,00
Pajak yang seharusnya terutang =
5% x Rp 130.000.000,00 = Rp 6.500.000,00
Pajak yang telah dibayar ........……………………....Rp
4.000.000,00(-)
-----------------------------
Pajak yang kurang dibayar.................…………………. Rp.
2.500.000,00
Sanksi administrasi berupa bunga dari 29 Maret 1998 sampai
dengan 30 Desember 1998 =

12
10 x 2% x Rp2.500.000,00 = Rp 500.000,00
Jadi jumlah pajak yang harus dibayar sebesar
Rp 2.500.000,00 + Rp 500.000,00 = Rp 3.000.000,00

Disebutkan juga dalam Pasal 12 UU BPHTB bahwa:


1. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak,
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan
apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum
terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang
terutang setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.
2. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan
ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
(seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut, kecuali
Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan
pemeriksaan.
Contoh:
Pada tahun 2003, dari hasil pemeriksaan atau keterangan lain
diperoleh data baru bahwa nilai perolehan objek pajak sebesar Rp
200.000.000,00 maka pajak yang seharusnya terutang adalah
sebagai berikut:
Nilai perolehan Objek Pajak.............…………………....Rp.
200.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak.……....Rp.
30.000.000,00 (-)
-------------------------
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak............…….... Rp.
170.000.000,00
Pajak yang seharusnya terutang =
5% x Rp 130.000.000,00 = Rp. 8.500.000,00

13
Pajak yang telah dibayar ............………………….........Rp.
6.500.000,00 (-)
------------------
----------
Pajak yang kurang dibayar……………………….......... Rp.
2.000.000,00
Sanksi administrasi berupa kenaikan =
100% x 2.000.000,00 = Rp
2.000.000,00
Jadi jumlah pajak yang harus dibayar sebesar
Rp 2.000.000,00 + Rp 2.000.000,00 = Rp
4.000.000,00

SKBKB adalah surat kepurtusan yang menentukan besarnya jumlah


pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak terhadap wajib pajak
tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak
memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban material. Karena SKBKB
merupakan surat ketetapan pajak yang ditetapkan secara jabatan, terhadap
SKBKB dan surat ketetapan pajak lainnya dimungkinkan untuk diajukan
keberatan oleh Wajib Pajak.3
2.4.2 Tata Cara Penagihan BPHTB
Tata cara penagihan BPHTB diatur dalam Pasal 13, Pasal 14, dan
Pasal 15 UU BPHTB. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13 UU
BPHTB, Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
1. Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.
2. Jumlah pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar dalam Surat
Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditambah

3 Umaya, Any. Tesis : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB)
dalam Transaksi Jual Beli Tanah dan/atau Bangunan. ( Surabaya: Universitas Airlangga,
2008), hlm 83.

14
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan
untuk jangka waktu paling lama 24% (dua puluh empat) bulan
sejak saat terutangnya pajak.
3. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan
pajak.
Selain itu, dalam Pasal 14 UU BPHTB menyebutkan bahwa:
1. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Tagihan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,
merupakan sarana administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk
melakukan penagihan pajak.
2. Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah
pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka
waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh Wajib Pajak.
3. Tata cara penagihan pajak diatur dengan Keputusan Menteri

Disebutkan juga dalam Pasal 15 UU BPHTB bahwa, jumlah pajak


yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang tidak atau
kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.

15
Walaupun jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan
BPHTB Kurang Bayar, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
2% (dua persen), sebagai penarikan dengan surat paksa sudah diputuskan,
dan Wajib Pajak telah mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan BPHTB
Kurang Bayar, Wajib Pajak tetap harus membayar besarnya Kurang Bayar
BPHTB dimaksud. Jadi apapun yang terjadi BPHTB Kurang Bayar harus
dibayar secara lunas oleh wajib pajak.

2.5 Syarat-Syarat Mengurus BPHTB


Untuk jual beli, persyaratannya antara lain sebagai berikut:

1. SSPD BPHTB
2. Fotokopi SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan
3. Fotokopi KTP Wajib Pajak
4. Fotokopi STTS/ Struk ATM bukti pembayaran PBB untuk 5 tahun terakhir
(untuk tahun 2013 hanya 3 tahun terakhir yaitu tahun 2011, 2012, dan
2013)
5. Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah (Sertifikat, Akta Jual Beli, Letter C/
atau Girik)
Untuk hibah, waris, atau jual beli waris, persyaratannya sebagai berikut:
1. SSPD BPHTB
2. Fotokopi SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan (fungsinya untuk
mengecek kebenaran Data NJOP pada SSPD BPHTB
3. Fotokopi KTP Wajib Pajak
4. Fotokopi STTS/Struk ATM Bukti pembayaran PBB untuk 5 tahun
terakhir, untuk tahun 2013 hanya 3 tahun terakhir yaitu tahun 2011, 2012,
dan 2013 (fungsinya untuk mempermudah melakukan penagihan jika
masih ada piutang PBB, karena biasanya pembeli tidak mau ditagih
pajaknya sebelum tahun dialihkan)
5. Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah (Sertifikat, Akta Jual Beli, Letter C/
atau Girik) Yang fungsinya untuk mengecek ukuran luas tanah, luas
bangunan, tempat/ lokasi tanah dan atau bangunan, dan diketahui status
tanah yang akan dialihkan

16
6. Fotokopi Surat Keterangan Waris atau Akta Hibah (fungsinya dibutuhkan
untuk memberikan pengurangan pada setiap transaksi)
7. Fotokopi Kartu Keluarga

2.6 Restitusi dan Pembagian Hasil Penerimaan BPHTB


2.6.1 Restitusi BPHTB

Restitusi adalah pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB


sebagaimana diatur dalam Pasal 21dan Pasal 22 UU No. 21 Tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunanyang dapat dirinci sebagai berikut :
1. Sebab - sebab Restitusi
a. Pajak dibayar > pajak terutang yang disebabkan oleh
1) Permohonan pengurangan dikabulkan;
2) Permohonan keberatan dikabulkan;
3) Permohonan banding dikabulkan;
4) Perobahan peraturan.
b. Pajak dibayar tidak seharusnya terutang.
2. Tata cara pengajuan restitusi dan imbalan bunga yaitu sebagai berikut:
a. Permohonan restitusi diajukan oleh WP dalam bahasa Indonesia
dengan alasan dan dilampir:
1) Asli Surat Setoran Bea (SSB);
2) Fotokopi SK Keberatan/Banding/Pengurangan;
3) Fotokopi Akta/Risalah Lelang/Keputusan Hak Baru/Putusan
Hakim;
4) Fotokopi identitas Wajib Pajak.
b. Yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat
permohonan
dan tidak dipertimbangkan;
c. Berdasarkan pemeriksaan atas permohonan, KPPBB/KPP Pratama
menerbitkan

17
1) SKBLB apabila jumlah pajak yang telah dibayar oleh WP
ternyata lebih besar dari jumlah pajak yang terutang;
2) SKBN apabila jumlah pajak yang dibayar oleh WP sama
besarnya dengan jumlah pajak yang terutang;
3) SKBKB apabila jumlah pajak yang telah dibayar oleh WP lebih
kecil dari jumlah pajak terutang.
c. Keputusan dalam waktu 12 bulan sejak terima permohonan apabila
waktu 12 bulan tersebut terlampaui, maka permohonan tersebut
dianggap diterima dan paling lambat 1 bulan setelah 12 bulan harus
terbit SKBLB dan apabila penerbitan SKBLB lewat waktu maka
WP mendapat bunga 2% per bulan dihitung sejak lewat waktu
sampai dengan terbit SKBLB;
d. Berdasarkan SKBLB harus diterbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Kelebihan Pembayaran BPHTB (SKPKPB) yang
dikirim ke : WP, BO, KPKN dan Kanwil DJP;
Dalam waktu 2 bulan setelah SKBLB harus diterbitkan Surat
Perintah Membayar Kelebihan Pembayaran BPHTB (SPMKPB),
lewat dari waktu yang ditentukan tersebut WP dapat bunga 2% per
bulan; dan
e. Atas imbalan bunga diterbitkan Surat Ketetapan Imbalan Bunga
(SKIB) dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga (SPMIB).
2.6.2 Pembagian Hasil Penerimaan PHTB

Pembagian hasil penerimaan BPHTB diatur dalam Pasal 23 UU


BPHTB dan pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri
Keuangan No. 519/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 sebagai
berikut:

1. Pemerintah Pusat mendapat bagian se besar 20% dari seluruh


penerimaan BPHTB yang kemudian bagian Pemerintah Pusat ini
dibagikan secara merata keseluruh daerah Kabupaten/Kota dan
dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu bulan April, bulan Agustus, dan
bulan Nopember tahun anggaran berjalan;

18
2. Pemerintah Daerah mendapat bagian sebesar 80% yang dibagi sebagai
berikut:
a. 16% untuk Daerah Propinsi; dan
b. 64% untuk Daerah Kabupaten/Kota.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 04/PMK.07/2008


tanggal 28 Januari 2008 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban
Anggaran Transfer ke Daerah, atas transfer Dana Bagi Hasil BPHTB
untuk daerah Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan selaku Kuasa
Pengguna Anggaran melimpahkan sebagian kewenangan perintah
pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas
Umum Daerah kepada Kuasa Bendahara Umum Negara. Pelimpahan
kewenangan ini dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah
Menerbitkan Surat Kuasa Umum (SPMSKU). Berdasarkan SPMSKU ini
maka Kuasa Bendahara Umum Negara menerbitkan Surat Kuasa Umum
(SKU) kepada Bank Operasional III untuk melakukan pemindahbukuan
Dana Bagi Hasil BPHTB dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening
Kas Umum Daerah. Penyaluran Dana Bagi Hasil BPHTB ini berdasarkan
realisasi penerimaan BPHTB tahun anggaran berjalan dan dilaksanakan
secara mingguan.

Dalam rangka penyaluran transfer ke daerah, setiap tahun anggaran


selambat - lambatnya pada minggu pertama bulan Desember sebelum
tahun anggaran dimulai, pemerintah daerah wajib menyampaikan nomor
rekening, nama rekening dan nama bank kepada Direktur Jenderal
Perimbangan Keuangan yang dilampiri dengan:

1. Asli rekening koran dari Rekening Kas Umum Daerah; dan


2. Fotokopi keputusan kepala daerah mengenai penunjukan/penetapan
pejabat Bendahara Umum Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah
yang disahkan oleh kepala daerah.

19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB, diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu dengan UU No. 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Menurut UU
No. 21 Tahun 1997, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak
yang dikenakan atas perolehan hak katas tanah dan/atau bangunan. Dengan kata
lain, BPHTB merupakan Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Adapun Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah hak atas tanah,
termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud
dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU
No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya. Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tersebut menyebutkan
bahwa hak-hak atas tanah yang dimaksud ialah: hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil
hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang
akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.
Dalam perolehan ini terdapat subjek, objek dan wajib BPHTB, Tarif, Dasar
Pengenaan dan Cara Menghitung BPHTB, Tata Cara Penetapan dan Penagihan
BPHTB, Syarat-Syarat Mengurus BPHTB, Restitusi dan Pembagian Hasil
Penerimaan BPHTB. Hal ini menjadi pembahasan dalam makalah ini untuk
melengkapi materi tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

Anak Agung Triana Putri, dkk. (2021). Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) di Kota Denpasar. E-journal
Konstruksi Hukum, 2(3).

Silalahi, E. W. (2019). Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
atas Warisan, Apakah Warisan (Dalam Garis Keturunan Sedarah) Harus
Dikenai BPHTB? E-journal Hukum & Pembangunan.

Umaya, A. (2008). Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB)
dalam Transaksi Jual Beli Tanah dan/atau Bangunan. Universitas
Airlangga.

Undang-Undang

Indonesia. (1997). Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1997 tentang Pelaporan


atau Pemberitahuan Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan.
Jakarta.

Indonesia. (1997). Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1997 tentang Pengenaan


Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Hibah Wasiat.
Jakarta.

Indonesia. (1997). Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1997 tentang Pengenaan


Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Pemberian Hak
Pengelolaan. Jakarta.

Indonesia. (2000). Peraturan Pemerintah No. 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Waris dan Hibah
Wasiat. Jakarta.

21
Indonesia. (2000). Peraturan Pemerintah No. 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Pemberian Hak
Pengelolaan. Jakarta.

Indonesia. (2000). Peraturan Pemerintah No. 113 Tahun 2000 tentang Penentuan
Besarnya NPOPTKP BPHTB. Jakarta.

Indonesia. (2000). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000


Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. Lembaran Negara RI .

Indonesia. (2009). Undang-Undang No. 41 Tahun 2008 tentang APBN Tahun


2009, sebagaimana telah diubah dengan Undnag-Undang No. 26 Tahun
2009 tentang Perubahan Atas APBN Tahun 2009. Jakarta.

Indonesia. (1997). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan


Hak Atas Tanah dan Bangunan. Lembaran Negara RI Tahun 1997.
Sekretariat Negara. Jakarta.

RI, M. (2000). Keputusan Menteri Keuangan No. 519/KMK.04/2000 tentang


Pembagian Hasil Penerimaan BPHTB.

RI, M. (2006). Peraturan Menteri Keuangan No. 91/PMK.03/2006 tentang


Perubahan Kedua atas KMK No. 561/KMK.04/2004 Tentang Pemberian
Pengurangan BPHTB.

RI, M. (2007). Peraturan Menteri Keuangan No. 168/PMK.03/2007 tentang


Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan No. 517/KMK.04/2000
tentang Penunjukan Tempat dan Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan.

RI, M. (2008). Peraturan Menteri Keuangan No. 04/PMK.07/2008 tentang


Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.

RI, M. (2009). Peraturan Menteri Keuangan No. 14/PMK.03/2009 Perubahan


Ketiga Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000
Tentang Tata Cara Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB.

22
23

Anda mungkin juga menyukai