Anda di halaman 1dari 18

TUGAS INDIVIDU :

MATA KULIAH HAK ASASI MANUSIA

Mekanisme Pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terhadap
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (Studi Kasus di Kabupaten Sidoarjo)

Disusun oleh :

Hermadi Listiawan NIM 228221005

Dosen Pembimbing :

DR. Radian Salman, S.H., LL.M.

PROGRAM STUDI SAINS HUKUM DAN PEMBANGUNAN


SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS AIRLANGGA
2022

0
BAB I : PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak disahkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang


Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka dimulailah babak
baru penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yakni era Otonomi Daerah, dimana
Pemerintah Pusat menyerahkan Sebagian urusan pemeritahan kepada daerah,
berdasarkan asas Otonomi Daerah. Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah
Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan1. Sementara Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu,berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia2. Dengan adanya otonomi daerah
diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, dan
mempercepat pembangunan daerah. Otonomi daerah ini memberikan keleluasaan
kepada daerah untuk dapat membangun daerahnya sesuai dengan kearifan lokal daerah,
karena pada dasarnya daerah jauh lebih memahami segala yang dibutuhkan oleh
daerahnya masing-masing.
Pelaksanaan Otonomi Daerah perlu didukung dengan Kemandirian Fiskal
Daerah. Indeks kemandirian Fiskal Daerah berguna untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan suatu daerah dalam membiayai belanja daerah tanpa tergantung kepada
pendapatan transfer. Awalnya, pelaksanaan otonomi daerah ditujukan untuk
menciptakan aspek kemandirian daerah. Sebagai konsekuensinya, daerah kemudian
menerima pelimpahan kewenangan di segala bidang, kecuali kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal, serta
keagamaan. Pelimpahan kewenangan tersebut juga diikuti dengan penyerahan sumber-
sumber pendanaan berupa basis basis perpajakan, maupun bantuan pendanaan melalui
mekanisme transfer kedaerah (desentralisasi fiskal). Dalam rangka meningkatkan
kemandirian fiskal daerah, khususnya dari sisi perpajakan daerah, maka disahkan
Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

1 Pasal 1 huruf h, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
2 Pasal 1 huruf i, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

1
Dalam Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah tersebut, salah satu kebijakan yang ditetapkan Pemerintah untung
meningkatkan kemandirian fiskal daerah adalah dengan pengalihan Pengelolaan Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Kabupaten/Kota,
serta Pajak Air Tanah dari Pemerintah Propinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pemberlakuan Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah dengan menggantikan Undang Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang
Nomor 34 Tahun 2000, telah memberikan peluang kepada daerah Kabupaten/Kota untuk
memperluas basis pajak daerah, sehingga diharapkan mampu untuk meningkatkan
kemandirian fiskal daerah melalui peningkatan Pendapatan Asli Daerah dari sektor Pajak
dan Retribusi Daerah.
Desentralisasi fiskal, khususnya dalam pengelolaan perpajakan daerah hasil
pelimpahan dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten/kota (PBB P2 dan
BPHTB), disatu sisi memberikan peluang peningkatan penerimaan Pendapatan Asli
Daerah karena potensi yang meningkat, disisi yang lain, kepiawaian daerah untuk
Menyusun kebijakan-kebijakan daerah yang tepat mutlak diperlukan untuk mengatasi
tantangan dalam pemungutan PBB P2 dan BPHTB hasil pelimpahan tersebut.
Pengertian Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya
disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan 3. Hak
atas tanah dan atau bangunan dimaksud adalah hak atas tanah, termasuk Hak
Pengelolaan, termasuk bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA),
Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku. Hal ini berarti BPHTB hanya boleh dikenakan
atas perolehan hak yang diatur dalam UUPA, Undang-Undang Rumah Susun, dan Hak
Pengelolaan. Perolehan hak-hak atas tanah lain yang berkembang di masyarakat adat
tetapi tidak diakui oleh UUPA tidak boleh dikenakan BPHTB 4.
BPHTB ini lebih dikenal oleh masyarakat sebagai Pajak Jual Beli, sekalipun
obyek BPHTB itu sendiri tidak hanya pada transaksi jual beli semata. Hal ini dapat
dimaklumi mengingat pada umumnya BPHTB ini dikenakan atas transaksi Jual Beli atas
tanah dan Bangunan. Oleh karena itu BPHTB ini kerap kali beriringan dengan pengenaan
PPH final, dimana BPHTB sebagai pajak pembeli dan PPH final sebagai pajak penjual.

3 Pasal 1 angka 37, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
4 Marihot P. Siahaan, , Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan, Teori dan Praktek, Edisi Revisi, Jakarta, PT. RajaGrafindo
Persada, 2003

2
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan 5. Sedangkan Obyek BPHTB adalah Perolehan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, yang meliputi:
a. pemindahan hak karena:
1. jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha; atau
13. hadiah; dan
b. pemberian hak baru karena:
1. kelanjutan pelepasan hak; atau
2. di luar pelepasan hak.
Dengan yang dikecualikan dari Obyek BPHTB antara lain :
a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama;
e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. 6

5 Pasal 45 ayat 1, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
6 Pasal 85 ayat 1, 2, dan 4, Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

3
Dalam pelaksanaan pemungutan pajak daerah, terdapat beberapa
permasalahan yang kemudian masyarakat merasa pemerintah tidak berpihak,
khususnya kepada Masyarakat yang Berpenghasilan Rendah. Salah satu contohnya
adalah terhadap pengenaan BPHTB terhadap pembelian rumah baru. Di dalam Undang
Undang Nomor 28 tahun 2009, perolehan rumah baru bagi Masyarakat Berpenghasilan
Rendah tidak dikecualikan dari obyek BPHTB, akibatnya MBR akan merasa
“dibebani” biaya tambahan untuk perolehan rumah pertama mereka berupa BPHTB
sebesar 5% dari Harga Rumah yang dibeli setelah dikurangi Nilai Perolehan Obyek
Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebesar 60juta.

Sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Dasar 1945, terkait hak


untuk bertempat tinggal pada dasar nya adalah Hak Asasi Manusia dan telah disebutkan
dua kali yakni Pasal 28 E ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak Kembali.” Dan Pasal 28 H ayat (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan” 7. Kebutuhan bertempat tinggal yang
layak juga diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia pada pasal 40 yang berbunyi “setiap orang berhak untuk bertempat
tinggal serta berkehidupan yang layak”8 .

Pemenuhan Kebutuhan atas tempat tinggal yang layak juga telah disepakati
menjadi Tujuan ke 11 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) / Sustainable
Development Goals (SDGs), “Menjadikan Kota dan Permukiman Inklusif, Aman,
Tangguh, dan Berkelanjutan. Dengan target Pada Tahun 2030 menjamin akses bagi
semua terhadap perumahan yang layak, aman, terjangkau, dan pelayanan dasar, serta
menata Kawasan kumuh” 9. Mengingat kebutuhan bertempat tinggal merupakan salah
satu hak mendasar yang telah diatur oleh Dasar Negara Indonesia, sudah sepatutnya
Pemerintah Daerah memberikan insentif bahkan pembebasan atas BPHTB terhadap
pembelian rumah baru, khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah, sepanjang
untuk kebutuhan tempat tinggal bukan untuk kebutuhan sekunder.

7 Pasal 28E dan 28H Undang Undang Dasar 1945


8 Pasal 40 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
9 Unsur unsur kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Lembaga terkait, filantropi dan pelaku usaha, akademisi dan ormas, “Ringkasan Metadata
Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals Indonesia”, Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas : 2017

4
Menindaklanjuti hal tersebut pemerintah Kembali mengeluarkan regulasi baru
yakni Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Terdapat dua kebijakan
baru dalam Undang Undang HKPD yang merupakan tambahan dari Undang Undang
sebelumnya yakni Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (UU PDRD) yakni terkait Perolehan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan yang dikecualikan, yakni untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah,
penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik
negara atau barang milik Daerah; dan untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 10.
Dengan adanya kebijakan baru tentang pengecualian obyek BPHTB dalam
Undang Undang HKPD ini, tentunya akan berdampak terhadap penerimaan BPHTB
Kabupaten/Kota kedepannya. Untuk menyikapi hal ini Pemerintah Kabupaten/Kota
harus memiliki Langkah terobosan baru agar disatu sisi Masyarakat Berpenghasilan
Rendah tetap terjaga hak untuk bertempat tinggal yang layak sesuai dengan yang
diamanatkan dalam Undang Undang Dasar 1945, namun disisi lain penerimaan Daerah
melalui BPHTB tidak terkoreksi jauh sehingga kemandirian fiskal daerah tetap terjaga
tidak justru malah menurun.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kriteria Masyarakat Berpenghasilan Rendah?
2. Bagaimana Mekanisme pembebasan BPHTB untuk Masyarakat
Berpenghasilan Rendah?

10 Pasal 44 ayat (6) Undang Undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah

5
BAB II : PEMBAHASAN

A. Kriteria Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Mengingat rumah merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia setelah


sandang dan pangan, sehingga rumah menjadi sangat penting untuk diupayakan
pemenuhannya. Semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka kebutuhan akan
rumah tempat tinggal akan semakin besar. Oleh karena itu diperlukan pengaturan
tentang wilayah permukiman oleh pemerintah agar kebutuhan akan rumah tempat
tinggal ini dapat terjamin.
Kebutuhan tempat tinggal yang tidak ditata dengan baik cenderung akan
menimbulkan kesemrawutan penataan suatu wilayah pemukiman. Sampai dengan
saat ini pembangunan perumahan rakyat belum sepenuhnya berpihak kepada
masyarakat yang memiliki penghasilan menengah kebawah, khususnya kepada
masyarakat berpenghasilan rendah, sementara itu kelembagaan yang membidangi
perumahan dan permukiman masih belum kuat. Penyediaan rumah subsidi bagi
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) juga harus didukung oleh swasta yakni
para pengembang perumahan, agar ketersediaan rumah murah bagi masyarakat
berpenghasilan rendah dapat terpenuhi.
Berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan perumahan rakyat yang
menimbulkan biaya tinggi perlu ditangani dengan serius agar hak untuk
memperoleh tempat tinggal sebagaimana dijanjikan dalam UUD 1945 dapat tercapai
khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Menurut Undang Undang
Nomor 1 Tahun 2011, pasal 1 angka 24 Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)
adalah adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu
mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah 11.
Banyaknya kebutuhan rumah di Indonesia, terutama pada masyarakat
perkotaan, dengan populasi penduduknya yang besar, memerlukan upaya
pemerintah untuk menangani berbagai permasalahan perumahan ditengah berbagai
12
kendala seperti semakin terbatasnya lahan untuk perumahan . Dengan semakin
terbatasnya lahan mengakibatkan harga tanah untuk pembangunan perumahan
menjadi semakin mahal, sehingga harga rumah pun akan semakin tinggi. Dengan
semakin tingginya harga rumah akan membuat semakin tidak terjangkau bagi
Masyarakat Berpenghasilan Rendah, sementara itu daya Tarik Kawasan perkotaan
sangat menarik bagi Masyarakat berpenghasilan rendah sebagai tempat mencari
nafkah.
11 Pasal 1 angka 24 Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
12 Koko Hernawan, Jual Beli Perumahan dengan Klausul Eksonerasi, Surabaya : Perpustakaan UPN Surabaya, 2011

6
Dalam mendukung pemenuhan hak tempat tinggal khususnya bagi masyarakat
berpenghasilan rendah, pemerintah mencoba untuk hadir melalui Peraturan Menteri PUPR
Nomor 1 Tahun 2021 tentang Kriteria Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Persyaratan
Kemudahan Pembangunan dan Perolehan Rumah dan Keputusan Menteri PUPR Nomor
411/KPTS/M/2021 tentang Besaran Penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan
Batasan Luas Lantai Rumah Umum dan Rumah Swadaya.
Adapun kriteria Masyarakat Berpenghasilan Rendah menurut Peraturan Menteri
PUPR Nomor 1 Tahun 2021 dan Keputusan Menteri PUPR Nomor 411/KPTS/M/2021
adalah memiliki besaran penghasilan tertentu dengan ketentuan antara lain:
1. Penghasilan orang perseorangan yang tidak kawin, merupakan seluruh
pendapatan bersih yang bersumber dari gaji, upah, dan/atau hasil usaha sendiri.
2. Penghasilan orang perseorangan yang kawin yang merupakan seluruh
pendapatan bersih yang bersumber dari gaji, upah, dan/atau hasil usaha gabungan
suami istri 13.
3. Besaran penghasilan diatur dalam tabel sebagai berikut 14:

Penghasilan per bulan paling banyak (Rp)


Wilayah Umum Satu orang untuk
Tidak kawin kawin peserta tapera
Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi,
Kepulauan Bangka
Belitung, Kepulauan
Riau, Maluku, Maluku
6.000.000 8.000.000 8.000.000
Utara, Bali, Nusa
Tenggara Timur, Nusa
Tenggara Barat
Papua dan Papua Barat7.500.000 10.000.000 10.000.000
Sumber : Kepmen PUPR Nomor 411/KPTS/M/2021

Dengan demikian, penghasilan dimaksud merupakan pendapatan yang


dihasilkan oleh seorang yang belum kawin maupun yang sudah kawin, baik pendapatan
perorangan maupun suami istri yang didapat tidak hanya dari sisi gaji semata, namun
juga pendapatan yang berasal diluar gaji pokok. Penghasilan ini sulit diukur atau
dilakukan pemeriksaan, karena penghasilan diluar gaji pada umumnya tidak bisa
ditentukan dengan pasti pada setiap bulannya. Pendapatan tambahan diluar gaji ini pada
umumnya diperoleh dari perkiraan dari orang yang mengajukan kemudahan
pembiayaan sebagai MBR

13 Pasal 2 ayat (4) dan (5) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 1 Tahun 2021 tentang Kriteria
Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Persyaratan Kemudahan Pembangunan dan Perolehan Rumah
14 Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 411/KPTS/M/2021 tentang Besaran Penghasilan Masyarakat
Berpenghasilan Rendah dan Batasan Luas Lantai Rumah Umum dan Rumah Swadaya

7
Untuk dapat dikelompokkan sebagai MBR, syarat yang harus dipenuhi yaitu:
1. Warga Negara Indonesia (WNI);
2. Tercatat sebagai penduduk di satu daerah kabupaten/kota;
3. belum pernah menerima subsidi atau bantuan pembiayaan perumahan dari
pemerintah terkait kredit/pembiayaan kepemilikan rumah, dan
kredit/pembiayaan pembangunan rumah swadaya;
4. orang perseorangan yang berstatus tidak kawin atau pasangan suami istri 15;
5. tidak memiliki rumah; dan
6. memiliki penghasilan yang tidak melebihi batasan penghasilan yang ditentukan.
Bentuk kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan yang diberikan oleh
pemerintah kepada MBR antara lain :
1. Dana Murah jangka Panjang berupa Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan
(FLPP)
2. Subsidi pembiayaan perumahan berupa Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM)
3. Bantuan pemerintah 16.

Dengan berbagai regulasi terkait kemudahan dalam perolehan rumah bagi


masyarakat berpenghasilan rendah ini diharapkan dapat meringankan Masyarakat
Berpenghasilan Rendah untuk mendapatkan rumah tempat tinggal sebagaimana dijanjikan
dalam UUD 1945. Namun, pada Peraturan Perundangan yang lain, masih ada beban yang
masih harus disiapkan oleh MBR untuk mendapatkan rumah yang diidamkan, yakni Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 5% dari harga rumah yang diperoleh
setelah dikurangi Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebesar
60juta berdasarkan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
Untuk menjamin terlaksananya amanat Pasal 28 UUD 1945 terkait dengan hak
untuk mendapatkan tempat tinggal, dan dalam rangka mewujudkan Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan ke 11, Menjadikan Kota dan Permukiman Inklusif, Aman, Tangguh, dan
Berkelanjutan. Dengan target Pada Tahun 2030 menjamin akses bagi semua terhadap
perumahan yang layak, aman, terjangkau, dan pelayanan dasar, serta menata
Kawasan kumuh 17. Pemerintah menerbitkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022
tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
(HKPD) yang didalamnya mengatur bahwa perolehan ha katas tanah dan bangunan
untuk MBR sesuai ketentuan perundangan dikecualikan dalam Obyek BPHTB
15 Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 35 Tahun 2021 tentang Kemudahan dan Bantuan
Pembiayaan Perumahan Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
16 Pasal 2 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 35 Tahun 2021 tentang Kemudahan dan Bantuan Pembiayaan
Perumahan Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
17 Unsur unsur kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Lembaga terkait, filantropi dan pelaku usaha, akademisi dan ormas, “Ringkasan
Metadata Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals Indonesia”, Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Bappenas : 2017

8
B. Mekanisme Pembebasan BPHTB untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Peralihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah berdasarkan Undang Undang nomor 28 tahun
2009 memberikan peluang kepada daerah untuk lebih meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). BPHTB memiliki potensi yang besar bagi penerimaan Pajak Daerah yang
merupakan salah satu komponen PAD, karena pertumbuhan Industri dan Perumahan
berpotensi terhadap naiknya Nilai Jual Atas Tanah yang merupakan komponen perhitungan
dari BPHTB
Hal ini kemudian oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo segera ditindaklanjuti
dengan menerbitkan .Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan yang diundangkan mulai 31 Desember 2010. Dengan
Peraturan Daerah tersebut dimulailah babak baru pemungutan BPHTB sebagai
perwujudan kebijakan Desentralisasi Fiskal di Bidang perpajakan di Kabupaten Sidoarjo.
Pemberlakuan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
dilatarbelakangi pemikiran bahwa tanah dan bangunan sebagai bagian dari sumber
daya alam memiliki fungsi sosial, disamping memiliki kebutuhan dasar untuk papan
dan lahan usaha, juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu,
bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan adalah wajar
menyerahkan Sebagian dari nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui
pembayaran pajak, yaitu BPHTB. BPHTB memenuhi syarat diberlakukan karena
mempunyai sumber yang stabil dan potensial, memenuhi kriteria perpajakan, pernah
dipungut, mempunyai dampak distorsi minimal, serta sekaligus dapat mengurangi
Hasrat penguasaan tanah dengan tujuan spekulasi oleh masyarakat.
Bambang Tri Cahyono mengemukakan bahwa perkembangan Kapitalisme
mendorong perubahan fungsi tanah, yaitu fungsi sebagai salah satu faktor produksi
utama menjadi sarana investasi. Bagi banyak investor, pemilikan atau penguasaan
tanah merupakan investasi yang sangat menguntugkan. Dalam jangka Panjang
investasi seperti ini menjanjikan keamanan, kepastian pendapatan, nilai tinggi, dan
umumnya terhindar dari inflasi 18.
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP), yaitu
nilai transaksi dan nilai pasar, namun pada prakteknya masih menggunakan NJOP PBB P2
yang notabene masih jauh dari nilai pasar sesungguhnya. NJOP PBB P2 tidak sepenuhnya
dapat dijadikan dasar untuk perhitungan BPHTB karena penetapan NJOP itu sendiri penuh
dengan kearifan lokal, sehingga NJOP itu sendiri dirasa sulit untuk mengejar nilai Pasar
yang sebenarnya.
18 Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar Grafika, cetakan keempat, 2010.

9
Pemberian kewenangan pengelolaan BPHTB kepada Kabupaten/Kota
memberikan peluang bagi daerah untuk menetapkan besarnya BPHTB yang sesuai dengan
Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP) dalam pengertian yang sesungguhnya, yaitu harga
transaksi atau harga pasar, tidak hanya mengacu pada NJOP yang tercantum dalam Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB P2. Namun sayangnya, Peralihan pemungutan
PBB P2 dan BPHTB pada tahun 2010 tidak dibarengi dengan peralihan Sumber Daya
Manusia Penilai PBB P2 dari Pemerintah Pusat. Hal ini menyebabkan penilaian NJOP PBB
P2 maupun peremajaan data PBB P2 di Kabupaten Sidoarjo bergerak lambat, tidak
sebanding dengan pertumbuhan property di Kabupaten Sidoarjo sebagai penyangga Kota
Surabaya yang begitu cepat.
BPHTB merupakan salah satu jenis penerimaan pajak daerah yang sangat
potensial. Penerimaan BPHTB di Kabupaten Sidoarjo bahkan menjadi penerimaan
tertinggi dari sektor pajak daerah, yakni sebesar Rp. 380.975.070.172,- dengan
jumlah transaksi selama tahun 2022 sampai dengan 25 November 2022 sebanyak
18.940 transaksi, mengalahkan penerimaan Pajak Penerangan Jalan yang selama
bertahun-tahun menjadi penerimaan tertinggi sektor pajak daerah yakni Rp.
304.188.756.451,- per tanggal 25 November 2022. Adapun realisasi penerimaan
BPHTB sejak dilimpahkan dapat dilihat pada tabel berikut :

Realisasi Penerimaan BPHTB di Kabupaten Sidoarjo dibandingkan dengan


penerimaan PAD Tahun 2011 s/d 2020
Th BPHTB % thd PAD PAD
2011 91.429.345.870 18,88 484.313.737.307
2012 99.138.455.803 14,81 669.617.556.904
2013 155.400.719.381 18,10 858.433.670.217
2014 181.411.980.178 16,27 1.115.332.938.500
2015 220.217.563.615 17,38 1.266.786.627.409
2016 227.233.055.238 17,02 1.335.283.958.792
2017 337.602.489.875 20,19 1.671.806.819.696
2018 307.416.332.941 19,82 1.551.389.057.203
2019 334.002.890.576 19,76 1.689.953.213.263
2020 282.529.546.294 15,71 1.798.515.529.274
2021 350.854.606.523 18,26 1.921.244.253.335

Sumber : Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Sidoarjo

Seiring berjalannya waktu, dalam perkembangan pemungutan BPHTB muncul


regulasi baru yakni Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Dalam Undang Undang HKPD
tersebut, Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan bagi Masyarakat Berpenghasilan
Rendah menjadi salah satu yang dikecualikan dari Obyek BPHTB. Hal ini merupakan
bentuk dukungan kepada salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan Tujuan ke 11,

10
Menjadikan Kota dan Permukiman Inklusif, Aman, Tangguh, dan Berkelanjutan. Dengan
target Pada Tahun 2030 menjamin akses bagi semua terhadap perumahan yang
layak, aman, terjangkau, dan pelayanan dasar, serta menata Kawasan kumuh.
Pemerintah Daerah semestinya hadir dalam mendukung program bantuan
rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah ini, salah satunya adalah
dengan kebijakan pembebasan BPHTB bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah.
Namun program pembebasan BPHTB ini harus dihitung lebih cermat dan
dipersiapkan lebih awal agar dalam pelaksanaannya nanti tidak sampai mengganggu
penerimaan BPHTB yang selama ini menjadi primadona dalam mendukung
program-program pembangunan di Kabupaten Sidoarjo.
Kecenderungan Masyarakat Wajib Pajak untuk memperoleh pengenaan
BPHTB yang serendah-rendahnya, menjadikan informasi atas Harga Transaksi Jual
Beli Rumah yang menjadi menjadi Dasar Pengenaan Pajak BPHTB menjadi sulit
didapat. Sehingga Pemerintah Kabupaten/Kota harus cermat dalam menentukan
apakah Calon Wajib Pajak BPHTB ini betul betul Masyarakat Berpenghasilan
Rendah yang berhak untuk mendapatkan pembebasan BPHTB atau bukan melalui
mekanisme yang lain.
Nilai penghasilan yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri PUPR Nomor
411/KPTS/M/2021 tentang Besaran Penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah
dan Batasan Luas Lantai Rumah Umum dan Rumah Swadaya, yakni untuk Kabupaten
Sidoarjo yang masuk wilayah Jawa, bagi Penduduk tidak kawin maksimal Rp.
6.000.000,- /bulan, Penduduk yang sudah kawin maksimal Rp. 8.000.000,- /bulan dan
satu orang peserta Tapera sebesar Rp. 8.000.000,-19 dengan ketentuan penghasilan
merupakan merupakan seluruh pendapatan bersih yang bersumber dari gaji, upah,
dan/atau hasil usaha sendiri atau penghasilan gabungan suami istri20.
Bagi wajib pajak BPHTB yang cenderung melaporkan nilai transaksi yang
dibawah nilai transaksi yang seharusnya, batasan penghasilan yang ditetapkan oleh
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ini akan justru menjadi peluang
mereka untuk berbuat curang dalam mendapatkan nilai BPHTB yang serendah-
rendahnya. Hal ini karena nilai penghasilan, apalagi diluar gaji, merupakan nilai
yang cenderung fluktuatif dan sulit untuk dipastikan. Sehingga apabila tidak
dilakukan pemeriksaan khusus, maka nilai penghasilan ini akan sulit untuk
diketahui, sementara jumlah permohonan BPHTB di Kabupaten Sidoarjo sangat
tinggi, dan akan berpeluang menghambat pelayanan BPHTB.
19 Diktum kesatu Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 411/KPTS/M/2021 tentang Besaran
Penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Batasan Luas Lantai Rumah Umum dan Rumah Swadaya.
20 Pasal 2 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 1 Tahun 2021 tentang Kriteria Masyarakat
Berpenghasilan Rendah dan Persyaratan Kemudahan Pembangunan dan Perolehan Rumah

11
Namun demikian, amanat UUD 1945 dan Undang Undang HKPD mau
tidak mau harus dijalankan. Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk
dapat menentukan apakah Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang mengajukan
pembebasan BPHTB ini sesuai dengan yang ditentukan oleh Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat atau tidak, antara lain :
1. Menghitung berapa harga rumah maksimal yang dapat dibeli oleh MBR
Dalam pengajuan pinjaman, pihak analis Bank akan menganalisa
berapa penghasilan dari debitur, termasuk dalam pengajuan Kredit Pemilikan
Rumah (KPR), dengan menentukan bahwa nilai angsuran maksimal adalah
30% dari penghasilan debitur. Jika penghasilan maksimal MBR yang
ditentukan adalah Rp. 6.000.000,- / bulan bagi yang tidak kawin dan Rp.
8.000.000,- / bulan bagi yang kawin maupun peserta Tapera. Artinya, besaran
angsuran maksimal bagi MBR yang tidak kawin adalah Rp. 1.800.000,-/bulan
dan bagi yang kawin atau peserta Tapera adalah Rp. 2.400.000,-/bulan.
Dengan semakin tingginya harga rumah, untuk menyesuaikan besaran
angsuran KPR per bulan dengan penghasilannya, maka MBR akan cenderung
mengambil tenor cicilan yang paling lama. Dengan asumsi bunga KPR yang
ditetapkan Bank Indonesia adalah sebesar 7% per tahun, dan Uang Muka awal
minimal 30% dari harga rumah, Apabila MBR mengambil tenor 15 tahun
angsuran, maka harga rumah yang dapat dibeli oleh MBR adalah maksimal Rp.
226.000.000,- bagi MBR yang tidak kawin dan maksimal Rp. 302.000.000 bagi
MBR kawin dan peserta Tapera. Apabila MBR mengambil tenor 20 tahun
angsuran, maka harga rumah yang dapat dibeli MBR adalah maksimal Rp.
258.000.000,- bagi MBR tidak kawin, dan maksimal Rp. 343.000.000,- bagi
MBR kawin dan peserta Tapera.
Dengan kata lain, salah satu syarat yang dapat digunakan untuk
memberikan pembebasan BPHTB bagi MBR apabila penghasilan riil sulit
diketahui, maka Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dapat menerapkan harga
minimal rumah dan tenor angsuran minimal yang dapat diberikan pembebasan
BPHTB sebagaimana perhitungan tersebut diatas.
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 35 Tahun 2021, untuk mendapatkan Fasilitas
Likuiditas Pembiayaan Perumahan yang selanjutnya disingkat FLPP atau dukungan
fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan kepada Masyarakat Berpenghasilan
Rendah, syarat yang harus dipenuhi antara lain :
a. Berkewarganegaraan Indonesia
b. Tercatat sebagai penduduk di 1 (satu) daerah kabupaten/kota;

12
c. Belum pernah menerima subsidi atau bantuan pembiayaan perumahan dari
pemerintah terkait kredit/pembiayaan kepemilikan Rumah dan/atau
kredit/pembiayaan pembangunan Rumah Swadaya; dan
d. Orang perseorangan yang berstatus tidak kawin atau pasangan suami istri.21
Berdasarkan persyaratan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan kepada MBR
tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dapat menerapkan persyaratan
tersebut bagi MBR untuk mendapatkan pembebasan BPHTB, seperti :
2. Pembebasan BPHTB hanya bagi MBR yang ber NIK Kabupaten Sidoarjo.
3. Pembebasan BPHTB hanya bagi perolehan rumah pertama.
Selain itu, jika merujuk kepada diktum kedua Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 411/KPTS/M/2021, batasan luas lantai untuk
pemilikan rumah umum dan satuan rumah susun adalah paling luas 36m2 22, maka
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dapat menerapkan persyaratan tersebut bagi MBR
untuk mendapatkan pembebasan BPHTB :
4. Pembebasan BPHTB hanya untuk pembelian rumah dengan maksimal type 36
Metode tersebut diatas dapat dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Sidoarjo sebagai alternatif untuk memfilter para Wajib Pajak BPHTB yang
mengajukan pembebasan BPHTB dengan mengaku sebagai Masyarakat
Berpenghasilan Rendah. Namun hal ini tidak perlu dilakukan jika pemohon layanan
BPHTB dapat menunjukkan bukti keterangan dari Instansi terkait yang
membidangi urusan perumahan rakyat, bahwa yang bersangkutan adalah peserta
untuk mendapatkan rumah bersubsidi (Masyarakat Berpenghasilan Rendah.
Apabila pembebasan BPHTB di Kabupaten Sidoarjo diterapkan sesuai
dengan metode diatas, berdasarkan data transaksi BPHTB dan realisasi penerimaan
BPHTB sampai dengan tanggal 25 November 2022 di Kabupaten Sidoarjo.
Didapatkan data sebagai berikut :
Transaksi BPHTB atas Tanah dan Bangunan Type 36
No NPOP Jumlah Transaksi Nilai BPHTB
1. Maksimal 226 juta 871 transaksi Rp. 3.623.839.368,00
2. 226 juta s/d maksimal 258 juta 154 transaksi Rp. 1.326.214.069,00
3. 258 juta s/d maksimal 302 juta 498 transaksi Rp. 5.565.837.378,00
4. 302 juta s/d maksimal 343 juta 257 transaksi Rp. 3.392.149.727,00
TOTAL 1780 transaksi Rp. 13.908.040.542,00
Sumber : Badan Pelayanan Pajak Daerah Kabupaten Sidoarjo
21 Pasal 3 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 35 Tahun 2021 tentang Kemudahan dan Bantuan
Pembiayaan Perumahan Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
22 Diktum kedua Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 411/KPTS/M/2021 tentang Besaran
Penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Batasan Luas Lantai Rumah Umum dan Rumah Swadaya.

13
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa perkiraan kehilangan potensi
yang akan terjadi jika pembebasan BPHTB terhadap MBR diterapkan di Kabupaten Sidoarjo
adalah maksimal sebesar Rp. 13.908.040.542,- dari total realisasi penerimaan BPHTB per
tanggal 25 November 2022 sebesar Rp. Rp. 380.975.070.172,- atau sebesar 3,65% dari
total realisasi BPHTB. Nilai sebagaimana disajikan ditabel diatas merupakan nilai
maksimal lost potensi dalam rupiah, mengingat data diatas didapatkan berdasarkan
Pengelompokan atas jumlah transaksi dan nominal BPHTBnya. Nilai tersebut akan turun
lebih rendah lagi apabila dikelompokkan kembali berdasarkan transaksi dari wajib pajak
yang ber NIK Sidoarjo dan berdasarkan atas perolehan pertama saja.
Dengan demikian pembebasan BPHTB terhadap Masyarakat Berpenghasilan
Rendah sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku, sebagaimana yang
diamanatkan dalam Undang Undang HKPD, dapat dilaksanakan dengan metode tertentu
untuk menekan terjadinya salah sasaran dalam pemberian pembebasan BPHTB, sehingga
imbas terhadap penurunan penerimaan BPHTB dapat ditekan. Disisi yang lain, amanat
UUD 1945 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan terkait dengan pemenuhan kebutuhan
rumah tempat tinggal yang layak bagi setiap masyarakat dapat terlaksana.

14
BAB III : KESIMPULAN DAN SARAN

I. KESIMPULAN

Kebutuhan akan rumah tempat tinggal yang layak merupakan kebutuhan dasar
dari setiap insan. Kebutuhan akan tempat tinggal yang layak ini telah diamanatkan
dalam Dasar Negara kita Undang Undang Dasar 1945. Bahkan kebutuhan rumah
tempat tinggal yang layak ini telah menjadi salah satu Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yakni tujuan ke 11 Menjadikan Kota
dan Permukiman Inklusif, Aman, Tangguh, dan Berkelanjutan. Dengan target Pada Tahun
2030 menjamin akses bagi semua terhadap perumahan yang layak, aman, terjangkau,
dan pelayanan dasar, serta menata Kawasan kumuh. Namun pada faktanya, harga
rumah baru selalu naik dari tahun ke tahun, menjadi semakin tidak terjangkau
khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah.
Penyediaan rumah tempat tinggal yang layak, bukan hanya menjadi tanggung
jawab dari jajaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat semata,
namun perlu dukungan dari lintas sektor, seperti Pemerintah Daerah melalui
pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terhadap
Masyarakat Berpenghasilan Rendah di wilayahnya masing-masing, sebagaimana
diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

II. SARAN
Pengecualian Perolehan Tanah dan Bangunan bagi Masyarakat
Berpenghasilan Rendah sebagai obyek BPHTB perlu dituangkan dalam Peraturan
Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah setiap Kabupaten/Kota sebagai
tindak lanjut dari amanat Undang Undang HKPD. Namun dalam mekanisme
pembebasan BPHTB terhadap Masyarakat Berpenghasilan Rendah ini perlu dikaji
lebih dalam, agar dalam pelaksanaannya jangan sampai salah sasaran. Dalam proses
verifikasi atau pemeriksaan pengajuan BPHTB, Kriteria Masyarakat Berpenghasilan
Rendah harus betul-betul diteliti dengan menggunakan metode-metode tertentu untuk
membuktikan bahwa pemohon layanan BPHTB benar-benar Masyarakat
Berpenghasilan Rendah sesuai dengan ketentuan perundang undangan, agar
Pemerintah Daerah/Kota tidak sampai mengalami kehilangan potensi yang tinggi

15
DAFTAR PUSTAKA

Indonesia, 2002, Undang Undang Dasar 1945


Indonesia, 1999, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara RI nomor 3839
Indonesia, 1999, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Indonesia, 2009, Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 5049
Indonesia, 2022, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman, lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 7
Indonesia, 2022, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, lembaran Negara RI Tahun
2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 6757
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Ringkasan Metadata
Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) / Sustainable
Development Goals (SDGs) Indonesia
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Nomor Nomor 1 Tahun 2021 tentang Kriteria
Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Persyaratan Kemudahan
Pembangundan dan Perolehan Rumah, Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2021 Nomor 44
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Nomor Nomor 35 Tahun 2021 tentang
Kemudahan dan Bnatuan Pembiayaan Perumahan Bagi Masyarakat
Berpenghasilan Rendah, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021
Nomor 1492
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 411/KPTS/M/2021 tentang Besaran
Penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Batasan Luas Lantai
Rumah Umum dan Rumah Swadaya
Koko Hernawan, 2011, Jual Beli Perumahan dengan Klausul Eksonerasi, Perpustakaan
UPN Surabaya. Eprints.upn.jatim.ac.id. 2011
Siahaan, Marihot P. 2003. Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan, Teori dan
Praktek. Edisi Revisi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

16
Sutedi, Adrian. 2010. Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta : Sinar
Grafika, cetakan keempat.

17

Anda mungkin juga menyukai