www.onemint.com
I.
PENDAHULUAN
Dalam upaya pencapaian tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam UndangUndang Dasar 1945, Pemerintah menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan
pembangunan nasional. Untuk menunjang kondisi ekonomi Indonesia membutuhkan
sumber pembiayaan selain penerimaan dari sektor perpajakan. Potensi penerimaan negara
yang dapat diharapkan dan paling menjanjikan dapat menutup sumber pembiayaan tersebut
adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Pasal 23 A perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, menegaskan bahwa pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undangundang. Oleh karena itu, penerimaan negara di luar penerimaan perpajakan, yang
menempatkan beban kepada rakyat juga harus didasarkan pada undang-undang.
PNBP merupakan penerimaan negara (pusat) yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1997 dan pengaturan tarifnya diatur dalam peraturan pemerintah yang
mengatur jenis dan tarif PNBP yang berlaku pada masing-masing kementerian/lembaga,
sedangkan penerimaan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak dan Retribusi Daerah dan Perda yang berlaku pada masing-masing daerah/provinsi.
Sesuai dengan amanat UU yaitu apabila suatu jenis pungutan tertentu yang semula
penerimaan negara (pusat) kemudian diubah menjadi penerimaan daerah, maka hal tersebut
harus diamanatkan oleh Undang-Undang. Pada Prinsipnya pemungutan penerimaan negara
dan penerimaan daerah diatur dengan ketentuan perundang-undangan tersendiri.
Dalam ketentuan Pasal 150 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, jenis retribusi daerah dapat ditambah sepanjang memenuhi
kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang. Adanya peluang untuk menambah jenis
Retribusi dengan Peraturan Pemerintah dimaksudkan untuk mengantisipasi penyerahan
fungsi pelayanan dan perizinan kepada daerah yang juga diatur dengan Peraturan
Pemerintah yang juga bertujuan untuk menambah sumber pendapatan bagi pemerintah
daerah dalam rangka mendanai fungsi pelayanan dan perizinan yang menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu
Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA)
merupakan salah satu bentuk adanya penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan kepada
daerah, yang bertujuan untuk menambah sumber pendapatan bagi pemerintah daerah dalam
rangka mendanai fungsi pelayanan dan perizinan yang menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah. Pungutan perpanjangan IMTA sebelumnya merupakan PNBP berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sampai dengan
31 Desember 2012. Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012
perpanjangan IMTA ditetapkan sebagai Retribusi dan pemberlakukannya dimulai sejak
tanggal 1 Januari 2013 untuk memberikan kesempatan kepada daerah untuk mempersiapkan
kebijakan daerah dan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pemungutan
retribusi perpanjangan IMTA.
Besarnya tarif retribusi perpanjangan IMTA ditetapkan dengan Perda dan paling
tinggi sebesar tarif penerbitan IMTA yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah mengenai
jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada kementerian di bidang ketenagakerjaan.
Sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional di segala bidang, terdapat
banyak bentuk penerimaan negara di luar penerimaan perpajakan yang pengaturannya diatur
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP). PNBP mencakup segala penerimaan pemerintah pusat di luar penerimaan
perpajakan. PNBP mempunyai potensi penerimaan yang cukup besar, karena jenis dan
besarannya yang cukup menjanjikan.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan,
arah dan tujuan perumusan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007 adalah :
1. menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan
melalui optimalisasi sumber-sumber PNBP dan ketertiban administrasi pengelolaan
PNBP serta penyetoran PNBP ke Kas Negara;
2. lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat berpartisipasi dalam
pembiayaan pembangunan sesuai dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatankegiatan yang menghasilkan PNBP;
3. menunjang kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta investasi di seluruh wilayah
Indonesia;
4. menunjang upaya terciptanya aparat Pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa,
penyederhanaan prosedur dan pemenuhan kewajiban, peningkatan tertib administrasi
keuangan dan anggaran negara, serta peningkatan pengawasan1.
Sebelum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 ditetapkan, banyak instansi
pemerintah yang enggan untuk melaporkan dan menyetor PNBP ke Kas Negara, artinya
adanya ketidakpatuhan instansi pemerintah tersebut dalam menyelenggarakan pengelolaan
PNBP yang baik. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997, penertiban
dan penegakan hukum dalam pengelolaan PNBP dapat dilaksanakan, karena di dalam
undang-undang tersebut diatur konsep hukuman (punishment) yang cukup tegas terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh wajib bayar dan pejabat pengelola PNBP. Hukuman
tersebut dapat berupa hukuman administrasi berupa pengenaan denda dan juga sanksi pidana
penjara. Pengaruh hukuman dalam pengelolaan PNBP ini membawa pengaruh yang cukup
signifikan terhadap ketertiban dan kepatuhan instansi pemerintah dalam melaporkan dan
menyetorkan PNBP.
Penegakan hukum dalam pengelolaan PNBP yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1997 tidak serta merta diterima oleh semua instansi pemerintah. Beberapa
instansi pemerintah resisten dan berusaha bertahan dengan pola lama yang sarat dengan
moral hazard. Kondisi ini menghasilkan bentuk kompromi dalam pengelolaan PNBP yang
dinamakan earmarked. Dalam konsep Earmarked PNBP, instansi pemerintah diberikan
kewenangan untuk dapat menggunakan PNBP yang dipungut/dihasilkannya, untuk
membiayai kegiatan tertentu dengan persetujuan Menteri Keuangan.
Penulisan kajian mengenai Pengelolaan dan Penatausahaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
d. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak;
1
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan PNBP yang
Bersumber dari Kegiatan Tertentu;
g. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tentang Modul Penerimaan
Negara; dan
h. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-78/PB/2006 tentang
Penatausahaan Penerimaan Negara Melalui Modul Penerimaan Negara (MPN).
II.
PERMASALAHAN
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam
tulisan hukum ini adalah:
a. Bagaimana definisi, jenis dan tarif PNBP berdasarkan peraturan perundang-undangan?
b. Bagaimana mekanisme pengelolaan dan penatausahaan PNBP berdasarkan peraturan
perundang-undangan?
III.
PEMBAHASAN
A. Definisi, Jenis dan Tarif PNBP Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan
PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari
penerimaan perpajakan2. Antara lain sumber daya alam, bagian pemerintah atas laba
BUMN, serta penerimaan negara bukan pajak lainnya.
Berdasarkan sumber penerimaannya dapat dikelompokkan menjadi3:
1. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah;
2. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;
3. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan;
4. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah;
5. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan berasal dari pengenaan denda
administrasi;
6. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah; dan
7. Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri.
PNBP dikelompokkan menjadi empat kelompok besar yaitu4:
1. Penerimaan sumber daya alam, terdiri atas pendapatan Sumber Daya Alam (SDA)
migas yang diperoleh dari bagian bersih pemerintah atas kerjasama pengelolaan
2
3
4
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Tahun 2014.
sektor hulu migas dan SDA non-migas yang diperoleh dari hasil pertambangan
umum, kehutanan, perikanan, dan panas bumi.
2. Pendapatan bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang merupakan
imbalan kepada pemerintah pusat selaku pemegang saham BUMN (return on equity)
yang dihitung berdasarkan persentase tertentu terhadap laba bersih (pay-out ratio).
Pendapatan ini diklasifikasikan ke dalam kelompok perbankan dan nonperbankan.
3. PNBP lainnya, meliputi berbagai jenis pendapatan yang dipungut oleh
Kementerian/Lembaga atas produk layanan yang diberikan kepada masyarakat.
Pungutan dilakukan oleh instansi pemerintah atas dasar Peraturan Pemerintah tentang
Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP pada Kementerian/Lembaga tertentu. Termasuk di
dalam kelompok ini adalah pendapatan atas pengurusan Surat Izin Mengemudi
(SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan surat nikah sebagaimana contoh.
Pungutan yang dilakukan oleh Kementerian instansi pemerintah tersebut dilakukan
atas dasar Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP pada
Kementerian/Lembaga (K/L) tertentu. Tidak kurang dari sepuluh ribu jenis dan tarif
PNBP yang dikenakan secara sah oleh instansi pemerintah.
4. Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU), yang diperoleh atas produk layanan
instansi pemerintah yang diberikan kepada masyarakat. Bedanya, pendapatan yang
diperoleh melalui mekanisme BLU ini dapat langsung digunakan oleh instansi yang
bersangkutan. Jenis dan tarif PNBP BLU tidak ditetapkan melalui Peraturan
Pemerintah melainkan Peraturan Menteri Keuangan.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, setiap K/L yang mempunyai PNBP
harus memiliki peraturan perundangan (minimal Peraturan Pemerintah/PP) tentang jenis
dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada masing-masing K/L. PP tersebut digunakan
sebagai dasar pemungutan atas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat5.
PNBP yang dikelola oleh K/L dapat dikelompok menjadi 2 (dua), yaitu6:
1. PNBP Umum
Setiap kementerian negara/lembaga pada dasarnya mempunyai PNBP yang bersifat
umum yaitu PNBP yang tidak berasal dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.
PNBP umum merupakan PNBP yang berlaku umum di semua kementerian
negara/lembaga. PNBP Umum sesuai PP Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan
Penyetoran PNBP antara lain:
a. Penerimaan hasil penjualan barang/kekayaan negara;
5
Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak.
6
ftp://ftp1.perbendaharaan.go.id/modul.../ Modul pengelolaan PNBP, hal.6-7.
Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum
Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan
Pajak.
Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum
1)
2)
3)
4)
9) Penerimaan dari selisih lebih karena perubahan harga jual yang ditetapkan
Pemerintah atas persediaan gula pasir di gudang-gudang Badan Urusan
Logistik (Bulog) dan gudang dari pabrik gula, dan persediaan pupuk di semua
gudang Pupuk Sriwijaya (Pusri);
10) Penerimaan dari denda keterlambatan penyampaian laporan oleh Perusahaan
Pembiayaan;
11) Penerimaan dari denda tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan dan
laporan operasional tahunan dan atau tidak mengumumkan neraca dan
perhitungan laba rugi bagi perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi
sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan;
12) Penerimaan dari denda tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan dan
laporan operasional tahunan bagi perusahaan pialang asuransi atau
perusahaan pialang reasuransi sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan;
13) Penerimaan dari denda keterlambatan penyampaian laporan bagi Dana
Pensiun;
14) Penerimaan kembali pinjaman yang disalurkan oleh Pemerintah;
15) Penerimaan dari laba bersih minyak;
16) Penerimaan bagian Pemerintah dari annual fee PT. Inalum; dan
17) Penerimaan dari pungutan ekspor.
f. PNBP pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan:
1) Penerimaan dari biaya pengujian mutu barang dan sertifikasi mutu barang.
2) Penerimaan dari biaya jasa pelatihan;
3) Penerimaan dari pendaftaran perusahaan;
4) Penerimaan dari penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA);
5) Penerimaan dari jasa pengujian/pemeriksaan tembakau;
6) Penerimaan dari jasa pembinaan petani tembakau oleh pabrikan rokok;
7) Penerimaan dari penyelenggaraan jasa pendidikan;
8) Penerimaan dari jasa pembinaan industri kecil;
9) Penerimaan dari jasa pelayanan teknis;
10) Penerimaan dari pengaturan tata niaga cengkeh; dan
11) Penerimaan dari jasa tera/tera ulang.
g. PNBP pada Departemen Pertanian:
1) Penerimaan dari pungutan pengusahaan perikanan;
2) Penerimaan dari pungutan hasil perikanan;
10
11
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
10)
q.
r.
s.
t.
u.
12
13
yang berlaku pada masing-masing K/L. PP tersebut digunakan sebagai dasar pemungutan
atas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
Adapun PP tentang Jenis dan Tarif PNBP yang berlaku pada K/L dan KMK
tentang Ijin Penggunaan PNBP yang telah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan
dengan KMK berdasarkan database Direktorat PNBP per tanggal 5 Juni 2014 sebagai
berikut :
REGULASI
BA
KEMENTERIAN/LEMBAGA
IJIN PENGGUNAAN
PP
KMK
004
KMK No.219/KMK.02/2010
005
Mahkamah Agung
007
Sekretariat Negara
KMK No.3/KMK.02/2013
010
KMK No.270/KMK.02/2010
011
KMK No.405/KMK.02/2011
012
Kementerian Pertahanan
013
015
Kementerian Keuangan
018
Kementerian Pertanian
KMK No.420/KMK.02/2013
KMK No.421/KMK.02/2013
KMK No.422/KMK.02/2013
KMK No.423/KMK.02/2013
KMK No.424/KMK.02/2013
KMK No.425/KMK.02/2013
KMK No.426/KMK.02/2013
019
Kementerian Perindustrian
KMK No.317/KMK.02/2013
14
REGULASI
BA
KEMENTERIAN/LEMBAGA
IJIN PENGGUNAAN
PP
KMK
KMK No.318/KMK.02/2013
KMK No.561/KMK.06/2003
KMK No.198/2004
020
KMK No.317/KMK.06/2001
KMK No.938/KMK.02/2006
PMK No.56/PMK.02/2007
KMK No.60/KMK.02/2008
022
Kementerian Perhubungan
KMK No.302/KMK.06/2001
KMK No.20/KMK.06/2012
KMK No.307/2001
KMK No.308/2001
KMK No.309/KMK.06/2001
KMK No.518/KMK.06/2002
023
024
Kementerian Kesehatan
KMK No.115/KMK.06/2001
PP No.21 Tahun 2013
KMK No.243/KMK.06/2002
KMK No.358/KMK.06/2002
KMK No.22/KMK.06/2003
KMK No.343/KMK.02/2007
KMK No.503/KMK.02/2009
KMK No.1/KMK.02/2010
KMK No.114/KMK.02/2011
KMK No.459/KMK.02/2013
KMK No.47/KMK.02/2014
025
Kementerian Agama
KMK No.338/KMK.06/2003
15
REGULASI
BA
KEMENTERIAN/LEMBAGA
IJIN PENGGUNAAN
PP
KMK
KMK No.115/KMK.06/2007
026
KMK No.290/KMK.02/2011
027
Kementerian Sosial
KMK No.380/KMK.02/2013
029
Kementerian Kehutanan
KMK No.368/KMK.06/2001
033
KMK No.187/KMK.02/2007
KMK No.74/KMK.02/2008
KMK No.164/KMK.06/2003
KMK No.470/KMK.06/2003
040
KMK No.475/KMK.06/2002
042
KMK No.375/KMK.02/2009
043
KMK No.115/KMK.02/2010
054
KMK No.493/KMK.02/2009
056
KMK No.237/KMK.02/2010
057
Perpustakaan Nasional
KMK No.181/KMK.02/2010
059
KMK No.96/KMK.02/2011
KMK No.97/KMK.02/2011
KMK No.335/KMK.02/2011
KMK No.174/KMK.02/2009
060
KMK No.342/KMK.02/2010
061
KMK No.189/KMK.02/2011
075
KMK No.352/KMK.02/2008
KMK No.381/KMK.02/2008
16
REGULASI
BA
KEMENTERIAN/LEMBAGA
IJIN PENGGUNAAN
PP
KMK
080
KMK No.236/KMK.02/2009
081
KMK No.351/KMK.02/2008
082
KMK No.109/KMK.06/2003
083
KMK No.188KMK.02/2008
084
KMK No.209/KMK.02/2008
085
KMK No.242/KMK.06/2002
086
KMK No.140/KMK.02/2010
087
Arsip Nasional
KMK No.928/KMK.02/2006
088
089
KMK No.298/KMK.02/2010
090
Kementerian Perdagangan
KMK No.360/KMK.02/2013
KMK No.361/KMK.02/2013
KMK No.362/KMK.02/2013
KMK No.363/KMK.02/2013
KMK No.364/KMK.02/2013
KMK No.365/KMK.02/2013
KMK No.366/KMK.02/2013
KMK No.367/KMK.02/2013
KMK No.368/KMK.02/2013
KMK No.369/KMK.02/2013
KMK No.370/KMK.02/2013
092
Keterangan:
- Sumber :Database dari Direktorat PNBP per tanggal 5 Juni 2014
17
3.
4.
5.
6.
8
9
bersama dengan K/L yang bersangkutan, Kementerian Hukum dan HAM, serta
Sekretariat Negara untuk mendapatkan justifikasi atas tarif yang diusulkan. Selain itu,
pembahasan juga bertujuan untuk mempelajari dampak atas pengenaan tarif tersebut
terhadap K/L dan masyarakat serta memastikan pelayanan (jenis PNBP) yang
diberikan merupakan kewenangan K/L yang bersangkutan.
Jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada K/L hasil pembahasan,
disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM melalui surat Menteri Keuangan.
Kementerian Hukum dan HAM melakukan harmonisasi dan pembulatan terhadap
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dimaksud, untuk selanjutnya disampaikan
kepada Menteri Keuangan untuk diproses lebih lanjut.
Menteri Keuangan menyampaikan kepada Presiden untuk ditetapkan menjadi PP.
Setelah PP ditetapkan dan diundangkan, K/L wajib memungut dan menyetorkan
PNBP yang diperolehnya ke Kas Negara sesuai dengan tarif dalam PP.
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
ftp://ftp1.perbendaharaan.go.id/modul.../ Modul pengelolaan PNBP, hal.14-15.
18
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan RPP jenis dan tarif atas jenis
PNBP :
1. Jenis kegiatan atau pelayanan yang menghasilkan PNBP merupakan kewenangan dari
K/L yang bersangkutan.
2. Jenis dan tarif atas jenis PNBP yang diusulkan dalam RPP adalah jenis PNBP
Fungsional. Untuk jenis PNBP Umum, seperti PNBP dari pemanfaatan Barang Milik
Negara (BMN) tidak dimasukkan dalam usulan RPP.
10
3. Ketepatan atas besaran tarif dan satuan atas jenis PNBP yang diusulkan berdasarkan
pendekatan biaya dalam penetapannya, sesuai dengan karakteristik jenis layanan dan
kondisi masyarakat (wajib bayar) yang akan menggunakan layanan pemerintah
tersebut.
Menteri Keuangan telah menerbitkan Surat Nomor S-420/MK.02/2011 tanggal 25
Juli 2011 yang pada intinya meminta masing-masing K/L untuk melakukan inventarisasi
jenis PNBP terkait pemanfaatan BMN dalam usulan revisi PP atau dalam PP tentang
Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada masing-masing K/L. Selanjutnya,
berdasarkan hasil inventarisasi, masing-masing K/L diminta agar mengusulkan
pengaturan pemanfaatan aset sesuai PP Nomor 6 Tahun 2006 dan PMK Nomor
96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Penggunaan, Pemanfaatan,
Penghapusan dan Pemindahtanganan BMN dan mengusulkan revisi PP atau RPP tentang
Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP K/L yang bersangkutan kepada Menteri Keuangan.
10
http://bapsik.unila.ac.id/download/perencanaan/PMK%20&paparan%20sosialisasi%20revisi%20PMK%2007%20t
h%202014/PAPARAN%20PENGELOLAAN%20PNBP.pdf, hal.11.
Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum
19
11
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak.
13
Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
12
20
Penerimaan K/L maupun Satuan Kerja Perangkat Daerah tidak boleh digunakan langsung
untuk membiayai pengeluaran14.
Setiap K/L yang mempunyai PNBP baik PNBP Umum maupun PNBP Fungsional
wajib melaksanakan penatausahaan PNBP yang menjadi tanggung jawabnya.
Penatausahaan PNBP meliputi :
1. Tata cara pemungutan dan pencatatan
PNBP disetorkan ke rekening Kas Negara pada Bank/Pos Persepsi yang telah
ditunjuk Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) sebagai Bank
Persepsi/Devisa Persepsi/Pos Persepsi mitra kerja Kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara (KPPN), dengan menggunakan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP). SSBP
merupakan dokumen sumber dalam penyetoran dan pencatatan penerimaan PNBP.
Dalam hal di suatu tempat tertentu tidak tersedia layanan Bank/Pos Persepsi,
penyetoran ke Kas Negara dapat dilakukan melalui Bandahara Penerimaan, dimana
Bendahara Penerimaan berkewajiban melakukan penyetoran secepatnya ke Kas
Negara. Bendahara Penerimaan dapat membuka rekening penerimaan pada Bank
Umum setelah mendapat persetujuan BUN dan berkewajiban untuk melakukan
penyetoran ke Rekening Kas Negara setiap akhir hari kerja saat PNBP diterima15,
kecuali dalam hal PNBP diterima pada hari libur/hari yang diliburkan atau tidak
terdapat Bank/Pos Persepsi yang tidak se-kota dengan Bendahara Penerimaan/
Bendahara Penerimaan Pembantu, penyetoran ke PNBP ke Kas Negara dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya16.
Dalam kondisi gerografis satuan kerja yang tidak memungkinkan melakukan
penyetoran setiap hari dan/atau jarak tempuh antara lokasi Bank/Pos Persepsi dengan
tempat/kedudukan Bendahara Penerimaan melampaui waktu 2 jam dan/atau biaya
yang dibutuhkan untuk melakukan penyetoran PNBP lebih besar daripada PNBP
yang diperoleh maka penyetoran ke Kas Negara dapat dilakukan secara berkala17.
Permohonan untuk melakukan penyetoran secara berkala dengan cara18:
a. Kepala satuan kerja dapat mengajukan permohonan untuk melakukan penyetoran
secara berkala atas PNBP yang diterima kepada Kepala Kantor Wilayah
14
Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerimaan.
16
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerimaan.
17
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerimaan.
18
Pasal 6 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyetoran
Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerimaan.
15
21
19
Pasal 6 ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerimaan.
Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum
22
3. Tata cara koreksi/perbaikan pembukuan terhadap PNBP yang telah disetor ke Kas
Negara, dapat dilakukan perbaikan/koreksi. Koreksi/perbaikan PNBP tersebut
dilakukan atas20:
a. Kesalahan kode Akun (Mata Anggaran Penerimaan);
b. Kesalahan kode unit organisasi;
c. Kesalahan fungsi, subfungsi, dan program; dan
d. Kesalahan lain yang tidak mempengaruhi kas.
Permintaan koreksi/perbaikan terkait dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) diajukan oleh Satuan Kerja/Kementerian Negara/Lembaga penerima PNBP,
Bank/Pos Persepsi, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan/KPPN atau
Direktorat Jenderal Anggaran kepada KPPN.
Berdasarkan permintaan koreksi/perbaikan tersebut, Kepala Seksi Persepsi/
Bendahara Umum KPPN menerbitkan Nota Penyesuaian untuk mendapatkan
persetujuan Kepala KPPN.
Nota Penyesuaian yang telah mendapat persetujuan Kepala KPPN berfungsi sebagai
dokumen sumber transaksi koreksi/perbaikan. Selanjutnya, petugas Supervisor/
Operator Seksi Persepsi/Bendahara Umum melakukan perbaikan data.
KPPN mengirim hasil perbaikan kepada satuan kerja penerima PNBP. Permintaan
perbaikan/koreksi PNBP yang diajukan oleh Wajib Bayar/Wajib Setor wajib
dilakukan melalui satuan kerja penerima PNBP, untuk selanjutnya satuan kerja
mengajukan permintaan perbaikan/koreksi ke KPPN.
4. Rekonsiliasi.
Bendahara Penerima harus menatausahakan dokumen sumber penerimaan yang
digunakan sebagai dasar pencatatan penerimaan negara dalam rangka penatausahaan
pendapatan negara pada kantor/satuan kerja di lingkungan K/L. Seluruh dokumen
sumber penerimaan negara dinyatakan sah setelah mendapat Nomor Transaksi
Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank (NTB)/Nomor Transaksi
Pos (NTP)/Nomor Penerimaan Potongan (NPP).
Satuan kerja selaku Kuasa Pengguna Anggaran wajib menyampaikan
pertanggungjawaban Penerimaan Negara. yang berupa berupa Laporan Realisasi
Anggaran yang dihasilkan melalui SAI21. Dengan demikian, satuan kerja PNBP harus
melakukan rekonsiliasi PNBP dengan Bendahara Umum Negara/KPPN.
Sebagian dana dari suatu PNBP dapat digunakan oleh instansi yang bersangkutan
untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP tersebut dengan tetap
20
21
23
memenuhi ketentuan bahwa seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas
Negara dan seluruh PNBP dikelola dalam sistem APBN22. Besarnya bagian dana PNBP
yang dapat digunakan, ditetapkan oleh Menteri Keuangan23.
Kegiatan tertentu tersebut meliputi bidang-bidang kegiatan24:
1. penelitian dan pengembangan teknologi;
2. pelayanan kesehatan;
3. pendidikan dan pelatihan;
4. penegakan hukum;
5. pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu; dan
6. pelestarian sumber daya alam.
Instansi/satuan kerja dapat menggunakan sebagian dana PNBP setelah memperoleh
persetujuan dari Menteri Keuangan.25
Permohonan penggunaan PNBP diajukan oleh Pimpinan K/L yang bersangkutan
kepada Menteri Keuangan. Permohonan penggunaan PNBP paling sedikit dilengkapi
dengan26:
1. Tujuan penggunaan dana PNBP;
2. Rincian kegiatan pokok Instansi dan kegiatan yang akan dibiayai PNBP;
3. Jenis PNBP beserta tarif yang berlaku; dan
4. Laporan realisasi dan perkiraan tahun anggaran berjalan, serta perkiraan 2 (dua)
tahun mendatang.
Selanjutnya rencana penggunaan PNBP diteliti dan dibahas oleh Kementerian
Keuangan bersama-sama K/L dan dilakukan analisis atas kelayakan penggunaan PNBP
yang bersangkutan sebelum ditetapkan Menteri Keuangan.27
22
Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu.
23
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu.
24
Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu.
25
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu.
26
Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu.
27
Pasal 7 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu.
Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum
24
IV.
PENUTUP
PNBP sebagai salah satu jenis penerimaan negara dari dalam negeri, memang harus
mendapat perhatian kita bersama. Usaha-usaha untuk meningkatkan PNBP ini harus terus
digalakkan. PNBP mempunyai arti dan peran yang sangat penting dalam pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan nasional. Oleh karenanya,
diperlukan langkah-langkah pengadministrasian yang efisien agar penerimaan tersebut dapat
dimanfaatkan secara optimal.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan
peraturan pelaksanaannya menyatakan bahwa seluruh PNBP wajib disetor langsung
secepatnya ke Kas Negara dan pengelolaannya dilakukan melalui Sistem Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Dengan demikian, semua penerimaan yang menjadi hak dan
pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus
dimasukkan dalam APBN. Penerimaan K/L dan Satuan Kerja Perangkat Daerah tidak boleh
digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran. Setiap satuan kerja K/L yang mempunyai
PNBP baik PNBP Umum maupun PNBP Fungsional wajib melaksanakan penatausahaan
PNBP yang menjadi tanggung jawabnya.
28
Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu.
25
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Tahun 2014.
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara
Bukan Pajak.
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tentang Modul Penerimaan Negara.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerimaan.
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-78/PB/2006 tentang Penatausahaan
Penerimaan Negara Melalui Modul Penerimaan Negara.
Internet
ftp://ftp1.perbendaharaan.go.id/modul.../ Modul pengelolaan PNBP.
http://bapsik.unila.ac.id/download/perencanaan/PMK%20&paparan%20sosialisasi%20revisi%20
PMK%2007%20th%202014/PAPARAN%20PENGELOLAAN%20PNBP.pdf.
26