Anda di halaman 1dari 10

KISI-KISI HUKUM KEUANGAN NEGARA

UNTUK UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) GANJIL 2017/2018

1.

a. Pengertian Keuangan Negara melalui pendekatan Obyek dan Subyek.

Dari sisi objek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan
dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta
segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh subjek yang
memiliki/menguasai objek sebagaimana tersebut di atas, yaitu: pemerintah pusat,
pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada
kaitannya dengan keuangan negara.

Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan
kebijakan danpengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.

Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan
hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana
tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

b. Landasan hukum administrasi keuangan negara

Landasan utama adalah UUD 1945. Pada Bab VIII Hal Keuangan, pada pasal 23
dinyatakan: “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari
pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. (ps 23 ayat 1)

2. Sejarah peraturan terkait dengan hukum keuangan negara yang menjadi pedoman
dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara mulai sebelum berlakunya undang-
undang di bidang keuangan negara (masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda)
hingga terbitnya paket UU bidang Keuangan Negara.
sebelum tahun 2003, keuangan negara indonesia masih menggunakan
ketentuan perundangan peninggalan bekolonial belanda yang masih berlaku menurut
aturan peralihan UUD 1945.
peraturan peninggalan belanda tersebut antara lain ;

1. Indische Comptabiliteitswet, biasa disingkat ICW stbl 1925 No. 448.


2. Indische Bedrijvenwet, biasa disingkat IBW stbl 1927 No. 419.
3. Regleme voorhet Administratief Beheer, biasa disingkat RAB stbl 1933 No. 381.
sedangkan untuk pemeriksaan pertanggung jawaban keuangan negara juga masih
menggunakan peraturan perundangan belanda yaitu instructie en verdere bepalingen
voor de algemeene Rekenkamer, biasa disingkat IAR stbl 1933 No. 320.

peraturan perundangan yang lama tersebut tidak lagi dipakai karena dianggap tidak lagi
mampu mengikuti dinamika perkembangan kenegaraan di indonesia. oleh karena itu,
meski secara formal paket perundangan peninggalan belanda tersebut masih berlaku,
tetapi secara materiil sebagian dari ketentuan lama tidak lagi digunakan.

beberapa hal yang menjadi dasar diberlakukan peraturan perundang-undangan yang


baru sebagai pengganti peraturan perundang-undangan belanda yang lama adalah
adanya beberapa kelemahan yang timbul dari perangkat perundangan-undangan lama
tersebut, antara lain;

 kelemahan di bidang peraturan perundang-undangan.


 kelemahan di bidang perencanaan dan penganggaran.
 kelemahan di bidang perbendaharaan.
 kelemahan di bidang auditing.

kelemahan tersebut sebenarnya memang sudah dirasakan sebelumnya, tetapi


penggunaannya masih dilakukan karena solusi yang ditemukan masih bersifat parsial.
kelemahan yang ada dalam aturan lama ditutup dengan membuat aturan baru yang
dibuat khusus untuk mengganti pasal dari aturan lama yang menyebabkan kelemahan.
aturan yang lama masih tetap berlaku, tetapi khusus untuk pasal yang diamandemenkan
berlaku ketentuan yang baru.

dan pada saat tahun 2003-2004 pemerintah melakukan perombakan peraturan


keuangan negara dengan mengganti seluruh peraturan yang lama dan pada tahun
tersebut bersama dengan DPR mengeluarkan satu paket peraturan perundang-
undangan bidang keuangan yang terdiri dari ;

UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara.


UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara.
UU No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara.

3. Kedudukan masing-masing Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan


Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 15 Tahun
2004 tentang tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara
sebagai satu paket undang-undang di bidang Keuangan Negara dalam pengelolaan
keuangan negara.

• Kedudukan hukum keuangan Negara berada pada tataran hukum publik karena
bertujuan untuk kepentingan Negara, namun bukan berarti tidak bersinggungan dengan
hukum privat. ketersinggungan itu terjadi ketika objek HKN berupa keuangan negara
yang pengelolaannya berada pada BUMN maupun BUMD.
4.
a. Ruang lingkup keuangan negara
 Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan pengertian tersebut
diuraikan dalam Pasal 2 UU No. 17/2003 meliputi:
 Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,
dan melakukan pinjaman;
 Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
 Penerimaan Negara;
 Pengeluaran Negara;
 Penerimaan Daerah;
 Pengeluaran Daerah;
 Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
 perusahaan negara atau daerah;
 Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
 Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.

b. Ketentuan pengelolaan keuangan negara,


c. Azas-azas umum pengelolaan Keuangan Negara
UU No. 17 Tahun 2003
Azas tahunan, artinya membatasi masa berlakunya atau periode anggaran untuk
suatu tahun tertentu, mulai dari 1 Januari – 31 Desember.
Asas universalitas, mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan
secara utuh dalam dokumen anggaran.
Asas spesialitas, mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara
jelas peruntukannya.
Asas kesatuan, menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah
disajikan dalam satu dokumen anggaran.
Akuntabilitas berorientasi pada hasil, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara, khususnya
pengelolaan keuangan negara harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode
etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam pengelolaan
keuangan negara. Oleh karena itu, sumber daya manusia di bidang keuangan negara
harus profesional, baik di lingkungan Bendahara Umum Negara/Daerah maupun di
lingkungan Pengguna Anggaran/Barang.
Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban Penyelenggara Negara, serta teralokasinya sumber daya yang tersedia
secara proporsional terhadap hasil yang akan dicapai.
Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
pengelolaan keuangan negara dalam setiap tahapannya, baik dalam perencanaan
dan penganggaran, pelaksanaan anggaran, pertanggung-jawaban, maupun hasil
pemeriksaan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi,
golongan, dan rahasia negara.
Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri,
artinya pemeriksaan atas tanggung jawab dan pengelolaan keuangan negara/daerah
dilakukan oleh badan pemeriksa yang independen, dalam hal ini adalah Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK).

d. Azas-azas umum perbendaharaan negara.


Asas Umum Perbendaharaan Negara, adalah:
- UU tentang APBN merupakan dasar bagi Pemerintah Pusat untuk melakukan
penerimaan dan pengeluaran negara.
- Peraturan Daerah tentang APBD merupakan dasar bagi Pemerintah Daerah
untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran daerah.
- Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas
beban APBN/APBD jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak
tersedia atau tidak cukup tersedia.
- Semua pengeluaran negara, termasuk subsidi dan bantuan lainnya yang sesuai
dengan program pemerintah pusat, dibiayai dengan APBN.
- Semua pengeluaran daerah, termasuk subsidi dan bantuan lainnya yang sesuai
dengan program pemerintah daerah, dibiayai dengan APBD.
- Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya mendesak atau tidak
terduga disediakan dalam Bagian Anggaran tersendiri yang selanjutnya diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
- Kelambatan pembayaran atas tagihan yang berkaitan dengan pelaksanaan
APBN/APBD dapat mengakibatkan pengenaan denda atau bunga.
Denda dan/atau bunga dimaksud dapat dikenakan kepada kedua belah pihak.
Sesuai dengan kaidah-kaidah yang baik dalam pengelolaan keuangan negara,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 menganut asas kesatuan, asas universalitas,
asas tahunan, dan asas spesialitas.

- Asas kesatuan, menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja


Negara/Daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran.
- Asas universalitas, mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan
secara utuh dalam dokumen anggaran.
- Asas tahunan, membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun
tertentu. Asas spesialitas mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan
terinci secara jelas peruntukannya.
e. Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 (UU No. 17 Tahun 2003) tentang Keuangan
Negara mengatur kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara sebagai berikut (Pasal
6):
(1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan
Kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud di sini meliputi
kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus.
Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan umum, strategi,
dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman pelaksanaan
dan pertanggungjawaban APBN, penetapan pedoman penyusunan rencana kerja
kementerian negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan, serta pedoman
pengelolaan penerimaan negara.
Kewenangan yang bersifat khusus meliputi keputusan/kebijakan teknis yang berkaitan
dengan pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan
APBN, keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset
dan piutang negara.
(2) Kekuasaan pengelolaan keuangan negara tersebut:
(a) dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah
dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan. Menteri Keuangan sebagai
pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial
Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia.
(b) dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Setiap
menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO)
untuk suatu bidang tertentu pemerintahan.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan lembaga adalah lembaga
negara dan lembaga pemerintah nonkementerian negara.
Di lingkungan lembaga negara, yang dimaksud dengan pimpinan lembaga adalah
pejabat yang bertangguing jawab atas pengelolaan keuangan lembaga yang
bersangkutan.
(c) diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah
untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan
kekayaan daerah yang dipisahkan
(d) tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain
mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang.

f. Kewajiban Pemerintah menjalankan fungsi pemerintahan negara dalam rangka


pencapaian tujuan bernegara

g. Tujuan pengelolaan keuangan itu sendiri.

5. Penggunaan arah, kebijakan umum dan strategi Presiden selaku Kepala Pemerintahan.

6. Jadwal Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN,


disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.

Adapun tahapan atau siklus dari APBN adalah, sebagai berikut (Sugijanto, Gunardi, dan
Loho, 1995) :
1. Penyusunan dan pengajuan rancangan anggaran (RUU APBN) oleh pemerintah
kepada DPR
2. Pembahasan dan persetujuan DPR atas RUU APBN dan penetapan UU APBN
3. Pelaksanaan anggaran, akuntansi dan pelaporan keuangan oleh Pemerintah
4. Pemeriksaan pelaksanaan anggaran dan akuntansi oleh aparat pengawasan
fungsional
5. Pembahasan dan persetujuan DPR atas perhitungan anggaran negara (PAN) dan
penetapan UU PAN

PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBN


1. Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka
ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat
selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan.
2. Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka ekonomi
makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat
dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
3. Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal,
Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan
umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap
kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.
4. Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/ pimpinan lembaga selaku
pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/lembaga tahun berikutnya.
5. Rencana kerja dan anggaran disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai,
disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran
yang sedang disusun yang diatur dengan Peraturan Pemerintah..
6. Rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.
7. Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri
Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN
tahun berikutnya.
8. Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai
nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan
Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya.
9. Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan
undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat.
10. Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan
jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang
APBN.
11. Pengambilan keputusan oleh DPR Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan
Undang-undang tentang APBN tentang RUU APBN dilakukan selambat-lambatnya
2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
12. APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi,
program, kegiatan, dan jenis belanja.
13. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang
maka Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar
angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
7. Urutan pagu-pagu anggaran.

Siklus Penyusunan RKAKL (Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga)
Siklus Penyusunan Anggaran terdiri dari :

Pagu Indikatif
Bulan Januari s.d April merupakan rentang waktu bagi Pemerintah untuk menyusun dan menetapkan
Pagu Indikatif. Untuk APBN Pagu Indikatif Kementerian Negara/Lembaga (K/L) dikeluarkan oleh
Pemerintah melalui Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Keuangan perihal Pagu
Indikatif dan Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Dari masing-masing Pagu tersebut
kemudian dituangkan ke dalam aplikasi RKA-KL.

Pagu Sementara
Mei s.d Agustus merupakan rentang waktu bagi Pemerintah untuk menyusun dan menelaah RKA-KL
Pagu Sementara K/L serta menyiapkan RUU APBN. Untuk APBN Pagu Sementara K/L dikeluarkan
oleh Pemerintah pada tanggal melalui Surat Edaran Menteri Keuangan tentang Pagu Sementara
Kementerian Negara/Lembaga.
Untuk Anggaran, Satuan Kerja (Satker) instansi segera menyesuaikan RKA-KL berdasarkan Pagu
Sementara tersebut, dan segera menyusun data pendukung yang dibutuhkan.
Penelaahan terhadap RKA-KL Pagu sementara Satker dilakukan antara Satker Instansi dengan Ditjen
Anggaran Departemen Keuangan RI.
Hal-hal yang ditelaah antara lain :
a. Kesesuaian Pagu antara Pagu dalam RKA-KL Ditjen dengan Pagu dari MA RI;
b. Kesesuaian antara output masing-masing kegiatan dengan sasaran Program;
c. Ketepatan Volume kegiatan;
d. Kesesuaian Standar Biaya dalam RKA-KL dengan SBU dan SBK.
e. Ketepatan penggunaan akun belanja berdasarkan BAS (Bagan Akun Standar)
f. Kelengkapan data pendukung untuk masing-masing kegiatan;
g. Kesesuaian antara kegiatan dengan data pendukung yang dilampirkan.

Pagu Definitif
September s.d Desember merupakan rentang waktu bagi Pemerintah unutk membahas RUU APBN
menjadi UU APBN (Pagu Definitif) dan menyusun KEPPRES tentang Rincian APBN serta
menerbitkan dokumen pelaksanaan anggaran. Untuk APBN Pagu Definitif K/L dikeluarkan oleh
Pemerintah melalui Surat Edaran Menteri Keuangan tentang Pagu Definitif Kementerian
Negara/Lembaga.
Penelaahan terhadap RKA-KL Pagu Definitif Ditjen Badan, dilakukan pada tanggal antara Ditjen
Badan dengan Ditjen Anggaran Departemen Keuangan RI. Hal yang ditelaah sama dengan
penelaahan pada Pagu Sementara, hasilnya akan diterbitkan SAPSK (Satuan Anggaran Per Satuan
Kerja)

Penyusunan DIPA
Penyusunan Konsep DIPA sebagai dokumen pelaksanaan anggaran Ditjen Badan dilakukan setelah
SAPSK (Hasil Akhir Penelaahan Pagu Definitif) diterbitkan oleh Departemen Keuangan.
Hal-hal yang ditelaah adalah sebagai berikut:
a. Kesesuaian konsep DIPA dengan SAPSK;
b. Rencana Penarikan Anggaran selama T.A. berkenaan.
8. Indikator utama yang digunakan sebagai acuan dalam menyusun berbagai komponen
dari postur APBN

Asumsi Dasar Ekonomi Makro.

9. Penyusunan dokumen perencanaan APBN pada K/L secara berjenjang dan penyusunan
dokumen perencanaan APBN secara berjenjang lingkup pemerintah secara keseluruhan.

10. Penetapan Rincian APBN oleh Presiden mulai dari unit organisasi hingga klasifikasi
belanja.

11. Pemisahan fungsi sehingga memberikan kewenangan terpisah kepada Menteri / Ketua
Lembaga, dan Menteri Keuangan serta operasionalisasi kekuasaan keuangan negara.
Keuangan > fiskal
K/L > pengguna anggaran

12. Kewajiban Pengguna Anggaran terhadap penerimaan negara dan kewenangan


Pengguna Anggaran dalam belanja negara.
-Kewenangan:
Otorisasi
Ordonansi
-Kewajiban:
Mengupayakan maks manfaat
Nihil
Setor ke kas negara

13. Pengendalian anggaran oleh Menteri Keuangan selaku BUN atau Kuasa BUN.
-Rencana penerimaan dan pengeluaran dalam dokumen anggaran
-Pembatasan terhadap K/L
-Semua saldo2 kas pada hari yang sama haus disetor ke kantor pusat rek BUN

14. Kelemahan Penganggaran sebelum terbitnya 3 paket UU Keuangan Negara

15. Tentang APBN/APBD :


a. Fungsi-fungsi;

b. Tugas pejabat pengguna anggaran (pengelola keuangan negara / daerah),

c. Rincian APBN,

d. Rincian Pendapatan Negara

e. Rincian Belanja Negara

f. Penyampaian RAPBN ke DPR

g. Persetujuan atau tidaknya APBN oleh DPR

h. Tindak lanjut persetujuan APBN oleh DPR


i. Peran Menteri Keuangan dalam APBN selaku pengelola fiskal

j. Peran Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran

k. Larangan pembebanan APBN / APBD

l. Akibat bagi negara / daerah karena keterlambatan pembayaran APBN/APBD

m. Anggaran yang bersifat mendesak

16. Tentang pejabat perbendaharaan

a. Pengertian

b. Tugas dan wewenang

17. Tentang Bendahara

c. Tugas dan wewenang Bendahara Penerima

d. Tugas dan wewenang Bendahara Pengeluaran

e. Tugas dan wewenang Bendahara Umum Negara / Daerah

18. Tentang pendapatan negara dan system pemungutan pendapatan negara termasuk
sumber dan alur pendapatan negara.

19. Kewajiban K/L dan Kemenkeu terhadap pendapatan negara.

20. Hal hibah.

21. Tanggung jawab pejabat otorisasi dan ordonansi.

22. Sistem pembayaran dengan Uang Persediaan (UP) dan langsung (LS).

23. Kriteria belanja modal.


 Pengeluara bersifat tetap, menambah aset, menambah masa umur, dan masih dalam
kapasitas yang relatif tinggi
 Pengeluaran tersebut melebihi baas minimum kapitalis atas aset tetap suatu
pemerintahan
 Niat dari pembelanjaan tersebut tidak untuk dibagikan.

24. Sejarah hukum keuangan negara yang pernah dan berlaku di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai