BP : 1910023810156
Resume : Administrasi Keuangan
Pasal 31
1) Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan
keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-
lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. \
2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi
APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang
dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah.
Pasal 32
1) Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 disusun dan disajikan
sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.
2) Standar akuntansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disusun oleh suatu komite standar yang independen dan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari
Badan Pemeriksa Keuangan. Pasal 33 Pemeriksaan pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara diatur dalam undang-undang tersendiri
➢ Fungsi Hukum
➢ Fungsi Materiil
➢ Fungsi Kebijaksanaan
MATERI V : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
1. Kegiatan Anggaran Negara
Dalam pengelolaan APBN dikenal siklus APBN dan hubungan keuangan APBN.
Siklus APBN sebagai wujud dari suatu dalam pengelolaan APBN maka keseluruhan
kegiatan pengelolaan APBN akan meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
pertanggungjawaban. Rangkaian dari pengelolaan APBN ini selanjutnya bisa disebut
sebagai siklus APBN. Jadi, satu siklus APBN akan terdiri dari:
a) Pembicaraan Pendahuluan (termasuk penyusunan rencana kerja).
b) Pembahasan dan penetapan RAPBN.
c) Pembahasan Laporan Semester I dan Prognosis enam bulan berikutnya.
d) Pembahasan RUU tentang Perubahan APBN tahun berjalan.
e) Pembahasan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN.
Dalam rangkaian pengelolaan APBN, dimana APBN ditetapkan dalam bentuk
undang- undang, maka dihasilkan tiga jenis undang-undang, yaitu UU APBN, UU APBN
Perubahan dan UU Perhitungan Anggaran Negara. Ketiga UU tersebut merupakan satu
keterkaitan. Misalnya untuk APBN 2002 maka APBN-nya ditetapkan dalam UU No.19
Tahun 2001 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2002.
Kemudian perubahan terhadap APBN 2002 ditetapkan dalam UU No.21 Tahun 2002
tentang Perubahan Atas UU No.19 Tahun 2001 tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2002. Dan Perhitungannya ditetapkan dalam UU No.2
Tahun 2004 tentang Perhitungan Anggaran 2002.
2. Bentuk dan Komposisi Pokok APBN
Setiap pemerintahan di suatu negara akan senantiasa melakukan tugas-tugas
eksekutifnya yang telah ditentukan di dalam undang-undang. Keseluruhan tugas eksekutif
tersebut menciptakan biaya (belanja) dan pendapatan yang nantinya akan dicatat ke
dalam laporan keuangan pemerintah yang disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN).
a. Komposisi Dasar Keuangan Pemerintah
Aktivitas keuangan setiap institusi ekonomi terbagi menjadi dua bagian, yaitu
pendapatan dan pengeluaran. Pada prinsipnya, besarnya pengeluaran akan
menyesuaikan dengan besarnya perolehan pendapatan. Namun, seiring dengan
dinamika kebutuhan dan orientasi dalam mencapai tujuan, besarnya pengeluaran
seringkali tidak tergantung dari besarnya pendapatan
Ada 3 pos anggaran utama dalam APBN, yaitu pos belanja atau
pengeluaran (expenditure), pos pendapatan (revenue), dan pos pembiayaan
(financing). Fungsi pendapatan negara digunakan untuk mendanai sejumlah
pengeluaran negara. Ada dua kondisi dari kecukupan pendapatan dan besarnya
pengeluaran negara, yaitu kondisi anggaran surplus dan kondisi anggaran defisit.
Jika pos pengeluaran lebih besar daripada pendapatan, maka anggaran pemerintah
berada dalam kondisi defisit. Sebaliknya, jika besarnya pendapatan negara
mampu melampaui besarnya pengeluaran, maka kondisi anggaran negara
dikatakan surplus. Fungsi pos pembiayaan digunakan apabila anggaran negara
berada dalam kondisi defisit. Mekanisme anggaran seperti yang diuraikan di atas
merupakan dasar dari penganggaran di dalam APBN
✓ Pos Pendapatan Pemerintah (APBN)
Pemerintah melakukan aktivitas yang menurut undang-undang bertujuan
untuk menghimpun sumber-sumber pendapatan. Ada dua bentuk sumber
pendapatan dalam APBN, yaitu penerimaan dalam negeri (domestic
revenue) dan hibah.
✓ Pos Pengeluaran Pemerintah (APBN)
Disebut juga pos belanja merupakan pos dalam APBN yang
merepresentasikan aktivitas pemerintah yang menciptakan biaya. Misalnya
menggaji para pejabat publik, menggaji PNS, mendanai operasional
kegiatan pemerintahan, dan lain sebagainya. Komposisi dalam pos
anggaran belanja untuk daerah merupakan implementasi dari hasil
penerapan model anggaran I-Account. Implementasi tersebut sekaligus
untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal melalui Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat
Daerah
✓ Pos Pembiayaan APBN
Pos di dalam APBN lainnya yang akan digunakan sebagai sumber
pembiayaan APBN disebut pos pembiayaan (financing). Pada pos inilah
nantinya akan diketahui cara pembiayaan atas kondisi defisit ataupun
surplus dari APBN. Tentunya pos-pos di dalam pembiayaan APBN sudah
ditentukan berdasarkan ketentuan undang-undang. Ada dua bentuk sumber
pembiayaan dalam APBN, yaitu pembiayaan yang berasal dari luar negeri
dan pembiayaan yang berasal dari luar negeri. Pos pembiayaan di dalam
APBN merupakan lalu lintas pembayaran yang melengkapi aktivitas
pendapatan dan belanja negara. Pada pos pembiayaan dicatat arus masuk
dan keluar dari kas pemerintah. Untuk arus keluar (pembayaran) seperti
pembayaran cicilan pokok utang/obligasi dalam negeri dan pembayaran
cicilan pokok utang luar negeri (amortisasi).
3. Sifat Hukum Angaran Negara
Anggaran negara dikaji kedalam ilmu hukum di bidang perundang-undangan,
ternyata memiliki sifat hukum yang berbeda dengan UU lainnya.
Sifat hukum anggaran negara yang membedakan dengan uu lainnya adalah
sebagai berikut :
a) Proses Pembentukannya
Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat 2 UUD 1945, presiden memperoleh
kewenangan berdasarkan atribusi untuk mengajukan rancangan UU tentang
anggaran pendapatan dan belanja negara
b) Keberlakuannya
Tatkala Rancangan UU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
memperoleh persetujuan dari DPR, berarti berubah bentuk menjadi UU tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
c) Kemampuan Mengikatnya
UU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara hanya mengikat
pemerintah dan aparat bagian-bagiannya sebagai penerima yang diberi karena itu,
UU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak dapat dijadikan dasar
gugatan/ keberatan, karena dalam dirinya tidak mempunyai kekuatan hukum
d) Perubahan Anggaran Negara
Dapat di lakukan pada pertengahan tahun anggaran yang sedang berjalan,
apa bila terjadi :
✓ Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi
✓ Perubahan kebijakan pokok –pokok fiskal
✓ Keadaan yang menyebabkan dilakukan pergeseran anggaran (antar
unit organisasi, antar kegiatan, dsb
✓ Keadaan saldo lebih anggaran sebelumnya, harus digunakan untuk
pembiyaan anggaran berjalan.
e) Pergeseran Anggaran Negara
✓ Pergeseran anggaran negara adalah tindakan untuk menyesuaikan
anggaran negara dalam pelaksanaanya dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, seperti gelombang tsunami di aceh, gempa
bumi di Jawa Tengah, dan banjir bandang di Kabupaten Sinjai
Sulawesi Selatan
✓ Pergeseran anggaran negara boleh dilakukan dengan undang-
undang maupun peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang. Pergeseran anggaran negara yang dilakukan dengan
undang-undang, berarti melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat
karena dibutuhkan persetujuannya untuk melaksanakannya
b. Tahap kedua berupa penggeseran beban pajak, ini merupakan proses antara
Yaitu pemindahan beban pajak dari pembayar pajak kepada pemikul
beban pajak. Tahap ini disebut dengan “the shifting of taxation”.
c. Tahap ketiga,
Timbulnya beban moneter yang terakhir setelah terjadi penggeseran
dan beban pajak tidak akan digeserkan lagi. Ini disebut dengan “incidence
of taxation”.
d. Tahap keempat,
Yaitu adanya konsekuensi-konsekuensi ekonomis dengan adanya
“incidence of taxation” yang disebut dengan “effect of taxation”. Misalnya
ada kesenjangan yang semakin lebar dalam distribusi pendapatan dalam
arti riil setelah pajak tersebut dikenakan.