Anda di halaman 1dari 5

UTS Hukum Pajak

M. Bilal Saputra
0702622061

1. Perbedaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Pajak Penghasilan (PPh) diatur di dalam UU No.36/2008 Tentang Perubahan
Keempat Atas UU No.7/1983 Tentang Pajak Penghasilan yang kini terdapat Lex Specialis
dari UU a quo yakni UU No.7/2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dimana
‘PPh’ merupakan pajak yang diberikan kepada orang pribadi ataupun suatu badan atas
penghasilan yang mereka terima atau dapatkan dalam satu tahun pajak. Oleh karena itu, pajak
penghasilan akan melekat pada subjeknya dan dikenal dengan istilah pajak subjektif. Adapun
cakupan dari ‘PPh’ yakni setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal dari Indonesia
atau luar negeri yang bisa dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan
bentuk apapun.
Sementara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diatur di dalam UU No.42/2009 Tentang
Perubahan Ketiga Atas UU No.8/1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN dan PPnBM) dimana sejak tahun 2021
terdapat Lex Specialis dari UU tersebut yaitu UU No.7/2021 Tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan. Adapun pengertian PPN merupakan pajak yang diberikan dalam berbagai proses
produksi atau distribusi terhadap konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. PPN
sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari berbelanja di mini market langganan, menyeruput
kopi di Café andalan hingga menonton film favorit di layanan streaming video seperti Netflix
sudah pasti dikenakan PPN hal ini karena di dalam PPN, pihak yang akan menanggung beban
pajak dan retribusi ialah konsumen akhir atau pembeli.
Maka secara garis besarnya perbedaan antara PPh dan PPN yaitu:
 Objek pajak yang dikenakan PPN dikenakan terhadap setiap proses produksi atau
distribusi, sementara PPh akan dikenakan pada setiap penghasilan yang dimiliki oleh
wajib pajak;
 PPN dibebankan kepada konsumen akhir, sementara PPh akan dikenakan langsung
pada pihak yang mempunyai penghasilan;
 PPN terdiri dari pajak masukan dan keluaran. Sementara PPh terdiri dari beberapa
jenis, misalnya: PPh 21, PPh 22, PPh 23, PPh 25, dan PPh 29.

2. Pembeda Antara Pajak Pusat dan Daerah Secara Filosofis


Pajak Pusat yang mengatur dan menetapkan ialah Pemerintah Pusat melalui
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memungut dari WP (Wajib Pajak) dan hasilnya
dipergunakan membiayai pemerintah pusat yang meliputi pembiayaan terhadap pengeluaran
rutin negara dan pembangunan yang dihimpun dalam APBN. Sementara jika berbicara
mengenai Pajak Daerah berarti membicarakan tentang PDRD (Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah) dimana Pajak Daerah merupakan kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh
WP (Wajib Pajak) yang bersifat memaksa. Adapun peruntukannya bagi keperluan daerah dan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga wewenang pungutan pajak daerah ada
pada Pemerintah Daerah (Pemda) yang diakumulasi di dalam PAD (Pendapatan Asli Daerah)
untuk membiayai belanja daerah di dalam APBD.
Jadi secara garis besarnya Pajak Pusat untuk Pemerintah Pusat yang hasilnya
digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin negara dan pembangunan yang terhimpun di
dalam APBN. Sementara Pajak Daerah yang diatur di dalam UU PDRD yang memungut dan
mengelolah murni Pemda yang diakumulasi di dalam PAD untuk membiayai belanja
Pemerintah Daerah (Pemda) di dalam APBD.

3. Memperoleh Hadiah atau Hibah dari sahabat merupakan objek PPh.


Pada kenyataanya bantuan atau sumbangan dan harta hibahan dikecualikan dari objek
PPh berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1 dan 2 UU No.36/2008 tentang Perubahan
Keempat atas UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan. Adapun aturan terkait harta hibahan
lebih lanjut diatur di dalam Permenkeu No.90/PMK.03/2020 Tahun 2020 tentang Bantuan
atau Sumbangan, Serta Harta Hibahan yang Dikecualikan Sebagai Objek Pajak Penghasilan
(Permenkeu 90/2020).
Di dalam Pemenkeu tersebut terdapat pengecualian bagi dari objek PPh sepanjang
diberikan kepada:
1. keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, yaitu orang tua kandung
dan anak kandung;
2. badan keagamaan, yaitu badan yang tidak mencari keuntungan dengan kegiatan
utamanya mengurus tempat-tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan
keagamaan termasuk lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
2009 tentang Bantuan atau Sumbangan termasuk Zakat atau Sumbangan Keagamaan
yang Sifatnya Wajib yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan;
3. badan pendidikan, yaitu badan yang tidak mencari keuntungan dengan kegiatan
utamanya menyelenggarakan pendidikan;
4. badan sosial termasuk yayasan yang tidak mencari keuntungan;
5. Koperasi;
6. Orang Pribadi.

Dan juga tidak adanya hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Sehingga di dalam ‘Permenkeu 90/2020’ yang bukan menjadi objek PPh sepanjang
hibah, bantuan, atau sumbangan itu tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan. Maka dalam case persoalan yang ditanyakan jika memperoleh
hibah/hadian dari seorang sahabat maka hal itu menjadi objek dari PPh.

4. UU Cipta Kerja di dalam klaster Perpajakan.


UU Cipta Kerja yang penuh dengan polemik baik sejak tahap penyusunan sampai
dengan pengesahan dan terakhir setelah melewati fase judicial review di Mahkamah
Konstitusi sejatinya bertujuan untuk memudahkan arus uang investor yang diharapkan
mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya. UU ini mampu menghimpun
sekitar 80an aturan Perundang-Undangan salah satunya UU terkait Perpajakan (Klaster
Perpajakan) dimana secara berurutan pada Pasal 111-114 UU Cipta Kerja mengatur terkait,
UU PPh, UU PPN dan PPnBM, UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP),
serta UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Terkait point di dalam PPh, Penentuan Subjek Pajak Orang Pribadi:
 WNA >183 hari di Indonesia merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN);
 WNI >183 hari di luar Indonesia dapat menjadi Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN).
Adanya penghapusan PPh Dividen DN orang pribadi sepanjang dinvestasikan di Indonesia,
Adanya Penghapusan PPh Dividen LN yang diterima orang pribadi DN dan badan DN
sepanjang diinvestasikan di Indonesia.

Pada point PPnBM:


 Penambahan objek Barang Kena Pajak (BKP);
 Pengaturan Pengkreditan pajak masukan untuk mendorong kepatuhan Wajib Pajak;
 Pendefinisian ulang pengertian penyerahan BKP.

Adapun hukum pajak formil juga diatur dalam klaster Pajak UU Ciptaker yakni mengenai
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan:
 Pengaturan ulang sanksi administrasi untuk mendorong kepatuhan pajak;
 Pengaturan ulang imbalan bunga atas pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
 Memberikan kepastian hukum dalam penerbitan ketetapan pajak.

Terkahir pada point Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) dimana Pemerintah
menetapkan kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan PDRD, termasuk dapat
menetapkan tarif PDRD yang berlaku secara nasional dan Pemerintah melakukan evaluasi
Perda PDRD untuk menguji kesesuaian antara dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dan/atau kebijakan fiskal nasional.

5. Perbedaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.


Meskipun sama-sama merupakan bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) namun
terdapat perbedaan mendasar antara kedua aspek tersebut. Sebagai contoh dari aspek manfaat
pajak daerah tidak dirasakan langsung manfaatnya oleh WP. Hal ini disebabkan karena
pembayaran pajak yang diterima Pemda dialokasikan untuk kepentingan pembangunan
daerah, seperti infrastruktur, fasilitas umum, pendidikan, dan program-program pembangunan
daerah lainnya. Sementara pada retribusi, manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh
masyarakat. Misalkan iuran lingkungan yang dibayarkan bisa untuk pengaspalan jalan di
perumahan, atau iuran kebersihan mengangkut sampah rumah tangga setiap harinya.
Adapun saya jabarkan jenis-jenis yang termasuk Pajak Daerah sebagai berikut Pajak
Daerah yang menjadi kewenangan Pemprov (Pemerintah Provinsi);
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok.

Sementara Pajak Daerah yang menjadi Kewenangan Pemkab/Pemkot di antaranya:


a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Kemudian yang termasuk jenis-jenis dari Retribusi daerah sebagaimana tercantum pada Pasal
108 ‘UU PDRD’
 Retribusi jasa umum, yaitu pungutan atas pelayanan yang disediakan pemerintah
daerah untuk kepentingan umum. Contohnya, pelayanan kesehatan, iuran sampah dan
kebersihan, iuran KTP dan catatan sipil, retribusi pengolahan limbah cair, dan lain-
lain;
 Retribusi jasa usaha, yakni pungutan atas pelayanan yang disediakan pemerintah
daerah untuk penggunaan komersial. Contoh, retribusi tempat parkir, penginapan,
pertokoan, dan lain-lain;
 Retribusi perizinan, yaitu pungutan yang diberikan untuk kepentingan perizinan.
Seperti izin mendirikan bangunan, izin menjual minuman beralkohol, izin usaha
perikanan.

Anda mungkin juga menyukai