Anda di halaman 1dari 30

TUGAS INDIVIDU :

MATA KULIAH KEBIJAKAN FISKAL

Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan serta Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan dalam rangka Desentralisasi Fiskal menuju
Kemandirian Fiskal Daerah (Studi Kasus Pemungutan di Kabupaten Sidoarjo)

Disusun oleh :

Hermadi Listiawan NIM 228221005

Dosen Pembimbing :

DR. Sri Winarsi, SH, MH

PROGRAM STUDI SAINS HUKUM DAN PEMBANGUNAN


SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS AIRLANGGA
2022
BAB I : PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak disahkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang


Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka dimulailah babak
baru penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yakni era Otonomi Daerah, dimana
Pemerintah Pusat menyerahkan Sebagian urusan pemeritahan kepada daerah,
berdasarkan asas Otonomi Daerah. Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah
Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan1. Sementara Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu,berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia2. Dengan adanya otonomi daerah
diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, dan
mempercepat pembangunan daerah. Otonomi daerah ini memberikan keleluasaan
kepada daerah untuk dapat membangun daerahnya sesuai dengan kearifan lokal daerah,
karena pada dasarnya daerah jauh lebih memahami segala yang dibutuhkan oleh
daerahnya masing-masing.
Pelaksanaan Otonomi Daerah perlu didukung dengan Kemandirian Fiskal
Daerah. Indeks kemandirian Fiskal Daerah berguna untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan suatu daerah dalam membiayai belanja daerah tanpa tergantung kepada
pendapatan transfer. Awalnya, pelaksanaan otonomi daerah ditujukan untuk
menciptakan aspek kemandirian daerah. Sebagai konsekuensinya, daerah kemudian
menerima pelimpahan kewenangan di segala bidang, kecuali kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal, serta
keagamaan. Pelimpahan kewenangan tersebut juga diikuti dengan penyerahan sumber-
sumber pendanaan berupa basis basis perpajakan, maupun bantuan pendanaan melalui
mekanisme transfer kedaerah (desentralisasi fiskal). Dalam rangka meningkatkan
kemandirian fiskal daerah, khususnya dari sisi perpajakan daerah, maka disahkan
Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

1 Pasal 1 huruf h, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
2 Pasal 1 huruf i, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Dalam Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah tersebut, salah satu kebijakan yang ditetapkan Pemerintah untung
meningkatkan kemandirian fiscal daerah adalah dengan pengalihan Pengelolaan Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dan Bea Perolehan Ha katas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Kabupaten/Kota,
serta Pajak Air Tanah dari Pemerintah Propinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, jenis-jenis Pajak Daerah antara lain:
1. Pajak Provinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
d. Pajak Air Permukaan
e. Pajak Rokok
2. Pajak Kabupaten/Kota
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Penerangan Bukan Logam dan Batuan
g. Pajak Parkir
h. Pajak Air Tanah
i. Pajak Sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan
k. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan

Pemberlakuan Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah


dan Retribusi Daerah dengan menggantikan Undang Undang Nomor 18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang
Undang Nomor 34 Tahun 2000, telah memberikan peluang kepada daerah
Kabupaten/Kota untuk memperluas basis pajak daerah, sehingga diharapkan mampu
untuk meningkatkan kemandirian fiscal daerah melalui peningkatan Pendapatan Asli
Daerah dari sektor Pajak dan Retribusi Daerah.
Pengalihan pengelolaan PBB P2 dan BPHTB dari Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Kabupaten/Kota bukan hanya pengalihan penerimaan pajak saja, namun
juga termasuk permasalahan-permasalahan PBB P2 dan BPHTB yang sebelumnya
dikelola oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama) juga menjadi
tanggungan Pemerintah Kabupaten/Kota yang harus diselesaikan. Permasalahan-
permasalahan tersebut diantaranya adalah database PBB P2 yang masih belum valid,
piutang PBB P2 yang sangat besar dan pemetaan PBB P2 yang belum update,
rendahnya NJOP yang digunakan sebagai dasar minimal untuk nilai perolehan BPHTB
yang masih rendah, belum adanya bank data nilai pasar/transaksi wajar untuk dasar
pengenaan BPHTB. Disisi lain, jika dilihat dari data penerimaan PBB dibandingkan
dengan jumlah ketetapan dan jumlah obyek PBB yang ditetapkan setiap tahunnya,
tingkat kepatuhan masyarakat wajib pajak masih cukup rendah.
Dengan kata lain, desentralisasi fiskal, khususnya dalam pengelolaan
perpajakan daerah hasil pelimpahan dari pemerintah pusat ke pemerintah
kabupaten/kota (PBB P2 dan BPHTB), disatu sisi memberikan peluang peningkatan
penerimaan Pendapatan Asli Daerah karena potensi yang meningkat, disisi yang lain,
kepiawaian daerah untuk Menyusun kebijakan-kebijakan daerah yang tepat mutlak
diperlukan untuk mengatasi tantangan dalam pemungutan PBB P2 dan BPHTB hasil
pelimpahan tersebut
Di Kabupaten Sidoarjo, Pemungutan PBB P2 dan BPHTB Berdasarkan
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan dan .Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Ha
katas Tanah dan Bangunan, artinya pengalihan pemungutan PBB P2 di Kabupaten
Sidoarjo dimulai sejak diundangkannya Perda Nomor 5 tahun 2010 yakni tanggal 31
Desember 2010 dan diundangkannya Perda nomor 11 Tahun 2011, yakni tanggal 28
Juni 2011.

Rumusan Masalah
1. Bagimana kendala pemungutan PBB P2 dan kebijakan yang diambil
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo?
2. Bagaimana kendala pemungutan BPHTB dan kebijakan yang diambil
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo?
3. Bagaimana pengaruh penerimaan PBB P2 dan BPHTB terhadap kemandirian
Fiskal Kabupaten Sidoarjo dari tahun ke tahun
Tinjauan Pustaka
1. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu jenis pajak yang paling
dikenal oleh masyarakat sejak dahulu. Oleh karena itu, jenis pajak ini menjadi
sangat familiar ditengah masyarakat, bahkan Sebagian masyarakat masih
menganggap bahwa SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) PBB merupakan
salah satu bukti kepemilikan meskipun anggapan ini salah karena SPPT PBB
hanyalah sebagai bukti telah terdaftar sebagai obyek pajak.
Menurut Erly Suandy, “Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang
bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu
bumi / tanah / dan bangunan keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut
menentukan besar pajak”3. Namun demikian, karena PBB merupakan pajak yang
langsung bersentuhan dengan seluruh lapisan masyarakat, PBB hendaknya dipungut
berdasarkan asas asas tertentu. Mardiasmo menjelaskan bahwa pengenaan Pajak
Bumi dan Bangunan diatur dalam beberapa asas yang meliputi :
1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan
2. Adanya kepastian hukum
3. Mudah dimengerti dan adil
4. Menghindari pajak yang berganda 4
Pajak Bumi dan Bangunan dibagi menjadi dua yaitu, Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang dikelola oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota berdasarkan Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak
daerah dan Retribusi daerah, dan Pajak Bumi dan Bangunan Perkebunan,
Perhutanan, Pertambangan dan Sektor Lainnya (PBB P3) yang dikelola oleh
Pemerintah Pusat berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-
20/PJ/2015 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Lainnya
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) menurut
Undang Undang Nomor 28 Tahun 2019 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan
yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan5. Sedangkan menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 Pajak Bumi
dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan
yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan 6.
3. Erly Suandy. Hukum Pajak. Jakarta : Salemba Empat, 2005
4 Mardiasmo.Perpajakan Teori dan kasus. Jakarta : Andi, 2003
5 Pasal 1 angka 37, Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
6 Pasal 1 angka 33, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai,
dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan 7.
Sedangkan Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau
memiliki, menguasai, dan/ atau memperoleh manfaat atas Bangunan 8.

Dikecualikan dari Obyek PBB P2 adalah kepemilikan, penguasaan, dan/


atau pemanfaatan atas:

a. Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan


kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara
atau barang milik Daerah;
b. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan sematamata untuk melayani
kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, liesehatan, pendidikan,
dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan;
c. Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digu.nakan untuk tempat makam
(kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
d. Bumi yang menrpakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang
belum dibebani suatu hak;
e. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan
konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
f. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga
internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri;
g. Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid
Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transifl, atau yang sejenis;
h. Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang
ditetapkan oleh Kepala Daerah; dan
i. Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh
Pemerintah9.

7 Pasal 38 ayat 1, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
8 Pasal 39 ayat 1, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
9 Pasal 38 ayat 3, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
Menurut Ely Suhayati dan Siti Kurnia Rahayu menjelaskan bahwa yang
menjadi subjek pajak PBB adalah :
1. Yang menjadi subjek pajak PBB adalah orang atau badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau
memiliki, menguasai, dan memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian
tanda pembayaran atau pelunasan PBB bukan merupakan bukti kepemilikan.
2. Subjek pajak PBB yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.
3. Apabila terhadap suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, maka
Direrktorat Jenderal Pajak akan menetapkan subjek pajak sebagaimana
dimaksud di atas sebagai wajib pajak10.
Dari uraian diatas maka dapat dijelaskan bahwa subjek pajak PBB adalah
orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan atau
memperoleh manfaat atas bumi dan atau memiliki, menguasai, dan memperoleh
manfaat atas bangunan.

2. Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan


Pengertian Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya
disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan 11.
Hak atas tanah dan atau bangunan dimaksud adalah hak atas tanah, termasuk Hak
Pengelolaan, termasuk bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA),
Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku. Hal ini berarti BPHTB hanya boleh
dikenakan atas perolehan hak yang diatur dalam UUPA, Undang-Undang Rumah
Susun, dan Hak Pengelolaan. Perolehan hak-hak atas tanah lain yang berkembang
di masyarakat adat tetapi tidak diakui oleh UUPA tidak boleh dikenakan BPHTB 12.
BPHTB ini lebih dikenal oleh masyarakat sebagai Pajak Jual Beli,
sekalipun obyek BPHTB itu sendiri tidak hanya pada transaksi jual beli semata. Hal
ini dapat dimaklumi mengingat pada umumnya BPHTB ini dikenakan atas transaksi
Jual Beli atas tanah dan Bangunan. Oleh karena itu BPHTB ini kerap kali beriringan
dengan pengenaan PPH final, dimana BPHTB sebagai pajak pembeli dan PPH final
sebagai pajak penjual.
10 Ely Suhayati dan Siti Kurnia Rahayu,. Pengantar Perpajakan. Bandung : Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi
UNIKOM, 2006
11 Pasal 1 angka 37, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
12 Marihot P. Siahaan, , Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan, Teori dan Praktek, Edisi Revisi, Jakarta, PT. RajaGrafindo
Persada, 2003
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan 13. Sedangkan Obyek BPHTB adalah Perolehan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, yang meliputi:
a. pemindahan hak karena:
1. jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha; atau
13. hadiah; dan
b. pemberian hak baru karena:
1. kelanjutan pelepasan hak; atau
2. di luar pelepasan hak.
Dengan yang dikecualikan dari Obyek BPHTB antara lain :
a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama;
e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. 14

13 Pasal 45 ayat 1, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
14 Pasal 85 ayat 1, 2, dan 4, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
3. Desentralisasi Fiskal
Konsep otonomi daerah dan desentralisasi yang merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Henri Maddick
mengatakan bahwa Desentralisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan
kemampuan aparat pemerintah dan memperoleh informasi yang lebih baik mengenai
keadaan daerah untuk menyususn program-program daerah secara lebih responsive dan
untuk mengantisipasi secara cepat apabila dalam pelaksanaannya timbul berbagai
persoalan 15. Lebih lanjut Oentarto S.M., membatasi pengertian desentralisasi yaitu:
"Desentralisasi sebagai kebiiakan pelimpahan kewenangan dari pemerintah kepada
unit pemerintah bawahan. Secara politis, desentralisasi merupakan kebijakan'berbagi
kewenangan' (power shoing) antara pemerintah dengan pemerintah daerah" 16.
Desentralisai menuntut adanya percepatan dan ketepatan sasaran program
kegiatan yang berdasar pada partisipasi aktif masyarakat untuk mempercepat kemajuan
pembangunan. kewenangan yang diberikan secara otomatis seharusnya diikuti dengan
pembagian sumber keuangan. Implikasinya pelaksanaan otonomi daerah adalah
dengan adanya otonomi dalam aspek pengelolaan keuangan daerah yang disebut
otonomi fiskal atau desentralisasi fiskal.
Menurut Prawirosetoto (Pujiati 2006), desentralisasi fiskal adalah
pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan dan kewenangan untuk
pengambilan keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan (tax
assigment) maupun aspek pengeluaran (expenditure assignment)17. Dengan kata lain,
desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari
tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk
mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan
banyaknya kewenangan bidang pemerintah yang dilimpahkan18.
Hakikatnya desentralisasi fiskal diharapkan mengelola sumber keuangan secara
mandiri untuk menggali sumber-sumber penerimaan sesuai dengan potensi daerahnya
sendiri dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Lebih lanjut tujuan utama desentralisasi
fiskal adalah:
1)meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan fiskal antara
pusat dan daerah serta antardaerah;

15. Henry Maddick, Desentralisasi dalam praktek, Yogyakarta : Pustaka Kendi, 2004
16. Oentarto SM, CS, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan, Jakarta : Samitra Media Utama2005
17. Pujiati, Amin (2006).. Analisis Pertumbuhan Ekonomi di Karesidenan Semarang Era desentralisasi Fiskal. Jurnal Ekonomi
Pembangunan, 61-70.
18 Saragih, J.P.. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003
2)meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan ketetpatan waktu pengalokasian dan
penyaluran anggaran transfer ke daerah;
3)meningkatkan kualitas pelayanan public di daerah dan mengurangikesenjangan
pelayanan publik antar-daerah otonom;
4) mendukung kesinambungan fiskal nasional;
5)meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional dengan
pembangunan daerah;
6)meningkatkan perhatian terhadap pembangunan di daerah tertinggal, terluar,dan
terdepan;
7)meningkatkan pelaksanaan pemantauan dan evaluasi terhadap jenis dana transfer
tertentu guna meningkatkan kualitas belanja daerah.19

4 Kemandirian Fiskal Daerah

Kemandirian fiskal merupakan indikator utama dalam mengukur kemampuan


Pemerintah Daerah untuk membiayai sendiri kegiatan Pemerintah Daerah, tanpa
tergantung bantuan dari luar, termasuk dari Pemerintah Pusat. Indeks kemandirian
fiskal daerah berguna untuk mengetahui seberapa besar kemampuan suatu daerah
dalam membiayai belanja daerah tanpa tergantung kepada pendapatan transfer.
Menurut Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014, Pemerintah Daerah berkewajiban
melakukan pengelolaan keuangan daerah secara efektif, efisien, transparan, dan
akuntabel 20.
Hasil perhitungan Indeks Kemandirian Fiskal dengan menggunakan formula
Hunter (1977), menunjukkan adanya kesenjangan kemandirian fiskal antar daerah yang
sangat tinggi dan Sebagian besar Pemerintah Daerah masih belum mandiri. Hal ini
diindikasikan dengan hasil perhitungan indeks kemandirian fiskal sebagai berikut ini.
1. Kesenjangan kemandirian fiskal antar daerah yang sangat tinggi. Angka indeks
kemandirian fiskal TA. 2019 memperlihatkan perbedaan indeks yang sangat
mencolok antara Propinsi DKI Jakarta dengan indes tinggi sebesar 0,7107 dengan
Propinsi Papua Barat dengan indeks yang terendah senilai 0,0427. Artinya belanja
daerah Propinsi DKI Jakarta sebesar 71,07% dapat dibiayai oleh PAD, sedangkan
belanja Propinsi Papua Barat hanya sebesar 4,27% yang dapat dibiayai PAD.
Kesenjangan kemandirian fiskal juga terjadi di level Kabupaten/Kota di Indonesia.

19. Saragih J.P, (2014), POLITIK DESENTRALISASI FISKAL: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI, Politica Vol.
5 No. 2 November 2014, Jakarta, Pusat Penelitian dan Keahlian Dewan Perwkilan Rakyat Republik Indonesia, 2014
20 Pasal 280 ayat 2 huruf a, Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dari data diketahui, Kabupaten Badung di bali dengan nilai indeks 0,8347 dapat
membiayai 83,47% belanja Daerah dari PAD. Sedangkan Kabupaten Deiyai di
Papua dengan nilai indeks 0,0031, artinya PAD di Kabupaten tersebut hanya dapat
membiayai 0,31% dari Belanja Daerah. Sebagai pembanding, angka rata-rata IKF
Propinsi TA 2019 adalah 0,36 dan rata-rata angka IKF Kabupaten/Kota adalah 0,11.
2. Sebagian besar Pemerintah Daerah belum mandiri. Data menunjukkan, Pemerintah
Propinsi yang belum mandiri sebanyak 10 dari 34 Propindi pada Tahun Anggaran
2018 dan turun menjadi 8 dari 34 Propindi pada Tahun Anggaran 2019. Adapun
jumlah Kabupaten/kota yang belum mandiri sebanyak 471 dari 508 Kabupaten/Kota
pada Tahun 2018 dan turun menjadi 458 dari 497 Kabupaten/Kota pada Tahun
Anggaran 2019. Patut dicermati dari daerah yang masuk kategori Kabupaten/Kota
yang belum mandiri tersebut adalah terdapat sedikitnya 102 dari 458 daerah dengan
nilai IKF dibawah 0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut
masih sangat tergantung pada dana transfer, karena PAD hanya cukup untuk
membiayai 5% belanja daerah.
3. Berdasarkan jumlah daerah yang masuk kategori Menuju kemandirian pada Tahun
Anggaran 2018, terdapat 16 Propinsi dan meningkat menjadi 18 Propinsi pada
Tahun Anggaran 2019. Sedangkan jumlah Kabupaten/Kota yang masuk klasifikasi
menuju kemandirian pada Tahun Anggaran 2018 sebanyak 34 meningkat menjadi
36 pada Tahun Anggaran 2019.
4. Jumlah daerah yang telah mandiri pada Tahun Anggaran 2018 dan 2019 adalah
sama yaitu terdapat 8 Propinsi dan 2 Kota.
5. Analisis menunjukkan bahwa pada Tahun Anggaran 2018 dan 2019 hanya terdapat
satu daerah dengan klasifikasi Sangat mandiri, yaitu Kabupaten Badung, dan tidak
terdapat Pemerintah Propinsi yang sangat mandiri.21
Adapun formula yang digunakan untuk menyajikan data diatas adalah dengan
menggunakan Formula Hunter (1977) dengan rumus sebagai berikut :

𝑇𝑟𝐺𝑃 + 𝑇𝑟𝑆𝑃 + 𝐵 + 𝑅𝐸𝑉𝑆𝐻


𝐹𝐴𝐼 = 1 −
𝐸𝑋𝑃𝑙
Keterangan :
FAI : Fiscal Autonomy Index
EXPl : Local Expenditure (Pengeluaran Daerah)
TrGP : General Purpose Transfer (Dana Alokasi Umum)
TrSP : Spesific Purpose Transfer (Dana Alokasi Khusus)
B : Subnational Borrowing (Pinjaman Daerah)
REVSH : Revenue Sharing (Dana Bagi Hasil) 21
Sedangkan formula untuk mengukur Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah
yang banyak digunakan oleh Pemerintah Kabupaten / Kota sebagai berikut 22

𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐴𝑠𝑙𝑖 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ (𝑃𝐴𝐷)


𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐾𝑒𝑚𝑎𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖𝑎𝑛 = x 100%
𝐷𝑎𝑛𝑎 𝑃𝑒𝑟𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta Pemerintah


Daerah untuk mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga kemandirian
fiskal dapat segera diwujudkan. Tito mengatakan PAD yang optimal akan berdampak
pada peningkatan kemandirian fiskal pemda. Menurutnya, sistem otonomi daerah juga
telah memberikan banyak ruang bagi pemda untuk mencapai kemandirian fiskal.
Menurutnya, kapasitas fiskal daerah yang tinggi dapat dilihat dari PAD yang lebih
besar dari dana transfer Pemerintah Pusat. Dengan kemandirian fiskal tersebut,
keuangan daerah akan lebih tahan terhadap gejolak apabila keuangan Pemerintah Pusat
mengalami kontraksi.23

21 Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, “Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun
2019 Nomor : 19f/LHP/XV/06/2020 (Jakarta: BPK RI, 2020)
22 Bisma, I. G dan Susanto, H. 2010.Evaluasi Kinerja Keuangan Daerah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun
Anggaran 2003-2007. Ganec Swara Edisi Khusus Vol.4 No. 3
23 Dian Kurniati, news.ddtc.co,id, Anggaran Pemerintah Daerah “Mendagri Tito Ingatkan Pemda Soal Kemandirian Fiskal
Daerah, Jumat 7 Januari 2022 jam 13.00 WIB
BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan Bea
Perolehan Tanah atas Tanah dan Bangunan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo
Peralihan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah berdasarkan Undang Undang nomor 28 tahun 2009 memberikan
peluang kepada daerah untuk lebih meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). PBB P2
dan BPHTB memiliki potensi yang besar bagi penerimaan Pajak Daerah yang merupakan
salah satu komponen PAD, karena pertumbuhan Industri dan Perumahan di Kabupaten
Sidoarjo berpotensi terhadap naiknya Nilai Jual Atas Tanah yang merupakan komponen
perhitungan dari PBB P2 dan BPHTB
Didalam Ketentuan Penutup Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang mulai diberlakukan tanggal 1 januari 2010,
mengamanatkan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri agar :
1. Mengatur tahapan persiapan pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah dalam waktu paling lambat 31 Desember
2013
2. Mengatur tahapan persiapan pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan sebagai Pajak Daerah paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya
Undang-Undang ini. 24
Hal ini kemudian oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo segera ditindaklanjuti
dengan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang diundangkan mulai tanggal 28 Juni 2011,
dan .Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan yang diundangkan mulai 31 Desember 2010. Dengan diterbitkan nya
dua Peraturan Daerah tersebut dimulailah babak baru pemungutan PBB P2 dan
BPHTB sebagai perwujudan kebijakan Desentralisasi Fiskal di Bidang perpajakan
di Kabupaten Sidoarjo.

24 Pasal 182, Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
B. Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten
Sidoarjo
1. Gambaran Umum.
Pajak merupakan jenis penerimaan negara/daerah yang terbesar dalam
membiayai pembangunan suatu negara/daerah. Salah satu tolak ukur kemandirian
daerah antara lain seberapa besar suatu daerah mampu menggali potensi pajak
daerah yang ada dan bagaimana inovasi daerah dalam mengoptimalkan penerimaan
pajak daerah tersebut. Dalam merencanakan suatu Anggaran Belanja suatu daerah
dalam satu tahun kedepan, perencanaan pendapatan dari sektor penerimaan Pajak
Daerah sangat mempengaruhinya. Dengan kata lain, suatu daerah dapat
mengoptimalkan pembangunan di wilayahnya sangat tergantung dari potensi
penerimaan pajak yang dapat direalisasikan tahun depan.
Dalam pemungutan pajak daerah, satu hal yang menjadi tantangan utama
adalah menaikkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak dalam melakukan
pemenuhan kewajiban perpajakannya. Rendahnya kesadaran dan kepatuhan wajib
pajak dalam melakukan pembayaran pajaknya menyebabkan masih rendahnya
realisasi penerimaan pajak jika dibandingkan dengan potensi yang ada. Sekalipun
target-target penerimaan pajak setiap tahun seringkali tercapai, namun hal tersebut
sesungguhnya masih jauh dari potensi yang ada.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten
Sidoarjo, menjadi salah satu jenis pajak daerah yang diandalkan dalam menopang
Pendapatan Asli Daerah. Dasar Pengenaan PBB P2 adalah Nilail Jual Obyek Pajak
(NJOP) dengan dua tarif, yakni 0,105% untuk total NJOP dibawah Rp.
1.000.000.000,- (1 milyar rupiah) dan 0,225% untuk total NJOP diatas Rp.
1.000.000.000,- (1 milyar rupiah)25. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 adalah harga rata-rata yang diperoleh dari
transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi
jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang
sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
Obyek PBB P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai,
dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

25 Pasal 7 Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 11 Tahun 2011, tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan
Sementara itu Subyek PBB P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Sedangkan
Wajib PBB P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai
suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.26
Berdasarkan sistem pemungutannya, PBB P2 merupakan Pajak yang tata
cara perhitungannya ditentukan oleh Pemerintah (Office Assessment System),
sehingga daerah sendiri lah yang menentukan besaran NJOP dan Tarif Pajaknya yang
dituangkan dalam regulasi di tingkat Daerah (Peraturan Daerah, Peraturan Bupati,
Keputusan Bupati). Besaran ketetapan PBB P2 sangat tergantung dengan nilai NJOP,
nilai NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP), dan besaran tarif yang telah ditetapkan,
sehingga dalam penentuan target Penerimaan PBB P2, Pemerintah daerah sangatlah
berhati-hati, karena kenaikan ketetapan PBB P2 sedikit saja, dengan tidak dibarengi
dengan tingkat pembangunan yang sesuai, dapat menurunkan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan, PBB P2 merupakan
satu-satunya jenis pajak daerah yang berdasarkan Obyek, Subyek, dan Wajib
Pajaknya, dapat dikenakan kepada seluruh masyarakat tanpa kecuali.
Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan mengapa NJOP atas PBB
P2 pada rata-rata daerah Kabupaten Sidoarjo masih jauh dibawah nilai Pasar
sesungguhnya, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang. Adanya
disparitas yang cukup tinggi antara nilai pasar terhadap tanah dan bangunan dengan NJOP
PBB P2 yang kemudian menimbulkan potensi atas PBB P2 menjadi sulit dioptimalkan.
Disisi lain, tingkat kesadaran masyarakat atas pemenuhan kewajiban
perpajakannya (PBB P2) yang masih sangat rendah menjadi salah satu sebab
mengapa Kabupaten Sidoarjo masih belum berani untuk mematok tinggi atas target
penerimaan PBB P2 sekalipun nilai ketetapan total PBB P2 yang menjadi potensi
pada tahun berjalan cukup tinggi.
Sebagai contoh, berdasarkan data pada awal tahun 2021, di Kabupaten
Sidoarjo tercatat sebanyak 827.782 objek PBB P2 yang tersebar di 18 Kecamatan
dan 353 Desa/ Kelurahan dengan nilai ketetapan sebesar Rp. 308.007.681.912,-.
Adapun Realisasi penerimaan PBB P2 pada Tahun 2021 adalah sebesar Rp.
211.581.950.428,- atau 68,69% dari total Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan,
dengan jumlah Obyek Pajak terbayar sebanyak 402.592 atau 48,64% dari total
jumlah Obyek Pajak Bumi dan Bangunan pada Tahun 2021.
26 Pasal 77 dan 78, Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa tingkat kesadaran dan
kepatuhan masyarakat dalam pemenuhan kewajiban PBB P2 pada tahun 2021
masih sangat rendah, yakni kurang dari setengah dari jumlah Obyek PBB P2 yang
terbayar. Terlepas hal ini juga bisa dikarenakan database dan pemetaan hasil
pelimpahan dari Direktorat Jenderal Pajak yang belum update pada saat
dilimpahkan sehingga menghasilkan data “sampah”yang tidak valid yang
ditetapkan berulang setiap tahunnya

2. Kebijakan dan Inovasi Daerah Kabupaten/Kota dalam Pemungutan Pajak


Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Banyak sekali hal yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten


Sidoarjo untuk mengoptimalkan penerimaan PBB P2. Kebanyakan upaya-upaya
tersebut adalah cara-cara untuk menggugah kesadaran dan kepatuhan wajib pajak,
yang notabene adalah hampir seluruh masyarakat, diantaranya :

a. Memperluas Kerjasama Pembayaran Pajak Daerah


Jika sebelumnya channel pembayaran pajak daerah hanya dapat
dilakukan melalui Bank Pembangunan Daerah Jatim (BPD Jatim), Pemerintah
Kabupaten Sidaorjo memulai perluasan kerjasama pembayaran Pajak Daerah
dengan Berbagai Bank Persepsi sejak tahun 2017. Sejak saat itu, pembayaran
Pajak Daerah, termasuk PBB P2 sudah bisa dilakukan melalui berbagai kanal
digital dan terus berkembang, seperti melalui ecommerce, elektronik/mobile
banking, ATM, minimarket, agen laku pandai, Payment Point Online Bank
(PPOB) Hal ini sangat berdampak positif, terutama dalam hal mencegah
terjadinya “kebocoran”dalam penerimaan PBB P2. Dengan pembayaran
digital/online tersebut, uang pembayaran yang dibayarkan oleh masyarakat
wajib pajak dapat langsung tercatat oleh system yang dimiliki Daerah dan
langsung masuk ke rekening penerimaan kas daerah tanpa harus melalui
perantara petugas
Jika sebelum adanya kanal pembayaran digital, masyarakat melakukan
pembayaran dengan menitipkan kepada perangkat Desa/kelurahan, sementara
perangkat desa/kelurahan tersebut harus menunggu waktu dimana petugas
melakukan jemput bola ke kantor-kantor desa/kelurahan, untuk saat ini
pembayaran sudah bisa dilakukan kapanpun dimanapun secara realtime. Jika
sebelumnya pembayaran yang “dititipkan” tersebut belum tentu jumlahnya
sama dengan yang dibayarkan ke rekening penerimaan kas daerah, dengan
adanya kanal pembayaran digital hal tersebut sudah tidak mungkin lagi terjadi.
Hal inilah yang kemudian diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan
masyarakat sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dan kepatuhan dalam
pemenuhan kewajiban perpajakannya.

b. Pelayanan Cetak Mandiri SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) PBB P2


online
Salah satu hal yang menjadi penghambat penerimaan PBB P2 adalah
lamanya proses distribusi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB P2
sampai kepada masyarakat, sehingga masyarakat yang hendak melakukan
pembayaran menjadi menunda pembayaran pajaknya karena merasa masih
belum menerima SPPT PBB. Padahal, ketetapan PBB P2 sebenarnya sudah ada
sejak awal tahun, yakni sejak bulan Januari setiap tahun nya. Namun rata-rata
masyarakat baru melakukan pembayaran PBB P2 menunggu sampai dengan
dua bulan bahkan sampai dengan empat bulan berikutnya.
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo saat ini berinovasi dengan
mengembangan SPPT PBB elektronik dimana SPPT PBB bisa dicetak sendiri
oleh masyarakat. Dengan adanya SPPT PBB elektronik ini, masyarakat dapat
langsung mencetak SPPT PBB nya diawal tahun atau sewaktu-waktu saat
dibutuhkan tanpa harus menunggu selesai didistribusikan oleh desa/kelurahan.
Dengan kemudahan ini diharapkan masyarakat dapat meningkat kesadaran dan
kepatuhannya terhadap pembayaran PBB P2. Selain itu, dengan SPPT PBB
elektronik ini memperkecil peluang terjadinya “PUNGLI” dalam proses
pendistribusian PBB P2

c. Pelayanan Cetak Tagihan PBB P2 online


Salah satu penyebab kurangnya kepatuhan dan kesadaran pembayaran
PBB P2 oleh masyarakat adalah kurangnya akses terhadap jumlah PBB
terutang yang menjadi kewajiban masyarakat itu sendiri. Masyarakat selama ini
baru mengetahui berapa kewajiban perpajakannya setelah mendapatkan SPPT
PBB, itupun hanya tagihan tahun berjalan saja, sementara tagihan tahun tahun
sebelumnya apakah sudah terbayar atau tidak masih belum tahu.
Dengan adanya cetak mandiri PBB P2 secara elektronik, tentunya dengan
melalui verifikasi keamanan data terlebih dahulu, masyarakat bisa langsung
mengakses berapa tagihan PBB P2nya, termasuk mengetahui apakah PBB P2
nya masih memiliki tunggakan ataukah tidak dengan memasukkan kode unik
berupa Nomor Obyek Pajak terhadap obyek Tanah dan Bangunan yang
dimiliki.
Adanya inovasi kanal pembayaran digital dan cetak tagihan secara
elektronik ini memberikan transparansi dalam pemungutan PBB P2 kepada
masyarakat, karena masyarakat dapat langsung mengecek apakah pembayaran
pajak terutang yang telah dilakukan tersebut apakah benar telah diterima oleh
daerah. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam
pembayaran PBB P2

d. Cetak SPPT PBB jadi satu dengan Piutang PBB P2


Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu hal yang menyebabkan turunnya
kepatuhan dan kesadaran dalam pembayaran PBB P2 adalah ketidaktahuan
masyarakat wajib pajak atas berapa beban pajak terutang yang harus
ditanggung oleh masyarakat. Sekalipun telah disediakan fasilitas untuk
mengecek nilai tagihan dan piutang PBB P2 secara online, namun belum tentu
seluruh masyarakat memanfaatkannya,
Adanya kebijakan Cetak SPPT PBB yang jadi satu dengan Piutang PBB
P2 disisi lain menimbulkan dampak dimana masyarakat yang dimasa lalu
merasa telah melakukan pembayaran PBB namun masih ditagihkan PBB nya.
Hal ini dapat dikarenakan teknis pembayaran PBB P2 sebelumnya yang masih
manual, sehingga menimbulkan selisih antara uang yang diterima petugas
dengan uang yang disetorkan. Namun setidaknya, hal ini semakin
meningkatkan transparansi dalam pemungutan PBB P2, sehingga dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat yang berimbas pada meningkatnya
kesadaran dan kepatuhan dalam pembayaran PBB P2 nya

e. Konfirmasi Status Wajib Pajak Daerah atas PBB P2


Konfirmasi Status Wajib Pajak Daerah ini merupakan sebuah kebijakan
daerah, yang didasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112
tahun 2016 tentang Konfirmasi Status Wajib Pajak dalam pemberian Layanan Publik
Tertentu di Lingkungan Pemerintah Daerah, yang mana dalam pasal 2 ayat 1 berbunyi
“Pemerintah daerah melakukan konfirmasi status wajib pajak sebelum memberikan
layanan publik tertentu”. dan dipasal 3 dijelaskan bahwa “Pemerintah Daerah dapat
melakukan penelitian terhadap pemenuhan kewajiban Pajak Daerah dari pemohon
layanan tertentu” dimana penelitian dimaksud dijelaskan di pasal 4 yang berbunyi :
ayat (1) “Pemerintah daerah dapat memberikan layanan publik tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a (ijin usaha perdagangan), huruf b (ijin usaha
hiburan), huruf c (ijin mendirikan bangunan), dan huruf d (ijin usaha restoran) kepada
pemohon apabila pemohon dapat menunjukkan dokumen sebagai berikut: a. bukti
pembayaran PBB-P2 tahun terakhir; b. bukti pembayaran BPHTB dalam hal terjadi
pengalihan kepemilikan; dan c. keterangan status Wajib Pajak dari Kementerian yang
membidangi urusan keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak”. Dan ayat (2)
“Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap pemberian
layanan publik tertentu selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)” 27

(terdapat 9 jenis pelayanan perijinan tertentu).


Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2016 ini kemudian
ditindaklanjuti dengan Menerbitkan Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 22 Tahun 2019
tentang Tata Cara Konfirmasi Status Wajib Pajak dimana bukti Pelunasan PBB P2
menjadi dokumen tertentu yang wajib ditunjukkan kepada petugas apabila hendak
mengajukan pelayanan Ijin Mendirikan Bangunan dan Pelayanan Kependudukan .
Kebijakan KSWPD ini perlu disadari dan pahami oleh masyarakat bahwa selain
masyarakat juga memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang baik oleh
Pemerintah, masyarakat juga memiliki kewajiban kepada negara yakni membayar
Pajak. Kebijakan ini merupakan salah satu upaya paksa dari pemerintah untuk
menyadarkan masyarakat bahwa kewajiban melakukan pembayaran pajak juga
penting sama pentingnya dengan hak untuk dipenuhi dalam pelayanan publik 28

f. Pembayaran Pajak Daerah melalui BUMDes


Kerjasama pembayaran pajak daerah melalui BUMDes merupakan
salah satu upaya terobosan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Sidoarjo. Dengan adanya kebijakan KSWPD, masyarakat wajib pajak perlu
untuk dipermudah agar jangan sampai masyarakat yang ingin mendapatkan
pelayanan di tingkat desa harus kembali untuk melakukan pembayaran PBB P2
terlebih dahulu ditempat pembayaran yang telah disediakan, yang mungkin saja
jauh dari kantor Desa tersebut. Dengan Kerjasama pembayaran PBB melalui
BUMDes, masyarakat tidak perlu lagi untuk datang ke tempat pembayaran
27 Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2016 tentang Konfirmasi Status Wajib Pajak
dalam pemberian Layanan Publik Tertentu di Lingkungan Pemerintah Daerah.
28 Pasal 3, Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 22 Tahun 2019, tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Status Wajib
Pajak.
yang telah ditentukan, karena pembayaran PBB bisa langsung dilakukan
ditempat dengan mengkaryakan BUMDes yang ada. Hal ini juga berdampak
pada berjalannya usaha BUMDes, karena dari setiap pembayaran PBB P2,
BUMDes berhak mendapatkan biaya admin sesua dengan kesepakatan
BUMDes dengan Bank Persepsi. Tentunya biaya admin ini tidaklah yang
memberatkan masyarakat, namun justru lebih ekonomis dari pada jika
masyarakat harus datang ke tempat pembayaran yang mungkin lokasinya jauh
dari kantor desa.

g. Pemberian akses kepada Kecamatan, Desa dan Kelurahan atas nilai ketetapan
dan realisasi pembayaran PBB P2 secara realtime
Pemberian akses kepada pemangku wilayah Kecamatan dan
Desa/Kelurahan atas nilai ketetapan PBB P2 dan realisasi pembayarannya
secara real time merupakan salah satu upaya Pemerintah Kabupaten Sidoarjo
untuk melakukan pengawasan terhadap masyarakatnya terhadap kewajiban
pembayaran PBB P2 nya. Diharapkan dengan adanya kebijakan ini dapat
menumbuhkan kepedulian dari para pemangku wilayah tersebut untuk turut
serta membantu meningkatkan penerimaan PBB P2. Tentunya hal ini perlu
didukung dengan peningkatan anggaran pembangunan di tingkat Kecamatan
dan Desa/Kelurahan, sehingga muncul hubungan timbal balik yang positif dari
masyarakat Desa/Kelurahan setempat

h. Meningkatkan pembangunan infrastruktur dan program-program


pembangunan sosial kemasyarakatan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa, salah satu sebab masih kurangnya
kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melakukan pembayaran PBB P2
adalah masyarakat merasa bahwa pembangunan yang dilakukan di
kabupaten/kota yang dinilai masih kurang, sehingga masyarakat merasa tidak
perlu membayar PBB P2 karena tidak ada manfaatnya melakukan pembayaran
PBB P2. Sekalipun dalam UU PDRD telah dijelaskan bahwa pajak adalah
pungutan kepada masyarakat yang imbalannya tidak dapat dirasakan secara
langsung, namun pemerintah belum mampu untuk menyadarkan seluruh
masyarakatnya akan hal tersebut.
Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dalam upaya
meningkatkan penerimaan PBB P2 nya adalah dengan meningkatkan program-
program strategis pembangunan yang dapat dirasakan langsung oleh
masyarakat seperti peningkatan betonisasi jalan, saluran, pembangunan
Frontage Road, Jalan Overpas Juanda dan Overpass Krian, Pembangunan
Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo Barat di Krian, bantuan Pendidikan,
bantuan sosial, dan lain lain. Dari sini Pemerintah berupaya untuk menunjukkan
kepada masyarakat bahwa program-program pembangunan tersebut dapat
terwujud dari pembayaran PBB P2 oleh masyarakat, sehingga diharapkan dapat
memacu kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pembayaran PBB P2 nya

i. Kerjasama Penagihan Pajak dengan Aparat Penegak Hukum


Ini merupakan salah satu upaya represif yang dapat dilakukan oleh
pemerintah dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pembayaran PBB
P2. Tentunya dalam melakukan penagihan PBB P2 dengan melibatkan Aparat
Penegak Hukum seperti kepolisian maupun Kejaksaan, perlu dipilih wajib
pajak yang benar-benar tidak kooperatif salam melakukan pembayaran, setelah
dilakukan upaya penagihan aktif oleh petugas pajak setempat. Wajib pajak yang
dipilih hendaknya wajib pajak yang notabene sudah paham perihal peraturan
perpajakannya, tidak kooperatif, memiliki kemampuan bayar, dengan nilai
pajak terutang yang besar. Hal ini telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten
Sidoarjo kepada Wajib Pajak dengan piutang PBB P2 yang besar yang tidak
kooperatif setelah dilakukan beberapa kali penagihan aktif untuk memberikan
efek jera dan contoh kepada masyarakat wajib pajak yang lain

C. Pengelolaan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan di Kabupaten Sidoarjo

1. Gambaran Umum.
Pemberlakuan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
dilatarbelakangi pemikiran bahwa tanah dan bangunan sebagai bagian dari sumber
daya alam memiliki fungsi sosial, disamping memiliki kebutuhan dasar untuk papan
dan lahan usaha, juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu,
bagi mereka yang memperoleh ha katas tanah dan atau bangunan adalah wajar
menyerahkan Sebagian dari nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui
pembayaran pajak, yaitu BPHTB. BPHTB memenuhi syarat diberlakukan karena
mempunyai sumber yang stabil dan potensial, memenuhi kriteria perpajakan, pernah
dipungut, mempunyai dampak distorsi minimal, serta sekaligus dapat mengurangi
Hasrat penguasaan tanah dengan tujuan spekulasi oleh masyarakat.
BPHTB adalah pajak atas perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Jenis pajak
ini mulai dipungut oleh Pemerintah Indonesia. Sebagai pajak pusat, pada tahun 1997
dengan ditetapkannya Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah mengalami
perubahan, terakhir dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2000. Pada awalnya,
BPHTB yang dipungut oleh Pemerintah Pusat pada dasarnya diserahkan kembali kepada
daerah melalui mekanisme dana bagi hasil, walaupun tidak sepenuhnya kembali ke daerah
penghasil. Sampai dengan lahirnya Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, mengawali babak baru pemungutan BPHTB oleh
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo sepenuhnya.
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP), yaitu
nilai transaksi dan nilai pasar, namun pada prakteknya masih menggunakan NJOP PBB P2
yang notabene masih jauh dari nilai pasar sesungguhnya. NJOP PBB P2 tidak sepenuhnya
dapat dijadikan dasar untuk perhitungan BPHTB karena penetapan NJOP itu sendiri penuh
dengan kearifan lokal, sehingga NJOP itu sendiri dirasa sulit untuk mengejar nilai Pasar
yang sebenarnya.
Pemberian kewenangan pengelolaan BPHTB kepada Kabupaten/Kota
memberikan peluang bagi daerah untuk menetapkan besarnya BPHTB yang sesuai dengan
Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP) dalam pengertian yang sesungguhnya, yaitu harga
transaksi atau harga pasar, tidak hanya mengacu pada NJOP yang tercantum dalam Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB P2. Namun sayangnya, Peralihan pemungutan
PBB P2 dan BPHTB pada tahun 2010 tidak dibarengi dengan peralihan Sumber Daya
Manusia Penilai PBB P2 dari Pemerintah Pusat. Hal ini menyebabkan penilaian NJOP PBB
P2 maupun peremajaan data PBB P2 diKabupaten Sidoarjo bergerak lambat, tidak
sebanding dengan pertumbuhan property di Kabupaten Sidoarjo sebagai penyangga Kota
Surabaya yang begitu cepat.
Bambang Tri Cahyono mengemukakan bahwa perkembangan Kapitalisme
mendorong perubahan fungsi tanah, yaitu fungsi sebagai salah satu factor produksi utama
menjadi sarana investasi. Bagi banyak investor, pemilikan atau penguasaan tanah
merupakan investasi yang sangat menguntugkan. Dalam jangka Panjang investasi seperti
ini menjanjikan keamanan, kepastian pendapatan, nilai tinggi, dan umumnya terhindar dari
inflasi 29
29 Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar Grafika, cetakan keempat, 2010.
2. Kebijakan dan Inovasi Daerah Kabupaten/Kota dalam Pemungutan Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.

Adanya disparitas yang tinggi antara NJOP dan Nilai Transaksi dan atau
nilai pasar yang sesungguhnya membuat Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, dalam hal
ini Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) yang
selajutnya berganti menjadi Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Kabupaten
Sidoarjo melakukan langkah terobosan antara lain :

a. Penggunaan Nilai Pasar Wajar, dan atau Nilai Transaksi Wajar sebagai Nilai
Perolehan Obyek Pajak (NPOP)
Diawal pengalihan BPHTB dari Pemerintah Pusat Ke Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo pada Tahun 2010, BPHTB yang system pemungutannya Self
Assessment System, dimana Wajib Pajak Melaporkan sendiri berapa pajak yang
harus dibayarkan, pada saat itu Wajib Pajak cenderung menggunakan NJOP yang
tercantum dalam SPPT PBB P2 sebagai nilai transaksinya. Hal ini dilakukan
untuk mengecilkan nilai BPHTB yang terutang. Hal ini sebenarnya tidak
melanggar Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 maupun Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2010, karena NPOP serendah-rendahnya adalah NJOP.
Hal ini kemudian menjadikan hampir semua Wajib Pajak tidak melaporkan
berapa nilai transaksi yang sesungguhnya, sehingga mekanisme pemungutan
BPHTB dilakukan dengan melakukan pemeriksaan NPOP diawal sebelum
menjadi ketetapan BPHTB terutang. NPOP hasil pemeriksaan ini didasarkan
pada Bank data nilai Transaksi yang diperoleh dari transaksi transaksi yang
pernah dilaporkan yang terjadi di daerah yang sama pada beberapa tahun terakhir,
dan juga nilai pasar wajar yang diperoleh dari berbagai sumber seperti, harga
brosur perumahan setelah dikurangi biaya-biaya, penawaran di Internet, Surat
Pemesanan Rumah, Persetujuan Kredit Bank, dan lain sebagainya. Sistem
pemeriksaan NPOP yang dilakukan diawal ini kemudian memaksa Wajib Pajak
untuk melaporkan berapa nilai transaksi yang sebenarnya.

b. Membangun Aplikasi Elektronik BPHTB


Setelah dilakukan pemeriksaan NPOP diawal pengajuan verifikasi
BPHTB, kemudian banyak oknum-oknum kuasa Wajib Pajak yang mencoba
untuk mengajukan tanggapan-tanggapan atas hasil verifikasi/pemeriksaan NPOP
petugas, agar dapat menurunkan nilai BPHTB yang akan terhutang dengan
mengajukan berbagai data pembanding versi pemohon. Adanya interaksi antara
petugas dengan pemohon BPHTB ini dapat menimbulkan potensi-potensi
“negosiasi pajak” yang dikhawatirkan dapat memunculkan “kecurangan-
kecurangan”.
Dalam rangka menghindari pertemuan antara Wajib Pajak dengan petugas
verifikasi BPHTB ini, Badan Pelayanan Pajak Daerah Kabupaten Sidoarjo pada
tahun 2018 membuat aplikasi Elektronik BPHTB, sehingga segala pengajuan
verifikasi BPHTB sejak saat itu dilakukan secara online, termasuk segala
tanggapan-tanggapan atas keberatan Nilai Perolehan Obyek Pajak hasil
pemeriksaan petugas dilakukan melalui kolom Chat yang sudah tersedia, dan
tercatat secara system, sehingga proses pemungutan BPHTB dapat
dipertanggungjawabkan untuk mengurangi potensi kebocoran yang akan terjadi

c. Integrasi data Host to Host dengan Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo


Dengan semakin sempitnya upaya-upaya oknum kuasa Wajib Pajak untuk
tidak melaporkan transaksi Jual Beli Obyek BPHTB yang sesungguhnya,
membuat beberapa dari mereka melakukan upaya yang lebih ekstrem. Perlu
diketahui bahwa, pembayaran BPHTB dibutuhkan oleh Instansi Kantor
Pertanahan sebagai salah satu persyaratan untuk pengajuan dokumen pertanahan
(Peralihan hak atas Tanah, Pemberian Hak Baru, Hibah, Waris, dll). Seiring
berjalannya waktu, ternyata terdapat beberapa pengajuan dokumen pertanahan
yang tetap diproses meskipun tidak ada pembayaran BPHTB nya, yang kemudian
diketahui bahwa ada indikasi pemalsuan pembayaran BPHTB oleh oknum kuasa
Wajib Pajak untuk menghindari pembayaran BPHTB.
Berkaca dari hal tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik
Indonesia melalui Koordinasi Supervisi dan Pencegahan (Korsupgah KPK RI)
melakukan supervisi untuk dapat mengintegrasikan data pertanahan dengan data
pembayaran PBB P2 dan BPHTB. Peluang ini kemudian dimanfaatkan oleh
Badan Pelayanan Pajak Daerah Kabupaten Sidoarjo untuk melakukan integrasi
system E-BPHTB dengan system KKP (Komputerisasi Kantor Pertanahan)
secara Host to Host, untuk melakukan Konfirmasi Status Pembayaran PBB P2
dan BPHTB secara system pada saat proses pengajuan Hak baru maupun
Peralihan Hak atas Tanah di Kantor Pertanahan. Integrasi data pertanahan dengan
data PBB P2 dan BPHTB ini otomatis menutup peluang-peluang terjadinya
kecurangan dalam pembayaran PBB P2 dan BPHTB
D. Kontribusi penerimaan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan Bea
Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan terhadap kemandirian fiskal Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo

Sebelum peralihan Pengelolaan PBB P2 dan BPHTB, penerimaan dari


PBB P2 dan BPHTB yang dipungut di Kabupaten Sidoarjo dikembalikan dalam
bentuk Dana Bagi Hasil dengan perhitungan berdasarkan pasal 12 ayat (2), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) Undang undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, sebagai berikut :
(2). Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% (Sembilan puluh persen)
untuk Daerah dengan rincian sebagai berikut:
a. 16,2% (enam belas dua persepuluh persen) untuk daerah Propinsi yang
bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Propinsi
b. 64,8% (enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum
Daerah Kabupaten/Kota; dan
c. 9% (Sembilan persen) untuk biaya pemngutan
(3). 10% (sepuluh persen) bagian pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan
kepada seluruh daerah Kabupaten dan Kota yang didasarkan atas realisasi
penerimaan PBB Tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut :
a. 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh
daerah Kabupaten dan Kota; dan
b. 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada daerah
Kabupaten dan Kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui
rencana penerimaan sektor tertentu.
(4). Dana Bagi hasil dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80% (delapan puluh
persen) dengan rincian sebagai berikut :
a. 16% (enam belas persen) untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan
disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Propinsi
b. 64% (enam puluh empat persen) untuk daerah Kabupaten dan Kota
penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota
(5). 20% (dua puluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB dibagikan
dengan porsi yang sama besar untuk seluruh Kabupaten dan Kota30.

30 Pasal 12 ayat 2,3,4,dan 5. Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintahan Daerah.
Dengan diberlakukannya Undang undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang ditindaklanjuti dengan diterbitkannya
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan yang diundangkan sejak tanggal 28 Juni 2011 dan .Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan yang
diundangkan sejak tanggal 31 Desember 2010, maka sejak saat itu pengelolaan PBB
P2 dan BPHTB menjadi sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo,
dengan penerimaan PBB P2 dan BPHTB menjadi 100% masuk ke Rekening Kas
Umum Daerah Kabupaten Sidoarjo.

Sejak pengalihan PBB P2 dan BPHTB tersebut, realisasi penerimaan PBB P2


dan BPHTB selalu meningkat dari tahun ke tahun sebagaimana pada tabel berikut :

Tabel 1.1
Realisasi Penerimaan PBB P2 dan BPHTB di Kabupaten Sidoarjo dibandingkan
dengan penerimaan PAD, Pendapatan Transfer, dan kemandirian fiskal Tahun 2011
s/d 2020
Th PBB-P2 BPHTB % PAD Dana %
thd Perimbangan / IKF
PA Pendapatan
D Transfer
2011 - 91.429.345.870 18,88 484.313.737.307 1.003.815.337.129 48,25
2012 111.326.978.118 99.138.455.803 31,43 669.617.556.904 1.191.772.398.581 56,18
2013 147.187.993.871 155.400.719.381 35,24 858.433.670.217 1.309.290.400.966 65,56
2014 157.683.880.579 181.411.980.178 30,40 1.115.332.938.500 1.425.650.988.426 78,23
2015 158.631.832.684 220.217.563.615 29,90 1.266.786.627.409 1.446.116.091.633 87,60
2016 169.903.041.229 227.233.055.238 29,74 1.335.283.958.792 1.526.130.415.098 87,49
2017 199.948.795.481 337.602.489.875 32,15 1.671.806.819.696 1.833.860.113.708 91,16
2018 219.141.718.065 307.416.332.941 33,94 1.551.389.057.203 1.834.890.492.000 84,55
2019 237.461.681.071 334.002.890.576 33,81 1.689.953.213.263 1.797.935.335.000 93,99
2020 229.810.879.995 282.529.546.294 28,49 1.798.515.529.274 1.679.002.822.465 107,12
2021 254.650.339.833 350.854.606.523 31,52 1.921.244.253.335 2.350.357.830.053 81,74

Sumber : BPKAD Kabupaten Sidoarjo


Berdasarkan data tersebut diatas, terlihat bahwa sejak pengalihan PBB P2 dan BPHTB
ke Kabupaten Sidoarjo, penerimaan PAD meningkat secara drastis, bahkan kontribusi
PBB P2 dan BPHTB setiap tahun nya rata-rata 30% dari total penerimaan Pendapatan
Asli Daerah. Dengan adanya PBB P2 dan BPHTB yang dikelola sendiri oleh
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, tingkat kemandirian fiskal daerah Kabupaten Sidoarjo
pun semakin meningkat setiap tahun nya. Hal ini dapat dilihat dari rasio penerimaan
PAD dibandingkan dengan penerimaan dari Dana Perimbangan/Pendapatan Transfer
yang cenderung meningkat setiap tahun nya
Peningkatan penerimaan PBB P2 dan BPHTB tersebut tidak terlepas dari
berbagai inovasi dan kebijakan pengelolaan PBB P2 dan BPHTB yang dilakukan dari
Tahun ke Tahun, sehingga keberadaan PBB P2 dan BPHTB mampu menjadi 2 jenis
pajak dengan realisasi penerimaan yang paling besar, selain Pajak Penerangan Jalan,
dibandingkan dengan Pajak Restoran, Pajak Reklame, Pajak Parkir, Pajak Hotel, Pajak
Hiburan, dan Pajak Air Tanah yang dipungut oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.
BAB III : KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, pengalihan pemungutan Pajak Bumi dan


Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dan Bea Perolehan Ha katas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Kabupaten/Kota merupakan
Langkah yang sangat tepat dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan keuangan
daerah Kabupaten/Kota selain untuk efisiensi pemungutan itu sendiri. Hal ini
dikarenakan, Daerah Kabupaten/Kota lebih paham akan kondisi daerahnya sendiri,
mengintah Obyek Pajak dari PBB dan BPHTB itu sendiri merupakan bumi dan
bangunan dan transaksi atas tanah dan bangunan yang berada di wilayah
Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, seyogyanya daerah Kabupaten/Kota jauh lebih
memahami berapa nilai jual obyek pajak (NJOP) dan Nilai Perolehan Obyek Pajak
(NPOP) wajar di wilayahnya masing-masing dari pada Pemerintah Pusat, sekaligus
Daerah lebih memahami bagaimana karakteristik dari masyarakat di daerahnya
masing-masing selaku wajib pajak PBB P2 dan BPHTB, sehingga dapat merumuskan
kebijakan yang lebih tepat terhadap pemungutan PBB P2 dan BPHTB.
Dengan adanya Desentralisasi Fiskal di bidang perpajakan yang ditandai
dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Nomor 5 tahun
2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Peraturan
Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan, Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sidoarjo melonjak secara signifikan.
Bahkan kedua jenis pajak ini otomatis langsung menjadi dua jenis pajak yang
penerimaannya menjadi tiga besar penerimaan terbesar dalam PAD bersama dengan
Pajak Penerangan Jalan (PPJ). Hal ini tentunya sangat menunjang pada peningkatan
kemandirian fiskal daerah, karena PAD yang naik.
Dengan adanya pengalihan pemungutan PBB P2 dan BPHTB ini, pekerjaan
rumah yang perlu dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah dengan melakukan
berbagai inovasi pelayanan dan pemungutan, mengingat potensi PBB P2 dan BPHTB
masih sangat bisa ditingkatkan. Tantangan yang harus disiapkan solusinya adalah
bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tertib dalam pembayaran PBB
P2 dan terbuka dalam BPHTB. PBB P2 dan BPHTB saat ini menjadi dua jenis pajak
daerah yang saling terkait, yang sangat bisa diandalkan untuk meningkatkan
Kemandirian Fiskal Daerah, tentunya dengan kebijakan dan mekanisme pemungutan
yang tepat.
DAFTAR BACAAN

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, “Laporan Hasil Pemeriksaan atas


Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2019 Nomor :
19f/LHP/XV/06/2020 (Jakarta: BPK RI, 2020)
Bisma, I. G dan Susanto, H. 2010.Evaluasi Kinerja Keuangan Daerah Pemerintah
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun Anggaran 2003-2007. Ganec Swara
Edisi Khusus Vol.4 No. 3
Indonesia, 1999, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara RI nomor 3839
Indonesia, 2004, Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah, Lembaran
Negara RI Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
4438
Indonesia, 2009, Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 5049
Indonesia, 2014, Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, Lembaran Negara RI Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 5587
Indonesia, 2022, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, lembaran Negara RI Tahun
2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 6757
Kabupaten Sidoarjo, 2011, Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 11 Tahun
2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, Lembaran
Daerah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2011 Nomor 5 Seri B, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 22
Kabupaten Sidoarjo, Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 22 Tahun 2019, tentang Tata
Cara Pelaksanaan Konfirmasi Status Wajib Pajak, Berita Daerah Kabupaten
Sidoarjo Tahun 2019 Nomor 22
Kementerian Dalam Negeri, 2016, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun
2016 tentang Konfirmasi Status Wajib Pajak dalam pemberian Layanan Publik
Tertentu di Lingkungan Pemerintah Daerah, Berita Negara RI Tahun 2017 Nomor
126
Kurniati, Dian. (7 Januari 2022, Jam 13.00 WIB), “Mendagri Tito Ingatkan Pemda
Soal Kemandirian Fiskal Daerah”, Anggaran Pemerintah Daerah. Diakses
dari https://news.ddtc.co.id/mendagri-tito-ingatkan-pemda-soal-kemandirian-
fiskal-daerah-35916
Maddick, Henry. 2004. Desentralisasi Dalam Praktek. Yogyakarta : Pustaka Kendi.
Mardiasmo. 2003. Perpajakan Teori dan kasus. Jakarta : Andi
Mawardi, Oentarto S, CS. 2005. Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan.
Jakarta : Samitra Media Utama.
Pujiati, Amin (2006). Analisis Pertumbuhan Ekonomi di Karesidenan Semarang Era
desentralisasi Fiskal. Jurnal Ekonomi Pembangunan: 61-70.
Saragih, J.P. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Jakarta
: Ghalia Indonesia
Saragih J.P.(2014). Politik Desentralisasi Fiskal : Permasalahan dalam Implementasi.
Politica Vol. 5 No. 2 November 2014, Jakarta, Pusat Penelitian dan Keahlian
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Siahaan, Marihot P. 2003. Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan, Teori dan
Praktek. Edisi Revisi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Suandy, Erly. 2005. Hukum Pajak. Jakarta : Salemba Empat.
Suhayati, Ely dan Rahayu, Siti Kurnia. 2006. Pengantar Perpajakan. Bandung :
Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi UNIKOM.
Sutedi, Adrian. 2010. Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta : Sinar
Grafika, cetakan keempat.

Anda mungkin juga menyukai