Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan serta Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan dalam rangka Desentralisasi Fiskal menuju
Kemandirian Fiskal Daerah (Studi Kasus Pemungutan di Kabupaten Sidoarjo)
Disusun oleh :
Dosen Pembimbing :
Latar Belakang
1 Pasal 1 huruf h, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
2 Pasal 1 huruf i, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Dalam Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah tersebut, salah satu kebijakan yang ditetapkan Pemerintah untung
meningkatkan kemandirian fiscal daerah adalah dengan pengalihan Pengelolaan Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dan Bea Perolehan Ha katas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Kabupaten/Kota,
serta Pajak Air Tanah dari Pemerintah Propinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, jenis-jenis Pajak Daerah antara lain:
1. Pajak Provinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
d. Pajak Air Permukaan
e. Pajak Rokok
2. Pajak Kabupaten/Kota
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Penerangan Bukan Logam dan Batuan
g. Pajak Parkir
h. Pajak Air Tanah
i. Pajak Sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan
k. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
Rumusan Masalah
1. Bagimana kendala pemungutan PBB P2 dan kebijakan yang diambil
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo?
2. Bagaimana kendala pemungutan BPHTB dan kebijakan yang diambil
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo?
3. Bagaimana pengaruh penerimaan PBB P2 dan BPHTB terhadap kemandirian
Fiskal Kabupaten Sidoarjo dari tahun ke tahun
Tinjauan Pustaka
1. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu jenis pajak yang paling
dikenal oleh masyarakat sejak dahulu. Oleh karena itu, jenis pajak ini menjadi
sangat familiar ditengah masyarakat, bahkan Sebagian masyarakat masih
menganggap bahwa SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) PBB merupakan
salah satu bukti kepemilikan meskipun anggapan ini salah karena SPPT PBB
hanyalah sebagai bukti telah terdaftar sebagai obyek pajak.
Menurut Erly Suandy, “Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang
bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu
bumi / tanah / dan bangunan keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut
menentukan besar pajak”3. Namun demikian, karena PBB merupakan pajak yang
langsung bersentuhan dengan seluruh lapisan masyarakat, PBB hendaknya dipungut
berdasarkan asas asas tertentu. Mardiasmo menjelaskan bahwa pengenaan Pajak
Bumi dan Bangunan diatur dalam beberapa asas yang meliputi :
1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan
2. Adanya kepastian hukum
3. Mudah dimengerti dan adil
4. Menghindari pajak yang berganda 4
Pajak Bumi dan Bangunan dibagi menjadi dua yaitu, Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang dikelola oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota berdasarkan Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak
daerah dan Retribusi daerah, dan Pajak Bumi dan Bangunan Perkebunan,
Perhutanan, Pertambangan dan Sektor Lainnya (PBB P3) yang dikelola oleh
Pemerintah Pusat berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-
20/PJ/2015 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Lainnya
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) menurut
Undang Undang Nomor 28 Tahun 2019 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan
yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan5. Sedangkan menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 Pajak Bumi
dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan
yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan 6.
3. Erly Suandy. Hukum Pajak. Jakarta : Salemba Empat, 2005
4 Mardiasmo.Perpajakan Teori dan kasus. Jakarta : Andi, 2003
5 Pasal 1 angka 37, Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
6 Pasal 1 angka 33, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai,
dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan 7.
Sedangkan Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau
memiliki, menguasai, dan/ atau memperoleh manfaat atas Bangunan 8.
7 Pasal 38 ayat 1, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
8 Pasal 39 ayat 1, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
9 Pasal 38 ayat 3, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
Menurut Ely Suhayati dan Siti Kurnia Rahayu menjelaskan bahwa yang
menjadi subjek pajak PBB adalah :
1. Yang menjadi subjek pajak PBB adalah orang atau badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau
memiliki, menguasai, dan memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian
tanda pembayaran atau pelunasan PBB bukan merupakan bukti kepemilikan.
2. Subjek pajak PBB yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.
3. Apabila terhadap suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, maka
Direrktorat Jenderal Pajak akan menetapkan subjek pajak sebagaimana
dimaksud di atas sebagai wajib pajak10.
Dari uraian diatas maka dapat dijelaskan bahwa subjek pajak PBB adalah
orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan atau
memperoleh manfaat atas bumi dan atau memiliki, menguasai, dan memperoleh
manfaat atas bangunan.
13 Pasal 45 ayat 1, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
14 Pasal 85 ayat 1, 2, dan 4, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
3. Desentralisasi Fiskal
Konsep otonomi daerah dan desentralisasi yang merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Henri Maddick
mengatakan bahwa Desentralisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan
kemampuan aparat pemerintah dan memperoleh informasi yang lebih baik mengenai
keadaan daerah untuk menyususn program-program daerah secara lebih responsive dan
untuk mengantisipasi secara cepat apabila dalam pelaksanaannya timbul berbagai
persoalan 15. Lebih lanjut Oentarto S.M., membatasi pengertian desentralisasi yaitu:
"Desentralisasi sebagai kebiiakan pelimpahan kewenangan dari pemerintah kepada
unit pemerintah bawahan. Secara politis, desentralisasi merupakan kebijakan'berbagi
kewenangan' (power shoing) antara pemerintah dengan pemerintah daerah" 16.
Desentralisai menuntut adanya percepatan dan ketepatan sasaran program
kegiatan yang berdasar pada partisipasi aktif masyarakat untuk mempercepat kemajuan
pembangunan. kewenangan yang diberikan secara otomatis seharusnya diikuti dengan
pembagian sumber keuangan. Implikasinya pelaksanaan otonomi daerah adalah
dengan adanya otonomi dalam aspek pengelolaan keuangan daerah yang disebut
otonomi fiskal atau desentralisasi fiskal.
Menurut Prawirosetoto (Pujiati 2006), desentralisasi fiskal adalah
pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan dan kewenangan untuk
pengambilan keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan (tax
assigment) maupun aspek pengeluaran (expenditure assignment)17. Dengan kata lain,
desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari
tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk
mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan
banyaknya kewenangan bidang pemerintah yang dilimpahkan18.
Hakikatnya desentralisasi fiskal diharapkan mengelola sumber keuangan secara
mandiri untuk menggali sumber-sumber penerimaan sesuai dengan potensi daerahnya
sendiri dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Lebih lanjut tujuan utama desentralisasi
fiskal adalah:
1)meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan fiskal antara
pusat dan daerah serta antardaerah;
15. Henry Maddick, Desentralisasi dalam praktek, Yogyakarta : Pustaka Kendi, 2004
16. Oentarto SM, CS, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan, Jakarta : Samitra Media Utama2005
17. Pujiati, Amin (2006).. Analisis Pertumbuhan Ekonomi di Karesidenan Semarang Era desentralisasi Fiskal. Jurnal Ekonomi
Pembangunan, 61-70.
18 Saragih, J.P.. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003
2)meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan ketetpatan waktu pengalokasian dan
penyaluran anggaran transfer ke daerah;
3)meningkatkan kualitas pelayanan public di daerah dan mengurangikesenjangan
pelayanan publik antar-daerah otonom;
4) mendukung kesinambungan fiskal nasional;
5)meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional dengan
pembangunan daerah;
6)meningkatkan perhatian terhadap pembangunan di daerah tertinggal, terluar,dan
terdepan;
7)meningkatkan pelaksanaan pemantauan dan evaluasi terhadap jenis dana transfer
tertentu guna meningkatkan kualitas belanja daerah.19
19. Saragih J.P, (2014), POLITIK DESENTRALISASI FISKAL: PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI, Politica Vol.
5 No. 2 November 2014, Jakarta, Pusat Penelitian dan Keahlian Dewan Perwkilan Rakyat Republik Indonesia, 2014
20 Pasal 280 ayat 2 huruf a, Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dari data diketahui, Kabupaten Badung di bali dengan nilai indeks 0,8347 dapat
membiayai 83,47% belanja Daerah dari PAD. Sedangkan Kabupaten Deiyai di
Papua dengan nilai indeks 0,0031, artinya PAD di Kabupaten tersebut hanya dapat
membiayai 0,31% dari Belanja Daerah. Sebagai pembanding, angka rata-rata IKF
Propinsi TA 2019 adalah 0,36 dan rata-rata angka IKF Kabupaten/Kota adalah 0,11.
2. Sebagian besar Pemerintah Daerah belum mandiri. Data menunjukkan, Pemerintah
Propinsi yang belum mandiri sebanyak 10 dari 34 Propindi pada Tahun Anggaran
2018 dan turun menjadi 8 dari 34 Propindi pada Tahun Anggaran 2019. Adapun
jumlah Kabupaten/kota yang belum mandiri sebanyak 471 dari 508 Kabupaten/Kota
pada Tahun 2018 dan turun menjadi 458 dari 497 Kabupaten/Kota pada Tahun
Anggaran 2019. Patut dicermati dari daerah yang masuk kategori Kabupaten/Kota
yang belum mandiri tersebut adalah terdapat sedikitnya 102 dari 458 daerah dengan
nilai IKF dibawah 0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut
masih sangat tergantung pada dana transfer, karena PAD hanya cukup untuk
membiayai 5% belanja daerah.
3. Berdasarkan jumlah daerah yang masuk kategori Menuju kemandirian pada Tahun
Anggaran 2018, terdapat 16 Propinsi dan meningkat menjadi 18 Propinsi pada
Tahun Anggaran 2019. Sedangkan jumlah Kabupaten/Kota yang masuk klasifikasi
menuju kemandirian pada Tahun Anggaran 2018 sebanyak 34 meningkat menjadi
36 pada Tahun Anggaran 2019.
4. Jumlah daerah yang telah mandiri pada Tahun Anggaran 2018 dan 2019 adalah
sama yaitu terdapat 8 Propinsi dan 2 Kota.
5. Analisis menunjukkan bahwa pada Tahun Anggaran 2018 dan 2019 hanya terdapat
satu daerah dengan klasifikasi Sangat mandiri, yaitu Kabupaten Badung, dan tidak
terdapat Pemerintah Propinsi yang sangat mandiri.21
Adapun formula yang digunakan untuk menyajikan data diatas adalah dengan
menggunakan Formula Hunter (1977) dengan rumus sebagai berikut :
21 Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, “Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun
2019 Nomor : 19f/LHP/XV/06/2020 (Jakarta: BPK RI, 2020)
22 Bisma, I. G dan Susanto, H. 2010.Evaluasi Kinerja Keuangan Daerah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun
Anggaran 2003-2007. Ganec Swara Edisi Khusus Vol.4 No. 3
23 Dian Kurniati, news.ddtc.co,id, Anggaran Pemerintah Daerah “Mendagri Tito Ingatkan Pemda Soal Kemandirian Fiskal
Daerah, Jumat 7 Januari 2022 jam 13.00 WIB
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan Bea
Perolehan Tanah atas Tanah dan Bangunan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo
Peralihan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah berdasarkan Undang Undang nomor 28 tahun 2009 memberikan
peluang kepada daerah untuk lebih meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). PBB P2
dan BPHTB memiliki potensi yang besar bagi penerimaan Pajak Daerah yang merupakan
salah satu komponen PAD, karena pertumbuhan Industri dan Perumahan di Kabupaten
Sidoarjo berpotensi terhadap naiknya Nilai Jual Atas Tanah yang merupakan komponen
perhitungan dari PBB P2 dan BPHTB
Didalam Ketentuan Penutup Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang mulai diberlakukan tanggal 1 januari 2010,
mengamanatkan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri agar :
1. Mengatur tahapan persiapan pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah dalam waktu paling lambat 31 Desember
2013
2. Mengatur tahapan persiapan pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan sebagai Pajak Daerah paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya
Undang-Undang ini. 24
Hal ini kemudian oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo segera ditindaklanjuti
dengan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang diundangkan mulai tanggal 28 Juni 2011,
dan .Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan yang diundangkan mulai 31 Desember 2010. Dengan diterbitkan nya
dua Peraturan Daerah tersebut dimulailah babak baru pemungutan PBB P2 dan
BPHTB sebagai perwujudan kebijakan Desentralisasi Fiskal di Bidang perpajakan
di Kabupaten Sidoarjo.
24 Pasal 182, Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
B. Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten
Sidoarjo
1. Gambaran Umum.
Pajak merupakan jenis penerimaan negara/daerah yang terbesar dalam
membiayai pembangunan suatu negara/daerah. Salah satu tolak ukur kemandirian
daerah antara lain seberapa besar suatu daerah mampu menggali potensi pajak
daerah yang ada dan bagaimana inovasi daerah dalam mengoptimalkan penerimaan
pajak daerah tersebut. Dalam merencanakan suatu Anggaran Belanja suatu daerah
dalam satu tahun kedepan, perencanaan pendapatan dari sektor penerimaan Pajak
Daerah sangat mempengaruhinya. Dengan kata lain, suatu daerah dapat
mengoptimalkan pembangunan di wilayahnya sangat tergantung dari potensi
penerimaan pajak yang dapat direalisasikan tahun depan.
Dalam pemungutan pajak daerah, satu hal yang menjadi tantangan utama
adalah menaikkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak dalam melakukan
pemenuhan kewajiban perpajakannya. Rendahnya kesadaran dan kepatuhan wajib
pajak dalam melakukan pembayaran pajaknya menyebabkan masih rendahnya
realisasi penerimaan pajak jika dibandingkan dengan potensi yang ada. Sekalipun
target-target penerimaan pajak setiap tahun seringkali tercapai, namun hal tersebut
sesungguhnya masih jauh dari potensi yang ada.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten
Sidoarjo, menjadi salah satu jenis pajak daerah yang diandalkan dalam menopang
Pendapatan Asli Daerah. Dasar Pengenaan PBB P2 adalah Nilail Jual Obyek Pajak
(NJOP) dengan dua tarif, yakni 0,105% untuk total NJOP dibawah Rp.
1.000.000.000,- (1 milyar rupiah) dan 0,225% untuk total NJOP diatas Rp.
1.000.000.000,- (1 milyar rupiah)25. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 adalah harga rata-rata yang diperoleh dari
transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi
jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang
sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
Obyek PBB P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai,
dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
25 Pasal 7 Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 11 Tahun 2011, tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan
Sementara itu Subyek PBB P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Sedangkan
Wajib PBB P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai
suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.26
Berdasarkan sistem pemungutannya, PBB P2 merupakan Pajak yang tata
cara perhitungannya ditentukan oleh Pemerintah (Office Assessment System),
sehingga daerah sendiri lah yang menentukan besaran NJOP dan Tarif Pajaknya yang
dituangkan dalam regulasi di tingkat Daerah (Peraturan Daerah, Peraturan Bupati,
Keputusan Bupati). Besaran ketetapan PBB P2 sangat tergantung dengan nilai NJOP,
nilai NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP), dan besaran tarif yang telah ditetapkan,
sehingga dalam penentuan target Penerimaan PBB P2, Pemerintah daerah sangatlah
berhati-hati, karena kenaikan ketetapan PBB P2 sedikit saja, dengan tidak dibarengi
dengan tingkat pembangunan yang sesuai, dapat menurunkan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan, PBB P2 merupakan
satu-satunya jenis pajak daerah yang berdasarkan Obyek, Subyek, dan Wajib
Pajaknya, dapat dikenakan kepada seluruh masyarakat tanpa kecuali.
Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan mengapa NJOP atas PBB
P2 pada rata-rata daerah Kabupaten Sidoarjo masih jauh dibawah nilai Pasar
sesungguhnya, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang. Adanya
disparitas yang cukup tinggi antara nilai pasar terhadap tanah dan bangunan dengan NJOP
PBB P2 yang kemudian menimbulkan potensi atas PBB P2 menjadi sulit dioptimalkan.
Disisi lain, tingkat kesadaran masyarakat atas pemenuhan kewajiban
perpajakannya (PBB P2) yang masih sangat rendah menjadi salah satu sebab
mengapa Kabupaten Sidoarjo masih belum berani untuk mematok tinggi atas target
penerimaan PBB P2 sekalipun nilai ketetapan total PBB P2 yang menjadi potensi
pada tahun berjalan cukup tinggi.
Sebagai contoh, berdasarkan data pada awal tahun 2021, di Kabupaten
Sidoarjo tercatat sebanyak 827.782 objek PBB P2 yang tersebar di 18 Kecamatan
dan 353 Desa/ Kelurahan dengan nilai ketetapan sebesar Rp. 308.007.681.912,-.
Adapun Realisasi penerimaan PBB P2 pada Tahun 2021 adalah sebesar Rp.
211.581.950.428,- atau 68,69% dari total Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan,
dengan jumlah Obyek Pajak terbayar sebanyak 402.592 atau 48,64% dari total
jumlah Obyek Pajak Bumi dan Bangunan pada Tahun 2021.
26 Pasal 77 dan 78, Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa tingkat kesadaran dan
kepatuhan masyarakat dalam pemenuhan kewajiban PBB P2 pada tahun 2021
masih sangat rendah, yakni kurang dari setengah dari jumlah Obyek PBB P2 yang
terbayar. Terlepas hal ini juga bisa dikarenakan database dan pemetaan hasil
pelimpahan dari Direktorat Jenderal Pajak yang belum update pada saat
dilimpahkan sehingga menghasilkan data “sampah”yang tidak valid yang
ditetapkan berulang setiap tahunnya
g. Pemberian akses kepada Kecamatan, Desa dan Kelurahan atas nilai ketetapan
dan realisasi pembayaran PBB P2 secara realtime
Pemberian akses kepada pemangku wilayah Kecamatan dan
Desa/Kelurahan atas nilai ketetapan PBB P2 dan realisasi pembayarannya
secara real time merupakan salah satu upaya Pemerintah Kabupaten Sidoarjo
untuk melakukan pengawasan terhadap masyarakatnya terhadap kewajiban
pembayaran PBB P2 nya. Diharapkan dengan adanya kebijakan ini dapat
menumbuhkan kepedulian dari para pemangku wilayah tersebut untuk turut
serta membantu meningkatkan penerimaan PBB P2. Tentunya hal ini perlu
didukung dengan peningkatan anggaran pembangunan di tingkat Kecamatan
dan Desa/Kelurahan, sehingga muncul hubungan timbal balik yang positif dari
masyarakat Desa/Kelurahan setempat
1. Gambaran Umum.
Pemberlakuan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
dilatarbelakangi pemikiran bahwa tanah dan bangunan sebagai bagian dari sumber
daya alam memiliki fungsi sosial, disamping memiliki kebutuhan dasar untuk papan
dan lahan usaha, juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu,
bagi mereka yang memperoleh ha katas tanah dan atau bangunan adalah wajar
menyerahkan Sebagian dari nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui
pembayaran pajak, yaitu BPHTB. BPHTB memenuhi syarat diberlakukan karena
mempunyai sumber yang stabil dan potensial, memenuhi kriteria perpajakan, pernah
dipungut, mempunyai dampak distorsi minimal, serta sekaligus dapat mengurangi
Hasrat penguasaan tanah dengan tujuan spekulasi oleh masyarakat.
BPHTB adalah pajak atas perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Jenis pajak
ini mulai dipungut oleh Pemerintah Indonesia. Sebagai pajak pusat, pada tahun 1997
dengan ditetapkannya Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah mengalami
perubahan, terakhir dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2000. Pada awalnya,
BPHTB yang dipungut oleh Pemerintah Pusat pada dasarnya diserahkan kembali kepada
daerah melalui mekanisme dana bagi hasil, walaupun tidak sepenuhnya kembali ke daerah
penghasil. Sampai dengan lahirnya Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, mengawali babak baru pemungutan BPHTB oleh
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo sepenuhnya.
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP), yaitu
nilai transaksi dan nilai pasar, namun pada prakteknya masih menggunakan NJOP PBB P2
yang notabene masih jauh dari nilai pasar sesungguhnya. NJOP PBB P2 tidak sepenuhnya
dapat dijadikan dasar untuk perhitungan BPHTB karena penetapan NJOP itu sendiri penuh
dengan kearifan lokal, sehingga NJOP itu sendiri dirasa sulit untuk mengejar nilai Pasar
yang sebenarnya.
Pemberian kewenangan pengelolaan BPHTB kepada Kabupaten/Kota
memberikan peluang bagi daerah untuk menetapkan besarnya BPHTB yang sesuai dengan
Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP) dalam pengertian yang sesungguhnya, yaitu harga
transaksi atau harga pasar, tidak hanya mengacu pada NJOP yang tercantum dalam Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB P2. Namun sayangnya, Peralihan pemungutan
PBB P2 dan BPHTB pada tahun 2010 tidak dibarengi dengan peralihan Sumber Daya
Manusia Penilai PBB P2 dari Pemerintah Pusat. Hal ini menyebabkan penilaian NJOP PBB
P2 maupun peremajaan data PBB P2 diKabupaten Sidoarjo bergerak lambat, tidak
sebanding dengan pertumbuhan property di Kabupaten Sidoarjo sebagai penyangga Kota
Surabaya yang begitu cepat.
Bambang Tri Cahyono mengemukakan bahwa perkembangan Kapitalisme
mendorong perubahan fungsi tanah, yaitu fungsi sebagai salah satu factor produksi utama
menjadi sarana investasi. Bagi banyak investor, pemilikan atau penguasaan tanah
merupakan investasi yang sangat menguntugkan. Dalam jangka Panjang investasi seperti
ini menjanjikan keamanan, kepastian pendapatan, nilai tinggi, dan umumnya terhindar dari
inflasi 29
29 Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar Grafika, cetakan keempat, 2010.
2. Kebijakan dan Inovasi Daerah Kabupaten/Kota dalam Pemungutan Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
Adanya disparitas yang tinggi antara NJOP dan Nilai Transaksi dan atau
nilai pasar yang sesungguhnya membuat Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, dalam hal
ini Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) yang
selajutnya berganti menjadi Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Kabupaten
Sidoarjo melakukan langkah terobosan antara lain :
a. Penggunaan Nilai Pasar Wajar, dan atau Nilai Transaksi Wajar sebagai Nilai
Perolehan Obyek Pajak (NPOP)
Diawal pengalihan BPHTB dari Pemerintah Pusat Ke Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo pada Tahun 2010, BPHTB yang system pemungutannya Self
Assessment System, dimana Wajib Pajak Melaporkan sendiri berapa pajak yang
harus dibayarkan, pada saat itu Wajib Pajak cenderung menggunakan NJOP yang
tercantum dalam SPPT PBB P2 sebagai nilai transaksinya. Hal ini dilakukan
untuk mengecilkan nilai BPHTB yang terutang. Hal ini sebenarnya tidak
melanggar Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 maupun Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2010, karena NPOP serendah-rendahnya adalah NJOP.
Hal ini kemudian menjadikan hampir semua Wajib Pajak tidak melaporkan
berapa nilai transaksi yang sesungguhnya, sehingga mekanisme pemungutan
BPHTB dilakukan dengan melakukan pemeriksaan NPOP diawal sebelum
menjadi ketetapan BPHTB terutang. NPOP hasil pemeriksaan ini didasarkan
pada Bank data nilai Transaksi yang diperoleh dari transaksi transaksi yang
pernah dilaporkan yang terjadi di daerah yang sama pada beberapa tahun terakhir,
dan juga nilai pasar wajar yang diperoleh dari berbagai sumber seperti, harga
brosur perumahan setelah dikurangi biaya-biaya, penawaran di Internet, Surat
Pemesanan Rumah, Persetujuan Kredit Bank, dan lain sebagainya. Sistem
pemeriksaan NPOP yang dilakukan diawal ini kemudian memaksa Wajib Pajak
untuk melaporkan berapa nilai transaksi yang sebenarnya.
30 Pasal 12 ayat 2,3,4,dan 5. Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintahan Daerah.
Dengan diberlakukannya Undang undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang ditindaklanjuti dengan diterbitkannya
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan yang diundangkan sejak tanggal 28 Juni 2011 dan .Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan yang
diundangkan sejak tanggal 31 Desember 2010, maka sejak saat itu pengelolaan PBB
P2 dan BPHTB menjadi sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo,
dengan penerimaan PBB P2 dan BPHTB menjadi 100% masuk ke Rekening Kas
Umum Daerah Kabupaten Sidoarjo.
Tabel 1.1
Realisasi Penerimaan PBB P2 dan BPHTB di Kabupaten Sidoarjo dibandingkan
dengan penerimaan PAD, Pendapatan Transfer, dan kemandirian fiskal Tahun 2011
s/d 2020
Th PBB-P2 BPHTB % PAD Dana %
thd Perimbangan / IKF
PA Pendapatan
D Transfer
2011 - 91.429.345.870 18,88 484.313.737.307 1.003.815.337.129 48,25
2012 111.326.978.118 99.138.455.803 31,43 669.617.556.904 1.191.772.398.581 56,18
2013 147.187.993.871 155.400.719.381 35,24 858.433.670.217 1.309.290.400.966 65,56
2014 157.683.880.579 181.411.980.178 30,40 1.115.332.938.500 1.425.650.988.426 78,23
2015 158.631.832.684 220.217.563.615 29,90 1.266.786.627.409 1.446.116.091.633 87,60
2016 169.903.041.229 227.233.055.238 29,74 1.335.283.958.792 1.526.130.415.098 87,49
2017 199.948.795.481 337.602.489.875 32,15 1.671.806.819.696 1.833.860.113.708 91,16
2018 219.141.718.065 307.416.332.941 33,94 1.551.389.057.203 1.834.890.492.000 84,55
2019 237.461.681.071 334.002.890.576 33,81 1.689.953.213.263 1.797.935.335.000 93,99
2020 229.810.879.995 282.529.546.294 28,49 1.798.515.529.274 1.679.002.822.465 107,12
2021 254.650.339.833 350.854.606.523 31,52 1.921.244.253.335 2.350.357.830.053 81,74