Anda di halaman 1dari 9

RESUME

UNDANG-UNDANG MIGAS

NOMOR 22 TAHUN 2001

I. LATAR BELAKANG

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara. Demikian pula bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Mengingat Minyak dan Gas Bumi merupakan sumber daya alam strategis takterbarukan yang
dikuasai negara dan merupakan komoditas vital yang memegang peranan penting dalam
penyediaan bahan baku industri, pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri, dan penghasil
devisa negara yang penting, maka pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin agar dapat
dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Dalam rangka memenuhi ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, setelah empat
dasawarsa sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, dalam pelaksanaannya ditemukan
berbagai kendala karena substansi materi kedua Undang-undang tersebut sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan sekarang maupun kebutuhan masa depan.

Dalam menghadapi kebutuhan dan tantangan global pada masa yang akan datang, kegiatan
usaha Minyak dan Gas Bumi dituntut untuk lebih mampu mendukung kesinambungan
pembangunan nasional dalam rangka peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas perlu disusun suatu Undang-undang tentang Minyak dan
Gas Bumi untuk memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan
kembali kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.

Penyusunan Undang-undang ini bertujuan sebagai berikut :

1. terlaksana dan terkendalinya Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam dan
sumber daya pembangunan yang bersifat strategis dan vital;

2. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu


bersaing;

3. meningkatnya pendapatan negara dan memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya


bagi perekonomian nasional, mengembangkan dan memperkuat industri dan
perdagangan Indonesia

Sistem Pengukuran Besaran Migas 1


4. menciptakan lapangan kerja, memperbaiki lingkungan, meningkatkan
kesejahteraan

Undang-undang ini memuat substansi pokok mengenai ketentuan bahwa Minyak dan Gas Bumi
sebagai sumber daya alam strategis yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan
Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara, dan penyelenggaraannya
dilakukan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan pada Kegiatan Usaha Hulu.
Sedangkan pada Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan setelah mendapat Izin Usaha dari
Pemerintah. Agar fungsi Pemerintah sebagai pengatur, pembina dan pengawas dapat berjalan
lebih efisien maka pada Kegiatan Usaha Hulu dibentuk Badan Pelaksana, sedangkan pada
Kegiatan Usaha Hilir dibentuk Badan Pengatur.

Dasar Hukum dibentuknya undang-undang ini yaitu :

Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945

II. SISTEMATIKA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001

BAB I KETENTUAN UMUM

Ketentuan umum RUU tentang Minyak dan Gas Bumi berisi batasan pengertian atau
definisi;singkatan atau akronim yang digunakan; atau hal-hal lain yang bersifat umum yang
berlaku bagi pasal atau pasal-pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas,
maksud, dan tujuan. Dalam ketentuan umum RUU ini antara lain memberikan definsi tentang
minyak bumi, gas bumi, bahan bakar minyak, kuasa pertambangan, kegiatan usaha hulu,
eksplorasi, eksploitasi, kegiatan usaha hilir, wilayah hukum pertambangan Indonesia, wilayah
kerja, badan Usaha, bentuk usaha tetap, Kontrak Kerja Sama, Izin Usaha, Badan Pengusahaan.
Ketentuan umum perlu dibuat sebagai dasar dan pijakan dalam membuat ketentuan yang bersifat
legal-formal dan dibatasi sesuai dengan definisi masing-masing.

BAB II ASAS DAN TUJUAN

Dalam bab ini dijelaskan mengenai apa saja yang menjadi asas dalam penyelenggaraan kegiatan
usaha minyak dan gas bumi, antara lain seperti asas manfaat, keadulatan dan kemandirian energi,
pemerataan , keseimbangan, keamanan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak,
dan asas lainnya. Di samping itu, dijelaskan juga tujuan dari pengaturan undang-undang tentang
minyak dan gas bumi, antara lain menjamin terselenggaranya kegiatan usaha di bidang minyak
dan gas bumi yang berpedoman pada prinsip efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaannya.

Sistem Pengukuran Besaran Migas 2


BAB III PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN

Dalam bab ini akan dirumuskan mengenai ketentuan penguasaan terhadap minyak dan gas bumi
yang diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. Selain
penguasaan juga akan diatur mengenai pengusahaan yaitu bahwa dalam kegiatan usaha minyak
dan gas bumi terdiri atas kegiatan usaha hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi; serta
kegiatan usaha hilir yang mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga.

Dalam bab ini juga akan dirumuskan ketentuan mengenai persyaratan Kontrak Kerja Sama, tugas
dan kewenangan Pemerintah dalam kegiatan usaha hulu dan hilir, dan badan hukum dari
pelaksana kegiatan usaha hulu dan hilir.

BAB IV KEGIATAN USAHA HULU

Dalam bab ini akan dirumuskan mengenai ketentuan yang terkait dengan kegiatan usaha hulu,
baik pelaksananya yaitu oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap berdasarkan Kontrak Kerja
Sama dengan Badan Pelaksana, ketentuan mengenai Kontrak Kerja Sama, penetapan dan
penawaran wilayah kerja, perpanjangan Kontrak Kerja Sama, maupun mengenai pengembalian
wilayah.

Selain itu juga akan dirumuskan mengenai ketentuan tahapan kegiatan usaha hulu baik itu
penyiapan wilayah kerja dengan dilakukan survei umum, pengembangan lapangan,
pemroduksian cadangan minyak dan gas bumi, maupun ketentuan mengenai prosentase bagian
dari hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
yang wajib diserahkan oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap.

BAB V KEGIATAN USAHA HILIR

Dalam bab ini akan diatur mengenai ketentuan kegiatan usaha hilir baik perizinannya, kegiatan
pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan hasil produksi (niaga),
maupun penetapan harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi.

BAB VI PENERIMAAN NEGARA

Dalam bab ini akan diatur mengenai ketentuan penerimaan negara yang berupa pajak mencakup
pajak-pajak; bea masuk dan pungutan lain atas impor dan cukai; serta pajak daerah dan retribusi
daerah juga akan diatur mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak mencakup bagian negara;
pungutan negara serta bonus-bonus.

Sistem Pengukuran Besaran Migas 3


BAB VII HUBUNGAN KEGIATAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN HAK
ATAS TANAH

Dalam bab ini akan diatur mengenai wilayah hukum pertambangan Indonesia, baik mengenai
hak atas tanah, larangan terhadap tempat-tempat tertentu untuk dilakukan kegiatan usaha minyak
dan gas bumi, maupun ketentuan mengenai perizinan kepada pemegang hak atas tanah.

BAB VIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Dalam bab ini akan diatur mengenai ketentuan pembinaan terhadap kegiatan usaha minyak dan
gas bumi yang dilakukan oleh Pemerintah, ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja
serta pengelolaan lingkungan hidup, juga ketentuan mengenai tanggung jawab kegiatan
pengawasan atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi, pengawasan
atas pelaksanaan kegiatan usaha hulu berdasarkan Kontrak Kerja Sama dilaksanakan oleh Badan
Pelaksana, dan pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hilir berdasarkan Izin Usaha yang
dilaksanakan oleh Pemerintah.

BAB IX BADAN PELAKSANA DAN BADAN PENGATUR

Dalam bab ini mengatur tentang pengawasan terhadap pelaksanaan kontrak kerja sama kegiatan
usaha hulu dilaksanakan, serta menjelaskan tentang fungsi dan tugas dari badan pelaksana.
Selain itu dijelaskan juga tentang badan pengatur, serta fungsi, tugas, struktur organisasi, dan
anggaran biaya operasional.

BAB XPENYIDIKAN

Dalam bab ini akan diatur mengenai ketentuan penyidikan mencakup ketentuan mengenai
Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS)tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dan wewenang dan PPNS
tersebut.

BAB XI KETENTUAN PIDANA

Dalam bab ini akan diatur mengenai penjatuhan pidana atas tindak pidana pelanggaran atau
kejahatan terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah dalam bab-bab
sebelumnya antara lain penjatuhan pidana terhadap tindak pidana melakukan eksplorasi dan/atau
eksploitasi tanpa mempunyai Kontrak Kerja Sama, tindak pidana terhadap setiap tahapan
kegiatan usaha hilir tanpa adanya izin usaha, melakukan peniruan dan pemalsuan Bahan Bakar

Sistem Pengukuran Besaran Migas 4


Minyak dan Gas Bumi dan hasil olahan, serta ketentuan mengenai pemberatan pidana ditambah
sepertiga apabila tindak pidana dilakukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.

BAB XII KETENTUAN PERALIHAN

Dalam bab ini akan diatur mengenai penyesuaian terhadap undang-undang dan peraturan
pelaksana dari undang-undang sebelumnya yang masih berlaku, pada saat undang-undang ini
mulai berlaku atau diundangkan. Ketentuan peralihan ini diperlukan agar undang-undang
tersebut dapat dilaksanakan dan tidak menimbulkan permasalahan hukum, yakni antara lain
mengatur mengenai jangka waktu penyesuaian setiap kegiatan.

Selain itu juga akan mengatur ketentuan tentang segala hubungan hukum yang ada atau tindakan
hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat, maupun sesudah undang-undang yang baru ini
dinyatakan mulai berlaku.

BAB XIII KETENTUAN LAIN

Dalam bab ini berisi mengenai kegiatan usaha atas minyak atau gas selain yang dimaksud dalam
pasal 1 angka 1 dan angka 2 sepanjang belum atau tidak diatur dalam undang-undang lain,
diberlakukan ketentuan undang-undang ini.

BAB XIV KETENTUAN PENUTUP

Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan mengenai:

1. penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan Undang-Undang;


2. nama singkat;
3. status undang-undang yang sudah ada; dan
4. saat mulai berlaku undang-undang yang bersangkutan.

Dalam bab ini akan memuat status dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi dan dinyatakan tidak berlaku. Sedangkan status segala peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan undang-undang yang baru
ini. Selain itu juga, akan diatur mengenai saat mulai berlakunya undang-undang yang baru ini
yaitu pada saat undang-undang ini dinyatakan berlaku.

Sistem Pengukuran Besaran Migas 5


III. PEMBAHASAN

Menengok sejarah lahirnya UU No 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, bisa
dikatakan cukup miris. Substansi UU ini merupakan bagian dari paket Letter of Intent (LoI),
yang dipaksakan oleh IMF dan dibantu konconya, World Bank, untuk me-liberalisasi dan men-
deregulasi sektor-sektor strategis di Indonesia. Minyak dan gas bumi adalah salah satunya. Dapat
diketahui, bahwa LoI tersebut merupakan sejumlah ketentuan yang wajib dilakukan oleh
Indonesia, sebagai syarat untuk menerima bantuan dalam penanganan krisis moneter satu
dekade lalu.
Dilihat dari substansinya, dalam kerangka liberalisasi tadi, UU ini bertujuan untuk
memecah (unblunded) sektor hulu dan hilir minyak dan gas bumi yang tadinya terintegrasi. Di
sektor hulu, dari dulu pihak asing memang sudah lenggang kangkung di Indonesia, dan
menguasai 80% cadangan minyak dan gas bumi Indonesia. Rupanya asing belum puas. Dengan
meminjam tangan kotor IMF dan Bank Dunia, mereka juga ingin masuk dan menguasai sektor
hilir di Indonesia. Mereka tahu betul betapa besar potensi pasar industri hilir minyak dan gas
bumi di Indonesia. Meski sampai saat ini, upaya mereka masih tertatih, karena belum mampu
menandingi Pertamina dalam hal penguasaan infrastruktur pengadaan bahan bakan minyak di
dalam negeri.

Di sektor hulu, UU ini telah melucuti kewenangan Pertamina sebagai satu-satunya


pemegang kuasa pertambangan minyak dan gas bumi. Pertamina dibuat sebagai pemain biasa,
disamakan dengan kontraktor migas mana pun di Indonesia. Pertamina juga harus memecahkan
dirinya ke dalam ranting-ranting usaha hulu dan hilir yang terpisah. Sebelum UU ini lahir,
pengusahaan minyak dan gas bumi mengacu pada UU No. 8 tahun 1971 tentang Pertamina.
Kontraktor yang ingin mengusahakan minyak dan gas bumi, harus melewati pintu Pertamina
sebagai perusahaan tuan rumah. Mereka lalu membuat kontrak PSC dengan Pertamina.
Oleh sebagian kalangan, kondisi inilah yang menyebabkan Pertamina tidak sehat, tidak
berkembang, jadi lumbung korupsi, dan sebagainya. Karena itu mereka setuju dengan
liberalisasi. Padahal, regulasi tetaplah regulasi. Korupsi adalah masalah moral. Transformasi bisa
tetap dilakukan, tanpa harus melucuti sejumlah kewenangan strategis sebuah badan usaha milik
negara.UU ini menyerahkan kewenangan Pertamina kepada BPMIGAS untuk sektor hulu, dan
BPH MIGAS untuk sektor hilir. Khusus mengenai BPMIGAS, ini adalah badan hukum milik
negara, bukan badan usaha. Tetapi Pemerintah memberinya kewenangan untuk melakukan
perjanjian bisnis dengan kontraktor migas. Saya melihat hal ini mengandung beberapa resiko.
Pertama, BPMIGAS sebagai representasi Pemerintah yang akan menerima bagi hasil
minyak dan gas bumi bagian Pemerintah/Negara, namun tidak bisa menjual atau mengelola
sendiri. Konsekuensinya, Pemerintah harus menunjuk pihak ke tiga, untuk melakukannya. Kalau
untuk mengolahnya di dalam negeri, tidak jadi soal, karena masih ada Pertamina. Tetapi
bagaimana dengan penjualan minyak atau gas bumi ke luar negeri? Untuk hal ini, negara
seringkali menunjuk pihak asing untuk menjualkan minyak atau gasnya. Kanlucu!
Kedua, karena sebagai pihak yang membuat kontrak langsung dengan kontraktor asing,
maka posisi BPMIGAS secara hukum sejajar dengan kontraktor asing. Melalui skema ini,
Pemerintah bisa diseret langsung ke arbitrase internasional, apabila dianggap merugikan
kontraktor asing.Wuedan! Lain halnya jika kontrak tersebut dibuat antara kontraktor dengan

Sistem Pengukuran Besaran Migas 6


Pertamina. Jika ada dispute, cukuplah Pertamina, bukan Pemerintah atau Negara, yang
menyelesaikan dan berhadapan dengan hukum internasional. Melihat kondisi tersebut, negara
jelas dalam posisi yang tidak aman dalam berhadapan dengan kontraktor asing.
Dalam keadaan seperti ini, pola usaha migas dalam UU Nomor 22/2001 akan
memisahkan hubungan yang abadi antara bangsa Indonesia dan wilayah kuasa pertambangan
migas. Selain itu, is tidak melindungi pelaku ekonomi nasional, mempercepat dominasi asing
dan munculnya kembali monopoli atau oligopoli swasta, sehingga akhirnya seluruh rakyat
Indonesia tidak dapat memanfaatkan migas semaksimal mungkin. Dengan demikian, UU Nomor
22/2001 terkesan mendekonstruksi secara revolusioner ketentuan Pasal 33 UUD 1945,
khususnya pada ayat (2) "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara", dan ayat (3) "Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat". Betapa tidak, karena pengertian "dikuasai oleh negara",
dalam pemahaman mainstream konvensional, mencakup elemen kekuasaan negara untuk
menyelenggarakan semua kegiatan usaha migas (dari hulu ke hilir): eksplorasi, eksploitasi,
pemurnian/pengilangan, pengangkutan, dan penjualan.

Penguasaan oleh negara atas semua kekayaan alam juga sejalan dengan Penjelasan Pasal
33 UUD 1945 pra-amendemen keempat UTJD 1945 tanggal 10/8/2002 yang menyatakan "Hanya
perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan orang-seorang".
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu,
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang
berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya".

Dengan berbagai cara oleh kalangan yang menentang kelahiran undang-undang ini,
akhirnya hasil advokasi mereka ternyata berbuah manis ketika Mahkamah Konstitusi (MK)
membatalkan Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 22/2001 melalui Putusan Perkara Nomor 002/PUU-
112003 (diputuskan pada 15 Desember 2004, dan diucapkan dalam persidangan yang terbuka
untuk umum pada 21 Desember 2004). Pembatalan sebagian ketentuan undang-undang tersebut
oleh MK karena pengertian "dikuasai oleh negara" dalam UU Nomor 22/2001 sangat jauh
berbeda dan tidak sesuai dengan pengertian istilah tersebut dalam UUD 1945.

Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam
masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum
tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli
hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap
merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa
yang ia temukan sebagai bahan mentah (kesadaran umum tampaknya oleh Scholten disebut
sebagai kesadaran hukum). Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli

Sistem Pengukuran Besaran Migas 7


PENUTUP

Kesimpulan

Globalisasi ekonomi membawa perubahan yang besar pada sistem perekonomian negara-
negara berkembang seperti Indonesia. Masuknya perusahaan multinasional sebagai
perkembangan suatu badan yang benar-benar tanpa rasa kebangsaan dan benar-benar mandiri
dalam membawa peradaban yang berasal dari negaranya, sehingga turut mempengaruhi
pembangunan serta pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan nasional.
Globalisasi saat ini adalah manifestasi baru dari perkembangan kapitalisme sebagai sistem
ekonomi internasional. Manakala ekonomi menjadi terintegrasi, harmonisasi hukum, aturan
perundang-undanngan akan mengikutinya, sehingga globalisasi ekonomi juga menyebabkan
terjadinya globalisasi hukum dan aturan perundang-undangan.

Globalisasi hukum dan aturan perundang-undangan tersebut tidak hanya didasarkan pada
kesepakatan internasional antar bangsa, tetapi juga tradisi hukum dan budaya antar negara barat
dan negara timur. UU Migas nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi adalah salah
satu produk nasional yang sudah dibajak oleh pengaruh globalisasi dan liberalisasi. Hal-hal yang
sangat berpengaruh dalam bidang hukum dan aturan perundang-undangan adalah globalisasi di
bidang kontrak-kontrak bisnis internasional. Hal tersebut disebabkan negara-negara maju
membawa model kontrak baru ke negara berkembang. Maka partner mereka dari negara-negara
berkembang menerima model kontrak bisnis internasional tersebut. Produk nasional yang
berbentuk UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi adalah salah satu dari
kepentingan dalam model kontrak baru mereka untuk memonopoli dan mengeksploiyasi sumber
kekayaan negara. Hal tersebut terjadi pada rezim Orde Baru Soeharto karena posisi tawar
Indonesia sangat lemah. UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, terutama yang
mengatur tentang perseroan terbatas adalah bukti nyata dari gerusan arus globalisasi dan
liberalisasi UU.

Indonesia sebagai salah satu negara di dunia tidak bisa lepas dari adanya pengaruh
globalisasi, dampak tersebut sangat terasa saat adanya model dan pranata ekonomi dan hukum
asing di dalamnya. Akibat globalisasi ini, maka terjadilah benturan sistem hukum Civil Law
yang dibawa oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang umumnya berasal dari negara
maju. Perusahaan multinasional tersebut pada umumnya memilih perseroan terbatas sebagai
bentuk daru badan hukum untuk menjalankan kegiatan investasinya di Indonesia secara
langsung (direct investment) terutama karena kemampuannya untuk mengkapitalisasi modal dan
sebagai wahana yang sangat potensial untuk memperoleh keuntungan investasi dalam skala yang
lebih besar.

Adapun kesimpulan dan benang merah yang dapat ditarik dari penulisan makalah ini,
adalah; Bahwa, krisis ekonomi yang berlangsung sejak tahun 1997 memaksa pemerintah untuk
mencari dukungan IMF untuk menyokong neraca pembayaran yang defisit akibat krisis
kepercayaan dan pelarian modal capital flight). Dalam rangka memnuhi keinginan investor
asing, agenda reformasi ekonomi yang tertuang dalam letter of intens, diantaranya adalah
program reformasi sector energy. Reformasi sector energy tercantum dalam butir kesepakatan

Sistem Pengukuran Besaran Migas 8


huruf F (The energy Sector) dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (Letter of
Intens), 20 Januari 2000.

Bahwa, berubahnya landasan hukum tata kelola sumber energi primer sektor migas dari
UU No.8 tahun 1971 menjadi UU Migas merubah pula secara keseluruhan nilai dan proses
ekenomi pada sektor migas di Indonesia. Faktanya, latar belakang UU Migas tidak berdasarkan
UUD 1945 pasal 33 dan tidak sesuai dengan realita Indonesia. Pembentukan UU tersebut sangat
dipengaruhi oleh suatu kepentingan-kepentingan politik jelang kebangkrutan rezim Orde Baru.
Walhasil, kekuasaan politiklah yang memiliki kepentingan tersebut. Kekuasaan politik tersebut
duduk di dalam institusi untuk melakukan legislasi kepentingan. Jadi, kekuasaan politik dapat
mempengaruhi hukum. Kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk UU tersebut justru
menabrak sistem konstitusional berdasarkan check and balances, abai terhadap kepentinngan
masyarakat, menisbikan kedaulatan Negara sebagai pemangku utama dan pemilik kekayaan
sumber daya alam seperti yang dianut Undang-Undang Dasar 1945.

Hakikat dari hukum atau UU yang dibentuk adalah keadilan, hukum berfungsi melayani
kebutuhan keadilan dalam masyarakat, keadilan merupakan keharusan dari rasio manusia secara
umum dan rasio manusia adalah rasio ilahi. Jadinya keadilan merupakan suatu kehendak ilahi
bagi manusia agar bisa hidup damai dan mencapi sejahtera. Menurut Savigny dengan
teori volkgeit-nya, menekankan bahwa terdapat hubungan yang organik, tidak terpisahkan, antara
hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum sejati tidak dibuat, melainkan harus
ditemukan. Jelaslah, penguasa atau para pakar hukum jangan hanya duduk diam dalam membuat
hukum menurut ide dan kemauannya saja, tapi harus lebih giat menggali nilai hukum yang ada
dalam masyarakat.

Dalam hal ini pemerintah yang membuat undang-undang untuk dijalankan masyarakat,
lebih kepada suatu rekayasa sosial. Fakta yang terjadi, bahwa Undang-Undang No. 22 tahun
2001 tentang Minyak dan gas Bumi tidak sesuai dengan teori Friedrich Karl von Savigny
(volkgeist) yang menyatakan bahwa undang-undang dibentuk dari jiwa masyarakat karena
masyarakat diikutkan partisipasinya untuk menyampaikan aspirasinya seperti yang diperintahkan
oleh undang-undang.

DAFTAR PUSTAKA

Suhardi, Sejarah Perkembangan Industri Migas Indonesia, dari


http://www.perhimakbandung.org/index.php?option=com_content&view=article&id=82:sejarah-
perkembangan-industri-migas-indonesia&catid=38:artikel&Itemid=66, tanggal 25 Agustus 2016

adhiwignyanagara. Peralihan Regulasi dari UU No.8 Tahun 1971 Ke UU No. 22 Tahun


2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. http://semestaglory.blogspot.co.id/2012/07/makalah-
analisis-kelahiran-uu-migas.html .

Casdira. UU No 22 Tahun 2001 yang Saya Pahami.


https://casdiraku.wordpress.com/2009/11/24/uu-no-22-tahun-2001-yang-saya-pahami/ .
November 24, 2009.

Sistem Pengukuran Besaran Migas 9

Anda mungkin juga menyukai