NPM : 1206209356
Isu terpenting dalam membahas dan mendalami hukum antara wewenang adalah
masalah sengketa kewenangan. Sengketa kewenangan adalah klaim penggunaan wewenng
yang dilakukan oleh 2 (dua) Pejabat Pemerintahan atau lebih yang disebabkan oleh
tumpang tindih atau tidak jelasnya Pejabat Pemerintahan yang berwenang menangani suatu
urusan pemerintahan.1 Sengketa kewenangan ini dapat terjadi baik dalam implementasi
praktik pemerintahan maupun tataran pengaturannya.
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas mengenai sengketa kewenangan yang
timbul akibat tidak harmonisnya pengaturan yang ada di dalam dua undang-undang ini.
Undang-undang tersebut adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian (UU Perindustrian) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
1
Indonesia (a), Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014, LN No. 292
Tahun 2014, TLN. No. 5601, Psl. 1 angka 13.
Pembangunan sektor industri telah memiliki landasan hukum sebelumnya, yaitu
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian sebagai pengejawantahan dari
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, akibat
tuntutan perkembangan ekonomi dan perindustrian yang sangat dinamis, diperlukan
undang-undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
(UU Perindustrian). Undang-undang yang baru ini diharapkan dapat menjadi intrumen
pengaturan yang efektif dalam pembangunan industri.
Industri adalah seluruh bentuk kegaiatan ekonomi yang mengolah bahan baku
dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang
mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri. 2 Bentuk kegiatan
mengolah bahan baku ini sangatlah luas dan dapat dibagi dalam berbagai sektor. Bahkan,
mengenai sektor-sektor khusus telah terdapat pendelegasian kewenangan di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan,
dan Pengembangan Industri. Hal ini terlihat dalam Pasal 2 dari peraturan pemerintah ini
yang menyatakan bahwa pelaksanaan kewenangan pembinaan dan pengembangan industri
tertentu diserahkan kepada Menteri lainnya, beberapa diantaranya adalah mengenai
penyulingan minyak bumi dan pencairan gas alam oleh Menteri Pertambangan dan Energi
(saat ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral).
Dari analisis penulis terhadap kedua undang-undang ini, terdapat beberapa hal yang
menjadi sengketa, yaitu:
Namun, jika ditelaah lagi UU Perindustrian ini pun menyadari adanya tumpang
tindih kewenangan yang dapat menjadikan sengketa antar dua kementerian ini. maka dari
itu, di dalam UU Perindustrian telah ada pengaturan mengenai Komite Industri Nasional
pada Bab XI yang mana bertujuan untuk mendukung pencapaian pembangunan industri.
5
Kegiatan usaha hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha
Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga.
Komite ini dikepalai oleh Menteri dalam hal ini Menteri Perindustrian, dan beranggotakan
menteri terkait, kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang berkaitan dengan
industri, dan perwakilan dunia usaha. Komite ini bertugas untuk melakukan koordinasi dan
evaluasi dalam rangka pembangunan industri yang memerlukan dukungan lintas sektor dan
daerah; melakukan pemantauan tindak lanjut hasil koordinasi; melakukan koordinasi
pelaksanaan pengawasan pengaturan yang bersifat teknis untuk bidang industri tertentu
dalam rangka pembinaan, pengembangan, dan pengaturan industri; serta memberi masukan
dalam pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Rencana Induk Pembangunan Industri
Nasional, Kebijakan Industri Nasioanl, dan Rencana Kerja Pembangunan Industri.
Dapat dipahami bahwa tujuan adanya Komite ini sebenarnya adalah untuk
menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya Kementerian Perindustrian dan Kementerian
sektoral lainnya harus berkoordinasi tanpa harus ada tumpang tindih kewenangan. Namun,
yang memang luput dari perhatian dalam UU Perindustrian dan UU Migas ini adalah
masalah pengeluaran izin dalam kegiatan Migas yang tergolong pada Industri Strategis.
Maka dari itu, penulis berpendapat bahwa jika dilihat dari hal-hal yang diatur dalam
masing-masing undang-undang, Kementerian Perindustrian bertugas sebagai koordinator
dari Kementerian ESDM dalam hal pelaksanaan pengolaan Migas. Fungsi koordinasi disini
adalah mengoordinasikan dalam hal kebijakan yang dilaksanakan oleh Kementrian ESDM
sudah sesuai atau belum dengan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional dan
Kebijakan Industri Nasional yang dibuat oleh Kementerian Perindustrian. Jadi, dalam
pelaksanaan sebaiknya Menteri Perindustrian bertindak sebagai koordinator Menteri ESDM
namun hanya dalam pelaksanaan pengolahan Migas saja seperti yang diatur dalam
pengaturan Komite Industri Nasional. Selain hal ini, sesuatu yang harus menjadi perhatian
khusus adalah masalah pengeluaran izin dalam kegiatan Migas ini, apakah di Kementerian
Perindustrian atau Kementerian ESDM? Hal ini memang merupakan sengketa kewenangan
yang diakibatkan dari tidak harmonisnya pengaturan antar undang-undang.