Siaran Pers
deregulasi,
antara
lain
merasionalisasi
peraturan
dengan
menghilangkan
duplikasi/redundansi/irrelevant regulations, melakukan keselarasan antar peraturan, dan
melakukan konsistensi peraturan, paparnya.
Pada triwulan II tahun 2015, industri non migas mampu tumbuhmencapai5,27% atau
mengalami peningkatan dibandingkan triwulan I tahun 2015 sebesar 5,21% dan lebih besar dari
pertumbuhan ekonomi tahun 2015sebesar 4,67%.
Kontribusi terbesar pada pembentukan PDB nasional triwulan II Tahun 2015 diberikan
oleh sektor Industri Pengolahan sebesar 20.91% dimana Industri non migas memberikan
kontribusi sebesar 18.17% terhadap PDB sedangkan terhadap Industri Pengolahan sebesar
86,81%, tutur Syarif.
Sementara itu, cabang-cabang industri yang mengalami pertumbuhan tertinggi pada
triwulan II tahun 2015 antara lain: Industri Barang Logam, Komputer, Barang Elektronik, Optik,
dan Peralatan Listrik sebesar 8,91%; Industri Makanan dan Minuman sebesar 8,46%; Industri
Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional sebesar 7,78%, Industri Logam Dasar sebesar 7,54%;
Industri Furnitur sebesar 6,55%, serta Industri Barang Galian bukan Logam sebesar 6,18%.
Selanjutnya, nilai investasi PMDN sektor industri triwulan II pada tahun 2015 sebesar Rp
25,56 triliun atau tumbuh sebesar 111,83% dibanding triwulan II tahun 2014 sebesar Rp 12,06
triliun. Sedangkan nilai investasi PMA sektor industri pada triwulan II tahun 2015 mencapai
USD 2,51 miliar. Total nilai investasi yang masuk pada triwulan II pada tahun 2015 sebesar USD
5,07 miliar.
Peran Asosiasi Industri
Asosiasi industri memiliki peran strategis dalam upaya pembinaan dan pengembangan
industri nasional. Oleh karena itu, diperlukan sinergisitas antara Kementerian Perindustrian
sebagai Pembina Industri dengan para asosiasi industri. Hal ini sesuai amanat Undang-Undang
No. 3 tahun 2014 tentang Perindustrian. Demikian disampaikan Sekjen Kemenperin Syarif
Hidayat pada acara Rapat Kerja Nasional Bidang Koordinator Asosiasi KADIN Indonesia di
Jakarta, Rabu (16/9).
Kementerian Perindustrian terus meningkatkan upaya kerja sama dan sinergi dengan
berbagai stakeholderterkait, baik dengan Kementerian atau Lembaga lain, pelaku usaha, dan
asosiasi industri yang diharapkan mampu meningkatkan daya saing industri nasional, tegasnya.
Walaupun demikian, lanjutnya, bidang perijinan akan diprioritaskan pada masalah yang
menghambat menyoal perizinan prinsip. Ini harus segera ditangani, prioritas perijinan terkait
pembebasan lahan seperti plisit konkrit mendapatkan lahan itu, pungkasnya. (ard)
Deregulasi itu diikuti juga dengan peraturan pemerintah (PP) mengenai penerimaan
pajak dan retribusi daerah, dan pembatasan pemberian kredit oleh bank untuk
pengadaan dan pengolahan tanah. Namun, bidang otomotif dan kimia, tampaknya
pemerintah belum mau "menyentuh" dalam deregulasi yang diumumkan oleh
Menko Ekku, Salef Afif, bersama Menperindag Tungky Ariwibowo, Menkeu Mar'ie
Muhammad, serta Gubernur Bank Sentral Soedrajad Djiwandono, di Jakarta.
Namun, pengumuman deregulasi masih seperti pengumuman deregulasi
sebelumnya, disambut biasa saja dan tanpa arti sama sekali. Bahkan para
pengamat memperkiran sentuhan-sentuhan deregulasi belum terlihat pada akar
permasalahan, yang saat ini, banyak "melilit" perekonomian Indonesia. Seperti,
masih adanya penguasaan sektor ekonomi oleh segelintir orang, tata niaga, serta
adanya perlakuan istimewa kepada beberapa pelaku ekonomi.
Kalau pun ada "keran" yang dibuka, itu pun dinikmati oleh segelintir saja. Seperti
yang terjadi pada paket deregulasi 3 Juni 1991, pemerintah membuka peluang
impor kendaraan niaga kategori I (bobot di bawah 2 ton) hingga kategori V (bobot
berat sama dengan bus Mercedes), tapi yang boleh mengimpor adalah agen
tunggal dan perusahaan yang mendapatkan "status" importir yang ditunjuk.
Bahkan ada yang mengatakan deregulasi kali ini tidak ada apa-apanya dan masih
sama dengan deregulasi sebelumnya. " Kalau hanya penurunan tarif, itu kan sudah
rutin. Ada atau tidak penurunan tarif, hal itu memang sudah harus urun," kata Faisal
H Basri, yang juga ketua JurusanStudi Pembangunan FE UI.
Tampaknya pengumuman deregulasi oleh banyak kalangan masih dinilai sebagai
acara rutinitas dibandingkan dengan alasan ekonomis. Ini terlihat tidak adanya
prioritas sektor dan komoditas yang dideregulasi. Dan karena itu paket kali ini
dianggap sebagai "kosmetik" saja. Para pengamat melihat sentuhan deregulasi
belum sampai kepada akar pokok ekonomi Indonesia. Padahal, hampir setiap tahun
pemerintah melakukan deregulasi. Apa saja tindakan deregulasi itu? Berikut
beberapa cacatan tentang deregulasi yang pernah dikeluarkan pemerintah dalam
dekade 80-an dan 90-an:
Tahun 1983
Pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di sektor moneter, khususnya
perbangkan, lewat kebijakan 1 Juni 1983. Deregulasi ini menyangkut tiga segi:
peningkatan daya saing bank pemerintah, penghapusan pagu kredit, dan
pengaturan deposito berjangka. Dalam ketentuan itu, bank pemerintah bebas
menentukan suku bunga deposito serta suku bunga kredit. Langkah ini
dimaksudkan agar masyarakat yang memiliki dana nganggur tertarik untuk
menyimpan di bank pemeintah. Sebab pada saat itu, suku bunga yang ditawarkan
oleh bank swasta lebih tinggi ketimbang bank pemerintah. Yaitu 18 persen,
sementara bank pemerintah hanya 14-15 persen.
Tahun 1985
Pemerintah memberlakukan Inpres Nomor 4 Tahun 1985 yang mengalihkan tugas
dan wewenang Ditjen Bea dan Cukai (BC) dalam pemeriksaan barang kepada
surveyor asing SGS. Ini sama saja dengan pemerintah memberikan kepercayaan
penuh kepada pihak asing (SGS) dalam memeriksa barang. Keluarnya Inpres Nomor
4, tak lain sebagai reaksi pemerintah atas penyalahgunaan wewenang oleh BC yang
banyak diributkan oleh dunia usaha.
Tahun 1986
Lewat paket kebijakan 6 Mei (Pakem), pemerintah menghapus sertifikat ekspor (SE).
SE merupakan fasilitas empuk yang banyak digunakan eksportir untuk memperoleh
pengembalian bea masuk dan unsur subsidi, ini diberikan bersamaan dengan kredit
ekspor.
Tahun 1987
Pemerintah mengeluarkan deregulasi 15 Januari 1987, tentang industri kendaraan
bermotor, mesin industri, mesin listrik, dan tarif bea masuk. Untuk bea masuk,
pemerintah memberikan keringanan bea terhadap barang-barang tertentu, seperti
Tekstil, kapas, dan besi baja. Sedangkan untuk industri mesin pemerintah
memberikan perlakuan kemudahan ijin usaha. Dan untuk industri kendaraan
bermotor, pemerintah memberikan kemudahan perakitan kendaraan dan
pembuatan dan perakitan bagian kendaraan bermotor.
Juni 1987
Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi, lewat PP Nomor 13 Tahun 1987 dan
Keppres Nomor 16. Kali ini pemerintah menyederhanakan perijinan investasi bidang
pertambangan, pertanian, kesehatan dan perindustrian. Yang semula ada empat ijin
investasi, setelah kebijakan itu hanya tinggal dua.
24 Desember 1987
Pemerintah kembali membuat kejutan dengan memberikan kemudahan dan
kelonggaran berusaha. Dalam bidang penamanan modal, PMA diperlakukan sama
dengan PMDN dalam hal kepemilikan saham. Untuk fasilitas keringanan bea masuk,
semula hanya diberikan kepada barang tertentu, kini diberikan keringanan bea
masuk untuk semua bidang usaha yang diijinkan. Untuk ekspor, pemerintah
menghapus semua perijinan ekspor dan menggantinya dengan ijin usaha.
Sementara perusahaan asing yang sudah berproduksi dan bisa ekspor, diijinkan
untuk membeli hasil produksi perusahaan lain untuk di ekspor. Sedangkan bidang
ekspor, PT Kratau Steel yang selama itu ditunjuk sebagai pelaksana 92 komoditi
produk industri logam, dengan kebijakan baru hak impornya hanya tinggal 50
komoditi. Dan untuk bidang pariwisata yang semula ada 33 jenis ijin, dengan
kebijakan Desember itu, dipotong tinggal dua ijin.
Tahun 1988
Inilah tahun booming dunia perbankan Indonesia. Bayangkan, hanya dengan modal
Rp 10 milyar, seorang pengusaha punya pengalaman atau tidak sebagai bankir,
sudah bisa mendirikan bank baru. Maka, tak pelak lagi berbagai macam bentuk dan
nama bank baru bermunculan bagai jamur di musim hujan. Itulah salah satu bentuk
kebijakan deregulasi 27 Oktober 1988, atau yang dikenal dengan sebutan Pakto 88.
Tak hanya itu, bank asing yang semula hanya beroperasi di Jakarta, kini bisa
merentangkan sayapnya ke daerah lain di luar Jakarta. Sementara untuk mendirikan
bank perkreditan, modal yang disetor menurut Pakto 88, hanya Rp 50 juta
seseorang sudah bisa punya bank BPR.
21 November 1988
bertentangan dengan UU Pokok Pers Tahun 1982. Belakangan beleid mengenai PMA
ini dikoreksi, sehingga ada beberap sektor yang "haram" dimasuki oleh PMA. Ya,
bidang pers salah satunya.
Tahun 1995
Dengan kebijakan yang dinamaan Paket Mei 1995 (Pakmei 95), pemerintah
mengeluarkan paket deregulasi atas lima bagian : tarif bea masuk dan masuk
tambahan, tata niaga impor, penaman modal, perijinan, restrukturisasi usaha, dan
entrepot produsen tujuan ekspor serta kawasan berikat. Dalam tarif, terjadi
penurunan 6.030 dari 9.408 pos tarif. Pemerintah juga menghapus bea masuk
tambahan terhadap 95 produk, merubah tata niaga dan kontrol terhadap 81 produk.
Dalam Pakmei ini, penurunan tarif bea masuk akan diturunkan secara bertahap.
Tahun 1996
26 Januari 1996, Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi, untuk bidang industri,
perdagangan, dan keuangan. Makna deregulasi kali ini masih tidak bergeser dari
deregulasi sebelumnya, yaitu penurunan bea masuk. Selain itu diberikannya
fasilitas perpajakan guna meningkatkan ekspor non migas.
4 Juni 1996
Pemerintah kembali mengeluarkan 11 langkah kebijakan deregulasi. Meliputi : (1)
penjadwalan penurunan tarif bea masuk, (2) perubahan tarif bea masuk barang
modal, (3) penghapausan bea masuk tambahan, (4) penyederhaan tata niaga
impor, (5) ketentuan anti-dumping, (6) kemudahan ekspor, (7) kemudahan layanan
eksportir tertentu untuk bidang tertentu, (8) penyederhanan perijinan industri di
kawasan industri, (9) peneyelenggaran temapt penimbunan, (10) kelonggaran
kegiatan ekspor-impor bagi perusahaan PMA manufaktur, (11) penyerdahanaan
prosedur impor limbah untuk bahan baku industri. Untuk penurunan tarif bea
masuk, telah ditrunkan sebanyak 1.497 pos tarif dari 7.288 pos tarif.
Dalam rangka menghadapi praktek anti-dumping dan melindungi industri dalam
negeri, pemerintah memberlakukan PP tentang bea masuk anti dumping dan bea
masuk imbalan. Untuk itu pemerintah membentuk Komite Anti Dumpaing Indonesia
(KADI). Sementara untuk mendorong ekspor, pemerintah menghapus kewajiban
penggunaan PEB dari Rp 10 juta menjadi Rp 100 juta. Pemerintah juga
menyederhanakan perijinan kawasan berikat. Bagi perusahaan yang telah
bermukim di kawasan industri tidak diwajibkan memiliki perijinan selama
memperoleh persetujuan PMA dari presiden , atau dari BKPM untuk PMDN.
Tahun 1997
Inilah deregulasi yang oleh banyak kalangan dinilai sudah kehilangan
momentumnya. Karena, deregulasi kali ini adalah deregulasi tertunda yang
seharusnya bulan lalu diumumkan. Isi paket deregulasi: pemangkasan 1.600 pos
tarif bea masuk untuk berbagai produk sektor pertanian, perdagangan dan
kesehatan. Deregulasi yang dikeluarkan 7 Juli 1997 itu, diikuti juga dengan
peraturan pemerintah (PP) mengenai penerimaan pajak dan retribusi daerah, dan
pembatasan pemberian kredit oleh bank untuk pengadaan dan pengolahan tanah
Penurunan tarif terbesar terjadi pada produk industri sebanyak 1.461 pos tarif,
pertanian 136 pos tarif, dan kesehatan tiga pos tarif. Jumlah pos tarif sebanyak
7.261 sebelum tahun 1997, dan setelah deregulasi jumlah pos tarif masih sama.
Perubahannya, hanya pada pos tarif rendah jumlahnya bertambah, terutama untuk
pos tarif 20 persen hingga nol persen. Sementara sebelum deregulasi, jumlah pos
tarif tinggi masih banyak. Dengan pertambahan bea masuk rendah dan
berkurangnya pos tarif tinggi, maka pos tarif rata-rata tidak tertimbang mengalami
penurunan dari 13,0 persen menjadi 11,9 persen.
Dalam paket Juli ini, untuk bidang impor, pemerintah memberlakukan ketentuan
impor gula kasar, yang sebelumnya dikuasai oleh Badan Urusan Logistik (Bulog),
kini dapat dilakukan oleh importir produsen. Importir dalam hal ini, adalah pabrik
gula yang menggunakan bahan baku gula kasar untuk produksinya. Selain itu,
pemerintah juga membuka impor kapal bekas tanpa ada batasan kuoto. dengan
ketentuan selama kapal bekas masih layak pakai.
Untuk bidang ekspor, pemerintah menaikkan nilai pemberitahuan ekspor barang
(PEB) yang sebelumnya Rp 100 juta naik menjadi Rp 300 juta. Dalam ketentuan
baru ini, para pengusaha kecil dan menengah yang sebelum harus melapor jika
akan mengekspor barang dengan nilai di atas Rp 100 juta, kini, mengekspor barang
hingga Rp 300 juta tanpa PEB.
Sementara untuk perusahaan bukan penanaman modal, yang sebelumnya tidak
mendapat fasilitas pembebasan bea masuk, seperti penanaman modal asing (PMA)
dan penanaman modal dalam negeri (PMDN), kini mendapatkan fasilitas yang
sama. Kebijakan pemberian fasilitas pembebasan bea masuk untuk bebas bea atas
impor barang modal dan bahan baku, untuk keperluan selama dua tahun.
Sedangkan untuk pajak dan retribusi daerah, sebagai pelaksanan UU Nomor 18
Tahun 1997, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun
1997, tentang pajak daerah dan PP Nomor 20 Tahun 1997, tentang retribusi daerah,
guna penyederhanakan kedua pungutan tersebut. Kini dengan adanya UU, pajak
daerah yang sebelum sebanyak 42 jenis, kini tinggal 9 jenis. Sedangkan untuk
retribusi daerah dari 192 jenis menjadi 30 jenis. Selain itu, sebagai pelaksanaan dari
UU Nomor 20 Tahun 1997, tentang penerimaan negara bukan pajak (PNBP),
pemerintah mengeluarkan PP Nomor 22 Tahun 1997, yang mengatur semua
penerimaan negara bukan pajak harus disetorkan ke kas negara.
Dalam PP Nomor 22, disebutkan ada tujuh jenis penerimaan negara bukan pajak di
semua departemen dan lembaga non departemen. Antara lain, penerimaaan
kembali anggaran (sisa anggaran rutin dan pembangunan), penerimaan hasil
penjualan barang milik negara, hasil penyewaan barang milik negara, penerimaan
hasil jasa giro uang negara, penerimaan ganti rugi atas kerugian negara,
penerimaan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah, dan
penerimaan dari hasil penjualan dokumen lelang. Selain itu, PP Nomor 22 juga
mengatur semua jenis penerimaan negara bukan pajak di seluruh departemen dan
lembaga non departemen.
Pemerintah juga membuka pintu kepada swasta untuk mendirikan balai lelang
dalam bentuk perusahaan terbatas (PT). Bahkan swasta nasional diberikan
kesempatan untuk berpatungan mendirikan balai lelang dengan pihak asing.
Di bidang moneter, khususnya perbankan, pemerintah melarang bank umum untuk
memberikan kredit baru untuk pengadaan dan pengolahan lahan. Dengan kata lain,
bank-bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada pengembang untuk
membuka lahan baru. Kecuali untuk pengadaan rumah sederahana (RS) dan sangat
sederhana (RSS).
Sementara impor minyak kelapa sawit mentah untuk bahan baku minyak goreng,
yang semula dikenakan pajak ekspor sebesar 10-12 persen, kini dengan ketentuan
baru pemerintah menurunkan jadi lima persen.
Analisa : Dapat kita tarik kesimpulan bahwa pemerintah melakukan deregulasi
perbankan dari 1987-1997 sudah pasti bertujuan untuk memperbaiki sistem
perekonomian di Indonesia khususnya di bidang perbangkan. Kita tahu bahwa pada
awalnya tercipta sistem perekonomian di Indonesia masih berkiblat pada sistem
kolonial Belanda, diharapkan dengan adanya deregulasi ini bisa terbebas dari
sistem tersebut.Deregulasi sempat memberikan hasil positif contahnya, kemudahan
pendirian bank baru, meningkatkan efektivitas instrumen pasar uang, serta
mendorong peralihan dari tingkat suku bunga dan nilai tukar yang tetap (fixed) ke
tingkat yang mengambang (floating). Akibat deregulasi itu, hanya dalam waktu dua
tahun muncul 73 bank baru dan 301 kantor cabang baru.Namun, banyak sekali
akibat dari deregulasi ini seperti, Dalam tempo singkat, tiba-tiba pinjaman luar
negeri perbankan meningkat tajam akibat melemahnya nilai tukar. Pada saat
bersamaan, banyak pula perusahaan yang utangnya menjadi berlipat ganda
sehingga kreditnya di bank pun menjadi macet.
Perbankan makin kesulitan tatkala masyarakat mulai berbondong-bondong menarik
dananya dari perbankan akibat kepercayaan yang makin hilang dan situasi yang
semakin tidak menentu. Perbankan kesulitan likuiditas.
Bank Indonesia pun mengeluarkan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) untuk menolong perbankan. Bank yang tidak bisa ditolong terpaksa
dilikuidasi. Selanjutnya, pemerintah juga membentuk Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) untuk merestrukturisasi perbankan yang kala itu umumnya sangat
kekurangan modal dengan NPL yang sangat besar.
Pemerintah mengeluarkan obligasi rekapitalisasi untuk menambal modal bank.
Untuk menutup biaya restrukturisasi yang mencapai Rp 600 triliun, bank-bank yang
telah direstrukturisasi pun dijual ke asing. Seiring dengan berjalannya waktu bankbank secara bertahap mulai membenahi tata kelola dan manajemen risiko
perbankan.Dan dengan berbagai langkah yang telah dilakukan, kondisi makroekonomi yang lebih kondusif, kinerja industri perbankan pun berangsur-angsur
pulih.
mempercepat implementasi proyek strategis nasional dengan menghilangkan hambatan yang ada,
menyederhanakan izin, mempercepat pengadaan barang serta memperkuat peran kepala daerah
untuk mendukung program strategis.
Ketiga, meningkatkan investasi di sektor properti. Dengan pembangunan rumah bagi masyarakat
berpenghasilan rendah dan membuka peluang investasi di sektor ini sebesar-besarnya.
Diharapkan dengan dikeluarkannya paket kebijakan ekonomi tersebut, pendapatan masyarakat
akan bertambah sehingga daya beli menguat.
Menurut penulis, persoalan regulasi dan birokrasi menjadi permasalahan dasar yang
menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini terkonfirmasi dalam laporan Doing
Business 2015 yang dirilis oleh World Bank. Indonesia berada di peringkat 153 dalam hal
pengurusan perizinan (Oktober, 2014).
Begitu juga dalam laporan The Global Competitivenes Report 2014-2015 yang dikeluarkan oleh
World Economic Forum, dimana ketidakefisienan birokrasi Indonesia masih mendapatkan nilai
8.3. Walaupun peringkat ini lebih baik dari nilai tahun sebelumnya yaitu 15.4 dan 15 (September,
2014).
Lamanya proses perizinan, birokrasi yang rumit, serta masih maraknya pungutan liar dapat
memperburuk iklim investasi di Indonesia. Sehingga pada akhirnya akan memperlambat
pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Kini menarik untuk patut kita simak bagaimana paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi
ini dapat diimplementasikan oleh aparatur birokrasi negeri ini. Karena penulis mengkhawatirkan
paket kebijakan ini hanya akan menjadi sekedar wacana, jika tidak didukung oleh kinerja yang
prima dari aparatur birokrasi kita.
Pada Janji Sembilan agenda pokok Pemerintahan Kabinet Kerja dibawah kepemimpinan
Presiden Jokowi salah satu poinnya adalah membuat pemerintah tidak absen dengan membangun
tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya. Pelaksanaan paket
kebijakan ekonomi ini seharusnya menjadi momentum untuk Pemerintah dengan serius
membenahi birokrasi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi kita.
Menurut penulis bahwa gerakan revolusi mental yang digadang-gadang oleh Presiden Jokowi
harus menjadi dasar untuk membenahi birokrasi kita. Merubah nilai, etika, pola pikir serta
budaya birokrasi saat ini. Merubah birokrasi priyayi ke birokrasi melayani, dari birokrasi yang
berorientasi kepada keluaran semata (outputs) ke birokrasi yang berorientasi kepada hasil
(outcomes) dan manfaat (benefits).
Selanjutnya diperlukan restrukturisasi kelembagan birokrasi. Struktur birokrasi yang selama ini
kurang lincah harus ditata agar tepat ukuran, tepat proses dan tepat fungsi. Struktur birokrasi
sebagai penggerak penyelenggaraan pemerintahan harus menunjukkan performa yang tangguh,
lincah, efektif dan efisien.
Kemudian yang terakhir adalah integritas dan profesionalitas aparatur birokrasi.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang prima salah satunya didasarkan pada kualitas aparatur
birokrasi yang memiliki integritas dan profesionalitas. Guna mewujudkan hal tersebut maka
diperlukan peningkatan kompetensi sumber daya aparatur birokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik di The Indonesian Institute, Center for Public
Policy and Research. arfianto@theindonesianinstitute.com
umumnya lari ke sektor informal. Setelah mereka terima jaminan hari tua, mereka akan jadi
pedagang asongan atau apapunlah. Tapi kenyataannya mereka tidak bisa berbuat apa-apa, itu
pukulan pertama. Pukulan kedua, daya beli mereka juga dipukul," ujarnya.
Noorsy menambahkan, jika deregulasi atau reregulasi diterapkan maka akan sangat merugikan
Indonesia. "Industri kita terutama industri kecil akan terpukul oleh masuknya produk impor",
tegasnya.
Jumlah rakyat Indonesia sebagai bangsa dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia. Seharusnya
bisa menginvasi pasar luar negeri dengan produk-produk dalam negeri. "Bukan mengimpor
bahan baku, ke negara lain, kemudian menjadi barang jadi, dan di ekspor lagi ke indonesia,"
tambahnya.
Karenanya, kata Noorsy, negara harus melakukan pembangunan ekonomi dari sektor
perdagangan, bukan mengandalkan kemampuan dan ketahanan negara dari sektor keuangan.
"Karena secara empiris, hal tersebut akan menjadikan negara hancur seperti negara-negara yang
saat ini bangkrut, tambah dia.
Formappi: Bawaslu Terlambat Rancang Pengawasan Kampanye di Medsos
Antara
Kebijaksanaan Deregulasi
Kini perekonomian Indonesia diwarnai oleh kebijaksanaan Deregulasi dan
Debirokratisasi. Apa sih yang dimaksud dengan Deregulasi? , deregulasi adalah
keputusan yang diberlakukan pemerintah dalam rangka mengatasi masalah
ekonomi biaya tinggi yang diakibatkan oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
lalu. deregulasi yang diberlakukan menyangkut sektor rill (produksi) dan sektor
finansial (perbankan).
Latar belakang diberlakukannya kebijaksanaan dalam deregulasi dalam
sektor rill pada dasarnya disebabkan terutama karena kebijaksanaan
industrialisasi,yang sifatnya pengganti barang-barang impor.
Kebijaksanaan industrialisasi mendorong pemerintah untuk memberlakukan
proteksi yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Sementara itu industrialisasi
yang dilaksanakan pada dasarnya hanya mengerjakan barang-barang yang 90%
sudah selesai (assembling) sehingga akhirnya struktur industri seperti ini sangat
menghambat berhasilnya kebijaksanaan makro.Sebagai contoh selama Repelita
II,pertumbuhan sektor industri dapat mencapai 12-13% / tahun, tetapi kontribusi
sektor industri terhadap GDP hanya naik 0,7%.Itu berarti bahwa apabila
PT