Anda di halaman 1dari 19

PAKET KEBIJAKAN INVESTASI YANG MEMPENGARUHI INDUSTRI

Siaran Pers

Kemenperin Targetkan Deregulasi Industri Selesai Akhir September 2015

Sekjen Kemenperin Syarif Hidayat mengatakan Kementerian Perindustrian akan


mempercepat penyelesaian 15 deregulasi yang terkait perindustrian pada akhir September 2015.
Deregulasi tersebut meliputi 1 Peraturan Pemerintah terkait Sarana Penunjang Pengembangan
Industri (Kawasan Industri)serta 14 Peraturan Menteri Perindustrian terkait rekomendasi izin
ekspor dan impor.
Dalam deregulasi itu bukan menghilangkan peraturan tersebut, tetapi kami akan
memperbaiki cara-cara pengendaliannya untuk mengawasi agar lebih efisien sehingga tidak akan
mempersulit pelaku usaha seperti dalam proses izin ekspor dan impor, kata Sekjen pada acara
Focus Group Discussion (FGD) dengan Forum Wartawan Industri (Forwin) tentang Kondisi
Terkini dan Kebijakan Sektor Industri tentang di Yogyakarta, Rabu (16/9). Pada kesempatan
tersebut, Sekjen Kemenperin didampingi Kapuskom Kemenperin Hartono dan Kepala Biro
Perencanaan Kemenperin Sanwani Mahmud.
Mengenai deregulasi PP Kawasan Industri, Syarif menyampaikan, langkah perbaikan
yang akan dilakukan adalah memisahkan substansi terkait kawasan industri dari RPP Sarana dan
Prasarana Industri menjadi RPP tersendiri.Setelah itu, dilakukan percepatan pelaksanaan
harmonisasi di Kementerian Hukum & HAM. Rencana aksi yang akan kami lakukan adalah
sosialisasi dan implementasi peraturan baru tersebut, yang diharapkan dengan terbitnya PP
terkait Kawasan Industri akan mempermudah pelaksanaan pembangunan Kawasan Industri,
tuturnya seraya mengatakan penanggung jawab deregulasi PP KawasanIndustri adalah Dirjen
Pengembangan Perwilayahan Industri.
Sedangkan, deregulasi 14 permenperin dilakukan untuk meningkatkan efisiensi industri
serta menghilangkan beban impor sehingga tersedianya barang terkait dan menjadi lebih murah.
Penyusunan revisi permenperin tersebut akan menjadi tanggung jawab Kepala Badan Penelitian
dan Pengembangan Industri (BPPI), ujarnya.
Sekjen Kemenperin mengharapkan dengan adanya deregulasi tersebut mampu
mendorong daya saing industri nasional, di tengah melemahnya perekonomian dunia.
Kemenperin juga telah menyiapkan berbagai langkah untuk mendukung pelaksanaan

deregulasi,
antara
lain
merasionalisasi
peraturan
dengan
menghilangkan
duplikasi/redundansi/irrelevant regulations, melakukan keselarasan antar peraturan, dan
melakukan konsistensi peraturan, paparnya.
Pada triwulan II tahun 2015, industri non migas mampu tumbuhmencapai5,27% atau
mengalami peningkatan dibandingkan triwulan I tahun 2015 sebesar 5,21% dan lebih besar dari
pertumbuhan ekonomi tahun 2015sebesar 4,67%.
Kontribusi terbesar pada pembentukan PDB nasional triwulan II Tahun 2015 diberikan
oleh sektor Industri Pengolahan sebesar 20.91% dimana Industri non migas memberikan
kontribusi sebesar 18.17% terhadap PDB sedangkan terhadap Industri Pengolahan sebesar
86,81%, tutur Syarif.
Sementara itu, cabang-cabang industri yang mengalami pertumbuhan tertinggi pada
triwulan II tahun 2015 antara lain: Industri Barang Logam, Komputer, Barang Elektronik, Optik,
dan Peralatan Listrik sebesar 8,91%; Industri Makanan dan Minuman sebesar 8,46%; Industri
Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional sebesar 7,78%, Industri Logam Dasar sebesar 7,54%;
Industri Furnitur sebesar 6,55%, serta Industri Barang Galian bukan Logam sebesar 6,18%.
Selanjutnya, nilai investasi PMDN sektor industri triwulan II pada tahun 2015 sebesar Rp
25,56 triliun atau tumbuh sebesar 111,83% dibanding triwulan II tahun 2014 sebesar Rp 12,06
triliun. Sedangkan nilai investasi PMA sektor industri pada triwulan II tahun 2015 mencapai
USD 2,51 miliar. Total nilai investasi yang masuk pada triwulan II pada tahun 2015 sebesar USD
5,07 miliar.
Peran Asosiasi Industri
Asosiasi industri memiliki peran strategis dalam upaya pembinaan dan pengembangan
industri nasional. Oleh karena itu, diperlukan sinergisitas antara Kementerian Perindustrian
sebagai Pembina Industri dengan para asosiasi industri. Hal ini sesuai amanat Undang-Undang
No. 3 tahun 2014 tentang Perindustrian. Demikian disampaikan Sekjen Kemenperin Syarif
Hidayat pada acara Rapat Kerja Nasional Bidang Koordinator Asosiasi KADIN Indonesia di
Jakarta, Rabu (16/9).
Kementerian Perindustrian terus meningkatkan upaya kerja sama dan sinergi dengan
berbagai stakeholderterkait, baik dengan Kementerian atau Lembaga lain, pelaku usaha, dan
asosiasi industri yang diharapkan mampu meningkatkan daya saing industri nasional, tegasnya.

Di UU Perindustrian, beberapa pasal menyebutkan peran asosiasi industri seperti


penguatan kapasitas industri kecil dan menengah dilakukan melaluikerja sama dengan lembaga
pendidikan, lembaga penelitian dan pengembangan, serta asosiasi Industri dan asosiasi profesi
terkait.
Selanjutnya, asosiasi industri juga dilibatkan dalam koordinasi penyusunan standar
industri hijau bersama dengan lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup, bidang riset dan teknologi, bidang
standardisasi, serta pelaku usaha.
Di samping itu, asosiasi industri juga berpean di Komite Industri Nasional yang bertujuan
untuk mendukung pencapaian pembangunan industri nasional. Komite Industri Nasional dapat
membentuk kelompok kerja yang terdiri dari pakar terkait di bidang Industri yang berasal dari
unsur pemerintah, asosiasi industri, akademisi, dan masyarakat, jelas Sekjen Kemenperin.
Syarif mengharapkan, dunia usaha yang tergabung dalam asosiasi industri terus
membangun sinergi dengan pemerintah dalam mengakselerasi pertumbuhan industri untuk
menjadikan Indonesia sebagai negara industri tangguh. Pasalnya, Indonesia sebagai negara yang
sedang tumbuh mempunyai potensi pengembangan industri yang cukup besar karena didukung
oleh ketersediaan bahan baku, sumber daya alam yang melimpah dan beragam. Selain itu,
jumlah penduduk yang besar dan terus bertambah, serta peningkatan daya beli masyarakat yang
semakin tinggi dengan semakin bertambahnya masyarakat kelas menengah juga sangat
potensial, paparnya.
Demikian Siaran Pers ini untuk disebarluaskan.
Jakarta, 16 September2015
Kepala Pusat Komunikasi Publik

5 Industri Prioritas Kebijakan Deregulasi


25-09-2015
56

JAKARTA, CITRAINDONESIA.COM- Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati menyatakan


ada 5 prioritas sektor yang akan didorong dalam kebijakan deregulasi salah satunya infrastruktur,
pertanian, padat karya, maritim, dan pariwisata.
Beberapa sudah mencatatkan rapor pertumbuhan hijau tapi masih ada yang merah. Rapor merah
yaitu diantaranya kemaritiman, pariwisata, hilirisasi, orientasi ekspor, dan industri untuk
substitusi impor, ujar Enny dalam sambutannya kepada wartawan pada acara dialog investasi di
Ruang Nusantara, Jakarta, Jumat (25/9/2015).
Ia mengakui, ada yang harus difokuskan dalam sektor industri hilirisasi, subtitusi impor, orientasi
ekspor dan penyerapan tenaga kerja.
Point yang terakhir, pengusaha juga sudah dari dulu minta kepastian soal UMR. Bukan
UMRnya, tapi kepastian penetapan serta jaminan keamanan agar jika ada tuntutan tidak anarkis,
imbuhnya.
Dari 134 deregulasi, tuturnya, stimulus kebijakan ekonomi pada bulan sepetember diharapkan
harus benar fokus dan bertumpu pada menko.
Ini kompleks, tidak mungkin akan diselesaikan sekaligus dalam waktu sesingkat ini. Saya rasa
oktober ngga akan selesai dan harus petakan prioritasnya, katanya.

Walaupun demikian, lanjutnya, bidang perijinan akan diprioritaskan pada masalah yang
menghambat menyoal perizinan prinsip. Ini harus segera ditangani, prioritas perijinan terkait
pembebasan lahan seperti plisit konkrit mendapatkan lahan itu, pungkasnya. (ard)

Ini 8 Pokok Deregulasi di Bidang Pertanahan


Oktober
09
/ 2015
07:00 WIB
Oleh : Deandra Syarizka
Share this post :

Bisnis.com, JAKARTAKementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional


mengeluarkan delapan pokok deregulasi investasi di bidang pertanahan, yang menjadi bagian
dari Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III.
Deregulasi ini sekaligus berfungsi menggantikan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 2 tahun
2015 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Agraria, Tata Ruang, dan Pertanahan dalam
Kegiatan Penanaman Modal. Rencananya, kebijakan ini akan efektif berlaku mulai Senin
(12/10/2015).

Informasi ketersediaan tanah. Permohonan diproses 3 jam. - Bisnis.com


Berikut 8 Pokok Deregulasi Investasi di Bidang Pertanahan
1. Informasi ketersediaan tanah. Permohonan diproses 3 jam.
2. Pertimbangan Teknis Pertanahan. Permohonan didaftarkan dalam waktu 3 jam,
kelengkapan syarat dalam waktu paling lama 3 hari kerja, untuk lahan < 200 hektare
paling lama 3 hari kerja, untuk >200 hektare paling lama 5 hari kerja.
3. Pengukuran Bidang tanah (sebelumnya 10 s.d. 30 hari): permohonan didaftarkan dalam 3
jam, kelengkapan syarat dalam waktu paling lama 10 hari kerja, untuk < 200 hektare
paling lama 15 hari kerja, untuk > 200 hektare paling lama 20 hari kerja.
4. Pemberian hak guna usaha (sebelumnya 30 s.d. 90 hari): permohonan didaftarkan dalam
3 jam, kelengkapan syarat dalam waktu paing lama 14 hari kerja, untuk < 200 hekatre
paing lama 20 hari kerja, untuk > 200 hektare paling lama 45 hari kerja.
5. Perpanjangan/Pembaharuan Hak Guna Usaha (didasarkan pada hasil evaluasi dan audit
lahan, sebelumnya 20 s.d. 70 hari kerja_: untuk < 200 hektare paling lama 7 hari kerja,
untuk >200 hektare paling lama 14 hari kerja.
6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai (sebelumnya 50 hari kerja): Permohonan
didaftarkan dalam 3 jam, untuk < 15 hektare paling mana 20 hari kerja, untuk >15
hektare paling lama 30 hari kerja.

7. Perpanjangan/Pembaharuan hak Guna Bangunan/Hak Pakai (berdasarkan pada hasil


evaluasi dan audit lahan, sebelumnya 20 s.d. 50 hari kerja): untuk <15 hektare paling
lama 5 hari kerja, untuk >15 hektare paling lama 7 hari kerja.
8. Penerbitan sertifikat (sebelumnya 5 hari kerja): paling lama 1 hari kerja.

Pengertian dan dampak Deregulasi dari tahun ke tahun


Deregulasi adalah aturan/sistem (sistem yang mengatur) ,tindakan atau proses
menghilangkan mengurangi segala aturan.
Apakah deregulasi baik atau buruk?
Adabaiknya ditangguhkan dulu debat pro dan kontra.Dari posisi pro : deregulasi
secara keseluruhan (dan bukan selektif) merupakan sesuatu yang baik adanya.
Bila diringkas,deregulasi menunjuk kebijakan pemerintah mengurangi/meniadakan
aturan administratif yang mengekang kebebasan gerak modal,barang dan
jasa.Contoh-cotoh deregulasi:
Pemerintah menderegulasi bidang ekspor untuk menambah devisa negara.
Deregulasi dibidang perpajakan berupa penghematan pajak bagi perusahaan
berarti meringankan biaya produksi perusahaan
Deregulasi dibidang ekonomi/politik :omongan bahwa, pasar merupakan
mekanisme alami bagi alokasi kesejahteraan adalah omongan naif.Untuk itu paket
kebijakan yang menyangkut pengadaan modal perlu menerapkan strategi
deregulasi selektif.misalnya,regulasi ketat dikenakan pada transaksi yag tidak
menyangkut investasi jangka panjang .Sebaliknya deregulasi serikat buruh perlu
dilakukan dengan fokus pada daya tawar dan independensi.
Deregulasi di sektor telekomunikasi : seandainya pemerintah mendorong
pemanfaatan teknologi telekomunikasi secara maksimal,akan bermunculan potensipotensi usaha mikro yang berawal dari basis komunikasi,mulai dari pelayanan
internet murah sampai pabrikasi peralatan komunikasi sederhana.
Dari tahun ke tahun deregulasi hanya membahas permasalahan di "atas" saja.
Sementara akar permasalahan yang menyebabkan distorsi dan ekonomi biaya
tinggi ekonomi RI belum tersentuh. Inikah deregulasi setengah hati? Atau hanya
sekadar "gincu" menjelang Sidang CGI pada 11-17 Juli 1997 di Tokyo?
Walau terlambat tiga hari dari jadwal yang direncanakan, akhirnya pemerintah
mengumumkan paket deregulasi 7 Juli 1997. Isinya: pemangkasan 1.600 pos tarif
bea masuk untuk berbagai produk sektor pertanian, perdagangan dan kesehatan.

Deregulasi itu diikuti juga dengan peraturan pemerintah (PP) mengenai penerimaan
pajak dan retribusi daerah, dan pembatasan pemberian kredit oleh bank untuk
pengadaan dan pengolahan tanah. Namun, bidang otomotif dan kimia, tampaknya
pemerintah belum mau "menyentuh" dalam deregulasi yang diumumkan oleh
Menko Ekku, Salef Afif, bersama Menperindag Tungky Ariwibowo, Menkeu Mar'ie
Muhammad, serta Gubernur Bank Sentral Soedrajad Djiwandono, di Jakarta.
Namun, pengumuman deregulasi masih seperti pengumuman deregulasi
sebelumnya, disambut biasa saja dan tanpa arti sama sekali. Bahkan para
pengamat memperkiran sentuhan-sentuhan deregulasi belum terlihat pada akar
permasalahan, yang saat ini, banyak "melilit" perekonomian Indonesia. Seperti,
masih adanya penguasaan sektor ekonomi oleh segelintir orang, tata niaga, serta
adanya perlakuan istimewa kepada beberapa pelaku ekonomi.
Kalau pun ada "keran" yang dibuka, itu pun dinikmati oleh segelintir saja. Seperti
yang terjadi pada paket deregulasi 3 Juni 1991, pemerintah membuka peluang
impor kendaraan niaga kategori I (bobot di bawah 2 ton) hingga kategori V (bobot
berat sama dengan bus Mercedes), tapi yang boleh mengimpor adalah agen
tunggal dan perusahaan yang mendapatkan "status" importir yang ditunjuk.
Bahkan ada yang mengatakan deregulasi kali ini tidak ada apa-apanya dan masih
sama dengan deregulasi sebelumnya. " Kalau hanya penurunan tarif, itu kan sudah
rutin. Ada atau tidak penurunan tarif, hal itu memang sudah harus urun," kata Faisal
H Basri, yang juga ketua JurusanStudi Pembangunan FE UI.
Tampaknya pengumuman deregulasi oleh banyak kalangan masih dinilai sebagai
acara rutinitas dibandingkan dengan alasan ekonomis. Ini terlihat tidak adanya
prioritas sektor dan komoditas yang dideregulasi. Dan karena itu paket kali ini
dianggap sebagai "kosmetik" saja. Para pengamat melihat sentuhan deregulasi
belum sampai kepada akar pokok ekonomi Indonesia. Padahal, hampir setiap tahun
pemerintah melakukan deregulasi. Apa saja tindakan deregulasi itu? Berikut
beberapa cacatan tentang deregulasi yang pernah dikeluarkan pemerintah dalam
dekade 80-an dan 90-an:
Tahun 1983
Pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di sektor moneter, khususnya
perbangkan, lewat kebijakan 1 Juni 1983. Deregulasi ini menyangkut tiga segi:
peningkatan daya saing bank pemerintah, penghapusan pagu kredit, dan
pengaturan deposito berjangka. Dalam ketentuan itu, bank pemerintah bebas
menentukan suku bunga deposito serta suku bunga kredit. Langkah ini
dimaksudkan agar masyarakat yang memiliki dana nganggur tertarik untuk
menyimpan di bank pemeintah. Sebab pada saat itu, suku bunga yang ditawarkan
oleh bank swasta lebih tinggi ketimbang bank pemerintah. Yaitu 18 persen,
sementara bank pemerintah hanya 14-15 persen.
Tahun 1985
Pemerintah memberlakukan Inpres Nomor 4 Tahun 1985 yang mengalihkan tugas
dan wewenang Ditjen Bea dan Cukai (BC) dalam pemeriksaan barang kepada
surveyor asing SGS. Ini sama saja dengan pemerintah memberikan kepercayaan
penuh kepada pihak asing (SGS) dalam memeriksa barang. Keluarnya Inpres Nomor

4, tak lain sebagai reaksi pemerintah atas penyalahgunaan wewenang oleh BC yang
banyak diributkan oleh dunia usaha.
Tahun 1986
Lewat paket kebijakan 6 Mei (Pakem), pemerintah menghapus sertifikat ekspor (SE).
SE merupakan fasilitas empuk yang banyak digunakan eksportir untuk memperoleh
pengembalian bea masuk dan unsur subsidi, ini diberikan bersamaan dengan kredit
ekspor.
Tahun 1987
Pemerintah mengeluarkan deregulasi 15 Januari 1987, tentang industri kendaraan
bermotor, mesin industri, mesin listrik, dan tarif bea masuk. Untuk bea masuk,
pemerintah memberikan keringanan bea terhadap barang-barang tertentu, seperti
Tekstil, kapas, dan besi baja. Sedangkan untuk industri mesin pemerintah
memberikan perlakuan kemudahan ijin usaha. Dan untuk industri kendaraan
bermotor, pemerintah memberikan kemudahan perakitan kendaraan dan
pembuatan dan perakitan bagian kendaraan bermotor.
Juni 1987
Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi, lewat PP Nomor 13 Tahun 1987 dan
Keppres Nomor 16. Kali ini pemerintah menyederhanakan perijinan investasi bidang
pertambangan, pertanian, kesehatan dan perindustrian. Yang semula ada empat ijin
investasi, setelah kebijakan itu hanya tinggal dua.
24 Desember 1987
Pemerintah kembali membuat kejutan dengan memberikan kemudahan dan
kelonggaran berusaha. Dalam bidang penamanan modal, PMA diperlakukan sama
dengan PMDN dalam hal kepemilikan saham. Untuk fasilitas keringanan bea masuk,
semula hanya diberikan kepada barang tertentu, kini diberikan keringanan bea
masuk untuk semua bidang usaha yang diijinkan. Untuk ekspor, pemerintah
menghapus semua perijinan ekspor dan menggantinya dengan ijin usaha.
Sementara perusahaan asing yang sudah berproduksi dan bisa ekspor, diijinkan
untuk membeli hasil produksi perusahaan lain untuk di ekspor. Sedangkan bidang
ekspor, PT Kratau Steel yang selama itu ditunjuk sebagai pelaksana 92 komoditi
produk industri logam, dengan kebijakan baru hak impornya hanya tinggal 50
komoditi. Dan untuk bidang pariwisata yang semula ada 33 jenis ijin, dengan
kebijakan Desember itu, dipotong tinggal dua ijin.
Tahun 1988
Inilah tahun booming dunia perbankan Indonesia. Bayangkan, hanya dengan modal
Rp 10 milyar, seorang pengusaha punya pengalaman atau tidak sebagai bankir,
sudah bisa mendirikan bank baru. Maka, tak pelak lagi berbagai macam bentuk dan
nama bank baru bermunculan bagai jamur di musim hujan. Itulah salah satu bentuk
kebijakan deregulasi 27 Oktober 1988, atau yang dikenal dengan sebutan Pakto 88.
Tak hanya itu, bank asing yang semula hanya beroperasi di Jakarta, kini bisa
merentangkan sayapnya ke daerah lain di luar Jakarta. Sementara untuk mendirikan
bank perkreditan, modal yang disetor menurut Pakto 88, hanya Rp 50 juta
seseorang sudah bisa punya bank BPR.
21 November 1988

Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi, yang berisi pengikisan


berbagai rintangan yang selama ini malang-melintang di sekitar arus distribusi
barang dan angkutan laut, pemudahan distribusi arus barang produk pabrik-pabrik
modal asing, penurunan bea masuk bahan baku plastik dari 30-60 persen menjadi
lima persen. Lalu, terhadap kritikan monopoli PT Krakatau Steel, lewat paket
November ini, pemerintah membabat 26 jenis tarif pos. Dengan penghapusan itu,
pabrik-pabrik boleh impor besi baja untuk pengecoran, yang selama ini dikuasai
oleh buatan pabrik baja di Cilegon itu.
Tahun 1990
Pemerintah membuat gebrakan di sektor moneter, khususnya perbankan, lewat
Paket Januari 1990 (Pakjan 90), bank-bank umum wajib mengalokasikan 20 persen
dari total kreditnya, kepada pengusaha lemah. Atau maksimal kredit yang diberikan
kepada pengusaha lemah Rp 200 juta. Namun, dalam Pakjan 90 ini yang masuk
kategori usaha lemah adalah usaha yang beraset maksimal Rp 600 juta.
Mei 1990
Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi yang menyangkut empat
sektor pembangunan: industri, perdagangan, kesehatan, dan pertanian. Dari empat
sektor yang disentuh deregulasi itu, sektor otomotif, impor gandum, kelapa sawit,
dan bahan baku plastik belum masuk dalam cacatan deregulasi yang dinamai
Pakmei 90 itu. Untuk bidang pertanian dibebaskan dari tata niaga atas komoditas
pala, sayur-sayuran dari Sumetera Utara, tengkawang, kayu manis, serta kopi. Lalu
untuk bidang perijinan, satu ijin peternakan berlaku untuk semua jenis ternak,
beternak, pemotongan hewan, dan produksi hewan. Bidang kesehatan, terjadi
penyerdehanaan ijin usaha untuk industri farmasi, perdagangan besar farmasi,
apotek, industri obat, pendaftaran obat, tata niaga impor, dan bahan baku obat.
Sementara untuk perdagangan terjadi pengurangan dan penambahan pos baru.
Pengurangan terjadi dari 9.549 menjadi 9.250 pos tarif dan terdapat penambahan
387 pos baru.
Tahun 1991
Tampaknya bulan Juni, dijadikan bulan yang tepat untuk mengumumkan kebijakankebijakan pemerintah. Tak heran bila pada Juni 1991, pemerintah kembali
"meluncurkan" serangkaian paket deregulasi bidang: investasi, industri, pertanian,
perdagangan, dan keuangan. Inti dari deregulasi kali ini adalah pembabatan hak
monopoli enam persero pemerintah (Pantja Niaga, Kertas Niaga, Dharma Niaga,
Mega Eltra, Sarinah, dan Krakatau Steel. Khusus untuk baja, KS harus rela
melepaskan 60 hak impornya kepada importir produsen. Sementara untuk
makanan, buah-buahan, dan daging, pengencer di dalam negeri bebas mengimpor
dari luar negeri. Namun, importir terkena bea masuk 20 persen. Untuk otomotif,
pemerintah membuka keran impor kendaran niaga kategori I sampai V dan
termasuk kendaraan serba guna (jip). Namun, yang boleh mengimpor hanyalah
para agen tunggal dan importir yang ditunjuk (enam persero pemerintah). Bukti
paling dramatis akibat deregulasi ini, adalah dibukanya keran impor kendaraan truk,
harga truk anjlok.
Tahun 1992

Tanggal 6 Juli 1992, Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi di bidang


investasi, perdagangan, keuangan, tenaga kerja, pertanahan, IMB dan UUG/HO.
Berisi antara lain, mengijinkan HGU dan HGB oleh usaha patungan dalam rangka
penanaman modal asing dalam jangka waktu 30 tahun. Keputusan lainnya dari
deregulasi yang dinamakan Pakjul itu, pembebasan tata niaga terhadap 241 pos
tarif. Terdiri atas 226 pos tarif mengenai batik, 12 pos tarif pertanian, 1 pos tarif air
mineral, 1 pos tarif produk logam, dan 1 pos tarif transformator listrik. Untuk bea
masuk hanya diberikan kepada 36 pos tarif besi baja. Sementara untuk impor mesin
bukan baru hanya dapat diimpor oleh perusahaan sendiri atau industri rekondisi.
Mengenai tenaga kerja asing, dengan deregulasi itu, untuk memperoleh ijin tidak
perlu ada rekomendasi dari departemen teknis.
Tahun 1993
Sektor moneter kembali disentuh melalui deregulasi Mei 1993 (Pakmei 93). Lewat
Pakmei, capital adequency ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal diperlonggar.
Dengan peningkatan CAR, bank dipastikan akan lebih leluasa memberikan kredit.
Pemerintah juga menyederhanakan ketentuan loan deposit ratio (LDR) atau
pemberian kredit kepada pihak ketiga. Dengan ketentuan ini bank hanya diberikan
20 persen untuk menyalaurkan kredit kepada grupnya sendiri.Yang menarik dari
kebijakan ini, KUK dibawah Rp 25 juta dapat digunakan untuk kegiatan tidak
produktif.
10 Juni 1993
Pemerintah kembali "menggebrak" lewat paket deregulasi di bidang otomotif.
Sejumlah bea masuk yang dianggap menghambat pengembangan industri otomotif,
dipangkas. Untuk kategori sedan, jika kandungan lokal telah mencapai 60 persen
maka akan dikenakan bea masuk nol persen. Pick-up, minibus, dengan kandungan
lokal 40 persen akan dikenakan bea masuk nol persen. Sedangkan untuk truk, bus,
dan sepeda motor, masing-masing akan dikenakan nol persen jika mencapai
kandungan lokal lebih dari 30 dan 40 persen. Pemerintah juga membuka keran
impor kendaraan bermotor dalam bentuk utuh (build-up) dari negara lain. Jika
kendaraan impor sudah dirakit di dalam negeri maka pemerintah akan mengenakan
bea masuk 200 persen. Sedangankan yang belum pernah dirakit di dalam negeri
pemerintah mengenakan 300 persen bea masuk. Selain otomotif pemerintah juga
membuat kejutan dengan menarik tepung terigu dari daftar negatif investasi (DNI).
Dengan begini, investor yang berminat di tepung terigu punya peluang untuk
membangun pabriknya.
Tahun 1994
Lewat PP Nomor 20 Tahun 1994, pemerintah membuka pintu lebar-lebar kepada
PMA untuk "menabur" duitnya disegala bidang dan sektor ekonomi. Bahkan sektor
yang yang banyak berhubungan dengan hajat hidup orang banyak terbuka 95
persen bagi PMA. Dalam patungan membangun perusahaan dengan mitra lokal,
sebelum PMA hanya diberikan 45 persen saham, dengan PP itu, PMA bisa
menguasai 95 persen saham. Mungkin inilah satu-satunya deregulasi yang
membuat Menteri Penerangan Harmoko, marah. Pasalnya, ia merasa tidak diajak
konsultasi guna penyusunan PP tersebut. Maklum saja, PP Nomor 20 dinilai banyak

bertentangan dengan UU Pokok Pers Tahun 1982. Belakangan beleid mengenai PMA
ini dikoreksi, sehingga ada beberap sektor yang "haram" dimasuki oleh PMA. Ya,
bidang pers salah satunya.
Tahun 1995
Dengan kebijakan yang dinamaan Paket Mei 1995 (Pakmei 95), pemerintah
mengeluarkan paket deregulasi atas lima bagian : tarif bea masuk dan masuk
tambahan, tata niaga impor, penaman modal, perijinan, restrukturisasi usaha, dan
entrepot produsen tujuan ekspor serta kawasan berikat. Dalam tarif, terjadi
penurunan 6.030 dari 9.408 pos tarif. Pemerintah juga menghapus bea masuk
tambahan terhadap 95 produk, merubah tata niaga dan kontrol terhadap 81 produk.
Dalam Pakmei ini, penurunan tarif bea masuk akan diturunkan secara bertahap.
Tahun 1996
26 Januari 1996, Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi, untuk bidang industri,
perdagangan, dan keuangan. Makna deregulasi kali ini masih tidak bergeser dari
deregulasi sebelumnya, yaitu penurunan bea masuk. Selain itu diberikannya
fasilitas perpajakan guna meningkatkan ekspor non migas.
4 Juni 1996
Pemerintah kembali mengeluarkan 11 langkah kebijakan deregulasi. Meliputi : (1)
penjadwalan penurunan tarif bea masuk, (2) perubahan tarif bea masuk barang
modal, (3) penghapausan bea masuk tambahan, (4) penyederhaan tata niaga
impor, (5) ketentuan anti-dumping, (6) kemudahan ekspor, (7) kemudahan layanan
eksportir tertentu untuk bidang tertentu, (8) penyederhanan perijinan industri di
kawasan industri, (9) peneyelenggaran temapt penimbunan, (10) kelonggaran
kegiatan ekspor-impor bagi perusahaan PMA manufaktur, (11) penyerdahanaan
prosedur impor limbah untuk bahan baku industri. Untuk penurunan tarif bea
masuk, telah ditrunkan sebanyak 1.497 pos tarif dari 7.288 pos tarif.
Dalam rangka menghadapi praktek anti-dumping dan melindungi industri dalam
negeri, pemerintah memberlakukan PP tentang bea masuk anti dumping dan bea
masuk imbalan. Untuk itu pemerintah membentuk Komite Anti Dumpaing Indonesia
(KADI). Sementara untuk mendorong ekspor, pemerintah menghapus kewajiban
penggunaan PEB dari Rp 10 juta menjadi Rp 100 juta. Pemerintah juga
menyederhanakan perijinan kawasan berikat. Bagi perusahaan yang telah
bermukim di kawasan industri tidak diwajibkan memiliki perijinan selama
memperoleh persetujuan PMA dari presiden , atau dari BKPM untuk PMDN.
Tahun 1997
Inilah deregulasi yang oleh banyak kalangan dinilai sudah kehilangan
momentumnya. Karena, deregulasi kali ini adalah deregulasi tertunda yang
seharusnya bulan lalu diumumkan. Isi paket deregulasi: pemangkasan 1.600 pos
tarif bea masuk untuk berbagai produk sektor pertanian, perdagangan dan
kesehatan. Deregulasi yang dikeluarkan 7 Juli 1997 itu, diikuti juga dengan
peraturan pemerintah (PP) mengenai penerimaan pajak dan retribusi daerah, dan
pembatasan pemberian kredit oleh bank untuk pengadaan dan pengolahan tanah
Penurunan tarif terbesar terjadi pada produk industri sebanyak 1.461 pos tarif,
pertanian 136 pos tarif, dan kesehatan tiga pos tarif. Jumlah pos tarif sebanyak

7.261 sebelum tahun 1997, dan setelah deregulasi jumlah pos tarif masih sama.
Perubahannya, hanya pada pos tarif rendah jumlahnya bertambah, terutama untuk
pos tarif 20 persen hingga nol persen. Sementara sebelum deregulasi, jumlah pos
tarif tinggi masih banyak. Dengan pertambahan bea masuk rendah dan
berkurangnya pos tarif tinggi, maka pos tarif rata-rata tidak tertimbang mengalami
penurunan dari 13,0 persen menjadi 11,9 persen.
Dalam paket Juli ini, untuk bidang impor, pemerintah memberlakukan ketentuan
impor gula kasar, yang sebelumnya dikuasai oleh Badan Urusan Logistik (Bulog),
kini dapat dilakukan oleh importir produsen. Importir dalam hal ini, adalah pabrik
gula yang menggunakan bahan baku gula kasar untuk produksinya. Selain itu,
pemerintah juga membuka impor kapal bekas tanpa ada batasan kuoto. dengan
ketentuan selama kapal bekas masih layak pakai.
Untuk bidang ekspor, pemerintah menaikkan nilai pemberitahuan ekspor barang
(PEB) yang sebelumnya Rp 100 juta naik menjadi Rp 300 juta. Dalam ketentuan
baru ini, para pengusaha kecil dan menengah yang sebelum harus melapor jika
akan mengekspor barang dengan nilai di atas Rp 100 juta, kini, mengekspor barang
hingga Rp 300 juta tanpa PEB.
Sementara untuk perusahaan bukan penanaman modal, yang sebelumnya tidak
mendapat fasilitas pembebasan bea masuk, seperti penanaman modal asing (PMA)
dan penanaman modal dalam negeri (PMDN), kini mendapatkan fasilitas yang
sama. Kebijakan pemberian fasilitas pembebasan bea masuk untuk bebas bea atas
impor barang modal dan bahan baku, untuk keperluan selama dua tahun.
Sedangkan untuk pajak dan retribusi daerah, sebagai pelaksanan UU Nomor 18
Tahun 1997, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun
1997, tentang pajak daerah dan PP Nomor 20 Tahun 1997, tentang retribusi daerah,
guna penyederhanakan kedua pungutan tersebut. Kini dengan adanya UU, pajak
daerah yang sebelum sebanyak 42 jenis, kini tinggal 9 jenis. Sedangkan untuk
retribusi daerah dari 192 jenis menjadi 30 jenis. Selain itu, sebagai pelaksanaan dari
UU Nomor 20 Tahun 1997, tentang penerimaan negara bukan pajak (PNBP),
pemerintah mengeluarkan PP Nomor 22 Tahun 1997, yang mengatur semua
penerimaan negara bukan pajak harus disetorkan ke kas negara.
Dalam PP Nomor 22, disebutkan ada tujuh jenis penerimaan negara bukan pajak di
semua departemen dan lembaga non departemen. Antara lain, penerimaaan
kembali anggaran (sisa anggaran rutin dan pembangunan), penerimaan hasil
penjualan barang milik negara, hasil penyewaan barang milik negara, penerimaan
hasil jasa giro uang negara, penerimaan ganti rugi atas kerugian negara,
penerimaan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah, dan
penerimaan dari hasil penjualan dokumen lelang. Selain itu, PP Nomor 22 juga
mengatur semua jenis penerimaan negara bukan pajak di seluruh departemen dan
lembaga non departemen.
Pemerintah juga membuka pintu kepada swasta untuk mendirikan balai lelang
dalam bentuk perusahaan terbatas (PT). Bahkan swasta nasional diberikan
kesempatan untuk berpatungan mendirikan balai lelang dengan pihak asing.
Di bidang moneter, khususnya perbankan, pemerintah melarang bank umum untuk

memberikan kredit baru untuk pengadaan dan pengolahan lahan. Dengan kata lain,
bank-bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada pengembang untuk
membuka lahan baru. Kecuali untuk pengadaan rumah sederahana (RS) dan sangat
sederhana (RSS).
Sementara impor minyak kelapa sawit mentah untuk bahan baku minyak goreng,
yang semula dikenakan pajak ekspor sebesar 10-12 persen, kini dengan ketentuan
baru pemerintah menurunkan jadi lima persen.
Analisa : Dapat kita tarik kesimpulan bahwa pemerintah melakukan deregulasi
perbankan dari 1987-1997 sudah pasti bertujuan untuk memperbaiki sistem
perekonomian di Indonesia khususnya di bidang perbangkan. Kita tahu bahwa pada
awalnya tercipta sistem perekonomian di Indonesia masih berkiblat pada sistem
kolonial Belanda, diharapkan dengan adanya deregulasi ini bisa terbebas dari
sistem tersebut.Deregulasi sempat memberikan hasil positif contahnya, kemudahan
pendirian bank baru, meningkatkan efektivitas instrumen pasar uang, serta
mendorong peralihan dari tingkat suku bunga dan nilai tukar yang tetap (fixed) ke
tingkat yang mengambang (floating). Akibat deregulasi itu, hanya dalam waktu dua
tahun muncul 73 bank baru dan 301 kantor cabang baru.Namun, banyak sekali
akibat dari deregulasi ini seperti, Dalam tempo singkat, tiba-tiba pinjaman luar
negeri perbankan meningkat tajam akibat melemahnya nilai tukar. Pada saat
bersamaan, banyak pula perusahaan yang utangnya menjadi berlipat ganda
sehingga kreditnya di bank pun menjadi macet.
Perbankan makin kesulitan tatkala masyarakat mulai berbondong-bondong menarik
dananya dari perbankan akibat kepercayaan yang makin hilang dan situasi yang
semakin tidak menentu. Perbankan kesulitan likuiditas.
Bank Indonesia pun mengeluarkan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) untuk menolong perbankan. Bank yang tidak bisa ditolong terpaksa
dilikuidasi. Selanjutnya, pemerintah juga membentuk Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) untuk merestrukturisasi perbankan yang kala itu umumnya sangat
kekurangan modal dengan NPL yang sangat besar.
Pemerintah mengeluarkan obligasi rekapitalisasi untuk menambal modal bank.
Untuk menutup biaya restrukturisasi yang mencapai Rp 600 triliun, bank-bank yang
telah direstrukturisasi pun dijual ke asing. Seiring dengan berjalannya waktu bankbank secara bertahap mulai membenahi tata kelola dan manajemen risiko
perbankan.Dan dengan berbagai langkah yang telah dilakukan, kondisi makroekonomi yang lebih kondusif, kinerja industri perbankan pun berangsur-angsur
pulih.

Paket Kebijakan Deregulasi Dan


Debirokratisasi Di Indonesia
14 September 2015 2,441 Views

Arfianto Purbolaksono- Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute.


Presiden Joko Widodo pada Rabu (9/9) telah mengumumkan tiga paket kebijakan ekonomi. Tiga
paket kebijakan ini bertujuan untuk merespons kondisi ekonomi Indonesia yang sedang
mengalami perlambatan.
Seperti yang kita ketahui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan
selama kuartal II 2015, BPS mencatat perekonomian Indonesia hanya tumbuh 4,67 persen atau
melambat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I 2015 yang mencapai 4,71
persen.
Ditambah lagi dengan dinamika perekonomian global seperti penguatan mata uang Dollar AS
serta devaluasi mata uang yuan yang dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok mengakibatkan rupiah
terdepresiasi.
Tiga paket kebijakan tersebut adalah pertama, mendorong daya saing industri nasional melalui
deregulasi, debirokratisasi, penegakan hukum dan peningkatan kepastian usaha. Kedua,

mempercepat implementasi proyek strategis nasional dengan menghilangkan hambatan yang ada,
menyederhanakan izin, mempercepat pengadaan barang serta memperkuat peran kepala daerah
untuk mendukung program strategis.
Ketiga, meningkatkan investasi di sektor properti. Dengan pembangunan rumah bagi masyarakat
berpenghasilan rendah dan membuka peluang investasi di sektor ini sebesar-besarnya.
Diharapkan dengan dikeluarkannya paket kebijakan ekonomi tersebut, pendapatan masyarakat
akan bertambah sehingga daya beli menguat.
Menurut penulis, persoalan regulasi dan birokrasi menjadi permasalahan dasar yang
menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini terkonfirmasi dalam laporan Doing
Business 2015 yang dirilis oleh World Bank. Indonesia berada di peringkat 153 dalam hal
pengurusan perizinan (Oktober, 2014).
Begitu juga dalam laporan The Global Competitivenes Report 2014-2015 yang dikeluarkan oleh
World Economic Forum, dimana ketidakefisienan birokrasi Indonesia masih mendapatkan nilai
8.3. Walaupun peringkat ini lebih baik dari nilai tahun sebelumnya yaitu 15.4 dan 15 (September,
2014).
Lamanya proses perizinan, birokrasi yang rumit, serta masih maraknya pungutan liar dapat
memperburuk iklim investasi di Indonesia. Sehingga pada akhirnya akan memperlambat
pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Kini menarik untuk patut kita simak bagaimana paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi
ini dapat diimplementasikan oleh aparatur birokrasi negeri ini. Karena penulis mengkhawatirkan
paket kebijakan ini hanya akan menjadi sekedar wacana, jika tidak didukung oleh kinerja yang
prima dari aparatur birokrasi kita.
Pada Janji Sembilan agenda pokok Pemerintahan Kabinet Kerja dibawah kepemimpinan
Presiden Jokowi salah satu poinnya adalah membuat pemerintah tidak absen dengan membangun
tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya. Pelaksanaan paket
kebijakan ekonomi ini seharusnya menjadi momentum untuk Pemerintah dengan serius
membenahi birokrasi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi kita.
Menurut penulis bahwa gerakan revolusi mental yang digadang-gadang oleh Presiden Jokowi
harus menjadi dasar untuk membenahi birokrasi kita. Merubah nilai, etika, pola pikir serta
budaya birokrasi saat ini. Merubah birokrasi priyayi ke birokrasi melayani, dari birokrasi yang
berorientasi kepada keluaran semata (outputs) ke birokrasi yang berorientasi kepada hasil
(outcomes) dan manfaat (benefits).
Selanjutnya diperlukan restrukturisasi kelembagan birokrasi. Struktur birokrasi yang selama ini
kurang lincah harus ditata agar tepat ukuran, tepat proses dan tepat fungsi. Struktur birokrasi
sebagai penggerak penyelenggaraan pemerintahan harus menunjukkan performa yang tangguh,
lincah, efektif dan efisien.
Kemudian yang terakhir adalah integritas dan profesionalitas aparatur birokrasi.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang prima salah satunya didasarkan pada kualitas aparatur

birokrasi yang memiliki integritas dan profesionalitas. Guna mewujudkan hal tersebut maka
diperlukan peningkatan kompetensi sumber daya aparatur birokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik di The Indonesian Institute, Center for Public
Policy and Research. arfianto@theindonesianinstitute.com

Kebijakan Deregulasi Impor Dianggap Rugikan Industri Indonesia

Ilustrasi industri elektronik (Ist)


Jakarta - Pengamat kebijakan publik, Ichsanudin Noorsy, menyampaikan kritik atas kebijakan
ekonomi Joko Widodo (Jokowi) khususnya terkait deregulasi expor dan impor yang akan
dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemdag).
Noorsy melihat, langkah Kemdag menghilangkan proses pengendalian untuk barang barang
impor akan berimplikasi pada masuknya barang barang impor terutama dari Tiongkok.
"Istilahnya, saya sebut bukan deregulasi, tapi reregulasi dengan mengacu kepada nawacita dan
trisakti. Tapi karena Jokowi sudah masuk kedalam jaringan neolib, sehingga dia menikmati
posisi itu, dan melanjutkan cara-cara Orde Baru," kata dia, seusai diskusi publik di PB PMII di
Jakarta, Sabtu (19/9), .
Karena cara Orde Baru yang dipakai, kata Noorsy, maka kebijakannya juga sama dengan
kebijakan Orde Baru. Sehingga implikasi kebijakannya adalah masuknya barang impor dapat
dirasakan kian membanjiri tanah air. Dan diprediksi akan lebih banyak lagi.
"Contohnya, Tiongkok meskipun tertahan di sektor industri tekstil, tertahan di sektor mainan,
dan elektronik. Dia tetap membanjiri pasar Indonesia. Itu makanya permintaan HP China tetap
tinggi," katanya.
Lebih lanjut, Ichsanudin mengatakan, kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh
pemerintahan Jokowi menjadi pukulan ganda bagi masyakat yang hidup pada sektor riil. Para
pengangguran yang menjadi korban PHK dari perusahaan, tidak dapat bertahan hidup.
"Mestinya paket kebijakan ekonomi Jokowi kemarin itu menolong sang penolong. Karena
UMKM di Indonesia adalah penolong perekonomian bangsa. Bagi kebanyakan korban PHK,

umumnya lari ke sektor informal. Setelah mereka terima jaminan hari tua, mereka akan jadi
pedagang asongan atau apapunlah. Tapi kenyataannya mereka tidak bisa berbuat apa-apa, itu
pukulan pertama. Pukulan kedua, daya beli mereka juga dipukul," ujarnya.
Noorsy menambahkan, jika deregulasi atau reregulasi diterapkan maka akan sangat merugikan
Indonesia. "Industri kita terutama industri kecil akan terpukul oleh masuknya produk impor",
tegasnya.
Jumlah rakyat Indonesia sebagai bangsa dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia. Seharusnya
bisa menginvasi pasar luar negeri dengan produk-produk dalam negeri. "Bukan mengimpor
bahan baku, ke negara lain, kemudian menjadi barang jadi, dan di ekspor lagi ke indonesia,"
tambahnya.
Karenanya, kata Noorsy, negara harus melakukan pembangunan ekonomi dari sektor
perdagangan, bukan mengandalkan kemampuan dan ketahanan negara dari sektor keuangan.
"Karena secara empiris, hal tersebut akan menjadikan negara hancur seperti negara-negara yang
saat ini bangkrut, tambah dia.
Formappi: Bawaslu Terlambat Rancang Pengawasan Kampanye di Medsos
Antara

Kebijaksanaan Deregulasi
Kini perekonomian Indonesia diwarnai oleh kebijaksanaan Deregulasi dan
Debirokratisasi. Apa sih yang dimaksud dengan Deregulasi? , deregulasi adalah
keputusan yang diberlakukan pemerintah dalam rangka mengatasi masalah
ekonomi biaya tinggi yang diakibatkan oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
lalu. deregulasi yang diberlakukan menyangkut sektor rill (produksi) dan sektor
finansial (perbankan).
Latar belakang diberlakukannya kebijaksanaan dalam deregulasi dalam
sektor rill pada dasarnya disebabkan terutama karena kebijaksanaan
industrialisasi,yang sifatnya pengganti barang-barang impor.
Kebijaksanaan industrialisasi mendorong pemerintah untuk memberlakukan
proteksi yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Sementara itu industrialisasi
yang dilaksanakan pada dasarnya hanya mengerjakan barang-barang yang 90%
sudah selesai (assembling) sehingga akhirnya struktur industri seperti ini sangat
menghambat berhasilnya kebijaksanaan makro.Sebagai contoh selama Repelita
II,pertumbuhan sektor industri dapat mencapai 12-13% / tahun, tetapi kontribusi
sektor industri terhadap GDP hanya naik 0,7%.Itu berarti bahwa apabila

pertumbuhan perekonomian akan ditingkatkan,khususnya melalui peningkatan


sektor industri,maka akibatnya hnya akan memberikan pekerjaan di luar negeri.
Dan akibatnya akan banyak devisa digunakan untuk mengimpor barang-barang
yang notabene sudah 90% selesai itu.
Deregulasi dalam bidang finansial (perbankan) dilatarbelakangi oleh
kebijaksanaan pemerintah yang intinya memuat bank-bank pemerintah sangat
tergantung pada pemerintah, khususnya dalam menghimpun dana perbankan.
Keadaan ini mungkin terjadi karena selama itu pemerintah memiliki dana yang
cukup besar yang diperoleh karena harga minyak yang tinggi.Namun harga minyak
turun sangat drastis (pada tahun 1986) dan perkembangan harganya juga
berfluktuasi ke arah yang tidak menentu. Keadaan ini mendorong pemerintah
untuk memberlakukan kebijaksanaan deregulasi disektor finansial yang intinya
agar bank-bank lebih mandiri dan menghimpun dana dari masyarakat.Dalam kaitan
ini bank-bank pemerintah juga diberi wewenang untuk menetapkan sendiri tingkat
bunga,baik sebagai alat untuk menghimpun dana dari masyarakat maupun sebagai
alat untuk mengarahkan kredit pinjaman,kecuali untuk sektor-sektor yang
diprioritaskan.
SUMBER: Drs.P.C.Suroso,M.Sc,Perekonomian Indonesia (edisi kedua) .Jakarta:
GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA,1994

PT

Anda mungkin juga menyukai