Anda di halaman 1dari 2

Kebijakan industri diartikan sebagai penggunaan kekuasaan dan sumberdaya pemerintah untuk

menjalankan suatu kebijakan untuk memenuhi kebutuhan sektor atau industri tertentu (dan, jika
diperlukan untuk perusahaan tertentu) dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas faktor
masukan adalah salah satu bentuk regulasi pemerintah untuk mencapai kebijakan makroekonomi
yang pada akhirnya diharapkan akan menghasilkan daya saing sektor industri atau perusahaan
tersebut.
Menurut Rodrik (2004) salah satu tujuan dari kebijakan industri adalah untuk mendiversifikasi
kegiatan ekonomi suatu negara dan menciptakan suatu keunggulan komparatif baru. Oleh karena
itu kebijakan industri harus difokuskan untuk kegiatan yang menciptakan produk baru atau
kegiatan produksi yang menggunakan teknologi yang baru. Kebijakan industri harus mampu
berkembang seiring dengan berjalannya waktu Lembaga yang melaksanakan implementasi
kebijakan industri tersebut harus mampu terus merevisi dan memperbarui kebijakan industri
yang akan dilakukan sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Salah satu tugas kunci dari
kebijakan industri adalah bagaimana suatu kebijakan industri akan berakhir sementara kebijakan
baru diimplementasikan.
Beberapa hal juga harus diperhatikan dalam menyusun kebijakan industri, antara lain : (1)
Pemerintah bukanlah aktor ekonomi yang mengetahui segala hal, sehingga setiap kebijakan
industri yang dikeluarkan harus berdasarkan kondisi yang diketahui oleh Pemerintah secara
pasti; (2) penerapan kebijakan industri sangat mudah terjadi korupsi dan rent-seeking, sehingga
lembaga yang menerapkan kebijakan tersebut harus mampu mencari titik keseimbangan antara
tingkat independennya dengan seberapa intens komunikasi dengan sektor swasta yang harus
dilakukan (Rodrik, 2004); (3) Memasuki abad ke-21, perusahaan-perusahaan manufaktur
semakin tidak terintegrasi secara vertikal dan semakin berspesialisasi di teknologi, sehingga
kebijakan yang diambil juga harus mempertimbangkan faktor globalisasi yang terjadi (Lall,
2003).
Visi pembangunan Industri Nasional sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Presiden
Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional adalah Indonesia menjadi Negara
Industri Tangguh pada tahun 2025, dengan visi antara pada tahun 2020 sebagai Negara Industri
Maju Baru, karena sesuai dengan Deklarasi Bogor tahun 1995 antar para kepala Negara APEC
pada tahun tersebut liberalisasi di negara-negara APEC sudah harus terwujud.

Sebagai negara industri maju baru, sektor industri Indonesia harus mampu memenuhi beberapa
kriteria dasar antara lain: 1) Memiliki peranan dan kontribusi tinggi bagi perekonomian
Nasional, 2) IKM memiliki kemampuan yang seimbang dengan Industri Besar, 3) Memiliki
struktur industri yang kuat (Pohon Industri lengkap dan dalam), 4) Teknologi maju telah menjadi
ujung tombak pengembangan dan penciptaan pasar, 5) Telah memiliki jasa industri yang tangguh
yang menjadi penunjang daya saing internasional industri, dan 6) Telah memiliki daya saing
yang mampu menghadapi liberalisasi penuh dengan negara-negara APEC.

Dalam rangka merealisasikan target-target tersebut, Kementerian Perindustrian telah menetapkan


dua pendekatan guna membangun daya saing industri nasional yang tersinergi dan terintegrasi
antara pusat dan daerah. Pertama, melalui pendekatan top-down dengan pengembangan 35
klaster industri prioritas yang direncanakan dari Pusat (by design) dan diikuti oleh partisipasi
daerah yang dipilih berdasarkan daya saing internasional serta potensi yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia. Kedua, melalui pendekatan bottom-up dengan penetapan kompetensi inti industri
daerah yang merupakan keunggulan daerah, dimana pusat turut membangun pengembangannya,
sehingga daerah memiliki daya saing. Pengembangan kompetensi inti di tingkat provinsi disebut
sebagai Industri Unggulan Provinsi dan di tingkat kabupaten/kota disebut Kompetensi Inti
Industri Kabupaten/Kota. Pendekatan kedua ini merupakan pendekatan yang didasarkan pada
semangat Otonomi Daerah. Penentuan pengembangan industri melalui penetapan klaster industri
prioritas dan kompetensi inti industri daerah sangat diperlukan guna memberi kepastian dan
mendapat dukungan dari seluruh sektor di bidang ekonomi termasuk dukungan perbankan.

Saat ini telah tersusun 35 Roadmap Pengembangan Klaster Industri Prioritas. Adapun provinsi
yang telah menyusun roadmap industri unggulan provinsinya terdiri dari 18 provinsi yakni: 1)
D.I. Yogyakarta, 2) Sulawesi Tengah, 3) Papua, 4) Sumatera Barat, 5) Sumatera Selatan, 6)
Lampung, 7) Kalimantan Timur, 8) Sulawesi Selatan, 9) Gorontalo, 10) Nusa Tenggara Timur,
11) Nusa Tenggara Barat, 12) Nanggroe Aceh Darussalam, 13) Riau, 14) Kepulauan Riau, 15)
Kepulauan Bangka Belitung, 16) Kalimantan Barat, 17) Sulawesi Tenggara, dan 18) Sulawesi
Utara. Sedangkan kabupaten/kota yang telah menyusun roadmap kompetensi inti industri
kabupaten/kotanya terdiri dari 5 kabupaten/kota sebagai berikut: 1) Kota Pangkalpinang, 2)
Kabupaten Luwu, 3) Kota Palopo, 4) Kabupaten Maluku Tengah, dan 5) Kabupaten Maluku
Tenggara. Sementara kabupaten/kota lainnya sedang dalam proses kajian.

Lembaga yang menjalankan kebijakan industri haruslah lembaga yang memil


iki kompetensi yang tinggi Jenis lembaga tersebut menentukan jenis insentif yang akan diberikan
oleh Pemerintah. Misalkan Pemerintah memiliki dua alternatif insentif untuk industri, yakni
melalui kredit atau pajak. Jika lembaga keuangan di negara tersebut lebih kompeten, maka lebih
baik memberikan insentif bagi sektor industri melalui alokasi kredit. Hal tersebut perlu dilakukan
untuk mengurangi potensi kegagalan institusi dari kebijakan industri ini. Pengawasan yang ketat
dengan outcome yang jelas dari lembaga yang menjalankan kebijakan industri tersebut
Pengawasan tersebut juga sebaiknya dilakukan oleh lembaga yang memiliki kekuasaan politik
tertinggi di negara tersebut. Hal tersebut ditujukan agar tidak ada korupsi – yang sangat mungkin
terjadi- dalam penerapan kebijakan industri tersebut. Jika kebijakan industri yang benar sudah
dilakukan, kesalahan dalam memilih aktivitas pasti akan terjadi Suatu aktivitas yang diberi
insentif oleh Pemerintah diharapkan akan mampu memberikan dampak positif bagi
perekonomian. Namun, tidak semua aktivitas akan memberikan hasil yang diharapkan dan hal
tersebut merupakan hal yang wajar. Kesalahan dalam memilih aktivitas memang akan terjadi,
dan hal tersebut bukan berarti suatu kebijakan salah. Dari kegagalan tersebut Pemerintah akan
mampu menemukan aktivitas yang benar-benar sesuai dengan perekonomian di negara tersebut
dan pada akhirnya mampu mengembangkan perekonomian secara keseluruhan.

Anda mungkin juga menyukai