Anda di halaman 1dari 36

EFEKTIVITAS PENEGAKKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

MIGAS PADA WILAYAH HUKUM TEMBILAHAN

PROPOSAL

Diajukan sebagai salah satu syarat


untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S1)
pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri

Oleh:
ANGGORO DWI CAHYA
NIM. 301191010010

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI
TEMBILAHAN
2023

0
A. Judul: Efektivitas Penegakkan Hukum Terhadap Tindak Pidana Migas
pada Wilayah Hukum Tembilahan.

B. Latar BelakangMasalah

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai

kekayaan alam yang berlimpah ruah. Kekayaan alam tersebut digunakan

semata-mata untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia, serta

mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan

Undang-undang Dasar 1945. Hal ini sebagaimana dinyatakan bahwa bumi dan

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.1

Salah satu kekayaan alam yang terkandung di dalam negara Indonesia

adalah minyak dan gas bumi (Migas). Minyak dan gas bumi merupakan

sumber daya alam yang dikuasai oleh negara dan merupakan sumber

komoditas vital yang memegang peranan penting dalam bidang penyediaan

bahan bakar industri, pemenuhan kebutuhan sangatlah penting maka

pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan

bagi sebesar-besarnya kehidupan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.2

Minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam yang dikuasai oleh

negara dan merupakan sumber komoditas vital yang memegang peranan

penting dalam penyediaan bahan bakar industri, rumah tangga dan kebutuhan

pokok lainnya, yang diperlukan dalam pelayanan kebutuhan masyarakat umum

1
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945.
2
Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan GasBumi

1
baik di negara-negara miskin, negara-negara berkembang maupun di negara-

negara yang telah berstatus negara maju sekalipun.3

Salah satu Undang-undang Republik Indonesia yang mengatur tentang

Migas adalah Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

menyatakan bahwa Minyak bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon

yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau

padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh

dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan

hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan usaha

Minyak dan Gas Bumi. 4

Perusahaan PT. Pertamina (Persero) sebagai perusahaan yang ditunjuk

oleh negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan BBM. PT. Pertamina

(Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut BUMN)

yang secara khusus menangani masalah pengelolaan dan pendistribusian BBM,

seperti premium, pertamax, solar, avtur dan minyak tanah (kerosene). 5 Dewasa

ini kebutuhan masyarakat terhadap bahan bakar minyak seperti Migas ini

semakin hari semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah kendaraan

transportasi. Kebutuhan BBM ini dapat diperoleh masyarakat melalui Stasiun

Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (selanjutnya disebut SPBU).

3
BPH Migas, 2005, Komoditas Bahan Bakar Minyak (BBM), BPH Migas RI, Jakarta.
4
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
(Migas).
5
Reyhard Jonathan Ilely, Teknik dan Taktik Penimbunan Bahan Bakar Minyak (Studi
Kasus Pada Direktorat Krimsus Polda Maluku), Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 Nomor 7
September 2021, 697-707.

2
Meningkatnya kebutuhan manusia di bidang produksi minyak dan gas

(Migas), maka banyak terjadi tindak pidana terhadap pendistribusiannya baik

penjualan dan pengangkutan Migas yang disubsidi oleh pemerintah dan

pelakunya masih banyak ditemukan diwilayah perairan maupun darataan, hal

ini tentunya disebabkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap

perlindungan di bidang produksi khususnya terhadap Migas ini. Fenomena ini

tentunya berpengaruh besar dan sangat sensitif dampaknya terhadap

kelangsungan hidup orang banyak pada umumnya sebab kerugian yang

ditimbulkan akibat perbuatan hukum ini yaitu terbatasnya pasokan Migas ini ke

masyarakat.

Negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum. Suatu negara

hukum merupakan sebagai alat untuk memberikan ketertiban bagi masyarakat,

dalam negara hukum harus komitmen menjunjung tinggi hak asasi manusia

sebagaimana yang telah tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27

ayat (1) yang menyebutkan bahwa segala warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung

Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (equality before the

law).6

Hukum di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu hukum publik dan

hukum privat atau perdata. Hukum publik adalah hukum yang mengatur

kepentingan umum dan mengatur hubungan penguasa dengan warga

negaranya. Golongan hukum publik ini salah satunya adalah hukum pidana.

6
Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta,
2012, hlm. 1.

3
Hukum pidana sebagai hukum publik mempunyai hubungan yang erat dengan

administrasi. Konsekuensi dari sebuah negara hukum adalah seluruh aktivitas

yang dilakukan oleh masyarakat tanpa terkecuali tidak boleh bertentangan

dengan norma-norma hukum yang berlaku dan setiap tindakan yang melanggar

hukum akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan hukum. 7

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi

(Migas), mengatur kaidah-kaidah hukum tentang aturan-aturan perizinan

berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan usaha hilir. Kegiatan usaha hilir

adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha

pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga. Dalam menegakkan

aturan-aturan tersebut digunakan sanksi hukum. Salah satu ancaman hukuman

tersebut ialah sanksi pidana. Perumusan Undang-undang Migas ini pun

memuat ketentuan pidana. Adapun ketentuan-ketentuan pidana tersebut

terdapat dalam bab XI yaitu Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55,

Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58.

Wilayah hukum Tembilahan akhir-akhir ini telah terjadi beberapa kasus

pelanggaran-pelanggaran izin yang dilakukan oleh para pemilik SPBU atau

dari oknum pegawai SPBU itu sendiri. Penyalahgunaan izin tersebut juga

termasuk kedalam kegiatan penimbunan dan pendistribusian BBM oleh SPBU

yang memiliki izin kegiatan usaha hilir. Maka atas penyalahgunaan izin

tersebut tentunya akan ditindak sesuai dengan sanksi pidana.

7
Tiar Ramon, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Trussmedia Grafika, Yogyakarta, 2016, hlm.
11

4
Implikasi dari adanya sanksi pidana di dalam bab ketentuan pidana

dalam Undang-undang Minyak dan Gas Bumi, maka penegakan hukumnya

dilakukan oleh negara atau pemerintah yang dalam hal ini dilaksanakan pihak

kepolisian dan kejaksaaan. Berbagai peraturan perundang-undangan yang

dikeluarkan pemerintah harus dapat dijalankan dan ditegakkan apabila ada

pelanggaran. Negara dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab untuk

menjaga aturan-aturan dalam perundang-undangan itu dijalankan.

Salah satu kasus dugaan tindak pidana dibidang minyak dan gas bumi

di wilayah hukum Tembilahan yaitu menyalahgunakan pengangkutan dan atau

niaga bahan bakar minyak yang disubsidi pemerintah Jo turut melakukan

perbuatan itu subsider melakukan pengangkutan tanpa izin usaha pengangkutan

dan atau melakukan penyimpanan tanpa izin usaha penyimpanan, sebagaimana

dimaksud dalam primer pasal 55 undang - undang RI nomor 22 tahun 2001 Jo

Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP subsider pasal 53 huruf b dan atau huruf c jo

pasal 23 ayat (2) huruf b, c Undang-undang RI nomor 22 tahun 2001 tentang

minyak dan gas bumi, yang dilakukan oleh salah satu oknum pegawai SPBU

Heny Herlina di jalan Propinsi Parit 4 Tembilahan. Berdasarkan hasil

penyidikan dari petugas bahwa tersangka telah melakukan tindak pidana

penyalahgunakan pengangkutan dan atau niaga bahan bakar minyak yang

disubsidi pemerintah tanpa izin.

Salah satu tindak pidana dalam Migas adalah pelanggaran atau tindak

pidana di dalam pendistribusian Migas tersebut sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas

5
Bumi menyatakan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan

dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana

dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp.

60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah). 8 Berdasarkan ketentuan Pasal

tersebut, larangan penyalahgunaan dalam pengangkutan dan/atau niaga bahan

bakar minyak yang disubsidi pemerintah tentunya diikuti dengan sanksi pidana

bagi setiap orang yang melanggarnya.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul: Efektivitas

Penegakkan Hukum Terhadap Tindak Pidana Migas pada Wilayah

Hukum Tembilahan.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah

penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana penegakkan hukum terhadap tindak pidana migas pada wilayah

hukum Tembilahan.

2. Apa kendala dalam pelaksanaan penegakkan hukum terhadap tindak

pidana migas pada wilayah hukum Tembilahan.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana penegakkan hukum terhadap tindak pidana

migas pada wilayah hukum Tembilahan.

8
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi

6
2. Untuk mengetahui kendala dalam pelaksanaan penegakkan hukum

terhadap tindak pidana migas pada wilayah hukum Tembilahan.

E. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat penelitian adalah

sebagai berikut:

1. Secara teoritis penelitian ini akan memberikan sumbangsih bagi

perkembangan ilmu hukum terutama pada bidang hukum pidana.

2. Secara praktis penelitian ini adalah:

a. Sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Fakultas

Hukum Universitas Islam Indragiri Tembilahan.

b. Sebagai masukan atau pedoman bagi aparat penegak hukum maupun

praktisi hukum terutama penyidik dalam hal perlindungan hukum bagi

tindak pidana migas.

c. Memberi sumbangan pemikiran bagi masyarakat terutama dalam

penegakkan hukum dalam tindak pidan amigas.

d. Sebagai acuan bagi peneliti selanjutnya dengan pokok permasalahan

yang sama.

F. Kerangka Teori

Kerangka teoritis adalah konsep yang merupakan ekstrak dari hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang relevan untuk penelitian.

Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan menerangkan pengertian

hukum dan konsep yuridis yang relevan untuk menjawab permasalahan yang

7
muncul dalam penelitian hukum. 9 Untuk membahas dan menjelaskan

penelitian ini teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah:

1. Teori Penegakkan Hukum

Secara konseptual maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaedah-

kaedah yang mantap dan mengenjawantahkan dan sikap tindak sebagai

rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. 10 Kaidah-kaidah tersebut

kemudian menjadi pedoman atau patokan atau sikap tindak yang dianggap

pantas atau seharusnya. Perilaku atau sikap tindak bertujuan untuk

menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian. Demikian

konkretisasi dari pada penegak hukum secara konsepsional. Penegakan hukum

sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang

menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah

hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. 11

Penegakkan hukum adalah serangkaian kegiatan untuk menerapkan atu

menjalankan peraturan-peraturan hukum ke dalam peristiwa-peristiwa yang

konkret.12 Kemudian defenisi lain menjelaskan penegakan hukum dalam arti

luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta

melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan

hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan

9
Salim H.S, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Rajawali, Jakarta, 2010, hlm. 54.
10
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, Cet. 13 Rajawali Press 2014, hlm. 1.
11
Ibid., hlm. 2.
12
Tiar Ramon, Op., Cit. hlm. 182.

8
ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa

lainnya (alternative desputes or conflicts resolution). sedang dalam arti sempit,

penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap

pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang- undangan,

khususnya yang lebih sempit lagi melalui proses peradilan pidana yang

melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan

badan-badan peradilan. 13

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide

keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi

penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam

lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat

dan bernegara. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide

dan konsepkonsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan.

Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. 14

Menurut Soerjono Soekanto penegakan hukum adalah kegiatan

menyerasikan hubungan nilainilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang

mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran

nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan

kedamaian pergaulan hidup.

Pada dasarnya reformasi hukum harus menyentuh tiga komponen


13
Kms. Novyar Satriawan Fikri & Herdiansyah, 2019, Kajian Terhadap Sistem Peradilan
Pidana Indonesia, Jurnal Hukum Das Sollen, Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri. hlm. 5
14
Ibid.,

9
hukum yang disampaikan oleh Lawrence Friedman yang meliputi: 15

a. Struktur Hukum, dalam pengertian bahwa struktur hukum merupakan

pranata hukum yang menopang sistem hukum itu sendiri, yang terdiri atas

bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum, perangkat hukum, dan proses

serta kinerja mereka.

b. Substansi Hukum, dimana merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya

isi hukum tersebut harus merupakan sesuatu yang bertujuan untuk

menciptakan keadilan dan dapat diterapkan dalam masyarakat.

c. Budaya Hukum, hal ini terkait dengan profesionalisme para penegak

hukum dalam menjalankan tugasnya, dan tentunya kesadaran masyarakat

dalam menaati hukum itu sendiri.

Dari segi materi/substansi hukumnya pembenahan perlu dilakukan

tidak hanya mencakup kemungkinan mengadopsi pranata-pranata hokum

baru yang muncul dalam kerangka globalisasi ekonomi yang dapat

memunculkan kecenderungan terjadinya globalisasi hukum, namun juga

adaptasi terhadap paradigma baru dalam sistem pemerintahan khususnya

berkaitan dengan otonomi daerah, misalnya kemungkinan berlakunya

ketentuan-ketentuan hukum adat setempat bagi hubungan-hubungan hukum

atau peristiwa- peristiwa hukum tertentu.

Dalam tatanan hukum juga mengenal adanya Asas Ultimum

Remedium. Ultimum remedium merupakan salah satu asas yang terdapat di

dalam hukum pidana Indonesia yang menyatakan bahwa hukum pidana

15
Ibid,. hlm. 6

10
hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. Sudikno

Mertokusumo mengartikan bahwa ultimum remedium sebagai alat terakhir.

Artinya bahwa sanksi pidana dapat digunakan apabila sanksi-sanksi yang

lain sudah tidak dapat memberikan efek jera bagi pelakunya. Ketentuan

sanksi pidana dalam suatu Undang-undang diberlakukan sebagai sanksi yang

terakhir setelah sanksi administratif maupun sanksi perdata tidak dapat

ditempuh lagi. Upaya ini ditujukan agar dalam proses hukum pidana yang

cukup panjang, korban maupun pelaku kejahatan dapat memperoleh

keadilan dan memberikan kepastian hukum. 16

Proses yang bersifat sistemik, dalam penegakan hukum pidana

menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law

application) yang melibatkan berbagai sub sistem struktural berupa aparat

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk

didalamnya tentu saja lembaga penasehat hukum. Dimana dasar hukum dari

pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau

siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan

itu adalah tujuan daripada hukum. 17

Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi:

a) Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative system)

yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai

sosial yang didukung oleh sanksi pidana.

16
Ibid., hlm. 9
17
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2010, hlm 162-
163.

11
b) Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative

system) yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum

yang merupakan sub sistem peradilan diatas.

c) Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam

arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan

pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat

Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono

Soekanto adalah:18

1. Faktor Hukum

Faktor hukum yang dimaksud adalah bermula dari undang-undangnya

itu sendiri yang bermasalah. Penegakan hukum yang berasal dari UU itu

disebabkan a). tidak diikutinya azas-azas berlakunya, UU b). belum ada

peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan UU, c).

Ketidak jelasan arti kata-kata dalam UU yang akan berakibat kesimpang

siuran dalam penafsiran serta penerapannya. 19

Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh

konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan

kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara

normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya

berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang

kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada

18
Tiar Ramon, Op., Cit. hlm. 196.
19
https://business-law.binus.ac.id diakses pada Tanggal 05 April 2023 Pukul 06.17 WIB.

12
hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement,

namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum

sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola

perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. 20

2. Faktor Penegakan Hukum

Yang dimaksudkan dengan penegak hukum itu adalah pihak-pihak yang

langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penegakan hukum mulai dari

Polisi, Jaksa, Hakim, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Penasehat

Hukum (Advokat) dan hingga petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Setiap

profesi penegak hukum mempunyai wewenang atau kekuasaan tugas masing-

masing. Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum

memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas

petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci

keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian

penegak hukum. 21

3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Tanpa adanya atau dukungan sarana atau fasilitas yang memadai, maka

tidaklah mudah penegakan hukum berlangsung dengan baik, yang antara lain

mencakup tenaga manusia yang berpendidikan tinggi dan terampil, organisasi

yang baik, peralatan yang cukup memadai, keuangan yang cukup, dan

seterusnya. Kalau hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka sulitlah penegakan

hukum dapat mencapai tujuannya.

20
Ibid., hlm. 196.
21
Ibid., hlm. 197

13
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan

perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan.

Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang

praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan

di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan

computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan

wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi

dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas

yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak. 22

4. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai

kedamaian di dalam masyarakat. Masyarakat di Indonesia semakin lama,

jumlah masyarakat miskinnya semakin banyak. Sehingga jika dilihat dari

faktor masyarakat, maka masalah kejahatan atau penegakan hukum ini ada di

lapisan ini. Setiap stratifikasi sosial memiliki dasar-dasarnya tersendiri,

sehingga dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain pemberian

pengetahuan hukum kepada masyarakat yang mungkin tidak begitu mengerti

akan hukum sehingga memudahkan mereka untuk mengidentifikasikan nilai-

nilai dan norma-norma yang berlaku di lingkungannya. Setiap warga

masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum,

persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum

yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajatkepatuhan hukum masyarakat

22
Ibid., hlm. 199.

14
terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang

bersangkutan.23

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang

sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu untuk mengatur agar

manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan

menentukan sikapnya ketika berhubungan dengan orang lain. Pada dasarnya,

kebudayaan mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-

nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa saja

yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga

dihindari).

Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering

membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto,

mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu

mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak,

berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang

lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang

perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan,

dan apa yang dilarang. 24

2. Teori Pemidanaan

Teori-teori pemidanaan dan tujuan pemidanaan yang ditawarkan dalam

perkembangan hukum mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan

23
Ibid., hlm. 200.
24
Ibid., hlm. 202

15
masyarakat. Dalam perkembangannya, tujuan pemidanaan dan pemidanaan

memiliki pandangan-pandangan tersendiri yang mengalami perubahan-perubahan

dari waktu ke waktu dengan berbagai aliran atau penggolongan sebagai berikut.25

Aliran Klasik berfaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak

(free will) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga

dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strefrecht). Aliran klasik pada

prinsipnya hanya menganut single track system berupa sanksi tunggal, yaitu

sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak

pidana, sebab doktrin dalam aliran ini adalah pidana harus sesuai dengan

kejahatan. Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan

tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran.

Aliran Modern atau aliran positif bertitik tolak pada aliran determinisme

yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of free will).

Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi

oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau

dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan

berdasarkan kesalahan yang subyektif. Aliran ini menghendaki adanya

individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku.

Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai

perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang

didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus

tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini

25
https://www.lawyersclubs.com. Diakses pada tanggal 21 Mei 2023 Pukul 21.24 WIB.

16
menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas

dari kenyataan sosial. Aliran Neo Klasik beranggapan bahwa pidana yang

dihasilkan olah aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan

yang berkembang pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo klasik ini didasarkan

pada beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana minimum dan

maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle

ofextenuating circumtances). Perbaikan selanjutnya adalah banyak kebijakan

peradilan yang berdasarkan keadaaan-keadaan obyektif. Aliran ini mulai

mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak

pidana.

Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan

masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri

yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa.

Menurut Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka

dalam hukum pidana, mengemukakan teori pemidanaan atau penghukuman dalam

hukum pidana dikenal ada lima aliran, untuk lebih jelasnya tentang aliran-aliran

hukum pidana dapat dijelaskna seperti dibawah ini:26

a) Teori Absolut (teori retributif)

Aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada

kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan

yang dianggap sebagai pembalasan, imbalan (velgelding) terhadap orang yang

melakukan perbuatan jahat. Aliran ini juga memandang bahwa pemidanaan

26
Nandang Sambas, 2010, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak Di Indonesia, Graha
Ilmu. hlm. 12.

17
merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi

pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan

karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori

ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu

yang telah dilakukan oleh pelaku telah menimbulkan penderitaan bagi orang

lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.

Menurut teori-teori absolut atau teori pembalasan ini, pembalasan

adalah legitimasi pemidanaan. Negara berhak menjatuhkan pidana karena

penjahat telah melakukan penyerangan dan perkosaan terhadap hak dan

kepentingan hukum yang dilindungi. Penjatuhan pidana yang pada dasarnya

penderitaan terhadap penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat

penderitaan bagi orang lain. Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti

oleh pidana bagi pembuatnya. 27

Ada banyak filsuf dan dan ahli hukum pidana yang menganut teori ini,

diantaranya ialah Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, JJ Rousseau. Dari

banyak pendapat ahli tersebut penulis tertarik dengan pendapat yang

disampaikan Hegel mengenai argumennya terhadap hukuman bila

dikolerasikan dengan teori absolut. Dimana hukuman dipandang dari sisi

imbalan sehingga hukuman merupakan dialectische vergelding.

Jadi, dalam teori ini pidana dapat disimpulkan sebagai bentuk

pembalasan yang diberikan oleh negara yang bertujuan menderitakan penjahat

akibat perbuatannya. Tujuan pemidanaan sebagai pembalasan pada umumnya

27
Fitri Wahyuni, 2017, Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia, PT. Nusantara Persada
Utama, Tangerang Selatan. hlm. 167.

18
dapat menimbulkan rasa puas bagi orang, yang dengan jalan menjatuhkan

pidana yang setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan. Sehingga pada

akhirnya akan menimbulkan efek jera kepada pelaku tindak pidana.

Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak

dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak

peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan

untuk memidana suatu kejahatan. Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan

pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi

orang lain. Sehingga pengertian pidana menurut beberapa pengertian dapat

disimpulkan bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi

dari adanya kejahatan. Ciri pokok atau karakteristik teori retributif, yaitu:28

1) Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;


2) Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung
sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
3) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
4) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
5) Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan
tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan
kembali si pelanggar.

b) Teori Relatif (deterrence),

Teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas

kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk

melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan

pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang

ditujukan pada masyarakat. Dalam ajaran ini yang dianggap sebagai dasar

28
Erwin Pangihutan Situmeang, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Anak Sebagai Pelaku
Tindak Pidana yang Berulang (Residivis) Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Surakarta: Nomor. 02/Pid.Sus.
Anak/2014/PN.Skt.), Tesis Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, 2019, hlm 26.

19
hukum dari pemidanaan adalah bukan velgelding, akan tetapi tujuan (doel) dari

pidana itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan

pemidanaan itu, artinya teori ini mencari mamfaat daripada pemidanaan (nut

van de straf). Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan untuk

melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki

ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus

dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah

(prevensi) kejahatan.

Teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi tindak

pidana kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku

penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cederung melakukan kejahatan.

Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban

di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan

kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan

untuk mempertahankan ketertiban umum.29

Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk

mengurangi frekuensi kejahatan yang telah dilakukan. Pidana dijatuhkan bukan

karena orang membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan

kejahatan. Dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota

masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana. Sedangkan teori

29
Fitri Wahyuni, Op, Cit., hlm. 169.

20
prevensi khusus menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar

narapidana jangan mengulangi kejahatannya lagi. 30

Lahirnya teori ini menurut penulis merupakan suatu bentuk negasi

terhadap teori absolut (walaupun secara historis teori ini bukanlah suatu bentuk

penyempurnaan dari teori absolut) yang hanya menekankan pada pembalasan

dalam penjatuhan hukuman terhadap penjahat. Teori yang juga dikenal dengan

nama teori nisbi ini menjadikan dasar penjatuhan hukuman pada tujuan dan

maksud hukuman sehingga ditemukan manfaat dari suatu penghukuman (nut

van destraf).

Teori ini berprinsip penjatuhan pidana guna menyelenggarakan tertib

masyarakat yang bertujuan membentuk suatu prevensi kejahatan. Masalah

pidana dan pemidanaan itu sendiri merupakan obyek kajian dalam bidang

hukum pidana yang disebut hukum penitensier (penitensier recht). Oleh karena

persoalan hukum pidana yang dikupas atau dibahas dalam hukum penitensier

adalah menyangkut masalah pidana dan pemidanaan, maka hukum penitensier

itu sendiri dalam arti sempit dapat diartikan sebagai segala peraturanperaturan

positif mengenai sistem pidana (strafstelsel).31

Feurbach sebagai salah satu filsuf penganut aliran ini berpendapat

pencegahan tidak usah dilakukan dengan siksaan tetapi cukup dengan

memberikan peraturan yang sedemikian rupa sehingga apabila orang setelah

membaca itu akan membatalkan niat jahatnya. Dengan demikian maka

30
Ibid.
31
Failin, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia, Jurnal Cendekia Hukum: Vol. 3, No 1, September 2017, hlm. 15.

21
peraturan tersebut dapat menekan tindak kejahatan dari orang yang berniat

jahat. Selain dengan pemberian ancaman hukuman, prevensi umum (general

preventie) juga dilakukan dengan cara penjatuhan hukuman dan pelaksanaan

hukuman (eksekusi). Eksekusi yang dimaksud dilangsungkan dengan cara-cara

yang kejam agar khalayak umum takut dan tidak melakukan hal yang serupa

yang dilakukan oleh si penjahat.32

Seiring perkembangan zaman, apa yang menjadi substansi tujuan

pemidanaan sebagaimana yang terurai dalan prevensi umum menuai kritikan.

Pemidanaan secara sederhana dapat diartikan dengan penghukuman kepada

seseorang. Penghukuman yang dimaksud berkaitan dengan penjatuhan pidana

dan alasan-alasan pembenar (justification) dijatuhkannya pidana terhadap

seseorang yang dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti

melakukan tindak pidana. Tentunya, hak penjatuhan pidana dan alasan

pembenar penjatuhan pidana. Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif

(utilitarian), yaitu:33

1) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);


2) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada
si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat
untuk adanya pidana;
4) Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan
kejahatan;
5) Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung
unsur pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila

32
Ibid, hlm. 17.
33
Ibid.

22
tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat.
Maka dapat disimpulkan bahwa dalam teori relatif, negara dalam

kedudukannya sebagai pelindung masyarakat menekankan penegakkan hukum

dengan cara-cara prenventif guna menegakkan tertib hukum dalam masyarakat.

c) Teori Gabungan

Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan

dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan

itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Groritius atau Huge de Groot

menyatakan bahwa penderitaan memang sesuatu yang sewajarnya ditanggung

pelaku kejahatan, namun dalam batas apa yang layak ditanggung pelaku

tersebut kemanfaatan sosial akan menetapkan berat ringannya derita yang

layak dijatuhkan.34

Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnya yang kurang dapat

memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut

ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu

sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya

pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan daripada hukum. Teori ini

dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:35

1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu

tidak boleh melampaui batas dari apa yang pelu dan cukup untuk dapatnya

dipertahankannya tata tertib masyarakat;

34
Fitri Wahyuni, Op. Cit,. hlm 170.
35
Adami Chazawi, Op. Cit,. hlm 162-163.

23
2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,

tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada

perbuatan yang dilakukan terpidana.

Pembentuk undang-undang hukum pidana, bagi para jaksa dan hakim

tidak perlu memilih salah satu dari ketiga macam teori hukum pidana tersebut

dalam menunaikan tugas. Nilai-nilai keadilan bukanlah didasarkan dari teori

apa yang dianut melainkan berdasarkan unsur humanis yang berkenaan dengan

kondisi masyarakat dan si pembuat (penjahat) yang diproses melalui perpaduan

logika dan hati yang terlahir dalam sebuah nurani.

d) Teori Treatment,

Teori mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan

kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini memiliki

keistimewaan dari segi proses resosialisasi pelaku sehingga diharapkan mampu

memulihkan kualitas sosial dan moral masyarakat agar dapat berintegrasi lagi

ke dalam masyarakat. Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh

aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan

kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang

dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan

(treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan, sebagai

pengganti dari penghukuman. Aliran ini merupakan aliran positif yang melihat

kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah. 36

36
Erwin Pangihutan Situmeang, 2019, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Anak Sebagai
Pelaku Tindak Pidana Yang Berulang (Residivis) Ditinjau Dari Undang-undang Nomor 35 Tahun
2014 Tentang Perlindungan Anak, Tesis Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.hlm. 21.

24
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif.

Aliran ini beralaskan paham determinasi yang menyatakan bahwa orang tidak

mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena

dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor lingkungan maupun

kemasyarakatannya. Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari

keadaan jiwa seorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak

dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana,

melainkan harus diberikan perawatan (treatment) untuk rekonsialisasi pelaku. 37

e) Teori perlindungan sosial (social defence)

Teori perlindungan sosial (social defence) merupakan perkembangan

lebih lanjut dari aliran modern dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica,

tujuan utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib

sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan

sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan)

yang dibebankan kepada pelaku yang kemudian dapat digantikan tempatnya

oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, dalam artian bahwa perbuatan

pelaku adalah perbuatan yang hanya anti sosial karena adanya seperangkat

peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk

kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada

umumnya.38

Berdasarkan teori-teori pemidanaan yang dikemukakan di atas, dapat

diketahui bahwa tujuan pemidanaan itu sendiri merumuskan perpaduan antara


37
Barda Nawawi Arief, Perkembangan Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Pustaka
Magister, Semarang, 2011, hlm 12.
38
Ibid. hlm. 13

25
kebijakan penal dan non-penal dalam hal untuk menanggulangi kejahatan. Oleh

karena itu, aparat penegak hukum seperti kepolisian Republik Indonesia

diharapkan dapat menanggulangi kejahatan melalui wadah Sistem Peradilan

Pidana (Criminal Justice System).

G. Kerangka Konseptual

Adapun kerangka konseptual penelitian adalah sebagai berikut:

1. Efektifitas adalah unsur pokok mencapai tujuan atau sasaran yang telah

ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun program. Disebut

efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah ditentukan

sebelumnya.39

2. Penegakkan hukum adalah penyelenggaraan hukum oleh petugas penegak

hukum dan oleh setiap orang yang mempunyai kepentingan sesuai dengan

kewenangannya dan berdasarkan hukum yang berlaku.40

3. Tindak pidana adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang

dapat dipidana.41

4. Minyak bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam

kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat,

termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari

proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan

hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang

tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. 42

39
http://reporsitory.umy.ac.id diakses pada Tanggal 04 April 2023 Pukul 06.44 WIB.
40
https://www.hukumonline.com. Diakses Tanggal 31 Mei 2023 Pukul. 21.18 WIB.
41
Fitri Wahyuni, Loc., Cit.
42
Pasal 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.

26
5. Gas bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam

kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh

dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi.43

H. Metode Penelitian

Metode penelitian pada hakikatnya merupakan suatu cara yang

digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang benar melalui langkah-

langkah dengan sistematis. 44 Metode penelitian dilakukan dengan cara-cara

tertentu yang dibenarkan, baik mengenai tata cara pengumpulan data,

pengolahan data, maupun analisis data serta penulisan laporan penelitian.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis empiris, yaitu

penelitian hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu

masyarakat serta badan hukum.45 Hal ini bertujuan untuk memperoleh

gambaran tentang bagaimana penegakkan hukum terhadap tindak pidana

migas diwilayah hukum Tembilahan.

Sifat penelitian yang penulis gunakan adalah tergolong penelitian

deskriptif yaitu penelitian yang memberikan gambaran mengenai situasi-

situasi atau kejadian-kejadian. Dengan dasar tersebut maka penelitian ini

diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai bagaimana

penegakkan hukum terhadap tindak pidana migas diwilayah hukum

Tembilahan.

43
Ibid.,
44
Indra Muchlis dkk, Buku Panduan dan Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Islam Indragiri, Alaf Riau, Pekanbaru, 2014, hlm. 22.
45
Ibid.

27
2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Indragiri

Hilir. Adapun yang menjadi alasan penulis melakukan penelitian di lokasi

ini adalah kemudahan penulis mendapatkan dan memperoleh data serta

dokumen yang dibutuhkan dalam penelitian ini dan dalam terakhir ini

adanya kasus tindak pidana migas yang dilakukan oleh oknum SPBU di

wilayah hukum Tembilahan sehingga menarik untuk dilakukan penelitian.

3. Populasi dan Sampel

Dalam penelitian ini penulis menggunakan populasi dan sampel

sebagai pendukung penelitian yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Populasi merupakan jumlah keseluruhan dari obyek yang akan diteliti

yang mempunyai karakteristik yang sama, pada tahap ini seseorang

peneliti harus mampu mengelompokkan dan memilah apa dan di mana

yang dapat dijadikan populasi tentunya dengan dasar pertimbangan

keterikatan hubungan dengan obyek yang akan diteliti. 46 Adapun

populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota Kepolisian Resort

Indragiri Hilir, dan pelaku tindak pidana Migas.

b) Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi. Dalam penelitian ini peneliti menetapkan sampel penelitian

adalah dengan menggunakan metode Purpossive Sampling, yaitu

metode yang digunakan apabila jumlah sampel yang mewakili dari

46
Ibid., hlm. 25.

28
populasi telah ditetapkan terlebih dahulu dengan kriteria dan ukuran

tertentu yang lebih lanjut telah ditetapkan.47

Untuk lebih jelasnya sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada

tabel di bawah ini.

Tabel 1.1.
Populasi dan Sampel

No Responden Populasi Sampel Persentase (%)


Penyidik Polres
1 3 2 50
Inhil
Pelaku Tindak
2 1 1 25
Pidana
3 Masyarakat 1 1 25
Jumlah 5 4 100
Sumber: Data Olahan Hasil Penelitian Tahun 2022.

4. Data dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian empiris ini terdiri dari data

primer, data sekunder dan data tersier. Sebagai sumber data dalam

penelitian ini adalah:

a. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh oleh peneliti dari

penyidik yang menangani perkara tindak pidana penganiayaan yang

terjadi di wilayah Kepolisian Resor Indragiri Hilir berdasarkan hasil

dari proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dan juga dari

pelaku tindak pidana migas.

47
Ibid.

29
b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat

menambahkan atau memperkuat bahan hukum primer. Bahan hukum

sekunder pada penelitian ini berupa Undang-Undang, Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, Buku-buku yang disajikan dalam seminar

nasional maupun internasional, jurnal ilmiah yang terakreditasi

diterbitkan oleh lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan, atau

lembaga lainnya yaitu:

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi.

c. Data tersier

Data tersier adalah data yang merupakan bahan hukum yang

mempunyai fungsi untuk memberikan penjelasan terhadap hukum

primer dan bahan hukum sekunder. Data ini dapat berasal dari kamus

dan eksiklopedi. 48

5. Alat Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang sebagaimana diharapkan, maka alat

pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

a) Observasi yaitu pengumpulan data dengan cara mengamati fenomena

suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu pula. Observasi

48
Ibid., hlm. 53.

30
dilakukan pengamatan langsung dengan melakukan pencatatan terhadap

gejala-gejala yang dijumpai dilapangan tentang bagaimana penegakkan

hukum terhadap tindak pidan amigas di wilayah hukum Tembilahan.

b) Wawancara, yaitu pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti

dengan cara peneliti mengadakan tanya jawab secara langsung kepada

responden, yang dilakukan dengan pedoman wawancara terstruktur

(tersusun) yaitu antara satu pertanyaan dengan pertanyaan lainnya saling

saling berhubungan mengenai penegakkan hukum terhadap tindak

pidana migas di wilayah hukum Tembilahan.

c) Kuesioner adalah suatu alat pengumpul data berupa daftar pertanyaan

yang diajukan secara tertulis yang penulis edarkan kepada responden

yakni penyidik atau dari pelaku yang melakukan tindak pidana dan dari

masyarakat.

6. Analisis Data

Analisis data adalah proses menyusun data secara sistematis yang

diperoleh dari observasi dan wawancara melalui pengorganisasian data

kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan hipotesa

sampai membuat kesimpulan yang dapat dimengerti oleh pengamat sendiri

dan orang lain. 49 Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara membandingkan antara ketentuan-ketentuan yang

bersifat normatif (das sollen) dengan kenyataan (das sein) yang terjadi

49
Sugiyono, Metode Penelitian, Alfabet, Bandung, 2012, hlm. 45.

31
dalam masyarakat.50 Selanjutnya penulis mengambil kesimpulan, dalam

penelitian ini adalah berpedoman pada cara deduktif yaitu penyimpulan

dari hal-hal yang umum kepada hal-hal yang khusus.51

A. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dari hasil penelitian yang akan penulis lakukan bab

demi bab secara ringkas diuraikan sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

B. Perumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Kerangka Teori

F. Kerangka Konseptual

G. Metode Penelitian

Bab II : Tinjauan Umum

A. Penegakkan Hukum.

B. Tindak Pidana Migas.

Bab III : Hasil Penelitian Dan Pembahasan

A. Penegakkan hukum terhadap tindak pidana migas di wilayah hukum

Tembilahan.

B. Kendala dalam pelaksanaan penegakkan hukum terhadap tindak

pidan amigas di wilayah hukum Tembilahan.

50
Indra Muchlis dkk, Op. Cit,. hlm. 23.
51
Ibid., hlm. 24

32
Bab IV : Penutup

A. Kesimpulan

B. Saran

Daftar Pustaka
Lampiran

33
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Adami Chazawi, 2010, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. Raja Grafindo,


Jakarta.

Andi Prastowo, 2011, Memahami metode-metode penelitian: suatu Tinjauan


Teoristis dan Praksis, Ar-Ruzz Media Jogjakarta.

Barda Nawawi Arief, 2011, Perkembangan Sistem Pemidanaan Di Indonesia,


Pustaka Magister, Semarang.

BPH Migas, 2005, Komoditas Bahan Bakar Minyak (BBM), BPH Migas RI,
Jakarta

Fitri Wahyuni, 2017, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, PT. Nusantara


Persada Utama, Tangerang Selatan.

Frans Maramis, 2016, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,


Rajawali Pers, Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kms. Novyar Satriawan Fikri & Herdiansyah, 2019, Kajian Terhadap Sistem
Peradilan Pidana Indonesia, Jurnal Hukum Das Sollen, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indragiri.

P.A.F. Lamintang, 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra


Adityta Bakti. Bandung.

Indra Muchlis dkk, 2014, Buku Panduan dan Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri, Alaf Riau, Pekanbaru.

Salim H.S, 2010, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Rajawali, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 2010, Hukum dan Masyarakat, Penerbit Angkasa, Bandung.

Soerjono Soekanto, 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,


Raja Grafindo Persada, Cet. 13 Rajawali Press, Jakarta.

Sugiyono, 2005, Metode Penelitian, Alfabet, Bandung.

Tiar Ramon, 2016, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Trussmedia Grafika,


Yogyakarta.

34
B. Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1946 tentang Kitab Undang Undang Hukum
Pidana.

Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum


Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi

D. Disertasi, Tesis, Skripsi dan Jurnal

Erwin Pangihutan Situmeang, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Anak


Sebagai Pelaku Tindak Pidana yang Berulang (Residivis) Ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Surakarta: Nomor. 02/Pid.Sus.
Anak/2014/PN.Skt.), Tesis Magister Hukum Universitas Sumatera Utara,
2019

Failin, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Dalam Pembaharuan Hukum


Pidana Indonesia, Jurnal Cendekia Hukum: Vol. 3, No 1, September 2017

Reyhard Jonathan Ilely, Teknik dan Taktik Penimbunan Bahan Bakar Minyak
(Studi Kasus Pada Direktorat Krimsus Polda Maluku), Jurnal Ilmu
Hukum, Volume 1 Nomor 7 September 2021, 697-707

E. Internet

https://business-law.binus.ac.id diakses pada Tanggal 05 April 2023 Pukul


06.17 WIB.

http://reporsitory.umy.ac.id diakses pada Tanggal 04 April 2023 Pukul 06.44


WIB.

https://www.hukumonline.com. Diakses pada Tanggal 31 Mei 2023 Pukul.


21.18 WIB.

https://www.lawyersclubs.com. Diakses pada Tanggal 21 Mei 2023 Pukul


21.24 WIB.

35

Anda mungkin juga menyukai