Anda di halaman 1dari 5

Sektor Sumber Daya Minyak dan Gas Bumi

Minyak bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan
temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit,
dan bitumen yang diperoleh dan proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau
endapan hidrokanbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak
berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Sementara, Gas bumi adalah hasil
proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa
fasa gas yang diperoleh dan proses penambangan minyak dan gas bumi.

Dalam Sektor Migas terdapat 2 Hubungan yang menimbulkan hak yakni

- Hubungan antara bangsa dengan sumber daya Migas:


Di dalam UU Migas Bangsa Indonesia ditempatkan sebagai pemilik dari seluruh
sumber daya Migas yang terdapat di seluruh wilayah Indonesia sehingga terdapat Hak
Bangsa Indonesia atas sumber daya Migas. Dimana hal ini secara implisit tercantum
dalam Pasal 4 ayat (1) UUMigas khususnya frase : “....merupakan kekayaan nasional”
dan ”Migas dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan
nasional”, yang bermakna bahwa migas merupakan harta benda milik bangsa
khususnya bangsa Indonesia.

- Hubungan antara negara dengan sumber daya Migas;


Dalam Pasal 4 UU Migas sebagai acuan Dasar hukum menyatakan sebagai berikut:
“Pasal 4
[1] Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis takterbarukan yang
terkandung didalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan
nasional yang dikuasai oleh negara.
[2] Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan
oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan (pemerintah melakukan
kegiatan usaha baik pada tahapan eksplorasi maupun eksploitasi sumber daya Migas.
[3] Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23.”

Negara sebagai pemegang Hak Menguasai atas sumber daya Migas (Pasal 4 ayat (1)
UU Migas, frase : “....yang dikuasai oleh Negara”. Istilah ”dikuasai oleh Negara”
mengandung makna pemberian kewenangan kepada Negara berupa Hak Menguasai
Negara.

Dalam Putusan MK No. 012/PUU-I/2003, Hak Mengusai Negara melingkupi 5 (lima)


aspek, yaitu :

(1) mengadakan kebijakan (beleid),


(2) tindakan pengurusan (bestuursdaad),
(3) pengaturan (regelendaad),
(4) pengelolaan (beheersdaad) dan
(5) pengawasan (toezichthoudensdaad)

Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Migas memberikan kewenangan kepada
Negara untuk :

(1) menyusun kebijakan penyelenggaraan sumber daya Migas;

(2) menuangkan kebijakan tersebut ke dalam peraturan perundang undangan;

(3) mengurus dalam artian menata, memelihara, dan menjaga agar


pengusahaan dan pemanfaatan sumber daya Migas berlangsung dengan baik
dan memberikan manfaat bagi bangsa;

(4) melakukan pengelolaan dalam artian merencanakan dan mengendalikan


pengusahaan sumber daya Migas;

(5) melakukan pengawasan agar pengusahaan sumber daya Migas berlangsung


dengan baik sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik.

UU Migas tidak mengatur secara tegas isi ruang lingkup kewenangan Hak Menguasai
Negara, namun menyerahkan kepada pemerintah untuk mengisinya.

Pelaksana Kewenangan Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Migas

Pasal 4 ayat (2) UU Migas menentukan : ”Penguasaan oleh negara sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa
Pertambangan”. Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) huruf a UU Migas, secara
implisit memberikan 3 (tiga) kedudukan kepada Pemerintah, yaitu :

(1) Sebagai Penyelenggara atau Pelaksana kewenangan Hak Menguasai Negara


 Pemerintah pusat menyelenggarakan kewenangan HMN di bidang
SDMigas bersifat mengatur (regeling), yaitu menyusun peraturan
perundang-undangan sebagai pelaksanaan UU Migas.
 Kewenangan mengatur dari pemerintah pusat, khususnya kegiatan usaha
hulu bersifat sentralistik karena tidak berbagi dengan pemerintah daerah.
 Batasan kewenangan sentralistik pemerintah pusat tidak ditentukan dalam
UU Migas secara tegas, namun secara umum harus mengacu pada
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Migas dan peraturan
pelaksanaannya.

(2) Sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan

 Dalam kedudukan sebagai pemegang Kuasa Pertambangan, pemerintah


diberi kewenangan untuk melaksanakan kegiatan usaha di bidang
pertambangan. Hal ini sesuai dengan pengertian Kuasa Pertambangan
yaitu wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk
menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi (Pasal 1 angka 5
UU Migas).
 Sebagai pemegang Kuasa Pertambangan, pemerintah melakukan kegiatan
usaha baik pada tahapan eksplorasi maupun eksploitasi sumber daya
Migas. Kegiatan eksplorasi bertujuan memperoleh informasi kondisi
geologi dalam rangka menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan
Migas di wilayah kerja yang ditentukan. bertujuan menghasilkan Migas
melalui tahapan pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan
sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pKegiatan eksploitasi engolahan
untuk pemisahan dan pemurnian Migas, serta kegiatan lain yang
mendukung

(3) Sebagai Pemilik Sumber Daya Migas

 Kedudukan pemerintah pusat sebagai pemilik dapat disimpulkan dari


ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf a dan Pasal 11 ayat (3) huruf d. Pasal 6
ayat (2) huruf a menentukan bahwa kepemilikan sumber daya Migas tetap
berada ditangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan. Pasal 11 ayat
(3) huruf d menentukan bahwa perpindahan kepemilikan hasil produksi
Migas dari Pemerintah kepada Kontraktor harus dimuat dalam kontrak
kerja sama.
 Pemberian kedudukan kepada pemerintah pusat sebagai pemilik sumber
daya Migas memang rancu dan membingungkan karena menurut Pasal 4
ayat (1) khususnya frase ”kekayaan nasional”, kepemilikan sumber daya
Migas berada di tangan Bangsa Indonesia. Kerancuannya terletak pada 2
(dua) tingkatan kepemilikan yaitu oleh bangsa Indonesia dan oleh
Pemerintah pusat.

Pengaturan hukum internasional terkait hak ini tercantum dalam GATT yang menyatakan
bahwa pasal 11 ayat 1 GATT melarang pihak yang menyetujui perjanjian untuk melakukan
pelarangan ekspor produk apapun, karena Indonesia telah meratifikasi GATT, maka
Indonesia terikat oleh perjanjian tersebut dan tidak boleh melanggar ketentuan pasal 11 ayat 1
tersebut. Sementara, dalam pasal 9 ayat 2 GATT 1994 menyatakan bahwa pembatasan atau
pelarangan eksport impor boleh dilakukan demi mencegah atau meringankan kekurangan
kritis terhadap produk yang penting untuk ekspor negara berkontrak. “Ketentuan ayat 1 dari
Pasal ini tidak mencakup hal-hal berikut: (a) Larangan atau pembatasan ekspor untuk
sementara waktu diterapkan untuk mencegah atau meringankan kekurangan kritis bahan
makanan atau produk lain yang penting untuk ekspor; pihak yang mengadakan kontrak;”.

Pengaturan hukum internasional yang termuat dalm GATT ini telah diadopsi oleh Indonesia
sesuai dengan implementasi hak menguasai negara yang menimbulkan kewenangan-
kewenangan seperti yang telah dijelaskan sebeleumnya. Dimana negara memiliki hak untuk
Menyusun kebijakan sebagaimana mestinya guna memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat yang termuat dalam pasal 1 angka 23 UU Migas. Implementasi hal ini
terlihat dari rencana pemerintah tahun 2040 untuk memberhentikan adanya ekspor migas
demi memenuhi kebutuhan usaha hilir migas di Indonesia.

Terkait Implementasi dalam kewajiban negara sendiri untuk sebesar besarnya kemakmuran
rakyat awalnya terdapat beberapa pengaturan yang tidak sesuai dengan kewajiban ini
tepatnya Pengaturan terkait Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi terdapat dalam Pasal
28 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang berbunyi :

“Pasal 28
(1) Bahan Bakar Minyak serta hasil olahan tertentu yang dipasarkan di dalam negeri untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat wajib memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan oleh
Pemerintah.

(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan
usaha yang sehat dan wajar.

(3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi
tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.”

Pasal ini dinilai tidak sesuai untuk memenuhi kewajiban negara dalam memanfaatkan sumber
daya alam semaksimalnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal ini sangat potensial memicu
disintegrasi dan perpecahan bangsa dan negara, karena bertujuan untuk menyerahkan harga
BBM sepenuhnya kepada persaingan usaha (Pasal 28 ayat 2). Sedangkan Pasal 28 ayat (3)
UU Nomor 22 Tahun 2001 hanya menyangkut pemberian subsidi bagi golongan masyarakat
tertentu sebagai tanggung jawab sosial Pemerintah, namun tidak secara eksplisit
menyebutkan bagaimana mengatur perbedaan harga antar Daerah yang pasti akan timbul
dengan pemberlakukan harga BBM atas dasar persaingan usaha. Persoalannya, daerah yang
incomenya lebih rendah justru akan membayar BBM lebih mahal dengan daerah yang
incomenya lebih tinggi. Pasal ini secara eksplisit melepaskan tanggung jawab Pemerintah
untuk mengalokasikan penggunaan jenis energi nonminyak, padahal penggunaan energi non-
minyak sangat dipengaruhi oleh tingkat harga jual BBM; Kedaulatan negara dan disintegrasi
wilayah akan terancam dengan hanya karena supply energi (BBM) yang dapat dipermainkan
oleh pemain usaha perminyakan asing yang menguasai sebagian besar cadangan dan produksi
migas nasional dibanding sebagian kecil cadangan dan produksi migas yang dikuasai
Pertamina sebagai BUnya negara. Dengan mempermainkan stabilitas supply dan harga, akan
sangat mungkin suatu wilayah di negeri ini akan menuntut pembebasan dari wilayah
Indonesia atau keinginan memerdekan diri semakin kuat.

Namun, pasal ini telah dijudicial review di MK dan dinyatakan bahwa pasal ini
inkonstitusional. Sehingga, hingga saat ini pengaturan terkait SDA Migas telah sesuai dengan
hak dan kewajiban negara Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai