Minyak bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan
temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit,
dan bitumen yang diperoleh dan proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau
endapan hidrokanbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak
berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Sementara, Gas bumi adalah hasil
proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa
fasa gas yang diperoleh dan proses penambangan minyak dan gas bumi.
Negara sebagai pemegang Hak Menguasai atas sumber daya Migas (Pasal 4 ayat (1)
UU Migas, frase : “....yang dikuasai oleh Negara”. Istilah ”dikuasai oleh Negara”
mengandung makna pemberian kewenangan kepada Negara berupa Hak Menguasai
Negara.
Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Migas memberikan kewenangan kepada
Negara untuk :
UU Migas tidak mengatur secara tegas isi ruang lingkup kewenangan Hak Menguasai
Negara, namun menyerahkan kepada pemerintah untuk mengisinya.
Pengaturan hukum internasional terkait hak ini tercantum dalam GATT yang menyatakan
bahwa pasal 11 ayat 1 GATT melarang pihak yang menyetujui perjanjian untuk melakukan
pelarangan ekspor produk apapun, karena Indonesia telah meratifikasi GATT, maka
Indonesia terikat oleh perjanjian tersebut dan tidak boleh melanggar ketentuan pasal 11 ayat 1
tersebut. Sementara, dalam pasal 9 ayat 2 GATT 1994 menyatakan bahwa pembatasan atau
pelarangan eksport impor boleh dilakukan demi mencegah atau meringankan kekurangan
kritis terhadap produk yang penting untuk ekspor negara berkontrak. “Ketentuan ayat 1 dari
Pasal ini tidak mencakup hal-hal berikut: (a) Larangan atau pembatasan ekspor untuk
sementara waktu diterapkan untuk mencegah atau meringankan kekurangan kritis bahan
makanan atau produk lain yang penting untuk ekspor; pihak yang mengadakan kontrak;”.
Pengaturan hukum internasional yang termuat dalm GATT ini telah diadopsi oleh Indonesia
sesuai dengan implementasi hak menguasai negara yang menimbulkan kewenangan-
kewenangan seperti yang telah dijelaskan sebeleumnya. Dimana negara memiliki hak untuk
Menyusun kebijakan sebagaimana mestinya guna memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat yang termuat dalam pasal 1 angka 23 UU Migas. Implementasi hal ini
terlihat dari rencana pemerintah tahun 2040 untuk memberhentikan adanya ekspor migas
demi memenuhi kebutuhan usaha hilir migas di Indonesia.
Terkait Implementasi dalam kewajiban negara sendiri untuk sebesar besarnya kemakmuran
rakyat awalnya terdapat beberapa pengaturan yang tidak sesuai dengan kewajiban ini
tepatnya Pengaturan terkait Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi terdapat dalam Pasal
28 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang berbunyi :
“Pasal 28
(1) Bahan Bakar Minyak serta hasil olahan tertentu yang dipasarkan di dalam negeri untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat wajib memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan
usaha yang sehat dan wajar.
(3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi
tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.”
Pasal ini dinilai tidak sesuai untuk memenuhi kewajiban negara dalam memanfaatkan sumber
daya alam semaksimalnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal ini sangat potensial memicu
disintegrasi dan perpecahan bangsa dan negara, karena bertujuan untuk menyerahkan harga
BBM sepenuhnya kepada persaingan usaha (Pasal 28 ayat 2). Sedangkan Pasal 28 ayat (3)
UU Nomor 22 Tahun 2001 hanya menyangkut pemberian subsidi bagi golongan masyarakat
tertentu sebagai tanggung jawab sosial Pemerintah, namun tidak secara eksplisit
menyebutkan bagaimana mengatur perbedaan harga antar Daerah yang pasti akan timbul
dengan pemberlakukan harga BBM atas dasar persaingan usaha. Persoalannya, daerah yang
incomenya lebih rendah justru akan membayar BBM lebih mahal dengan daerah yang
incomenya lebih tinggi. Pasal ini secara eksplisit melepaskan tanggung jawab Pemerintah
untuk mengalokasikan penggunaan jenis energi nonminyak, padahal penggunaan energi non-
minyak sangat dipengaruhi oleh tingkat harga jual BBM; Kedaulatan negara dan disintegrasi
wilayah akan terancam dengan hanya karena supply energi (BBM) yang dapat dipermainkan
oleh pemain usaha perminyakan asing yang menguasai sebagian besar cadangan dan produksi
migas nasional dibanding sebagian kecil cadangan dan produksi migas yang dikuasai
Pertamina sebagai BUnya negara. Dengan mempermainkan stabilitas supply dan harga, akan
sangat mungkin suatu wilayah di negeri ini akan menuntut pembebasan dari wilayah
Indonesia atau keinginan memerdekan diri semakin kuat.
Namun, pasal ini telah dijudicial review di MK dan dinyatakan bahwa pasal ini
inkonstitusional. Sehingga, hingga saat ini pengaturan terkait SDA Migas telah sesuai dengan
hak dan kewajiban negara Indonesia.