BAB I
PENDAHULUAN
Pertambangan mineral dan batubara merupakan salah satu sektor yang dapat
memberi pemasukkan kepada negara serta memberi manfaat kepada masyarakat apabila
dikelola dengan baik. Negara dalam mengelolanya diberi hak menguasai atas seluruh
kekayaan alam yaitu mempunyai wewenang dalam pengaturan, pengurusan, pengawasan,
dan pengelolaan. Pemerintah berwenang dalam pengaturan berkaitan dengan proses
legislasi bersama dengan DPR RI membentuk peraturan perundang-undangan terkait
pertambangan mineral dan batubara. Pengurusan yang dilakukan pemerintah dapat
berupa pemberian izin maupun pencabutan izin terhadap pemegang Izin Pertambangan
Rakyat (IPR), Izin Usaha pertambangan (IUP), maupun Izin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK). Pengawasan dimana pemerintah mengawasi apakah pelaksaan
pertambangan mineral dan batubara sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
sedangkan pengelolaan terkait kepemilikan saham dan manajemen dalam BUMN,
BUMD, dan badan-badan hukum pemerintah.4
Sistem hukum pertambangan mineral dan batubara terdiri dari unsur-unsur yang
saling berinteraksi dan bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan dan apabila satu unsur
saja tidak berjalan dengan baik maka akan mengganggu sistem itu secara keseluruhan.
Unsur-Unsur tersebut meliputi hal tertentu, struktur, serta tujuan sistem hukum. Faktanya
unsur-unsur sistem hukum tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya karena berbagai
ketimpangan dan ketidakkonsistenan dalam sistem hukum serta tidak berorientasi pada
tujuan sehingga menghambat sistem hukum tersebut secara keseluruhan. Sistem hukum
pertambangan mineral dan batubara sangat dipengaruhi oleh politik baik yang berasal
dari kompromi politik maupun dominasi dari kekuatan politik yang kuat. Politik memiliki
peranan cukup penting apakah memperbaharui hukum yang ada atau mengganti dengan
hukum yang baru. Sistem hukum politik pertambangan mineral dan batubara telah
diintervensi oleh politik yang didasarkan pada kepentingan pihak-pihak yang kurang
bertanggungjawab. Berbagai permasalahanpun kerap muncul karena sistem hukum
tersebut menjadi seperti pedang bermata dua. Oleh sebab itu penulis tertarik menulis
politik sistem hukum pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
4
Ibid., hlm.17.
3
C. Tujuan
Berdasarkan pemaparan rumusan masalah, maka penulisan itu bertujuan untuk
mengetahui sistem hukum pertambangan mineral dan batubara di Indonesia beserta
berbagai permasalahannya.
BAB II
ISI
4
5
Soedikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberti, Yogyakarta, hlm.122.
5
6
Salim.H.S, Op.Cit., hlm.21.
7
Adrian Sutedi, 2012, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.24.
8
Salim.H.S, Op.Cit., hlm.16.
9
Ibid.
6
2. Tujuan
10
Ibid.
11
Ibid.,hlm.20.
12
Ibid.,hlm.21.
7
a. Tujuan Umum
Tujuan umum sistem hukum pertambangan mineral dan batubara berangkat
dari landasan filosofisnya sebagai pandangan atau sikap batin masyarakat
terhadap pelaksanaan kegiatan pertambangan mineral dan batubara. Sikap batin
atau pandangan bangsa Indonesia terhadap pelaksanaan kegiatan pertambangan
mineral dan batubara diatur dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945.13
Pembukaan UUD 1945 menegaskan tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Tujuan untuk memajukan kesejahteraan
rakyat tersebut maka segala sumber daya alam yang ada di Indonesia harus
diupayakan dan dimanfaatkan secara optimal seperti yang diatur dalam Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi , air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. 14
b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam pengelolaan mineral dan batubara telah dijelaskan
pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara yakni
a. Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha
pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;
b. Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan hidup;
c. Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau
sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;
d. Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih
mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;
e. Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta
menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan
13
Ibid., hlm.41.
14
Ibid., hlm.42.
8
15
Ibid
9
c. Tersedianya sumber energi dari dalam negeri dan/atau luar negeri sebagaimana
dimaksud pada huruf
d. Untuk pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri dan pemenuhan kebutuhan
bahan baku industri dalam negeri serta peningkatan devisa negara;
e. Terjaminnya pengelolaan sumber daya energi secara optimal, terpadu, dan
berkelanjutan
f. Termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor
g. Tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang
tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata dengan cara menyediakan
bantuan untuk meningkatkan ketersediaan energi kepada masyarakat tidak
mampu, membangun infrastruktur energi untuk daerah belum berkembang
sehingga dapat mengurangi disparitas antar daerah;
h. Tercapainya pengembangan kemampuan industri energi dan jasa energi dalam
negeri agar mandiri dan meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia16
3. Struktur
Struktur merupakan tatanan atau hubungan khusus antara unsur-unsur yang
berada di dalam suatu sistem dengan unsur-unsur dari lingkungan di luar sistem. 17
Sistem hukum pertambangan mineral dan batubara terdiri dari
a. Hukum Perijinan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
16
Bisnis Indonesia, 2018, Perpajakan Sektor Pertambangan Mineral di Indonesia,
https://www.rsm.global/indonesia/id/insights/artikel/perpajakan-sektor-pertambangan-mineral-di-indonesia
diakses 25 Oktober 2019 pukul 06.16 WIB
17
Soedikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm.123.
10
19
Ibid., hlm.7
20
Iqbal Shalihin, 2018, Pengalihan Kewenangan Pemberian Izin Usaha Pertambangan Mineral-Batubara Oleh
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, Universitas Andalas, Padang, hlm.92.
12
21
Ibid., hlm.93.
22
Ibid., hlm.95.
13
Pasal 7 ayat (4) sudah mengatur mengenai pengajuan permohonan IUP melalui
menteri atau gubernur paling lambat 5 (lima) hari kerja23
Peralihan kewenangan bupati/walikota dalam hal pengelolaan sumberdaya
alam, khususnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka bupati/walikota tidak berwenang
lagi untuk menerbitkan keputusan kepala daerah terkait dengan penetapan
perizinan pengelolaan sumberdaya alam. Keputusan perizinan yang telah
dikeluarkan, berdasarkan AUPB (asas kepercayaan, asas kepastian hukum, asas
keadilan, asas kebijakan yang memberatkan tidak boleh berlaku surut) seharusnya
masih dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa izin yang
diberikan.24
Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan
Daerah, mengesampingkan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pasal 8
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, maka pengaturan kewenangan perizinan pertambangan mineral dan
batubara pada tataran pemerintah daerah kabupaten/kota diambil alih oleh
pemerintah daerah provinsi yang merupakan wakil pemerintah pusat. Setelah
diundangkannya Undang- Undang Pemerintahan Daerah yang baru, kewenangan
pemerintah kabupaten/kota terhadap pengelolaan izin usaha pertambangan
dihapuskan dan dialihkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah provinsi.
Perubahan ini tidak serta merta merubah sistem dan mekanisme perizinan yang
telah berlaku sebelumnya. Sistem dan mekanisme mengenai permohonan izin
usaha pertambangan tetap dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan
yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara serta peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara. Perubahan hanya terletak pada kewenangan pemberian izin
23
Ibid., hlm.100.
24
Ibid., hlm.105.
14
25
Ibid.
26
Hayatul Ismi, 2014, “Hukum Hak Atas Tanah Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Mineral Dan Batubara“ ,
Volume 4 No. 2 Februari-Juli 2014 Jurnal Ilmu, Fakultas Hukum Universitas Riau, pekanbaru, hlm.9.
15
tanah dengan pemiliknya. Penyelesaian hak atas tanah tersebut tidak lain dengan
cara pembebasan. Pembebasan dilakukan sesuai dengan kebutuhan luas
penambangan. Pemegang hak atas pertambangan tidak membebaskan seluruh hak
atas tanah yang dimiliki pemegangnya. Pembebasan hak atas tanah dengan cara
memberikan ganti rugi kepada pemegang haknya karena pada prinsipnya
pemegang hak atas tanah tidak boleh dirugikan dengan adanya kegiatan
pertambangan. Biaya pembebasan hak tersebut menjadi tanggungan pemegang
hak atas pertambangan, bukan atas biaya Negara meskipun izin pertambangan
dari Negara. Pembebasan tersebut berakibat pada tanah yang dibebaskan
kembali dikuasai oleh Negara. Lokasi yang dilakukan kegiatan penambangan
statusnya sebagai tanah Negara. Konsekuensi pemegang hak atas pertambangan
yang telah melaksanakan penyelesaian pembebasan terhadap bidang-bidang tanah
dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, yaitu dengan mengajukan permohonan hak atas tanah kepada kantor
pertanahan setempat.29
c. Hukum Lingkungan Atas Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga
negara yang Indonesia dijamin oleh konstitusi yakni dalam Pasal 28H UUD 1945.
Perlindungan hukum lingkungan terhadap pengelolaan pertambangan menunjuk
pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor .4 Tahun 2009
tentang Mineral dan Batubara. Batubara merupakan salah satu komoditi yang
mempunyai kedudukan dan peranan sangat penting dalam menunjang
keberhasilan pembangunan nasional. Hal ini disebabkan pertambangan batubara
sebagai sumber kekayaan alam yang tidak dapat diperbarui, bermanfaat bagi
sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Aspek lingkungan hidup, usaha
pertambangan mineral dan batubara dianggap paling merusak dibanding kegiatan-
kegiatan eksploitasi sumberdaya alam lainnya.30
Usaha pertambangan mineral batubara dianggap paling merusak antara
lain dapat merubah bentuk benteng alam, merusak atau menghilang vegetasi,
29
Ibid. hlm.11.
30
Daud Silalahi, 1995 , Amdal Dalam Sistem Hukum Lingkungan Indonesia, Mandar Maju, Bandung. hlm.65.
17
menghasilkan limbah tailing, maupun batuan limbah, serta menguras air , tanah
dan air permukaan. Usaha pertambangan mineral dan batubara yang tidak
direhabilitasi akan menyebabkan lahan-lahan bekas pertambangan membentuk
kubangan raksasa dan hamparan tanah gersang yang bersifat asam. Peranan
hukum lingkungan terutama mengatur kegiatan-kegiatan yang mempunyai
dampak negatif terhadap lingkungan dan menuangkan kebijakan lingkungan
dalam peraturan perundang-undangan lingkungan. Menurut Munadjat
Danusaputra, menyatakan salah satu alat yang kuat dan ampuh dalam melindungi
lingkungan hidup adalah hukum yang mengatur lingkungan hidup yang dimaksud
adalah hukum lingkungan (environmenal law atau millieurecht). Hukum
lingkungan menyediakan instrumen-instrumen untuk perlindungungan lingkungan
hidup, dalam hal sebagai sarana pencegahan pencemaran yaitu baku mutu
lingkungan, Analisis Mengenai Dampak lingkungan (AMDAL), Izin lingkungan,
Instrumen Ekonomic, dan audit lingkungan. Hubungan antara baku mutu
lingkungan, AMDAL dan perizinan lingkungan memiliki hubungan yang saling
terkait dalam rangka berfungsi sebagai pencegahan pencemaran lingkungan.31
Perlindungan dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batabara,
diwujudkan dengan mempergunakan sarana pencegahan kerusakkan dan
perusakkan lingkungan berupa istrumen ekonomi lingkungan hidup. Hukum
lingkungan berisi kebijakan lingkungan yang bertujuan utama mencegah
pencemaran lingkungan. Sarana utama yang dalam ini berfungsi sebagai sarana
pencegahan pencemaran lingkungan adalah pengaturan langsung instrumen
ekonomik. Penggunaan instrumen ekonomik dalam pengelolaan lingkungan juga
diterapkan dalam pengelolaan pertambangan.32
Pasal 14 UUPLH mengatur bahwa seluruh instrumen tersebut seharusnya
diterapkan dalam industri tambang batubara mengingat tingginya risiko
lingkungan yang dapat ditimbulkannya. Efektifitas dari beberapa instrumen
tersebut sangat tergantung pada efektifitas sistem perizinan. Praktiknya sistem
perizinan tidak berjalan efektif seperti telah dijelaskan. Kendala penerapan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 cukup besar sebab aparat penegak hukum
31
Ibid.
32
Ibid., hlm.69.
18
33
Ibid.
34
Bisnis Indonesia, 2018, Perpajakan Sektor Pertambangan Mineral di Indonesia,
https://www.rsm.global/indonesia/id/insights/artikel/perpajakan-sektor-pertambangan-mineral-di-indonesia
diakses 25 Oktober 2019 pukul 06.16 WIB.
19
bidang usaha pertambangan umum termasuk batu bara diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini
berlaku bagi semua IUP, IUP Khusus (IUPK), IPR dan juga Kontrak Karya.35
Peraturan Pemerintah ini meliputi penerimaan dan biaya-biaya yang dapat
dibebankan untuk menghitung pajak penghasilan. Peraturan pemerintah ini juga
memuat ketentuan perpajakan khusus bagi IUPK Operasi Produksi dari perubahan
Kontrak Karya. Peraturan Pemerintah ini juga memberikan kepastian bahwa bagi
Kontrak Karya yang masih berlaku, ketentuan khusus pemajakannya akan tetap
berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak. Peraturan Pemerintah dikeluarkan
sebagai langkah Pemerintah agar semua ketentuan perpajakan merujuk kepada
aturan yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan, tidak di dalam
ketentuan kontrak. Hal ini bertujuan untuk mengurangi potensi sengketa pajak
atas penafsiran ketentuan yang berlaku antara kontrak dan aturan umum.36
e. Hukum Sumber Daya Energi dan Ketenagalistrikan pada Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, konsiderans menimbang dinyatakan bahwa kebutuhan dari pengaturan
ini adalah untuk dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara
secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan
lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan.
Penjelasan Umum ditegaskan pula bahwa undang-undang ini dibentuk untuk
menjawab tantangan utama yang dihadapi pertambangan mineral dan batubara
(minerba), yaitu globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak
asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas
kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat.
Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-
besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia dan mempercepat pengembangan
wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan
menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan. Tujuan
Undang-Undang ini mendukung politik hukum kedaulatan energi, karena
35
Ibid.
36
Ibid.
20
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya, salah satunya pertambangan. Penatagunaan tanah ini diwujudkan
dalam suatu rencana tata ruang. Penataan ruang di atur dalam UU Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Tindakan penataan ruang sesuai dengan
rencana tata ruang akan menimbulkan akibat-akibat hukum sesuai dengan hak
atas tanah. Ruang sebagai satu sumber daya alam tidak mengenal batas wilayah.
Namun jika dikaitkan dengan pengaturan, maka harus jelas batas, fungsi dan
sistemnya dalam satu kesatuan. Aspek pertanahan dan penataan ruang,
mempunyai hubungan penting, karena tanah sebagai salah satu sumber daya
kegiatan penduduk yang dapat dinilai sifat, proses dan penggunannya, ini sesuai
dengan yang dikemukakan Firey, “Tanah dapat menunjukan pengaruh budaya
yang besar dalam adaptasi ruang, dan selanjutnya dikatakan ruang dapat
merupakan lambang bagi nilai-nilai sosial (misalnya penduduk sering memberi
nilai sejarah yang besar kepada sebidang tanah). Pasal 18 UUPA, bahwa hak atas
tanah adalah hak dan kewajiban, kewenangan-kewenangan dan manfaat dalam
menggunakan tanah yang dengan sendirinya meliputi fisik tanah dan
lingkungannya serta ruang diatasnya.39
Hemat penulis, Pasal 1 angka 29 Undang-Undang Nomor Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur bahwa
Wilayah Pertarnbangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang
memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat ciengar, batasan
administrasi pemerintahan yang verupakan bagian dari tata ruangnasional.
Pemberian IUP Eksplorasi sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 39 dan Pasal 78
juga harus didasarkan oleh rencena umum tata ruang. Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga
mengatur penggunaan usaha kegiatan pertambangan yaitu Pasal 10 bahwa
39
Siti Kotijah, 2013, Pertambangan dan Penataan Ruang dalam UUPA,
https://www.kompasiana.com/kotijah/55283b13f17e61852c8b458b/pertambangan-dan-penataan-ruang-dalam-
uupa?page=all, diakes pada 9 November 2019 pukul 13.57 WIB
22
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi terdiri atas
pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi,
Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan alur laut. Penjelasan Pasal 10 huruf a
tersebut mengatur Kawasan pemanfaatan umum yang setara dengan kawasan
budidaya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, merupakan kawasan yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi,
sosial budaya, seperti kegiatan perikanan, prasarana perhubungan laut, industri
maritim, pariwisata, pemukiman, dan pertambangan.
g. Hukum Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara
Pembangunan ekonomi secara besar-besaran sejak tahun 1966 dilakukan
dengan cepat oleh pemerintah dengan mengeluarkan tiga undang- undang
sekaligus yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 jo Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1970 tentang Investasi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967
tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Pertambangan. Pembangunan kehutanan tidak hanya ditujukan semata-mata untuk
pembangunan sektor kehutanan saja, namun juga sektor non kehutanan. Syahadat
& Subarudi mengatakan bahwa pada prinsipnya kawasan hutan dapat diubah
peruntukannya mengikuti dinamika pembangunan nasional dan aspirasi
masyarakat dengan mengikuti peraturan yang berlaku.40
Kegiatan pengelolaan pada sektor kehutanan dan pertambangan dapat
berdampak secara nyata terhadap lingkungan, kondisi sosial ekonomi serta
kemungkinan juga budaya masyarakat yang ada disekitar wilayah kedua sektor
tersebut apabila tidak dikelola dan dilaksanakan dengan bijaksana dan kehatian-
hatian. Fakta menunjukkan bahwa operasi pertambangan muncul menjadi salah
satu penyebab langsung dan tidak langsung yang mangakibatkan deforestasi laju
yang tinggi . Beberapa pihak memperkirakan bahwa dampak pertambangan setara
dengan 10% pengrusakan hutan di negara ini . Menurut Contreras-Hermosilla &
Fay , disisi lain pendekatan dalam pengaturan tertib administrasi kekayaan hutan
40
Suprapto, 2019, “Mempertentangkan Atau Mempersatukan? Pembelajaran Dari Terbitnya Kebijakan Pinjam
Pakai Kawasan Hutan Di Indonesia” , Ecogreen Vol. 5 No. 1, April 2019, Fakultas Kehutanan, Universitas
Gadjah Mada, hlm.9-
23
nasional menghasilkan output yang sangat besar dan telah menyumbang kepada
perekonomian Indonesia. Apabila kita merujuk alternatif penyelesaian persoalan
yang disampaikan Kementerian ESDM dalam kajiannya, diperlukan alternatif
penyelesaian non teknis dan teknis. Penyelesaian non teknis menyangkut dengan
kebijakan sedangkan penyelesaian teknis menyangkut re-scoring terhadap
kawasan hutan. Wawancara dengan Kementerian ESDM juga memperkuat hal ini
bahwa kepastian kawasan hutan menjadi syarat mutlak untuk terbitnya IUP-IUPK
dari Kementerian ESDM. Konflik yang kemungkinan muncul antara kedua sektor
ini, diakomodir pemerintah dengan telah menyusun kebijakan mengenai
penggunaan kawasan hutan (PKH). Kebijakan ini secara garis besar merupakan
“lampu hijau” kepada sektor pertambangan untuk melakukan pemanfaatan di
kawasan hutan yang dituangkan dalam mekanisme Izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan (IPPKH).. Perjalanan panjang ini dimulai pada tahun 1967 dengan adanya
regulasi investasi, kehutanan dan pertambangan secara bersama-sama.41
Pedoman pinjam pakai pertama kali dicetuskan pada 1978 melalui pedoman
pinjam pakai tanah kawasan hutan. Tahun 1994, penggunaan kawasan hutan
untuk pertambangan menggunakan sistem perjanjian pinjam pakai kawasan hutan.
Momentum yang menarik terjadi pada tahun 2004 ketika pemerintah atas
persetujuan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 yang dilanjutkan dengan perubahan Undang-
undang kehutanan. Momentum pertama kali mengakibatkan diijinkannya 13
tambang beroperasi dalam kawasan hutan lindung. Peredebatan pun muncul sebab
adanya isu suap di dalamnya Tahun 2010, Pemerintah melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, mengeluarkan regulasi tentang penggunaan
kawasan hutan yang di dalamnya mengatur pinjam pakai kawasan hutan. Regulasi
kemudian diikuti pedoman pinjam pakai oleh Menteri Kehutanan dengan aturan
yang terbaru adalah Permenhut Nomor 27 Tahun 2018. Permenhut ini mengatur
perubahan permohonan IPKKH kepada Menteri melalui Direktur RPP, Ditjen
Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Menurut Harfiana, pada prakteknya
ternyata terjadi beberapa masalah pada penerapan IPPKH dalam pertambangan
41
Ibid., hlm.10.
24
seperti yang terjadi pada proyek Master Plan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)5, dimana terdapat sembilan lokasi
MP3EI yang berlokasi di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi terhambat karena
tersandung masalah IPPKH. Penggunaan kawasan hutan dapat bersifat komersil
dan non komersil, dan sebagai kompensasi pemberian IPPKH tersebut pemegang
izin akan dikenakan berbagai kewajiban yang dibedakan berdasar rasio dan
kondisi hutan disuatu wilayah. Kewajiban untuk pemegang izin yang berada di
wilayah provinsi yang memiliki rasio hutan di atas 30% akan dikenai kewajiban
lahan pengganti dengan rasio tertentu sesuai peraturan yang ada, sedangkan bagi
provinsi yang rasio kawasan hutannya kurang dari 30% akan dikenai kewajiban
membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) PKH6. 42
Persoalan yang muncul berkaitan dengan ketentuan pinjam pakai kawasan
hutan antara lain adalah adanya kewajiban menyediakan dan menyerahkan lahan
bukan kawasan hutan sebagai kompensasi atau pengganti. Beberapa kasus hal ini
ternyata sulit dipenuhi. Apalagi dengan adanya keterdesakan waktu pelaksanaan
kegiatan kontrak sektor lain. Kemandekan ini menimbulkan kerugian negara .
Kementerian Kehutanan bahkan juga sudah membatasi penggunaan kawasan
hutan untuk kegiatan non kehutanan yaitu hanya 80 persen dari permohonan
sebagai bagian dari upaya menurunkan emisi sebesar 26 persen pada tahun 2020.
Sebelum adanya sistem IPPKH, seluruh kegiatan non kehutanan di kawasan
hutan dilakukan dengan perjanjian pinjam pakai kawasan hutan. Namun sejak
diterapkannya IPPKH, semua pelaku kegiatan non kehutanan yang ada di
kawasan hutan wajib memiliki IPPKH karena kewenangan untuk menetapkan
kawasan hutan yang akan digunakan oleh sektor non kehutanan berada di bawah
Kementerian Kehutanan.43
C. Politik Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara
1. Hukum Masa Lalu
a. Sebelum Kemerdekaan
1) Masa Kekuasaan VOC (1608-1799)
42
Ibid.
43
Ibid., hlm.11.
25
44
Victor.I.Suripatty, Paradigma baru Hukum Pertambangan Indonesia Mengganti Sistem kontrak karya dalam
kegiatan Usaha Pertambangan Mineral, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.40
45
Ibid.
46
Ibid, hlm.45.
26
50
Ibid.
28
51
Martha Pigome, 2015, Politik Hukum Pertambangan Indonesia Dan Pengaruhnya Pada Pengelolaan
Lingkungan Hidup Di Era Otonomi Daerah, https://media.neliti.com/media/publications/4701-ID-politik-hukum-
pertambangan-indonesia-dan-pengaruhnya-pada-pengelolaan-lingkungan.pdf, diakses 14 September 2019 pukul
17.41 WIB.
52
Dunia Tambang, Pertambangan: Orde Baru VS Reformasi Ditinjau dari Undang-Undang yang Berlaku,
https://duniatambang.co.id/Berita/read/101/Pertambangan-Orde-Baru-VS-Reformasi-Ditinjau-dari-Undang-
Undang-yang-Berlaku, diakses pada 8 November 2019 pukul 06.26 WIB
53
Ibid.
29
54
Ibid.
55
Ibid.
56
Ibid.
30
59
Salim.H.S, Op.Cit., hlm.2.
60
Ibid, hlm.4-5.
61
Ibid., hlm.4.
32
RUU Minerba ini juga menuai kontroversi, draftnya, RUU ini juga menghapus
pasal korupsi pertambangan. Informasi soal hilangnya pasal korupsi dalam RUU
Minerba muncul dalam draft daftar inventarisasi masalah (DIM) "Pasal 165 yang
sebelumnya sudah ada di UU Minerba, itu hilang. Itu sejenis pasal untuk menjerat
pelaku korupsi. Pelaku korupsi, pejabat atau pihak lain yang menyalahgunakan lewat
62
Ibid., hlm.5-6.
63
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Komisi VII Terima 938 DIM RUU Minerba dari
Pemerintah,http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/26039/t/Komisi+VII+Terima+938+DIM+RUU+Minerba+dari+
Pemerintah, diakses pada 1 Oktober 2019.
33
“Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan
Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana
paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).”64
Peneliti Auriga Hendrik Siregar menilai pembahasan RUU Minerba secara kilat
memiliki kesan balas utang budi selama proses kampanye Pemilihan Presiden
(Pilpres). RUU Minerba dinilai mengakomodir pemegang Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Kontrak Karya (KK) yang masa
kontraknya akan habis. Apalagi, beberapa perusahaan tambang besar akan habis
kontraknya dalam waktu dekat. Dalam proses pembahasan sebelumnya, Hendrik
menyebutkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Minerba dikembalikan lantaran
belum adanya harmonisasi antar kementerian. Bahkan pada rapat terakhir,
Kementerian Perindustrian belum menandatangani DIM tersebut karena masalah
perizinan yang tumpang tindih antar kementerian. Koordinator Jaringan Advokasi
Tambang (Jatam) Merah Johansyah menilai substansi RUU Minerba cacat dari segi
komposisi. Menurutnya, RUU Minerba hanya memfasilitasi pengusaha dan industri
pertambangan. Pasal 115A menyebutkan, siapa pun, termasuk masyarakat terdampak,
yang mencoba menolak dan tidak setuju dianggap menghalangi proses pertambangan
bisa berhadapan dengan proses hukum alias dikriminalisasi. Jatam mencatat, dalam
tiga tahun terakhir terdapat 85 kasus warga yang dikriminalisasi karena
mempertahankan hak-haknya berkonflik dengan perusahaan tambang.65
D. Hak Menguasai Negara
1. Konsep Hak Menguasai Negara
Indonesia merupakan negara hukum, maka seluruh tindakan negara haruslah
mempunyai dasar kewenangan atau legitimasi. Prinsip negara hukum yang sedemikian
rupa disebut asas legalitas. Penguasaan negara (Indonesia) atas SDA memperoleh
64
Detik News, Kontroversi di Balik 4 RUU yang Pengesahannya Diminta Ditunda, https://news.detik.com/berita/d-
4718715/kontroversi-di-balik-4-ruu-yang-pengesahannya-diminta-ditunda/4, diakses pada 1 Oktober 2019
65
Rizky Alika, Bahas RUU Minerba, Presiden Jokowi dan DPR Dinilai Bohongi
Rakyat , https://katadata.co.id/berita/2019/09/26/bahas-ruu-minerba-presiden-jokowi-dan-dpr-dinilai-bohongi-
rakyat, diakes pada 1 Oktober 2019.
34
legitimasi berdasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kewenangan tersebut
diperoleh melalui dalam atribusi dalam konsep Hukum Administrasi Negara. Menurut
teori kedaulatan, Hak Menguasai Negara merupakan turunan dari teori kedaulatan
(sovereignty theory). Jean Bodin mengatakan bahwa kedaulatan merupakan atribut
maupun ciri khusus dan bahkan menjadi hal yang pokok bagi setiap kesatuan yang
berdaulat atau yang dikenal dengan sebutan negara. Kekuasaan negara tidak dapat
diabtasi oleh kekuasaan yang lainnya. Teori kedaulatan ini kemudian melahirkan teori
menguasai negara atas seluruh wilayah dalam kedaulatan negara yang bersangkutan
termasuk isinya. Berdasarkan kedaulatan tersebut maka harta kekayaan (property)
yang menjadi hak warga negara tergantung pada diskresi dari pemegang kedaulatan.66
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 apabila dihubungkan maka hak dan wewenang
dari negara tersebut haruslah diartikan dalam arti imperium dalam Hukum Romawi,
atau wewenang negara sebagai pengertian dalam Hukum Publik, bukan dalam arti
dimiliki atau dominium dalam Hukum Romawi atau hak milik sebagai pengertian
hukum perdata. Hal tersebut sejalan dengan konsepsi hubungan negara dengan tanah,
dimana negara merupakan personifikasi rakyat, bukan sebagai perorangan atau badan
kenegaraan.67 Hak negara adalah hak imperium, yaitu hak menguasai tanah atau
penggunaannya.68
Wewenang penguasaan oleh negara meliputi seluruh bumi, air dan ruang
angkasa di wilayah Negara Republik Indonesia, baik yang di atasnya sudah ada hak-
hak perorangan/keluarga. Penguasaan oleh negara sebab itu disebut dengan Hak
Menguasai Negara yang merupakan hubungan hukum antara negara sebagai subyek
dengan sumber daya alam sebagai obyek. Hubungan hukum tersebut melahirkan hak
untuk menguasai SDA dan sekaligus kewajiban bagi negara dalam penggunaan SDA
tersebut yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hak Menguasai Negara
merupakan instrumen, sedangkan dipergunakannya untuk kemakmuran rakyat
merupakan tujuan. Penguasaan oleh Negara tersebut tidaklah dalam arti memiliki
(eigensdaad), karena apabila hak penguasaan negara diartikan sebagai eigensdaad
66
Sunarjati Hartono , 1976, , Apakah The Rule of Law, Bandung, Alumni, hlm.48.
67
Ibid.
68
Iman Soetiknyo, 1990, Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia dengan Tanah yang Berdasarkan
Pancasila, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, hlm.20.
35
maka tidak akan ada jaminan bagi pencapaian tujuan hak menguasai tersebut, yaitu
sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.69
Menurut Bagir Manan, dalam hal penguasaan oleh negara tersebut, “negara
hanya melakukan bestuursdaad dan beheersdaad,” yang memberi kewenangan kepada
negara untuk mengatur, mengurus dan memelihara termasuk mengawasi. Hakekatnya
hak menguasai untuk mengurus atau beheerrecht itu bukanlah sejenis hak keperdataan,
melainkan suatu kewajiban sosial bagi orang (corpus) untuk menjaga dan mengurus,
yang dalam konteks Negara disebut kewajiban publik (publiek verplichting atau public
responsibility). Konsepsi Hak Menguasai Negara ini berbeda dengan asas domein
dalam konsepsi Hukum Tanah Kolonial (Belanda) yang diatur dalam Pasal 1 AB. Asas
domein menegaskan bahwa negara adalah sebagai organisasi kekuasaan publik
sekaligus sebagai badan hukum perdata yang dapat dilihat dalam model pemilikan
tanah oleh negara yaitu tanah domein negara. Berdasarkan asas domein Pemerintah
Kolonial Belanda menguasai tanah dan melakukan pengelolaan hutan dan tambang di
Hindia Belanda.70
2. Pengaturan Normatif Hak Menguasai Negara
Penguasan negara terhadap Sumber Daya Alam dapat dilihat dalam undang-
undang berikut ini. Penguasaan negara atas bumi, air dan ruang angkasa sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Pokok Agraria, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, Pasal 4 Undang-Undang Nomor Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi, Pasal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 4
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Keseluruhan
undang-undang tersebut menunjukkan bahwa Hak Menguasi Negara pada prinsipnya
memberi wewenang kepada negara untuk mengatur atau mengurus penguasaan dan
penggunaan SDA tersebut.71
69
Ibid. hlm.52.
70
Ibid, hlm.56.
71
Boedi Harsono, 1997, Sejarah Pembentukan Undang-undang pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta,
Djambatan, hlm.239.
36
74
Julius Sembiring, 2018, Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria, BHUMI: Jurnal Agraria dan
Pertanaha, hlm.120.
75
Ibid..
76
Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.183..
38
oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif).
Peranan pemerintah diperlukan untuk menjamin akses yang adil terhadap tanah
sehingga tanah tidak semata-mata digunakan sebagai komoditas dalam wewenang
regelen tersebut.. Maria SW. Sumardjono menyatakan bahwa kewenangan negara
untuk mengatur itu dibatasi oleh dua hal. Pertama, pembatasannya oleh UUD
sehingga pengaturan itu tidak boleh berakibat pada pelanggaran hak-hak dasar
manusia. Kedua, pembatasan yang bersifat substantif, yaitu menjawab pertanyaan
apakah peraturan yang dibuat itu relevan dengan tujuannya, yaitu untuk
terwujudnya sebesar-besar kemakmuran rakyat. Peraturan perundang-undangan
yang dibuat itu harus bersifat netral sekaligus berpihak kepada yang lemah, di lain
pihak negara wajib mengawasi pelaksanaan peraturan itu, dalam hal terjadi konflik
negara harus dapat menjadi wasit yang adil. Namun ketika negara menjadi pelaku,
maka ia harus tunduk pada peraturan yang dibuatnya sendiri.77
d) Melakukan Pengurusan (bestuursdaad)
Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah
dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan
(vergunning), lisensi (licentie) dan konsesi (concessie), dan melakukan
Pengelolaan (beheersdaad). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui
mekanisme pemilikan saham (shareholding) dan/atau melalui keterlibatan
langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik
Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui negara. Pemerintah
mendayagunakan penguasaannya atas sumber sumber kekayaan itu untuk
digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Konstruksi hukum agraria
kolonial Belanda, beheersrecht bukanlah sebuah hak keperdataan, melainkan
kewajiban publik Negara Belanda untuk mengurus dan merawat tanah milik
negara sebagai harta benda kekayaan (vermogens) tetapnya Negara Belanda.78
e) Melakukan Pengawasan (toezichthoudendaad)
Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudendaad) dilakukan oleh
negara. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan
penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang
77
Julius Sembiring. Op.Cit., hlm.121.
78
Ibid., hlm.122
39
sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai
seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan
haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut. Tanah-tanah yang tidak
dipunyai dengan sesuatu hak, kekuasaan negara atas tanah lebih luas dan penuh
daripada tanah-tanah yang sudah dilekati hak oleh seseorang atau badan hukum.
Negara lebih leluasa menjalankan kekuasaannya atas tanah yang masih berstatus tanah
negara. Ketiga, Hak Menguasai juga dibatasi oleh keberadaan hak-hak ulayat
masyarakat hukum adat yang secara faktual masih ada. Sekiranya kepentingan umum
menginginkan hak ulayat, maka perolehan tanahnya hanya dapat dilakukan setelah
masyarakat hukum adat pemegang hak tersebut didengar pendapatnya dalam arti
diajak bermusyawarah dan diberikan recognitie. Tegasnya, dalam keadaan biasa, tidak
bisa memperoleh tanah ulayat tanpa adanya persetujuan dari masyarakat hukum adat
pemegang Hak Ulayat tersebut.82
Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa dalam hal fungsi mengatur dari Hak
Menguasai Negara, maka wewenang untuk mengatur itu dibatasi oleh 2 (dua) hal.
Pertama, pembatasan oleh Undang-Undang Dasar; dan kedua, pembatasan yang
bersifat substantif. Pembatasan oleh UUD bermakna pengaturan oleh negara tidak
boleh berakibat pelanggaran hak-hak dasar manusia, tidak boleh bias terhadap
kepentingan suatu pihak, terlebih jika hal itu menimbulkan kerugian kepada pihak lain.
Seseorang yang harus melepaskan hak atas tanahnya berhak memperoleh perlindungan
hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanannya itu. Pembatasan yang bersifat
substantif terkait pertanyaan apakah peraturan yang dibuat relevan dengan tujuannya,
yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu kewenangan
pembuatan kebijaksanaan tidak dapat didelegasikan kepada organisasi swasta karena
hal yang diatur berkaitan dengan kesejahteraan umum, sarat nilai pelayanan, tapi dapat
terjadi konflik kepentingan karena pihak swasta merupakan bagian dari masyarakat
yang juga ikut diwakili kepentingannya..83
Wilayah Kerja Otoritas Pertambangan berwenang menerbitkan Izin Usaha dan
Kontrak Kerja Sama (KKS). Izin Usaha adalah izin yang diberikan kepada Badan
Usaha untuk melaksanakan Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga
82
Julius Sembiring, Op.Cit., hlm.125.
83
Ibid.,hlm.126
41
dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba. KKS adalah Kontrak Bagi Hasil
atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang
lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Di dalam Wilayah Pertambangan, Otoritas Pertambangan
berwenang menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Menurut Undang-Undang
Nomor. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,, IUP adalah izin
untuk melaksanakan usaha pertambangan. IUP terdiri dari 2 (dua) tahap, yaitu IUP
Eksplorasi yang meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi
kelayakan; dan IUP Operasi Produksi yang meliputi kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.84
84
Ibid.
85
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, 2018, Struktur Organisasi,
https://www.esdm.go.id/id/profil/struktur-organisasi, diakses 18 November 2019 Pukul.16.46 WIB
42
86
Ibid
87
Ibid.
43
mineral dan batubara dapat ditarik kesimpulan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
sehingga dapat dimaknai keberadaannya pun berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.88
2. Nilai Filosofi
Nilai filosofi hukum pertambangan mineral dan batubara Indonesia didasarkan
atas ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang mengatur bahwa bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat (3) menjadi doktrin
penguasaan negara dan sekaligus menjadi landasan filosofi dan yuridis pengelolaan
sumber daya alam di Indonesia. Pemanfaatan sumber daya secara optimal tersebut juga
merupakan salah satu dari tujuan negara sebagaimana yang disebutkan dalam alinea
ke-IV Pembukaan UUD 1945 yakni untuk memajukan kesejahteraan umum.89
3. Nilai Kekuasaan
Nilai kekuasaan beranjak dari Pasal 2 UUPA yang mengatur Hak Menguasai
Negara yang merupakan hubungan hukum antara negara sebagai subyek dengan
sumber daya alam sebagai obyek. Hubungan hukum tersebut melahirkan hak untuk
menguasai SDA dan sekaligus kewajiban bagi negara dalam penggunaan SDA
tersebut yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Perkembangannya konsep
penguasaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA tersebut
mengalami perluasan dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012 bahwa Hak Menguasai Negara bukan dalam makna negara memiliki,
tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan
pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan
pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad). Hak
Menguasai Negara juga dibatasi oleh hak-hak seseorang dan badan hukum. Penjelasan
Umum UUPA menyatakan bahwa kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah
dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai
seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan
haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut.90
4. Nilai Ekonomi
88
Salim HS, Op.Cit., hlm.43.
89
Ibid., hlm.42.
90
Ibid., hlm.45
44
G. Invetaris Masalah
Hemat penulis yang menjadi permasalahan dalam sistem hukum pertambangan mineral
dan batubara di Indonesia akan diuraikan sebagai berikut
1. Bagaimana permasalahan perijinan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia
saat ini ?
2. Bagaimana kesesuaian penetapan wilayah Pertambangan dengan tata ruang nasional?
3. Bagaimana peran sistem hukum pertambangan mineral dan batubara dalam
pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat ?
4. Apakah kawasan hutan lindung dapat dijadikan Wilayah Pertambangan?
5. Bagaimana implementasi reklamasi pascatambang mineral dan batubara saat ini ?
6. Bagaimana perkembangan Mafia Tambang Mineral dan Batubara di Indonesia saat
ini?
7. Apa saja manfaat dan kerugian yang diderita masyarakat akibat adanya kegiatan
usaha pertambangan mineral dan batubara ?
8. Bagaimana kerugian yang diderita negara akibat adanya kegiatan usaha
pertambangan mineral dan batubara?
9. Bagaimana permasalahan dalam RUU Minerba yang menjadi perdebatan di Indonesia
akhir-akhir ini?
H. Pembahasan
1. Permasalahan Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia
Pasca reformasi, pertambangan mineral dan batubara di Indonesia menurun
diakibatkan adanya perubahan pada sistem yang diterapkan. Perubahan yang dilakukan
yaitu dari sistem pemerintahan yang sebelumnya sentralistik menjadi desentralistik.
Hal ini didasari dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
kemudian diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan terakhir
menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan
kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Peraturan
Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001, yang merupakan perubahan kedua Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Pokok
Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 diatur bahwa pemda
46
95
Ibid. hlm.161.
48
Clear and Clean atau IUP Non Clear and Clean, hanya didasarkan pada tumpukan
kertas data administratif.96
2. Kesesuaian Penetapan Wilayah Pertambangan dengan Tata Ruang Nasional
Putusan Mahkamah Konstitusi No.10/PUU-X/2012 telah mengabulkan
sebagian gugatan Bupati Kabupaten Kutai Timur Isran Noor dalam uji materi Undang
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. MK
mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Minerba. Pasal-pasal
yang tidak dikabulkan adalah Pasal 1 angka 29 dan Pasal 171 ayat 1. Intinya, putusan
MK memutuskan Wilayah Pertambangan (WP) ditetapkan oleh pemerintah pusat,
setelah ditentukan oleh pemda dan berkonsultasi dengan DPR. Penetapan WP, WUP,
WIUP itu ditentukan oleh daerah, dan baru kemudian secara berjenjang berdasarkan
pendekatan RTRW itu baru diputuskan oleh pemerintah pusat setelah berkonsultasi
dengan DPR. Wilayah Pertambangan (WP) yang dimaksud dalam undang-undang
minerba adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batu bara dan tidak
terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata
ruang nasional. Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat
(WPR), Wilayah Pencadangan Negara (WPN) merupakan bagian dari WP. Wilayah
Izin Usaha Pertambangan (WIUP) adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang
IUP.97
Keputusan tersebut berakibat pada kewenangan menetapkan wilayah
pertambangan, wilayah usaha pertambangan, dan luas serta batas wilayah izin usaha
pertambangan mineral logam dan batubara kini di tangan pemerintah daerah.
Pemerintah pusat masih bisa membatalkan penetapan itu apabila tidak sesuai dengan
rencana tata ruang dan wilayah serta tumpang-tindih dengan izin yang sudah ada
amar putusan, wilayah pertambangan (WP) ditetapkan oleh pemerintah daerah dan
dikoordinasikan dengan DPR. Undang-Undang Minerba sebelumnya mengatur bahwa
WP ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan
DPR. MK juga menyatakan, penetapan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP)
96
Ibid.
97
Aditya Revianur, 2012, MK: Pemda Berwenang Tetapkan Wilayah Pertambangan,
https://ekonomi.kompas.com/read/2012/11/23/08171458/MK.Pemda.Berwenang.Tetapkan.Wilayah.Pertambangan ,
diakes pada 9 November 2019 pukul 1.51 WIB
49
dilakukan pemerintah setelah ditentukan oleh pemerintah daerah. Hal itu juga harus
disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Mahfud menjelaskan, luas dan batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP)
mineral logam dan batubara ditetapkan Pemerintah. Penetapan itu diberikan setalah
ada berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh
Pemerintah.. Putusan MK tersebut, terangnya, adalah hal yang baik mencegah
pemerintahan sentralistik.98
3. Permasalahan Pemenuhan Kebutuhan Listrik Masyarakat
Penggunanaan batubara di Indonesia adalah untuk ekspor dan domestik.
Perizinan batubara terbilang sangat mudah. Keadaan ini, terlihat dari statistik izin
eksplorasi batubara sebanyak 40,21 persen dari keseluruhan izin tambang di Indonesia.
Batubara di Indonesia dipakai untuk beberapa sasaran utama, seperti listrik dan
industri semen. Sejak jaman kolonial, lebih dari 50% produksi batubara telah diekspor
ke luar Indonesia. Cadangan batubara Indonesia yang tidak sebanding dengan
cadangan batubara di negara lain di dunia (0,6%), tetapi tingkat ekspor yang semakin
tinggi setiap tahunnya. Batubara konsumsi dalam negeri hanya berkisar 20-25 persen.
Mayoritas 70-77 persen itu diekspor. Jika pemerintah masih memaksakan
memprioritaskan batubara sebagai ekspor, dalam 10-20 tahun mendatang
perekonomian Indonesia akan kolaps. Hal ini harus menjadi perhatian secara serius,
karena cadangan batubara di Indonesia sebagai penunjang energi dan ekonomi akan
habis dalam waktu 100-an tahun kedepan. Hingga 2020, pemerintah Indonesia
menargetkan penggunaan batubara pembangkit listrik hingga 64%, sedangkan energi
terbarukan sangat kecil. Gas 17 persen, gheotermal 12 persen, minyak 1 persen dan
hydro 6 persen.99
Pemanfaatan tambang batubara juga dipergunakan untuk industri PLTU,
mutalurgi, semen, tekstil, pupuk, dan pulp dalam negeri. Negara mendapatkan manfaat
langsung berupa pajak, penciptaan lapangan kerja dan program pengentasan
98
Ibid.
99
Irsan dan Meria Utama, Kajian Filsafat Ilmu terhadap Pertambangan Batubara sebagai Upaya Meningkatkan
Kesejahteraan Rakyat Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 23 Oktober 2016: 633 – 651, Fakultas
Hukum Universitas Sriwijaya, hlm.21.
50
102
Ibid.
52
103
Muhammmad Muhdar, Aspek Hukum Reklemasi Pertambangan Batubara pada Kawasan Hutan di Kalimantan
Timur, 2016, Departemen Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam, Fakultas Hukum Universitas
Mulawarman, Samarinda, hlm.21.
104
Ibid.
53
politisi untuk mendapatkan modal politik secara cepat dalam Pemilu ataupun
Pilkada.105
Demokrasi Indonesia yang telah menjadi sebuah industry. Industri mendorong
perebutan dukungan dari pihak pemodal atau yang sering disebut investor. Perwujudan
demokrasi di Indonesia dalam bentuk Pilkda, Pilleg dan Pilpres merupakan momentum
membangun komitmen kepada investor khususnya tambang dan energi. Visi tersebut
hanya mengedepankan langgengnya kekuasaan, kemenangan dengan segala cara
digunakan termasuk penggunanan uang untuk mendapatkan dukungan, secara
langsung maupun tidak langsung penjarahan SDA untuk kepentingan pembiayaan
politik terjadi melalui.
a) Kedudukan Politik
Posisi sebagai pimpinan mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur hingga Bupati
punya peran penting berlangsungnya penjarahan. Kekuasaan yang akan diperoleh dan
dalam upaya mempertahankannya, pemberian izin menjadi komitmen untuk
mendapatkan sokongan modal. Kedudukan atau jabatan politik sebagai pimpinan,
sangat membuka kemungkinan yang sangat besar menggunakan kewenangan untuk
mengobral SDA. Era otonomi kewenangan perizinan ada di kepala daerah terutama
Bupati. Inilah sebabnya saat era otonomi daerah izin pertambangan seperti tak henti-
hentinya dikeluarkan. Undang-Undang Minerba muncul hanya semakin memperparah,
sejak Undang-Undang ini berlaku jumlahnya ijin melonjak pesat, di akhir 2009,
jumlah izin tambang ada 2.559 izin, hanya dalam tempo 4 tahun jumlah telah
mencapai 11.625 izin.106
b) Produk Kebijakan
Produk-produk hukum yang diterbitkan secara tidak demokratis. Kebijakan ini
memungkinkan komodifikasi hutan (kawasan lindung) untuk konsesi tambang hingga
dukungan finansial internasional yang pada intinya menjaga kestabilan aliran bahan
mentah. Ruang hidup dan ruang publik yang sengaja diprivatisasi untuk menjamin
eksploitasi tetap berjalan. Undang-Undang Minerba adalah produk hukum yang paling
105
JATAM, 2015, Negara Absen Ketika Kejahatan Tambang Merajalela, Presiden Harus Berpihak Pada
Keselamatan Rakyat, http://www.jatam.org/wp-content/uploads/2015/05/Kertas-Posisi-Hari-Anti-Tambang-
2015.pdf, diakses pada 06.33.
106
Ibid.
54
107
Ibid.
55
diperoleh dari dukungan politik yang mempunyai kekuatan modal, berujung pada
bagi-bagi SDA tambang dan energi. Dukungan politik itu bisa berasal dari partai
sendiri atau dari partai yang berbeda. Apalagi jika dalam tubuh partai yang
bersangkutan ada pengusaha tambangnya. Sehingga pengusaha tersebut dapat
menggunakan kendaraan partai dalam proses pemilihan untuk memperoleh
keuntungannya.108
d) Investasi Langsung
Para pengusaha saat ini sudah tidak malu-malu lagi untuk terlibat langsung
dalam dunia politik. Selain mendapat privilage untuk mengakses informasi, dan yang
terpenting adalah jaminan politik yang didapat, karena itu adalah hal penting dalam
dunia usaha di Indonesia. Orang-orang seperti ini tak hanya soal posisi politik yang
dikejar. Pengaruh dan wewenangnya akan memudahkan memperoleh yang diinginkan.
Tak heran motif ekonomi lebih mayoritas ketimbang soal-soal yang berkaitan dengan
urusan rakyat.109
e) Kroni
Potret yang paling kita sering lihat dan dengar adanya korupsi secara ber-
jamah. Modus ini juga berlangsung dalam upaya mengeruk keuntungan di SDA.
Perkawanan antara pengusaha dan pengurus negara sering juga disebut
perselingkuhan. Perselingkuhan ini tak lepas dari hubungan perkawanan dalam upaya
saling menguntungkan. Pengurus negara atau legislatif dengan kewenagan akan
memaksakan sebuah kebijakan untuk kepentingan kroninya. 110
f) Jaminan Politik dan keamanan
Apabila di Indonesia para investor telah mendapatkan jaminan politik, diyakini
rintangan dihadapi akan dengan mudah terlewati. Pengurus negara dan politisi diduga
menggunakan menyalah gunakan kewenangannya untuk menekan kelompok tertentu,
khususnya rakyat untuk menerima investasi, jika ada perlawanan dari rakyat. Tak
kalah penting adalah jaminan keamanan, kadangkala dengan kewenangannya pengurus
108
Ibid.
109
Ibid.
110
Ibid.
56
113
Ibid.
114
Ibid.
58
115
Adrian Sutedi, Op.Cit. hlm.115.
116
Merdeka, Potensi Kerugian Negara Rp 1,3 T Per Tahun, KPK Tinjau Tambang Batu Bara di Kaltim ,
https://www.merdeka.com/peristiwa/potensi-kerugian-negara-rp-13-t-per-tahun-kpk-tinjau-tambang-batu-bara-di-
kalt.html, diakses 15 September 2019 pukul 11.52 WIB.
59
kesalahan. Undang-undang minerba yang baru ini juga berpotensi kepada obral
perijinan sehingga peluang melakukan korupsi sangatlah besar. Korupsi dapat timbul
pada pra-perizinan maupun pasca-perijinan. Korupsi pra-perizinan yang biasanya
dilakukan melalu sogokan maupun suap. Korupsi pasca-perzinan bias melalui
pembayaran pajak, iuran , royalty yang seharusnya diterima pemerintah atau daerah,
dalam hal ini sering terjadi manipulasi volume hasil tambang sehingga setoran ke khas
negara menjadi berkurang.118
Konstuksi sistem hukum pertambangan mineral dan batubara setidaknya
terdapat 5 problematika hukum berdasarkan yang penulis dapatkan dari
hukumonline.com, yang secara mudah bisa diidentifikasi dari keberadaan regulasi
tentang Mineral dan batubara Problem pertama, terkait hilangnya kata pemurnian
dalam Pasal 112 C ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017. Aktivitas
hilirisasi sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 2009,
Pasal 102 dan Pasal 103 mewajibkan peningkatan nilai tambah sumber daya mineral
dan/atau batubara dengan cara melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Namun, dalam Pasal 112 C angka 4 berbunyi
“ Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang
melakukan kegiatan penambangan dan telah melakukan kegiatan pengolahan,
dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu”. 119
Ketiadaan kata pemurnian setelah kata pengolahan dalam pasal 112 C angka 4
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tersebut merupakan bentuk
penghilangan terhadap satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan pemegang
IUP/IUPK. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengatur bahwa tidak ada 1 pun
kata pengolahan yang berdiri sendiri, selalu bersanding dengan pemurnian. Sehingga
hal ini ketentuan ini melanggar pasal 102 dan 103 ayat (1). Problem kedua, soal
bentuk subdelegasi pengaturan peningkatan nilai tambah ke dari Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 kepada Permen ESDM. Pasal 112 C angka 5 Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 menyatakan
118
Adrian Sutedi, Op.Cit. hlm.116.
119
Hukum Online, 2017, Membongkar Kerancuan Regulasi Minerba di Indonesia,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58cf8ccc54b2d/membongkar-kerancuan-regulasi-minerba-di-
indonesia/, diakses 9 November 2019 pukul 13.01 WIB.
61
Hal ini bermaksud untuk memberikan izin ekspor mineral logam sepanjang
pemegang Kontrak Karya telah berubah menjadi IUPK.
Jika dibandingkan dengan tata cara terbitnya IUPK sebagaimana yang diatur Pasal 13,
Pasal 27-Pasal 32, dan Pasal 74–Pasal 83 Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 2009
tentang Mineral dan batubara. IUPK sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang
Nomor. 4 Tahun 2009, sebenarnya adalah izin usaha yang diberikan berasal dari
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). WIUPK ini berasal dari
Wilayah Pencadangan Negara (WPN).126
123
Ibid.
124
Ibid.
125
Ibid.
126
Ibid.
63
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibahas. Kesimpulan dari
makalah ini bahwa sistem hukum pertambangan mineral dan batubara belum
berjalan dengan baik dikarenakan unsur-unsur hukum serta lingkungan dalam
pertambangan mineral dan batubara sebagai suatu sistem masih belum berorientasi
pada kesejahteraan masyarakat. Sistem hukum pertambangan mineral dan batubara
belum dapat mencapai tujuan dalam sistem itu sendiri yaitu untuk sebesar-
sebesarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat berdasarkan keadilan sesuai
amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
B. Saran
1. Pemerintah lebih meningkatkan pengawasan terhadap perizinan maupun
ekspor komoditas tambang mineral dan batubara
2. Pelaku tambang untuk memperhatikan kesejahteraan masyarakat maupun
negara
64
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Boedi Harsono, 1997, Sejarah Pembentukan Undang-undang pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
Iman Soetiknyo, 1990, Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia dengan Tanah yang
Berdasarkan Pancasila, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Salim.H.S, 2012, Hukum Pertembangan Mineral dan Batubara, Sinar Grafika, Jakarta.
JURNAL
65
Ana Sofa Yuking, 2011,”Kepastian Hukum Dalam Undang-Undang Minerba”, Law Review
Volume XI No. 1 - Juli 2011
Hayatul Ismi, 2014, “Hukum Hak Atas Tanah Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Mineral
Dan Batubara“ , Volume 4 No. 2 Februari-Juli 2014 Jurnal Ilmu, Fakultas Hukum
Universitas Riau, Pekanbaru
Irsan dan Meria Utama, 2016, “Kajian Filsafat Ilmu terhadap Pertambangan Batubara sebagai
Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat Indonesia”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum
No. 4 Vol. 23 Oktober 2016: 633 – 651, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.
Julius Sembiring, 2018, “Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria, BHUMI”, Jurnal
Agraria dan Pertanahan.
Nazaruddin Lathif , 2017, “Tinjauan Yuridis Tentang Kewenangan Pemerintah Provinsi Dalam
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Batubara” , Jurnal Panorama Hukum, Vol. 2 No. 2
Desember 2017 Issn : 2527-6654.
Tutut Ferdiana Mahita, 2017, “Rekonstruksi Kebijakan Publik Tentang Izin Pinjam Pakai
Kawasan Hutan Yang Berbasis Sustainable Development” , Diponegoro Law Journal
Volume 6, Nomor 3, Tahun 2017.
MEDIA ONLINE
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Komisi VII Terima 938 DIM RUU Minerba
dari
Pemerintah,http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/26039/t/Komisi+VII+Terima+938+DIM
+RUU+Minerba+dari+Pemerintah, diakses pada 1 Oktober 2019 pukul 16.00 WIB.
66
Dunia Tambang, Pertambangan: Orde Baru VS Reformasi Ditinjau dari Undang-Undang yang
Berlaku, https://duniatambang.co.id/Berita/read/101/Pertambangan-Orde-Baru-VS-
Reformasi-Ditinjau-dari-Undang-Undang-yang-Berlaku, diakses pada 8 November 2019
pukul 06.26 WIB.
https://ekonomi.kompas.com/read/2012/11/23/08171458/
MK.Pemda.Berwenang.Tetapkan.Wilayah.Pertambangan, diakes pada 9 November 2019
pukul 1.51 WIB.
JATAM, 2015, Negara Absen Ketika Kejahatan Tambang Merajalela, Presiden Harus Berpihak
Pada Keselamatan Rakyat, http://www.jatam.org/wp-content/uploads/2015/05/Kertas-
Posisi-Hari-Anti-Tambang-2015.pdf, diakses pada 06.33.
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, 2018, Struktur Organisasi,
https://www.esdm.go.id/id/profil/struktur-organisasi, diakses 18 November 2019
Pukul.16.46 WIB
Martha Pigome, 2015, Politik Hukum Pertambangan Indonesia Dan Pengaruhnya Pada
Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Era Otonomi Daerah,
https://media.neliti.com/media/publications/4701-ID-politik-hukum-pertambangan-
indonesia-dan-pengaruhnya-pada-pengelolaan-lingkungan.pdf, diakses 14 September
2019 pukul 17.41 WIB.
Merdeka, Potensi Kerugian Negara Rp 1,3 T Per Tahun, KPK Tinjau Tambang Batu Bara di
Kaltim , https://www.merdeka.com/peristiwa/potensi-kerugian-negara-rp-13-t-per-tahun-
kpk-tinjau-tambang-batu-bara-di-kalt.html, diakses 15 September 2019 pukul 11.52 WIB.
Rizky Alika, Bahas RUU Minerba, Presiden Jokowi dan DPR Dinilai Bohongi
Rakyat , https://katadata.co.id/berita/2019/09/26/bahas-ruu-minerba-presiden-jokowi-
dan-dpr-dinilai-bohongi-rakyat, diakes pada 1 Oktober 2019.
Tribun News, Kerugian Negara Mencapai Rp 1,2 T Dari Batu Bara, Ketua KPK Turun Langsung
Ke Sungai Mahakam, https://www.tribunnews.com/regional/2018/11/15/kerugian-negara-
mencapai-rp-12-t-dari-batu-bara-ketua-kpk-turun-langsung-ke-sungai-mahakam?
page=2., diakses 15 September 2019 pukul 12.03 WIB.
67