Anda di halaman 1dari 67

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan negara di dunia yang mempunyai banyak sumber daya alam
(natural resources). Sumber daya alam itu ada yang dapat diperbaharui (renewable)
maupun tidak dapat diperbaharui (unrenewable). Sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui tersebut seperti emas, tembaga, perak, batubara, intan, mangan, dan lain-
lainnya. Sumber daya alam tersebut dalam peraturan perundang-undangan dan
kepustakaan disebut dengan mineral dan batubara.1
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia mengamanatkan
bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan
serta diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Perekonomian
dilaksanakan berdasarkan pancasila sebagaimana yang diatur dalam sila kelima yakni
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dalam mencapai sistem ekonomi pancasila.
Pelaksanaannya diserahkan kepada negara yang telah diberi hak menguasai cabang-
cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yaitu Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.2
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batuba,
konsideran menimbang bagian (a) mengatur bahwa bahwa mineral dan batubara yang
terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam
tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Kekayaan alam ini mempunyai
peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Pengelolaannya harus
dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian
nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara
berkeadilan.3
1
Salim.H.S, 2012, Hukum Pertembangan Mineral dan Batubara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.36.
2
Ibid., hlm.41.
3
Ibid., hlm.42.
2

Pertambangan mineral dan batubara merupakan salah satu sektor yang dapat
memberi pemasukkan kepada negara serta memberi manfaat kepada masyarakat apabila
dikelola dengan baik. Negara dalam mengelolanya diberi hak menguasai atas seluruh
kekayaan alam yaitu mempunyai wewenang dalam pengaturan, pengurusan, pengawasan,
dan pengelolaan. Pemerintah berwenang dalam pengaturan berkaitan dengan proses
legislasi bersama dengan DPR RI membentuk peraturan perundang-undangan terkait
pertambangan mineral dan batubara. Pengurusan yang dilakukan pemerintah dapat
berupa pemberian izin maupun pencabutan izin terhadap pemegang Izin Pertambangan
Rakyat (IPR), Izin Usaha pertambangan (IUP), maupun Izin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK). Pengawasan dimana pemerintah mengawasi apakah pelaksaan
pertambangan mineral dan batubara sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
sedangkan pengelolaan terkait kepemilikan saham dan manajemen dalam BUMN,
BUMD, dan badan-badan hukum pemerintah.4
Sistem hukum pertambangan mineral dan batubara terdiri dari unsur-unsur yang
saling berinteraksi dan bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan dan apabila satu unsur
saja tidak berjalan dengan baik maka akan mengganggu sistem itu secara keseluruhan.
Unsur-Unsur tersebut meliputi hal tertentu, struktur, serta tujuan sistem hukum. Faktanya
unsur-unsur sistem hukum tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya karena berbagai
ketimpangan dan ketidakkonsistenan dalam sistem hukum serta tidak berorientasi pada
tujuan sehingga menghambat sistem hukum tersebut secara keseluruhan. Sistem hukum
pertambangan mineral dan batubara sangat dipengaruhi oleh politik baik yang berasal
dari kompromi politik maupun dominasi dari kekuatan politik yang kuat. Politik memiliki
peranan cukup penting apakah memperbaharui hukum yang ada atau mengganti dengan
hukum yang baru. Sistem hukum politik pertambangan mineral dan batubara telah
diintervensi oleh politik yang didasarkan pada kepentingan pihak-pihak yang kurang
bertanggungjawab. Berbagai permasalahanpun kerap muncul karena sistem hukum
tersebut menjadi seperti pedang bermata dua. Oleh sebab itu penulis tertarik menulis
politik sistem hukum pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

4
Ibid., hlm.17.
3

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah, maka rumusan masalahnya adalah


bagaimanakah sistem hukum pertambangan mineral dan batubara di Indonesia beserta
berbagai permasalahannya.

C. Tujuan
Berdasarkan pemaparan rumusan masalah, maka penulisan itu bertujuan untuk
mengetahui sistem hukum pertambangan mineral dan batubara di Indonesia beserta
berbagai permasalahannya.

BAB II
ISI
4

A. Definisi Sistem Hukum Pertambangan Mineral dan Batu Bara


Sistem hukum menurut Prof.Soedikno Mertokusumo merupakan satu kesatuan
yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama
untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.5 Berdasarkan definisi sistem hukum yang telah
dipaparkan, maka sistem hukum pertambangan mineral dan batubara adalah kesatuan
norma yang terdiri dari unsur-unsur yang mengatur sebagian atau seluruh tahapan
kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara
yang rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan
pascatambang, yang bekerjanya satu dengan yang lain dipengaruhi oleh lingkungan untuk
mencapai tujuan umum maupun tujuan khusus. Tujuan umum sebagaimana yang
diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yakni untuk sebesar-besarnya keamkmuran
rakyat. Tujuan khusus sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yakni
a. Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan
secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;
b. Menjamin manfat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan hidup;
c. Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan haku dan/atau sebagai
sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;
d. Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu
bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;
e. Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan
lapangan kerja untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat; dan
f. Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan
mineral dan batubara.

5
Soedikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberti, Yogyakarta, hlm.122.
5

B. Unsur-Unsur Sistem Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara


1. Hal Tertentu
Objek dari sistem hukum pertambangan mineral dan batu bara adalah
berkaitan dengan mineral dan batubara.6 Hal yang berkaitan dengan mineral dan
batubara meliputi hubungan antara negara dengan mineral dan batubara serta
hubungan antara negara dengan subjek hukum. Hubungan antara negara dengan
mineral dan batubara didasarkan pada landasan konstitusional dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) yang mengatur
bawah bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Nomenklatur
dikuasai memiliki arti dari hak penguasaan negara atas seluruh kekayaan alam
dimana negara berdaulat atas sumber daya alam. Kekayaan alam milik rakyat
Indonesia dikuasakan kepada negara yang diamanatkan untuk mengelola dengan baik
untuk mencapai tujuan dari bangsa Indonesia yaitu untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.7
Hubungan antara negara dengan mineral dan batubara adalah negara
mempunyai kewenangan untuk mengatur pengelolaan mineral dan batubara. Wujud
pengaturannya negara membentuk berbagai peraturan perundang-undangan mengenai
mineral dan batubara, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan berbagai aturan pelaksananya yang
nanti akan dibahas lebih lanjut pada tulisan ini. 8 Landasan filosofisnya terdapat dalam
konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara bahwa mineral dan batubara merupakan kekayaan alam tak
terbaharukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan
penting dalam memenuhi hajad hidup orang banyak, oleh sebab itu pengelolaannya
harus dikuasai negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian
nasional dalam usaha mencapai sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat secara berkeadilan.9

6
Salim.H.S, Op.Cit., hlm.21.
7
Adrian Sutedi, 2012, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.24.
8
Salim.H.S, Op.Cit., hlm.16.
9
Ibid.
6

Hubungan antara negara dengan subjek hukum dalam sistem hukum


pertambangan mineral dan batubara merupakan suatu kondisi dimana kegiatan
pertambangan tidak hanya dilakukan oleh negara saja, namun memberikan izin
kepada subjek hukum untuk melakukan kegiatan pertambangan mineral dan
batubara.10 Subjek hukum dibagi menjadi perorangan dan badan usaha. Badan usaha
dapat berbadan hukum seperti PT, Koperasi, BUMN, BUMD, dan yayasan maupun
badan usaha yang tidak berbadan hukum seperti CV dan firma.11 Hubungan antara
negara dengan subjek hukum terjelma atas pemberi izin maupun penerima izin.
Pemberi izin disini adalah pemerintah maupun pemerintah derah. Pemerintah pusat
sesuai ketentuan Pasal 1 angka (36) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Mineral dan Batubara adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara. Pemerintah daerah sesuai ketentuan Pasal 1 angka
(37) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara adalah
gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah lainnya sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kedudukan pemberi izin memepunyai kedudukan lebih tinggi dari pada
pemegang izin baik Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha Pertambangan
(IUP), maupun Izin Usaha Pertembangan Khusus (IUPK). Oleh sebab itu maka
dikatakan hukum pertambangan mineral dan batubara bersifat adminsitratif.
Pemerintah memberikan izin didasarkan pada syarat-syarat yang telah dikemukakan
pada peraturan perundang-undangan, apabila syarat-syarat itu dipenuhi maka
pemerintah secara sepihak dapat memberikan izin secara sepihak kepada pemegang
izin. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka pemerintah dapat menolak
izin yang diajukan oleh calon pemegang izin. Pemerintah pun dapat membatalkan
secara sepihak segala bentuk izin baik berupa IPR, IUP, IUPK yang telah dikeluarkan
karena tidak mematuh dan mentaati segala ketentuan yang terdapat dalam substansi
izin dan peraturan perundang-undangan.12

2. Tujuan
10
Ibid.
11
Ibid.,hlm.20.
12
Ibid.,hlm.21.
7

a. Tujuan Umum
Tujuan umum sistem hukum pertambangan mineral dan batubara berangkat
dari landasan filosofisnya sebagai pandangan atau sikap batin masyarakat
terhadap pelaksanaan kegiatan pertambangan mineral dan batubara. Sikap batin
atau pandangan bangsa Indonesia terhadap pelaksanaan kegiatan pertambangan
mineral dan batubara diatur dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945.13
Pembukaan UUD 1945 menegaskan tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Tujuan untuk memajukan kesejahteraan
rakyat tersebut maka segala sumber daya alam yang ada di Indonesia harus
diupayakan dan dimanfaatkan secara optimal seperti yang diatur dalam Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi , air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. 14
b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam pengelolaan mineral dan batubara telah dijelaskan
pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara yakni
a. Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha
pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;
b. Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan hidup;
c. Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau
sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;
d. Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih
mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;
e. Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta
menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan
13
Ibid., hlm.41.
14
Ibid., hlm.42.
8

f. Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha


pertambangan mineral dan batubara.15
Hemat penulis, keenam tujuan tersebut sudah memenuhi tiga tujuan
khusus dalam suatu sistem hukum baik jaminan pelaku, jaminan produksi
dengan harga yang pantas, dan jaminan lingkungan hidup. Jaminan pada
pelaku terlihat pada butir (a) dan (f). Jaminan terhadap lingkungan
hidup terlihat pada butir (b), dan jaminan terhadap produksi dengan
harga yang pantas ada pada butir (c), (d) dan (e). Tujuan dalam sistem
hukum pertambangan dan mineral ini dalam norma konkrit memang telah
dicantumkan secara baik dalam normanya, akan tetapi implementasinya masih
bermasalah bahkan berlarut-larut hingga saat ini yang disebabkan oleh
ketidakkonsistenan sistem hukum itu sendiri.

c. Hubungan dengan Tujuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang


Energi
Tujuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara adalah menjamin tersedianya mineral dan
batubara sebagai bahan baku dan sebagai sumber energi. Konsideran mengingat
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi bahwa cadangan sumber
daya energi tak terbarukan adalah terbatas sehingga perlu adanya kegiatan
penganekaragaman sumber daya energi agar ketersediaan energi terjamin .
Tujuan khusus dalam Undang-Undang Pertambangan Minerba berkorelasi
dengan tujuan khusus dengan Undang-Undang. Undang-Undang Energi
mengamanatkan bahwa mineral dan batubara harus dijamin kesediannya
sebagaimana tindak lanjut dari Undang-Undang Pertambangan Mineral dan
Batubara yang diatur dalam Pasal 2 yaitu:
a. Tercapainya kemandirian pengelolaan energi;
b. Terjaminnya ketersediaan energi dalam negeri, baik dari sumber di dalam
negeri maupun di luar negeri

15
Ibid
9

c. Tersedianya sumber energi dari dalam negeri dan/atau luar negeri sebagaimana
dimaksud pada huruf
d. Untuk pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri dan pemenuhan kebutuhan
bahan baku industri dalam negeri serta peningkatan devisa negara;
e. Terjaminnya pengelolaan sumber daya energi secara optimal, terpadu, dan
berkelanjutan
f. Termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor
g. Tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang
tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata dengan cara menyediakan
bantuan untuk meningkatkan ketersediaan energi kepada masyarakat tidak
mampu, membangun infrastruktur energi untuk daerah belum berkembang
sehingga dapat mengurangi disparitas antar daerah;
h. Tercapainya pengembangan kemampuan industri energi dan jasa energi dalam
negeri agar mandiri dan meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia16

3. Struktur
Struktur merupakan tatanan atau hubungan khusus antara unsur-unsur yang
berada di dalam suatu sistem dengan unsur-unsur dari lingkungan di luar sistem. 17
Sistem hukum pertambangan mineral dan batubara terdiri dari
a. Hukum Perijinan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
16
Bisnis Indonesia, 2018, Perpajakan Sektor Pertambangan Mineral di Indonesia,
https://www.rsm.global/indonesia/id/insights/artikel/perpajakan-sektor-pertambangan-mineral-di-indonesia
diakses 25 Oktober 2019 pukul 06.16 WIB
17
Soedikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm.123.
10

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara, muncul mendasari adanya pergeseran pola hubungan antara Pemerintah
dengan pelaku usaha pertambangan. Hubungan Pemerintah dengan pelaku usaha
pertambangan selama ini merupakan hubungan kontraktual, dimana keduanya
sebagai subjek hukum yang melakukan perbuatan perdata dan memiliki
kedudukan yang sama. Regulasi tentang minerba ini mengatur Pemerintah
bertindak selaku pemberi izin pengusahaan pertambangan mineral dan batubara
sehingga posisi para pihak dalam regulasi ini kedudukannya tidak sama atau
subordinasi. Perijinan di bidang pengusahaan pertambangan dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dibagi
menjadi tiga bentuk, yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan
Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).18
Izin Usaha Pertambangan (IUP) terdiri dari dua tahap, yaitu IUP
Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. IUP Eksplorasi meliputi penyelidikan
umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan
penjualan. Ketentuan mengenai IUP dalam undang-undang minerba ini disambut
baik oleh banyak pelaku usaha pertambangan. Pemerintah memberikan jaminan
kepada setiap pemegang IUP Eksplorasi untuk memperoleh IUP Operasi Produksi
sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya serta memberikan kepastian
hukum bagi para pelaku usaha pertambangan. IUP Eksplorasi dan IUP Operasi
Produksi tersebut diberikan setelah perusahaan pertambangan memperoleh
Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), yaitu wilayah yang diberikan kepada
pemegang IUP yang diperoleh melalui cara lelang. Lelang disini tentu
memberikan jaminan bagi pengelola pertambangan untuk lebih selektif
memberikan ijin usaha pertambangan yang memang benar-benar memenuhi
kualifikasi melakukan pengusahaan di bidang pertambangan di Indonesia. UU
Minerba juga mengatur bahwa IUP dapat diberikan dalam jangka waktu paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10
(sepuluh) tahun. Ketentuan ini tentu sangat menenangkan bagi pelaku usaha
18
Ana Sofa Yuking, 2011,”Kepastian Hukum Dalam Undang-Undang Minerba”, Law Review Volume XI No. 1 -
Juli 2011, hlm.6
11

pertambangan yang sudah menanamkan investasi di bidang pengusahaan


pertambangan yang cukup besar, mengingat pelaku usaha pertambangan selama
ini khawatir mengenai kepastian jangka waktu pemberian ijin dalam pengusahaan
pertambangan yaitu selama 5 (lima) tahun pertama sejak melakukan kegiatan
usaha.19
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang
mempunyai kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam tambang adalah
pemerintah pusat. Sistem Pemerintahan merupakan penyebabnya, sebelum
berlakunya Undang-Undang 22 Tahun 1999 bersifat sentralistik, artinya segala
macam urusan yang berkaitan dengan pertambangan, baik yang berkaitan dengan
penetapan izin kuasa pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya, pengusahaan
pertambangan batu bara, maupun yang lainnya. Pejabat yang berwenang
memberikan izin adalah menteri, dalam hal ini adalah Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sejak berlaku, maka
kewenangan dalam pemberian izin diserahkan pada pemerintah daerah (provinsi,
kabupaten/kota) dan pemerintah pusat, sesuai dengan kewenangannya, begitu pula
hingga saat ini setelah undang-undang pemerintahan daerah tersebut digantikan
menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan selanjutnya menjadi
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan mengalami perubahan dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. 20
Otonomi yang diberikan kepada pemerintah daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota semakin meluas sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Fokus administrasi pemerintahan juga
lebih pada kuatnya keinginan untuk menjalankan kewenangan daerah atas
wilayahnya sendiri. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah yang mengatur bahwa,

19
Ibid., hlm.7
20
Iqbal Shalihin, 2018, Pengalihan Kewenangan Pemberian Izin Usaha Pertambangan Mineral-Batubara Oleh
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, Universitas Andalas, Padang, hlm.92.
12

“pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang


menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-
Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah”.21
Bidang urusan pertambangan termasuk dalam urusan yang bersifat pilihan,
yaitu urusan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan. Konsep hak menguasai negara/hak penguasaan negara
menempatkan seluruh rakyat Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam yang
ada di wilayah negara Indonesia, apabila terdapat kekayaan tambang mineral dan
batubara di suatu daerah, tidak serta merta menjadikan daerah tersebut menjadi
satu-satunya daerah yang makmur dikarenakan hasil sumber daya tambang yang
melimpah. Kewajiban pembagian perimbangan dana dengan tujuan dapat
didistribusikan manfaatnya secara merata ke wilayah lain di Indonesia tetap ada.
Dana perimbangan tersebut selain bertujuan untuk membantu daerah dalam hal
pendanaan untuk melaksanakan kewenangannya, juga bertujuan untuk
mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan
daerah, serta tujuan lainnya adalah untuk mengurangi kesenjangan pendanaan
pemerintahan antar daerah. Pasal 14 huruf c, Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3)
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah memberikan besarnya penerimaan
dari sektor pertambangan antara pemerintah dan pemerintah daerah.22
Pengaturan mengenai telah beralihnya kewenangan pemberian Izin Usaha
Pertambangan oleh pemerintah Provinsi diperjelas didalam Peraturan Menteri
Energi Sumber Daya Mineral Nomor 34 Tahun 2017 tentang Perizinan Bidang
Pertambangan Mineral Batubara sebagaimana dinyatakan pada Pasal 4 huruf b.
IUP Eksplorasi diberikan oleh gubernur, apabila WIUPnya berada dalam 1 (satu)
daerah provinsi atau pada wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

21
Ibid., hlm.93.
22
Ibid., hlm.95.
13

Pasal 7 ayat (4) sudah mengatur mengenai pengajuan permohonan IUP melalui
menteri atau gubernur paling lambat 5 (lima) hari kerja23
Peralihan kewenangan bupati/walikota dalam hal pengelolaan sumberdaya
alam, khususnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka bupati/walikota tidak berwenang
lagi untuk menerbitkan keputusan kepala daerah terkait dengan penetapan
perizinan pengelolaan sumberdaya alam. Keputusan perizinan yang telah
dikeluarkan, berdasarkan AUPB (asas kepercayaan, asas kepastian hukum, asas
keadilan, asas kebijakan yang memberatkan tidak boleh berlaku surut) seharusnya
masih dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa izin yang
diberikan.24
Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan
Daerah, mengesampingkan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pasal 8
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, maka pengaturan kewenangan perizinan pertambangan mineral dan
batubara pada tataran pemerintah daerah kabupaten/kota diambil alih oleh
pemerintah daerah provinsi yang merupakan wakil pemerintah pusat. Setelah
diundangkannya Undang- Undang Pemerintahan Daerah yang baru, kewenangan
pemerintah kabupaten/kota terhadap pengelolaan izin usaha pertambangan
dihapuskan dan dialihkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah provinsi.
Perubahan ini tidak serta merta merubah sistem dan mekanisme perizinan yang
telah berlaku sebelumnya. Sistem dan mekanisme mengenai permohonan izin
usaha pertambangan tetap dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan
yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara serta peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara. Perubahan hanya terletak pada kewenangan pemberian izin

23
Ibid., hlm.100.
24
Ibid., hlm.105.
14

yang pada awalnya adalah wewenang Walikota/Bupati menjadi kewenangan


Gubernur.25
b. Hukum Agraria dalam Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Usaha pertambangan agar dapat dilakukan sudah pasti dibutuhkan sebidang
tanah karena kegiatan penambangan tidak lain adalah melakukan penggalian
tanah. Keberadaan tambang kebanyakan letaknya berada di dalam perut bumi.
Pasal 134 Ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pertambangan
Mineral dan batubara menjelaskan bahwa hak atas Wilayah Izin Usaha
pertambangan (WIUP) Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR),atau Wilayah Izin
Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) tidak meliputi hak atas tanah permukaan
bumi. Pasal 136 juga menjelaskan bahwa dalam melakukan usaha
pertambangannya wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Hak atas tanah tetap
milik orang lain dan bukan milik pihak penambang. Pasal 138 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 juga mengatur bahwa hak atas IUP, IPR atau IUPK bukan
merupakan pemilikan hak atas tanah. Kemungkinan perbenturan kepentingan
penggunaan tanah sangat terbuka, dimana pemerintah memberikan hak atas tanah
dan hak atas pertambangan kepada dua orang yang berbeda tetapi berada di
tempat yang sama. Pemerintah memberikan hak atas permukaan tanah yaitu Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai kepada seseorang,
sedangkan di bawah permukaan tanah pemerintah memberikan hak atas
pertambangan (IUP,IPR,atau IUPK).26
Pemilik hak atas pertambangan tentu tidak mungkin dapat langsung
melakukan penggalian atau pengeboran tanah karena disitu ada pemilik hak atas
tanah. Pemilik hak atas tanah pada umumnya juga tidak dengan mudah
membiarkan orang lain memasuki pekarangannya dan melakukan penambangan,
apalagi hak atas tanah lebih dahulu diberikan daripada hak atas pertambangan.
Pengerukan tanah dalam kegiatan pertambangan tanah dalam kegiatan

25
Ibid.
26
Hayatul Ismi, 2014, “Hukum Hak Atas Tanah Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Mineral Dan Batubara“ ,
Volume 4 No. 2 Februari-Juli 2014 Jurnal Ilmu, Fakultas Hukum Universitas Riau, pekanbaru, hlm.9.
15

pertambangan mengandung risiko yang besar karena permukaan tanah akan


mengalami penurunan.27
Pemegang hak atas pertambangan akan menderita kerugian jika kegiatan
penggalian tanah untuk penambangan ditolak oleh pemilik hak atas tanah maka
proyeknya tidak dapat dilaksanakan, sebaliknya apabila pemilik hak atas tanah
memberikan persetujuan kepada pemilik hak atas pertambangan maka ia pun akan
rugi sebab tanahnya akan rusak juga tidak dapat dipergunakan sesuai dengan
fungsinya. Pemilik hak atas tanah juga akan menderita kerugian. Pasal 135
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara mengatur, bahwa pemegang hak atas pertambangan hanya dapat
melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas
tanah. Pasal 136 juga mengatur bahwa pemegang IUP atau IUPK sebelum
melakukan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan
pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyelesaian hak atas tanah tersebut dapat dilakukan secara bertahap sesuai
dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK. Jadi pemegang hak
atas pertambangan baru melaksanakan kegiatan eksplorasi pertambangan apabila
pemegang hak atas tanah memberikan persetujuannya. Persetujuan tersebut dapat
dalam bentuk lisan atau tertulis lazimnya berupa perjanjian. Oleh karena latar
belakang kegiatan pertambangan untuk kepentingan bisnis, tidak tertutup
pemegang hak atas tanah meminta imbalan dari pihak pemegang hak atas
pertambangan yang besarnya sesuai dengan kesepakatan mereka dan dimasukkan
sebagai salah satu klausula dalam perjanjian. Jika pemegang hak atas tanah
menolak untuk memberikan persetujuan, maka pihak pemegang hak atas
pertambangan tidak dapat memaksanya. Pemegang hak atas pertambangan harus
dapat menyelesaikan persoalan dengan jalan damai dan mengutamakan keamanan
dan ketentraman masyarakat agar haknya tidak hapus dan sia-sia.28
Pemegang hak atas tanah yang memberikan persetujuan maka pemegang
hak atas pertambangan dapat melakukan eksplorasi, untuk melakukan eksplorasi
pemegang hak atas pertambangan harus sudah menyelesaikan masalah hak atas
27
Ibid.
28
Ibid, hlm.10.
16

tanah dengan pemiliknya. Penyelesaian hak atas tanah tersebut tidak lain dengan
cara pembebasan. Pembebasan dilakukan sesuai dengan kebutuhan luas
penambangan. Pemegang hak atas pertambangan tidak membebaskan seluruh hak
atas tanah yang dimiliki pemegangnya. Pembebasan hak atas tanah dengan cara
memberikan ganti rugi kepada pemegang haknya karena pada prinsipnya
pemegang hak atas tanah tidak boleh dirugikan dengan adanya kegiatan
pertambangan. Biaya pembebasan hak tersebut menjadi tanggungan pemegang
hak atas pertambangan, bukan atas biaya Negara meskipun izin pertambangan
dari Negara. Pembebasan tersebut berakibat pada tanah yang dibebaskan
kembali dikuasai oleh Negara. Lokasi yang dilakukan kegiatan penambangan
statusnya sebagai tanah Negara. Konsekuensi pemegang hak atas pertambangan
yang telah melaksanakan penyelesaian pembebasan terhadap bidang-bidang tanah
dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, yaitu dengan mengajukan permohonan hak atas tanah kepada kantor
pertanahan setempat.29
c. Hukum Lingkungan Atas Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga
negara yang Indonesia dijamin oleh konstitusi yakni dalam Pasal 28H UUD 1945.
Perlindungan hukum lingkungan terhadap pengelolaan pertambangan menunjuk
pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor .4 Tahun 2009
tentang Mineral dan Batubara. Batubara merupakan salah satu komoditi yang
mempunyai kedudukan dan peranan sangat penting dalam menunjang
keberhasilan pembangunan nasional. Hal ini disebabkan pertambangan batubara
sebagai sumber kekayaan alam yang tidak dapat diperbarui, bermanfaat bagi
sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Aspek lingkungan hidup, usaha
pertambangan mineral dan batubara dianggap paling merusak dibanding kegiatan-
kegiatan eksploitasi sumberdaya alam lainnya.30
Usaha pertambangan mineral batubara dianggap paling merusak antara
lain dapat merubah bentuk benteng alam, merusak atau menghilang vegetasi,
29
Ibid. hlm.11.
30
Daud Silalahi, 1995 , Amdal Dalam Sistem Hukum Lingkungan Indonesia, Mandar Maju, Bandung. hlm.65.
17

menghasilkan limbah tailing, maupun batuan limbah, serta menguras air , tanah
dan air permukaan. Usaha pertambangan mineral dan batubara yang tidak
direhabilitasi akan menyebabkan lahan-lahan bekas pertambangan membentuk
kubangan raksasa dan hamparan tanah gersang yang bersifat asam. Peranan
hukum lingkungan terutama mengatur kegiatan-kegiatan yang mempunyai
dampak negatif terhadap lingkungan dan menuangkan kebijakan lingkungan
dalam peraturan perundang-undangan lingkungan. Menurut Munadjat
Danusaputra, menyatakan salah satu alat yang kuat dan ampuh dalam melindungi
lingkungan hidup adalah hukum yang mengatur lingkungan hidup yang dimaksud
adalah hukum lingkungan (environmenal law atau millieurecht). Hukum
lingkungan menyediakan instrumen-instrumen untuk perlindungungan lingkungan
hidup, dalam hal sebagai sarana pencegahan pencemaran yaitu baku mutu
lingkungan, Analisis Mengenai Dampak lingkungan (AMDAL), Izin lingkungan,
Instrumen Ekonomic, dan audit lingkungan. Hubungan antara baku mutu
lingkungan, AMDAL dan perizinan lingkungan memiliki hubungan yang saling
terkait dalam rangka berfungsi sebagai pencegahan pencemaran lingkungan.31
Perlindungan dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batabara,
diwujudkan dengan mempergunakan sarana pencegahan kerusakkan dan
perusakkan lingkungan berupa istrumen ekonomi lingkungan hidup. Hukum
lingkungan berisi kebijakan lingkungan yang bertujuan utama mencegah
pencemaran lingkungan. Sarana utama yang dalam ini berfungsi sebagai sarana
pencegahan pencemaran lingkungan adalah pengaturan langsung instrumen
ekonomik. Penggunaan instrumen ekonomik dalam pengelolaan lingkungan juga
diterapkan dalam pengelolaan pertambangan.32
Pasal 14 UUPLH mengatur bahwa seluruh instrumen tersebut seharusnya
diterapkan dalam industri tambang batubara mengingat tingginya risiko
lingkungan yang dapat ditimbulkannya. Efektifitas dari beberapa instrumen
tersebut sangat tergantung pada efektifitas sistem perizinan. Praktiknya sistem
perizinan tidak berjalan efektif seperti telah dijelaskan. Kendala penerapan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 cukup besar sebab aparat penegak hukum
31
Ibid.
32
Ibid., hlm.69.
18

belum mempunyai pedoman aturan pelaksanaan undang-undang tersebut,


kemudian juga kurangnya kesadaran masyarakat terhadap upaya perlindungan
lingkungan hidup.33

d. Hukum Pajak Atas Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara


Ketentuan perpajakan sektor pertambangan di Indonesia telah dibagi
sesuai dengan tipe perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sebelum 
berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan
Mineral dan Batubara, perizinan pertambangan dapat dibagi menjadi dua yaitu
Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya. Ketentuan perpajakan dalam Kuasa
Pertambangan mengikuti ketentuan umum sesuai aturan dalam peraturan
perpajakan, sedangkan ketentuan pemajakan dalam Kontrak Karya, mengikuti  
ketentuan khusus yang diatur di dalam kontrak. Pengaturan dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Mineral dan Batubara,
perizinan pertambangan hanya dikeluarkan dalam bentuk Izin Usaha
Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan Izin
Pertambangan Rakyat (IPR). Ketentuan perpajakan dalam IUP, IUPK, dan IPR
mengikuti ketentuan yang berlaku umum. Kontrak Karya meskipun sekarang
tidak lagi dikeluarkan, tetapi Kontrak Karya yang telah dikeluarkan sebelumnya
akan tetap berlaku sampai dengan periode kontrak berakhir, termasuk juga
ketentuan khusus perpajakan dalam kontrak tersebut.34
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Noomor 37 Tahun 2018
tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di
Bidang Usaha Pertambangan Mineral. Peraturan Pemerintah ini diterbitkan sesuai
dengan amanat Pasal 31D  Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan , bahwa ketentuan perpajakan bagi bidang usaha tertentu seperti

33
Ibid.
34
Bisnis Indonesia, 2018, Perpajakan Sektor Pertambangan Mineral di Indonesia,
https://www.rsm.global/indonesia/id/insights/artikel/perpajakan-sektor-pertambangan-mineral-di-indonesia
diakses 25 Oktober 2019 pukul 06.16 WIB.
19

bidang usaha pertambangan umum termasuk batu bara diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini
berlaku bagi semua IUP, IUP Khusus (IUPK), IPR dan juga Kontrak Karya.35
Peraturan Pemerintah ini meliputi penerimaan dan biaya-biaya yang dapat
dibebankan untuk menghitung pajak penghasilan. Peraturan pemerintah ini juga
memuat ketentuan perpajakan khusus bagi IUPK Operasi Produksi dari perubahan
Kontrak Karya.  Peraturan Pemerintah ini juga memberikan kepastian bahwa bagi
Kontrak Karya yang masih berlaku, ketentuan khusus pemajakannya akan tetap
berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak. Peraturan Pemerintah dikeluarkan
sebagai langkah Pemerintah agar semua ketentuan perpajakan merujuk kepada
aturan yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan, tidak di dalam
ketentuan kontrak. Hal ini bertujuan untuk mengurangi potensi sengketa pajak
atas penafsiran ketentuan yang berlaku antara kontrak dan aturan umum.36
e. Hukum Sumber Daya Energi dan Ketenagalistrikan pada Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, konsiderans menimbang dinyatakan bahwa kebutuhan dari pengaturan
ini adalah untuk dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara
secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan
lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan.
Penjelasan Umum ditegaskan pula bahwa undang-undang ini dibentuk untuk
menjawab tantangan utama yang dihadapi pertambangan mineral dan batubara
(minerba), yaitu globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak
asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas
kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat.
Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-
besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia dan mempercepat pengembangan
wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan
menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan. Tujuan
Undang-Undang ini mendukung politik hukum kedaulatan energi, karena
35
Ibid.
36
Ibid.
20

memenuhi indicator penyediaan, pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya


energi dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat. Arah politik hukum ini
tidak menegaskan penting kepada Indonesia untuk pelan-pelan melepaskan diri
dari ketergantungan pada energi fosil (dalam hal ini minerba). 37
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrtikan
dalam konsiderans menimbang diatur bahwa usaha penyediaan listrik dikuasai
oleh Negara, dan perlu ditingkatkan agar ketersediaannya cukup, merata dan
bermutu. Peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyediaan perlu
ditingkatkan, namun juga harus memperhatikan keselamatan manusia dalam
pemanfaatan ketenagalilstrikan. Penjelasan Umum ditegaskan bahwa usaha
penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, melalui kebijakan,
pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan, termasuk
pelaksanaan pengawasan di bidang keteknikan. Pemanfaatan ketenagalistrikan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran merupakan indikator yang mendukung
politik hukum bagi kedaulatan energi, namun sayangnya undang-undang ini tidak
mengandung politik hukum yang mengarahkan pada orientasi penganekaragaman
sumberdaya energi di bidang ketenagalistrikan, terutama sumber energi baru dan
terbarukan, padahal kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
pemanfaatan, penyediaan dan peningkatan energi baru terbarukan sudah menjadi
kebijakan yang digariskan oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang
Energi.38
f. Hukum Penataan Ruang pada Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Dasar hukum penataan kota mengacu pada dasar hukum penataan ruang
antara lain diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUPA, yang dalam peruntukan dan
37
Pusat Analisis Dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan
Ham Ri, 2016, Laporan Akhir Kelompok Kerja Analisis Dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Kedaulatan Energi,
Https://Www.Bphn.Go.Id/Data/Documents/Kedaulatan_Energi.Pdf, diakses pada 9 November 2019 pukul 13.43
WIB.
38
Ibid.
21

penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya, salah satunya pertambangan. Penatagunaan tanah ini diwujudkan
dalam suatu rencana tata ruang. Penataan ruang di atur dalam UU Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Tindakan penataan ruang sesuai dengan
rencana tata ruang akan menimbulkan akibat-akibat hukum sesuai dengan hak
atas tanah. Ruang sebagai satu sumber daya alam tidak mengenal batas wilayah.
Namun jika dikaitkan dengan pengaturan, maka harus jelas batas, fungsi dan
sistemnya dalam satu kesatuan. Aspek pertanahan dan penataan ruang,
mempunyai hubungan penting, karena tanah sebagai salah satu sumber daya
kegiatan penduduk yang dapat dinilai sifat, proses dan penggunannya, ini sesuai
dengan yang dikemukakan Firey, “Tanah dapat menunjukan pengaruh budaya
yang besar dalam adaptasi ruang, dan selanjutnya dikatakan ruang dapat
merupakan lambang bagi nilai-nilai sosial (misalnya penduduk sering memberi
nilai sejarah yang besar kepada sebidang tanah). Pasal 18 UUPA, bahwa hak atas
tanah adalah hak dan kewajiban, kewenangan-kewenangan dan manfaat dalam
menggunakan tanah yang dengan sendirinya meliputi fisik tanah dan
lingkungannya serta ruang diatasnya.39
Hemat penulis, Pasal 1 angka 29 Undang-Undang Nomor Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur bahwa
Wilayah Pertarnbangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang
memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat ciengar, batasan
administrasi pemerintahan yang verupakan bagian dari tata ruangnasional.
Pemberian IUP Eksplorasi sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 39 dan Pasal 78
juga harus didasarkan oleh rencena umum tata ruang. Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga
mengatur penggunaan usaha kegiatan pertambangan yaitu Pasal 10 bahwa

39
Siti Kotijah, 2013, Pertambangan dan Penataan Ruang dalam UUPA,
https://www.kompasiana.com/kotijah/55283b13f17e61852c8b458b/pertambangan-dan-penataan-ruang-dalam-
uupa?page=all, diakes pada 9 November 2019 pukul 13.57 WIB
22

Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi terdiri atas
pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi,
Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan alur laut. Penjelasan Pasal 10 huruf a
tersebut mengatur Kawasan pemanfaatan umum yang setara dengan kawasan
budidaya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, merupakan kawasan yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi,
sosial budaya, seperti kegiatan perikanan, prasarana perhubungan laut, industri
maritim, pariwisata, pemukiman, dan pertambangan.
g. Hukum Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara
Pembangunan ekonomi secara besar-besaran sejak tahun 1966 dilakukan
dengan cepat oleh pemerintah dengan mengeluarkan tiga undang- undang
sekaligus yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 jo Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1970 tentang Investasi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967
tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Pertambangan. Pembangunan kehutanan tidak hanya ditujukan semata-mata untuk
pembangunan sektor kehutanan saja, namun juga sektor non kehutanan. Syahadat
& Subarudi mengatakan bahwa pada prinsipnya kawasan hutan dapat diubah
peruntukannya mengikuti dinamika pembangunan nasional dan aspirasi
masyarakat dengan mengikuti peraturan yang berlaku.40
Kegiatan pengelolaan pada sektor kehutanan dan pertambangan dapat
berdampak secara nyata terhadap lingkungan, kondisi sosial ekonomi serta
kemungkinan juga budaya masyarakat yang ada disekitar wilayah kedua sektor
tersebut apabila tidak dikelola dan dilaksanakan dengan bijaksana dan kehatian-
hatian. Fakta menunjukkan bahwa operasi pertambangan muncul menjadi salah
satu penyebab langsung dan tidak langsung yang mangakibatkan deforestasi laju
yang tinggi . Beberapa pihak memperkirakan bahwa dampak pertambangan setara
dengan 10% pengrusakan hutan di negara ini . Menurut Contreras-Hermosilla &
Fay , disisi lain pendekatan dalam pengaturan tertib administrasi kekayaan hutan
40
Suprapto, 2019, “Mempertentangkan Atau Mempersatukan? Pembelajaran Dari Terbitnya Kebijakan Pinjam
Pakai Kawasan Hutan Di Indonesia” , Ecogreen Vol. 5 No. 1, April 2019, Fakultas Kehutanan, Universitas
Gadjah Mada, hlm.9-
23

nasional menghasilkan output yang sangat besar dan telah menyumbang kepada
perekonomian Indonesia. Apabila kita merujuk alternatif penyelesaian persoalan
yang disampaikan Kementerian ESDM dalam kajiannya, diperlukan alternatif
penyelesaian non teknis dan teknis. Penyelesaian non teknis menyangkut dengan
kebijakan sedangkan penyelesaian teknis menyangkut re-scoring terhadap
kawasan hutan. Wawancara dengan Kementerian ESDM juga memperkuat hal ini
bahwa kepastian kawasan hutan menjadi syarat mutlak untuk terbitnya IUP-IUPK
dari Kementerian ESDM. Konflik yang kemungkinan muncul antara kedua sektor
ini, diakomodir pemerintah dengan telah menyusun kebijakan mengenai
penggunaan kawasan hutan (PKH). Kebijakan ini secara garis besar merupakan
“lampu hijau” kepada sektor pertambangan untuk melakukan pemanfaatan di
kawasan hutan yang dituangkan dalam mekanisme Izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan (IPPKH).. Perjalanan panjang ini dimulai pada tahun 1967 dengan adanya
regulasi investasi, kehutanan dan pertambangan secara bersama-sama.41
Pedoman pinjam pakai pertama kali dicetuskan pada 1978 melalui pedoman
pinjam pakai tanah kawasan hutan. Tahun 1994, penggunaan kawasan hutan
untuk pertambangan menggunakan sistem perjanjian pinjam pakai kawasan hutan.
Momentum yang menarik terjadi pada tahun 2004 ketika pemerintah atas
persetujuan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 yang dilanjutkan dengan perubahan Undang-
undang kehutanan. Momentum pertama kali mengakibatkan diijinkannya 13
tambang beroperasi dalam kawasan hutan lindung. Peredebatan pun muncul sebab
adanya isu suap di dalamnya Tahun 2010, Pemerintah melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, mengeluarkan regulasi tentang penggunaan
kawasan hutan yang di dalamnya mengatur pinjam pakai kawasan hutan. Regulasi
kemudian diikuti pedoman pinjam pakai oleh Menteri Kehutanan dengan aturan
yang terbaru adalah Permenhut Nomor 27 Tahun 2018. Permenhut ini mengatur
perubahan permohonan IPKKH kepada Menteri melalui Direktur RPP, Ditjen
Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Menurut Harfiana, pada prakteknya
ternyata terjadi beberapa masalah pada penerapan IPPKH dalam pertambangan

41
Ibid., hlm.10.
24

seperti yang terjadi pada proyek Master Plan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)5, dimana terdapat sembilan lokasi
MP3EI yang berlokasi di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi terhambat karena
tersandung masalah IPPKH. Penggunaan kawasan hutan dapat bersifat komersil
dan non komersil, dan sebagai kompensasi pemberian IPPKH tersebut pemegang
izin akan dikenakan berbagai kewajiban yang dibedakan berdasar rasio dan
kondisi hutan disuatu wilayah. Kewajiban untuk pemegang izin yang berada di
wilayah provinsi yang memiliki rasio hutan di atas 30% akan dikenai kewajiban
lahan pengganti dengan rasio tertentu sesuai peraturan yang ada, sedangkan bagi
provinsi yang rasio kawasan hutannya kurang dari 30% akan dikenai kewajiban
membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) PKH6. 42
Persoalan yang muncul berkaitan dengan ketentuan pinjam pakai kawasan
hutan antara lain adalah adanya kewajiban menyediakan dan menyerahkan lahan
bukan kawasan hutan sebagai kompensasi atau pengganti. Beberapa kasus hal ini
ternyata sulit dipenuhi. Apalagi dengan adanya keterdesakan waktu pelaksanaan
kegiatan kontrak sektor lain. Kemandekan ini menimbulkan kerugian negara .
Kementerian Kehutanan bahkan juga sudah membatasi penggunaan kawasan
hutan untuk kegiatan non kehutanan yaitu hanya 80 persen dari permohonan
sebagai bagian dari upaya menurunkan emisi sebesar 26 persen pada tahun 2020.
Sebelum adanya sistem IPPKH, seluruh kegiatan non kehutanan di kawasan
hutan dilakukan dengan perjanjian pinjam pakai kawasan hutan. Namun sejak
diterapkannya IPPKH, semua pelaku kegiatan non kehutanan yang ada di
kawasan hutan wajib memiliki IPPKH karena kewenangan untuk menetapkan
kawasan hutan yang akan digunakan oleh sektor non kehutanan berada di bawah
Kementerian Kehutanan.43
C. Politik Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara
1. Hukum Masa Lalu
a. Sebelum Kemerdekaan
1) Masa Kekuasaan VOC (1608-1799)

42
Ibid.
43
Ibid., hlm.11.
25

VOC sebagai perusahaan dagang dalam meluaskan usahanya ke


berbagai macam perkebunan rakyat tidak pernah menujukkan minat pada
usaha pertambangan untuk menambang sendiri. VOC tetap terlibat dalam
kegiatan perdagangan hasil tambang sebagaimana dicatat oleh sejarah bahwa
pada tahun 1710, VOC mulai melakukan pembelian timah dari Sultan
Palembang yang dihasilkan oleh tambang-tambang yang dikerjakan oleh
orang China yang ada di Pulau Bangka. VOC pada akhirnya memonopoli
perdagangan timah ini sehingga bisa dilihat peranannya hanya sebatas sebagai
tengkulak dan tidak pernah melakukan usaha pertambangan sendiri. Era ini
seluruh kegiatan ekonomi hanya difokuskan pada keuntungan VOC semata
saja.44
2) Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1942)
Suasana liberalisasi perekonomian masa Hindia Belanda, muncul
keinginan pihak swasta maupun perorangan Belanda untuk mengusahakan
pertambangan, komoditi yang memiliki prospek pemasaran yang jelas saat itu
adalah timah dan batubara.45 Pemerintah Belanda baru berhasil membentuk
undang-undang yang mengatur tentang pertambangan yaitu Indische Minjwet,
yang hanya mengatur mengenai penggolongan bahan galian dan pengusahaan
perseorangan. Indische Minjwet ini diamandemen sebanyak dua kali yakni
tahun 1910 dan 1918. Pola usaha pertambangan pada masa Hindia belanda
dilakukan dalam bentuk perizinan. Pada masa ini yang boleh menerima
konsesi (hak pertambanagan) dan lisensi (izin pertambangan) hanyalah
mereka yang tunduk pada hukum barat serta perusahaan-perusahaan yang
telah terdaftar di Hindia Belanda dan negeri belanda, dengan demikian sejak
semula hanyalah orang asing saja yang berkecimpung dalam usaha
pertambangan.46
b. Setelah Kemerdekaan
1) Masa Transisi (1942-1949)

44
Victor.I.Suripatty, Paradigma baru Hukum Pertambangan Indonesia Mengganti Sistem kontrak karya dalam
kegiatan Usaha Pertambangan Mineral, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.40
45
Ibid.
46
Ibid, hlm.45.
26

Menyerahnaya tentara Kerajaan Hindia Belanda NKIL kpeada Jepang


pada tanggal 8 Maret 1942 menandai berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda
atas Indonesia. Masa pendudukan Jepang, Indische Minjwet secara praktis
tidak berjalan sebab semua kebijaksaanaan mengenai pertambangan termasuk
operasi minyak berada ditangan Komando Militer Jepang yang disesuaikan
dengan masa situasi perang. Jepang menjajah Indonesia 3,5 tahun, namun
Jepang telah berhasil mengembangkan potensi pertambangan Indonesia saat
itu.47 Pada tanggal 27 Desember 1949, berlangsung secara resmi penyerahan
kedaulatan Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat dana pada
tanggal 17 Agustus 1950 RIS melebur menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Era ini seluruh kegiatan sumber daya alam hanya ditunjukkan
untuk perang dan belum mendorong pembangunan ekonomi sehingga belum
ada regulasi yang mengatur berhubungan dengan pertambangan sehingga
masih diberlakukannya Indische Mijnwet.48
2) Era Orde Lama
Hukum Pertambangan pada era Pemerintah Orde lama masih
memberlakukan Indische Mijnwet sebagai sumber hukum pertambangan
dengan mengalami beberapa perubahan dan penambahan pasal-pasal. Tahun
1959, pemerintah mulai melakukan perubahan Indische Mijnwet khususnya
pasal-pasal yang mengatur tentang hak-hak pertambangan melalui Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1959 tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan.
Latar belakang munculnya undang-undang ini disebabkan Indische Mijnwet
menjadi dasar hukum kepada kaum partikelir yang telah tersebar diseluruh
wilayah Indonesia yang mempunyai wewenang atas tambang dan bahan
galian sehingga cenderung merugikan Bangsa Indonesia sendiri.49
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 37
Tahun 1960 tentang Pertambangan lahir untuk mempersipkan terbentuknya
undang-undang yang baru pada tahun 1960. Landasan filosofis dari Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bahwa bahan galian di seluruh
47
Ibid, hlm.48.
48
Ibid, hlm.49.
49
Ibid.
27

wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besarnya


kemakmuran rakyat baik secara gotong royong maupun secara
perorangan..PERPU ini dibentuk untuk mengganti Indische Mijnwet karena
sudah tidak dapat dijadikan dasar untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia
dan perkembangan kepentingan nasional yang secara mendalam ditinjau dari
sudut politis, ekonomi sosial dan strategis. Secara garis besar pokok-pokok
pikiran dalam PERPU ini adalah :
a. Penguasaan bahan-bahan galian yang berada dibawah dan diatas wilayah
Indonesia atau bahan-bahan galian dikuasai oleh negara untuk kepentingan
negara dan kemakmuran dan merupakan kekayaan nasional (Pasal 2 ayat
(1))
b. Pembagian bahan-bahan galian dalam beberapa golongan yang di
dasarkan pada pentingnya bahan galian itu yakni golongan strategis dan
golongan vital dan golongan yang tidak termasuk keduanya (Pasal 3)
c. Pengusahaan penambangan terhadap galian hanya dapat dilakukan oleh
negara (Pasal 4 ayat (1)50
3) Masa Orde Baru
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan-
Pokok Pertambangan merupakan produk hukum sebagai landasan operasional
dalam sistem hukum pertambangan mineral dan batubara sebelum Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Sistem kontrak pada undang-undang minerba terdahulu meliputi Kontrak
Kaya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B),
Kuasa Pertambangan, dan Izin Pertambangan Rakyat. Peraturan pelaksana
undang-undang minerba pada masa ini adalah Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan menyatakan bahwa kuasa pertambangan yang pada
waktu itu didominasi oleh perusahaan asing dalam bentuk Kotrak Karya (KK)

50
Ibid.
28

dengan masa kontraknya 35 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun sehingga


bila ditotalkan jangka waktu untuk satu kontrak karya adalah 60 tahun.
Undang-Undang ini jika dikaji lebih dalam cenderung bersifat sentralistik
sehingga tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengaturnya
terutama dalam hal pemberian izin dan pembayaran keuntungan.51
4) Era Reformasi dan Perbandingan dengan Era Orde Baru
Era reformasi, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009  tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) menggantikan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1967. Undang-Undang baru ini dibentuk
dikarenakan adanya tuntutan reformasi dalam segala bidang dan adanya
otonomi daerah. Undang-Undang ini dalam bidang pertambangan bertujuan
untuk mengembalikan kewenangan negara dalam terhadap pengelolaan
sumber daya alam untuk perbaikan sektor pertambangan di Indonesia.
Perbedaan antara pertambangan era orde baru dan refomasi, Dunia
Tambang merangkum beberapa poin yang menjadi perbedaan pada era
tersebut berdasarkan Undang-Undang yang berlaku sebagai berikut.52
a) Prinsip hak penguasaan dan perizinan
Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, bahan galian yang
berbadan hukum dikendalikan oleh negara. Perizinan usaha pertambangan
diberikan oleh negara sehingga lebih memudahkan pendataan jumlah
perusahaan  yang melakukan usaha pertambangan. Sedangkan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009, penguasaan dan perizinan minerba oleh
negara dan diselenggarakan oleh pemerintah dan / atau pemerintah daerah
(desentralisasi) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.53
b) . Pengelompokan bahan galian.

51
Martha Pigome, 2015, Politik Hukum Pertambangan Indonesia Dan Pengaruhnya Pada Pengelolaan
Lingkungan Hidup Di Era Otonomi Daerah, https://media.neliti.com/media/publications/4701-ID-politik-hukum-
pertambangan-indonesia-dan-pengaruhnya-pada-pengelolaan-lingkungan.pdf, diakses 14 September 2019 pukul
17.41 WIB.
52
Dunia Tambang, Pertambangan: Orde Baru VS Reformasi Ditinjau dari Undang-Undang yang Berlaku,
https://duniatambang.co.id/Berita/read/101/Pertambangan-Orde-Baru-VS-Reformasi-Ditinjau-dari-Undang-
Undang-yang-Berlaku, diakses pada 8 November 2019 pukul 06.26 WIB
53
Ibid.
29

Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, bahan galian


dikelompokkan menjadi bahan galian strategis, bahan galian vital, dan
bahan galian bukan strategis dan bukan vital. Sedangkan pada Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009, usaha pertambangan terbagi menjadi
mineral dan batubara. Kelompok mineral terdiri dari radioaktif, logam,
bukan logam,  dan batuan.54
c) . Kewenangan pengelolaan
Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, bahan galian strategis
dan vital diatur oleh menteri yang bertugas di bidang pertambangan,
sedangkan bahan galian yang tidak termasuk strategis dan vital diatur oleh
pemerintah daerah tingkat I (Provinsi) sesuai lokasi bahan galian berada.
Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009,  kewenangan
pengelolaan terbagi menjadi kewenangan di tingkat pemerintah pusat,
provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan masing-masing.55
d) . Wilayah Pertambangan
Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, luas wilayah
pertambangan tidak diatur terlalu rinci tetapi disebutkan bahwa minimal
izin usaha pertambangan adalah 5000 Ha. Sedangkan, pada Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009, wilayah pertambangan adalah bagian dari
tata ruang nasional yang ditetapkan oleh pemerintah yang berkoordinasi
dengan pemerintah daerah dan DPR..56
e) . Tahapan usaha
Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, tahapan usaha
pertambangan terdiri dari penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Sedangkan,
pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, usaha pertambangan melalui
dua tahap yaitu tahap eksplorasi dan tahap operasi produksi. Tahap
eksplorasi terdiri dari penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi

54
Ibid.
55
Ibid.
56
Ibid.
30

kelayakan. Sementara tahap operasi produksi terdiri dari konstruksi,


penambangan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan.57
f) . Pengawasan
Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, pengawasan
dilakukan di tangan pemerintah pusat atas pemegang KP, KK, PKP2B.
Sedangkan, pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, pengawasan
dilakukan oleh pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya atas pemegang IUP, IUPK, dan IPR..58
b. Ius Constitutum (Pacsa Reformasi - Sekarang)
Konsideran Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara menyebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga
dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan
mineral dan batubara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan
batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan
lingkungan, guna menjamin pernbangunan nasional secara berkelanjutan. Pasal 173
yang merupakan ketentuan penutup undang-undang minerba yang baru juga mengatur
bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dinyatakan tidak berlaku. Seluruh
peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan dinyatakan masih tetap berlaku selama tidak
bertentangan dengan undang-undang yang baru tersebut.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara terdiri 26 bab dan 175 pasal, mengatur tiga bentuk izin yaitu Izin
Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK). Keberadaan kontrak maupun izin yang berlaku
sebelumnya pun masih diakui tercantum dalam Pasal 169 yang intinya mengatur
bahwa Kontrak Karya maupun Perjanjian Karya Pengusaahaan Pertambangan
Batubara yang telah ada sebelumnya masih diakui keberadaannya dan harus
57
Ibid.
58
Ibid.
31

disesuaikan paling lambat 1 tahun kecuali mengenai penerimaaan negara.59 Ketentuan


yang harus disesuaikan meliputi permurnian harus dilakukan di dalam negeri,
menyampaikan rencana kegiatan, dan menyetorkan keuntungan yang diperolehnya.
Pengolahan dan pemurnian tersebut ditunjukkan kepada pemegang Kontrak Karya
dan PKP2B yang telah melakukan kegiatan produksi untuk meningkatkan mutu
mineral dan untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan. Perusahaan
tambang dalam melakukan pemurnian harus dilakukan di dalam negeri baik dengan
membangun unit pengolahannya sendiri atau menggunakan unit pengolahan dan
pemurnian yang dibangun di daerah lainnya. Pemurnian ini harus dilakukan paling
lambat 5 tahun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara.60
Rencana kegiatan merupakan rancangan atau laporan tentang aktivitas yang
akan dilakukan pemegang izin maupun kontrak. Rencana ini harus disampaikan
kepada pemerintah untuk memperoleh persetujuan. Pemegang izin maupun kontrak
yang tidak menyampaikan semua rencana kegiatannya akan berakibat pada
pengurangan wilayah Kontrak Karya atau PKP2B yang disesuaikan dengan Undang-
Undang.61
Hal terpenting yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah kewajiban untuk menyetorkan
keuntungan kepada pemerintah. Pemegang Kontrak Karya dan PKP2B selama ini
tidak pernah menyetorkan keuntungan yang diperolehnya baik kepada Pemerintah
maupun Pemerintah daerah, selama ini keuntungan hanya dinikmati pemegang
kontrak karya dan PKP2B saja kecuali mengenai kewajiban pajak dan penyetoran
bagi hasil. Keuntungan yang harus dibayar yaitu 10% dari keuntungan bersih yang
dibagi kepada Pemerintah sebanyak 4% dan Pemerintah Daerah sebanyak 6%. Bagian
Pemerintah Daerah dibagi menjadi 1% untuk Pemerintah Provinsi sedangkan 2,5%
masing-masing pada pemerintah kabupaten/kota penghasil dan pemerintah
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama. Keuntungan tersebut dianggap

59
Salim.H.S, Op.Cit., hlm.2.
60
Ibid, hlm.4-5.
61
Ibid., hlm.4.
32

cukup untuk membiayai pembangunan daerah guna mengingkatkan kesejahteraan


masyarakat.62
Ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Presiden meliputi
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah
Pertambangan
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2010 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengolaan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara
e. Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan
Pascatambang.
c. Ius Constituendum (RUU Minerba)
Rapat Kerja Komisi VII DPR RI dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM), Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian
Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM RI membahas penyerahan Daftar
Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara
(RUU Minerba), yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Minerba. Komisi VII DPR RI telah menerima 938 DIM yang diserahkan
langsung oleh Sekjen Kementerian ESDM bersama Sekjen Kementerian
Perindustrian.63

RUU Minerba ini juga menuai kontroversi, draftnya, RUU ini juga menghapus
pasal korupsi pertambangan. Informasi soal hilangnya pasal korupsi dalam RUU
Minerba muncul dalam draft daftar inventarisasi masalah (DIM) "Pasal 165 yang
sebelumnya sudah ada di UU Minerba, itu hilang. Itu sejenis pasal untuk menjerat
pelaku korupsi. Pelaku korupsi, pejabat atau pihak lain yang menyalahgunakan lewat
62
Ibid., hlm.5-6.
63
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Komisi VII Terima 938 DIM RUU Minerba dari
Pemerintah,http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/26039/t/Komisi+VII+Terima+938+DIM+RUU+Minerba+dari+
Pemerintah, diakses pada 1 Oktober 2019.
33

pasal itu bisa dipidana. Konsekuensinya pejabat yang meyalahgunakan wewenangnya,


tak bisa dijerat lagi . Pasal 165 yang dimaksud

“Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan
Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana
paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).”64

Peneliti Auriga Hendrik Siregar menilai pembahasan RUU Minerba secara kilat
memiliki kesan balas utang budi selama proses kampanye Pemilihan Presiden
(Pilpres). RUU Minerba dinilai mengakomodir pemegang Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Kontrak Karya (KK) yang masa
kontraknya akan habis. Apalagi,  beberapa perusahaan tambang besar akan habis
kontraknya dalam waktu dekat. Dalam proses pembahasan sebelumnya, Hendrik
menyebutkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Minerba dikembalikan lantaran
belum adanya harmonisasi antar kementerian. Bahkan pada rapat terakhir,
Kementerian Perindustrian belum menandatangani DIM tersebut karena masalah
perizinan yang tumpang tindih antar kementerian. Koordinator Jaringan Advokasi
Tambang (Jatam) Merah Johansyah menilai substansi RUU Minerba cacat dari segi
komposisi. Menurutnya, RUU Minerba hanya memfasilitasi pengusaha dan industri
pertambangan. Pasal 115A menyebutkan, siapa pun, termasuk masyarakat terdampak,
yang mencoba menolak dan tidak setuju dianggap menghalangi proses pertambangan
bisa berhadapan dengan proses hukum alias dikriminalisasi. Jatam mencatat, dalam
tiga tahun terakhir terdapat 85 kasus warga yang dikriminalisasi karena
mempertahankan hak-haknya berkonflik dengan perusahaan tambang.65
D. Hak Menguasai Negara
1. Konsep Hak Menguasai Negara
Indonesia merupakan negara hukum, maka seluruh tindakan negara haruslah
mempunyai dasar kewenangan atau legitimasi. Prinsip negara hukum yang sedemikian
rupa disebut asas legalitas. Penguasaan negara (Indonesia) atas SDA memperoleh
64
Detik News, Kontroversi di Balik 4 RUU yang Pengesahannya Diminta Ditunda, https://news.detik.com/berita/d-
4718715/kontroversi-di-balik-4-ruu-yang-pengesahannya-diminta-ditunda/4, diakses pada 1 Oktober 2019
65
Rizky Alika, Bahas RUU Minerba, Presiden Jokowi dan DPR Dinilai Bohongi
Rakyat , https://katadata.co.id/berita/2019/09/26/bahas-ruu-minerba-presiden-jokowi-dan-dpr-dinilai-bohongi-
rakyat, diakes pada 1 Oktober 2019.
34

legitimasi berdasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kewenangan tersebut
diperoleh melalui dalam atribusi dalam konsep Hukum Administrasi Negara. Menurut
teori kedaulatan, Hak Menguasai Negara merupakan turunan dari teori kedaulatan
(sovereignty theory). Jean Bodin mengatakan bahwa kedaulatan merupakan atribut
maupun ciri khusus dan bahkan menjadi hal yang pokok bagi setiap kesatuan yang
berdaulat atau yang dikenal dengan sebutan negara. Kekuasaan negara tidak dapat
diabtasi oleh kekuasaan yang lainnya. Teori kedaulatan ini kemudian melahirkan teori
menguasai negara atas seluruh wilayah dalam kedaulatan negara yang bersangkutan
termasuk isinya. Berdasarkan kedaulatan tersebut maka harta kekayaan (property)
yang menjadi hak warga negara tergantung pada diskresi dari pemegang kedaulatan.66
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 apabila dihubungkan maka hak dan wewenang
dari negara tersebut haruslah diartikan dalam arti imperium dalam Hukum Romawi,
atau wewenang negara sebagai pengertian dalam Hukum Publik, bukan dalam arti
dimiliki atau dominium dalam Hukum Romawi atau hak milik sebagai pengertian
hukum perdata. Hal tersebut sejalan dengan konsepsi hubungan negara dengan tanah,
dimana negara merupakan personifikasi rakyat, bukan sebagai perorangan atau badan
kenegaraan.67 Hak negara adalah hak imperium, yaitu hak menguasai tanah atau
penggunaannya.68
Wewenang penguasaan oleh negara meliputi seluruh bumi, air dan ruang
angkasa di wilayah Negara Republik Indonesia, baik yang di atasnya sudah ada hak-
hak perorangan/keluarga. Penguasaan oleh negara sebab itu disebut dengan Hak
Menguasai Negara yang merupakan hubungan hukum antara negara sebagai subyek
dengan sumber daya alam sebagai obyek. Hubungan hukum tersebut melahirkan hak
untuk menguasai SDA dan sekaligus kewajiban bagi negara dalam penggunaan SDA
tersebut yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hak Menguasai Negara
merupakan instrumen, sedangkan dipergunakannya untuk kemakmuran rakyat
merupakan tujuan. Penguasaan oleh Negara tersebut tidaklah dalam arti memiliki
(eigensdaad), karena apabila hak penguasaan negara diartikan sebagai eigensdaad

66
Sunarjati Hartono , 1976, , Apakah The Rule of Law, Bandung, Alumni, hlm.48.
67
Ibid.
68
Iman Soetiknyo, 1990, Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia dengan Tanah yang Berdasarkan
Pancasila, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, hlm.20.
35

maka tidak akan ada jaminan bagi pencapaian tujuan hak menguasai tersebut, yaitu
sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.69
Menurut Bagir Manan, dalam hal penguasaan oleh negara tersebut, “negara
hanya melakukan bestuursdaad dan beheersdaad,” yang memberi kewenangan kepada
negara untuk mengatur, mengurus dan memelihara termasuk mengawasi. Hakekatnya
hak menguasai untuk mengurus atau beheerrecht itu bukanlah sejenis hak keperdataan,
melainkan suatu kewajiban sosial bagi orang (corpus) untuk menjaga dan mengurus,
yang dalam konteks Negara disebut kewajiban publik (publiek verplichting atau public
responsibility). Konsepsi Hak Menguasai Negara ini berbeda dengan asas domein
dalam konsepsi Hukum Tanah Kolonial (Belanda) yang diatur dalam Pasal 1 AB. Asas
domein menegaskan bahwa negara adalah sebagai organisasi kekuasaan publik
sekaligus sebagai badan hukum perdata yang dapat dilihat dalam model pemilikan
tanah oleh negara yaitu tanah domein negara. Berdasarkan asas domein Pemerintah
Kolonial Belanda menguasai tanah dan melakukan pengelolaan hutan dan tambang di
Hindia Belanda.70
2. Pengaturan Normatif Hak Menguasai Negara
Penguasan negara terhadap Sumber Daya Alam dapat dilihat dalam undang-
undang berikut ini. Penguasaan negara atas bumi, air dan ruang angkasa sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Pokok Agraria, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, Pasal 4 Undang-Undang Nomor Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi, Pasal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 4
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Keseluruhan
undang-undang tersebut menunjukkan bahwa Hak Menguasi Negara pada prinsipnya
memberi wewenang kepada negara untuk mengatur atau mengurus penguasaan dan
penggunaan SDA tersebut.71

69
Ibid. hlm.52.
70
Ibid, hlm.56.
71
Boedi Harsono, 1997, Sejarah Pembentukan Undang-undang pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta,
Djambatan, hlm.239.
36

Kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang berkarakter publik, artinya


penguasaan oleh negara tersebut hanya memberi wewenang kepada negara untuk
mengatur dan mengurus penguasaan dan peruntukan SDA tersebut. Kewenangan yang
berkarakter publik tersebut ditegaskan oleh Pasal 2 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa
kewenangan dari Hak Menguasi Negara meliputi:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang-angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.72
Kewenangan negara sebagaimana dimaksud pada huruf (a) tersebut dijabarkan
lebih lanjut dalam beberapa pasal pada Bab I UUPA, khususnya Pasal 14. Penjabaran
wewenang negara pada huruf (b) lebih lanjut diatur dalam Pasal 4, 6-11 dan ketentuan
dalam Bab II UUPA. Wewenang negara pada huruf (c) merujuk pada ketentuan Pasal
12, 13, 26 dan 49 UUPA. Boedi Harsono menjelaskan bahwa pengertian mengatur’dan
menyelenggarakan sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dilaksanakan oleh lembaga
pembentuk peraturan perundang-undangan seperti TAP MPR, UU/Perpu, PP,
Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri. Sementara itu, pengertian menentukan
dan mengatur sebagaimana dimaksud pada huruf (b) dan (c) merupakan kekuasaan
eksekutif oleh Presiden, Menteri dan pejabat negara lainnya.73

3. Perluasan Konsep Hak Menguasai Negara Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi


Nomor 35/PUU-X/2012
Perkembangannya konsep penguasaan negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) UUPA tersebut mengalami perluasan. Pertimbangan hukum putusan
Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang Minyak dan Gas
Bumi (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001), Undang-Undang Ketenagalistrikan
(Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002), Undang-Undang Sumber Daya Air
(Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004) dan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah
72
Ibid, hlm.240
73
Ibid..
37

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007), menafsirkan


bahwa Hak Menguasai Negara bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam
pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan
(regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan
(beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad).74
a) Melakukan Pengelolaan
Fungsi pengelolaan (beheersdaacf) dilakukan melalui mekanisme pemilikan
saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen
BUMN atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang
melalui negara. pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber
kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.75
b) Merumuskan Kebijakan (beleid)
Kamus Hukum, kata beleid (Belanda) diterjemahkan menjadi kebijakan
(Indonesia) dan policy (Inggris), dalam bidang pertanahan dikenal terminologi land
policy (kebijaksanaan pertanahan) atau yang lebih populer dengan istilah politik
pertanahan. Kata beleid dalam beberapa literatur Hukum Administrasi Negara
kadang diterjemahkan menjadi kebijaksanaan. Peraturan ini semacam hukum
bayangan dari undang-undang atau hukum. Oleh karena itu, peraturan ini disebut
pula dengan istilah psudo–wetgeving (perundang-undangan semu) atau spigelsrecht
(hukum bayangan/cermin).76
c) Melakukan Pengaturan (regelendaad)
Pengaturan berasal dari kata peraturan (regeling) yang bermakna tiap
keputusan pemerintah (overheidsbesluit) yang langsung mengikat tiap penduduk
wilayah negara atau tiap penduduk sebagian wilayah negara. Pengertian tersebut
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan peraturan adalah peraturan
perundang-undangan sebagaimana terakhir diatur dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Fungsi
pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi

74
Julius Sembiring, 2018, Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria, BHUMI: Jurnal Agraria dan
Pertanaha, hlm.120.
75
Ibid..
76
Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.183..
38

oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif).
Peranan pemerintah diperlukan untuk menjamin akses yang adil terhadap tanah
sehingga tanah tidak semata-mata digunakan sebagai komoditas dalam wewenang
regelen tersebut.. Maria SW. Sumardjono menyatakan bahwa kewenangan negara
untuk mengatur itu dibatasi oleh dua hal. Pertama, pembatasannya oleh UUD
sehingga pengaturan itu tidak boleh berakibat pada pelanggaran hak-hak dasar
manusia. Kedua, pembatasan yang bersifat substantif, yaitu menjawab pertanyaan
apakah peraturan yang dibuat itu relevan dengan tujuannya, yaitu untuk
terwujudnya sebesar-besar kemakmuran rakyat. Peraturan perundang-undangan
yang dibuat itu harus bersifat netral sekaligus berpihak kepada yang lemah, di lain
pihak negara wajib mengawasi pelaksanaan peraturan itu, dalam hal terjadi konflik
negara harus dapat menjadi wasit yang adil. Namun ketika negara menjadi pelaku,
maka ia harus tunduk pada peraturan yang dibuatnya sendiri.77
d) Melakukan Pengurusan (bestuursdaad)
Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah
dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan
(vergunning), lisensi (licentie) dan konsesi (concessie), dan melakukan
Pengelolaan (beheersdaad). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui
mekanisme pemilikan saham (shareholding) dan/atau melalui keterlibatan
langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik
Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui negara. Pemerintah
mendayagunakan penguasaannya atas sumber sumber kekayaan itu untuk
digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Konstruksi hukum agraria
kolonial Belanda, beheersrecht bukanlah sebuah hak keperdataan, melainkan
kewajiban publik Negara Belanda untuk mengurus dan merawat tanah milik
negara sebagai harta benda kekayaan (vermogens) tetapnya Negara Belanda.78
e) Melakukan Pengawasan (toezichthoudendaad)
Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudendaad) dilakukan oleh
negara. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan
penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang
77
Julius Sembiring. Op.Cit., hlm.121.
78
Ibid., hlm.122
39

menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk


sebesar- besarnya kemakmuran seluruh rakyat.79
Fungsi pengawasan dari Hak Menguasai Negara tersebut, Mahkamah
Konstitusi (MK) memberikan pendapat dalam judicial review Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Menjadi Undang-Undang. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pemerintah
harus melakukan pemantauan, evaluasi, dan pengawasan dengan melihat dari sisi
biaya dan manfaat (cost and benefit) yang diberikan kepada masyarakat, bangsa
dan negara, dan melakukan perubahan syarat-syarat kontrak karya untuk
mengantisipasi dampak negatif kegiatan penambangan terhadap lingkungan hidup
yang disertai dengan kewajiban untuk merehabilitasi atau memperkecil dampak
negatif demi kepentingan generasi sekarang maupun generasi mendatang.80
4. Pemeringkatan Fungsi Menurut Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dari kelima fungsi Hak Menguasi
Negara tersebut terdapat peringkat antara fungsi yang satu dengan lainnya, dalam
putusan Perkara No. 36/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, kelima peranan Negara/Pemerintah dalam
pengertian penguasaan negara itu, jika tidak dimaknai sebagai satu kesatuan tindakan,
harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitasnya untuk mencapai sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa bentuk
penguasaan negara peringkat pertama dan paling penting adalah negara melakukan
pengelolaan secara langsung atas SDA agar negara mendapatkan keuntungan yang
lebih besar dari pengelolaan SDA. Peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan
dan pengurusan, dan fungsi negara dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan
dan pengawasan.81
5. Pembatasan Hak Menguasai Negara
Hak Menguasai Negara juga dibatasi oleh hak-hak seseorang dan badan hukum.
Penjelasan Umum UUPA menyatakan bahwa kekuasaan negara mengenai tanah yang
79
Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, hlm.173.
80
Julius Sembiring, Op.Cit., hlm.122.
81
Yance Arizona, 2010, Konstitusionalisme Agraria, , STPN Press, Yogyakarta 2014, hlm.279.
40

sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai
seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan
haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut. Tanah-tanah yang tidak
dipunyai dengan sesuatu hak, kekuasaan negara atas tanah lebih luas dan penuh
daripada tanah-tanah yang sudah dilekati hak oleh seseorang atau badan hukum.
Negara lebih leluasa menjalankan kekuasaannya atas tanah yang masih berstatus tanah
negara. Ketiga, Hak Menguasai juga dibatasi oleh keberadaan hak-hak ulayat
masyarakat hukum adat yang secara faktual masih ada. Sekiranya kepentingan umum
menginginkan hak ulayat, maka perolehan tanahnya hanya dapat dilakukan setelah
masyarakat hukum adat pemegang hak tersebut didengar pendapatnya dalam arti
diajak bermusyawarah dan diberikan recognitie. Tegasnya, dalam keadaan biasa, tidak
bisa memperoleh tanah ulayat tanpa adanya persetujuan dari masyarakat hukum adat
pemegang Hak Ulayat tersebut.82
Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa dalam hal fungsi mengatur dari Hak
Menguasai Negara, maka wewenang untuk mengatur itu dibatasi oleh 2 (dua) hal.
Pertama, pembatasan oleh Undang-Undang Dasar; dan kedua, pembatasan yang
bersifat substantif. Pembatasan oleh UUD bermakna pengaturan oleh negara tidak
boleh berakibat pelanggaran hak-hak dasar manusia, tidak boleh bias terhadap
kepentingan suatu pihak, terlebih jika hal itu menimbulkan kerugian kepada pihak lain.
Seseorang yang harus melepaskan hak atas tanahnya berhak memperoleh perlindungan
hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanannya itu. Pembatasan yang bersifat
substantif terkait pertanyaan apakah peraturan yang dibuat relevan dengan tujuannya,
yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu kewenangan
pembuatan kebijaksanaan tidak dapat didelegasikan kepada organisasi swasta karena
hal yang diatur berkaitan dengan kesejahteraan umum, sarat nilai pelayanan, tapi dapat
terjadi konflik kepentingan karena pihak swasta merupakan bagian dari masyarakat
yang juga ikut diwakili kepentingannya..83
Wilayah Kerja Otoritas Pertambangan berwenang menerbitkan Izin Usaha dan
Kontrak Kerja Sama (KKS). Izin Usaha adalah izin yang diberikan kepada Badan
Usaha untuk melaksanakan Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga
82
Julius Sembiring, Op.Cit., hlm.125.
83
Ibid.,hlm.126
41

dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba. KKS adalah Kontrak Bagi Hasil
atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang
lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Di dalam Wilayah Pertambangan, Otoritas Pertambangan
berwenang menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Menurut Undang-Undang
Nomor. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,, IUP adalah izin
untuk melaksanakan usaha pertambangan. IUP terdiri dari 2 (dua) tahap, yaitu IUP
Eksplorasi yang meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi
kelayakan; dan IUP Operasi Produksi yang meliputi kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.84

E. Organisasi Administrasi Negara dalam Hukum Pertambangan Minerba


Organisasi Administrasi Negara mengenai Pertambangan termasuk Mineral dan
Batubara diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13
Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Energi dan Sumber Daya
Mineral. Kementrian ini berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, serta
dipimpin oleh menteri.85 Kementrian ini mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Perumusan dan penetapa dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan,
pengendalian, dan pengawasan minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, mineral dan
batubara, energi baru, energi terbarukan, konservasi energi, dan geologi.
b. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang energi dan sumber daya mineral.
c. Pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang energi dan sumber daya
mineral.

84
Ibid.
85
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, 2018, Struktur Organisasi,
https://www.esdm.go.id/id/profil/struktur-organisasi, diakses 18 November 2019 Pukul.16.46 WIB
42

d. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian


Energi dan Sumber Daya Mineral.86
Kementrian ini mempunyai tugas menyelanggarakan urusan pemerintahan di
bidang energy dan sumber daya mineral untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral
terdiri atas
a. Sekretaris Jenderal
b. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
c. Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan
d. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara
e. Direktorat Jenderal Eenergi Baru, Terbarukan, dan konservasi Energi
f. Inspektorat Jenderal
g. Badan Geologi
h. Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral
i. Badan Pengembangan Sumber Daya Man87usia Energi dan Sumber Daya Mineral
j. Staff Ahli Bidang Perencanaan Strategis
k. Staf Ahli Bidang Investasi dan Pengembangan Infrastruktur
l. Staf Ahli Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam

F. Nilai-Nilai pada Sistem Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara


1. Nilai Religi
Hukum Pertambangan Mineral dan batubara telah ditegaskan pada landasan
ideologis Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara yang berbunyi bahwa mineral yang terkandung di wilayah hukum
pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak terbaharukan sebagai
karuni Tuhan Yang Masa esa yang mempunyai peranan pentingdalam memenuhi hajat
hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh negara untuk
memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Sumber daya alam berupa

86
Ibid
87
Ibid.
43

mineral dan batubara dapat ditarik kesimpulan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
sehingga dapat dimaknai keberadaannya pun berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.88
2. Nilai Filosofi
Nilai filosofi hukum pertambangan mineral dan batubara Indonesia didasarkan
atas ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang mengatur bahwa bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat (3) menjadi doktrin
penguasaan negara dan sekaligus menjadi landasan filosofi dan yuridis pengelolaan
sumber daya alam di Indonesia. Pemanfaatan sumber daya secara optimal tersebut juga
merupakan salah satu dari tujuan negara sebagaimana yang disebutkan dalam alinea
ke-IV Pembukaan UUD 1945 yakni untuk memajukan kesejahteraan umum.89
3. Nilai Kekuasaan
Nilai kekuasaan beranjak dari Pasal 2 UUPA yang mengatur Hak Menguasai
Negara yang merupakan hubungan hukum antara negara sebagai subyek dengan
sumber daya alam sebagai obyek. Hubungan hukum tersebut melahirkan hak untuk
menguasai SDA dan sekaligus kewajiban bagi negara dalam penggunaan SDA
tersebut yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Perkembangannya konsep
penguasaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA tersebut
mengalami perluasan dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi  Nomor
35/PUU-X/2012 bahwa Hak Menguasai Negara bukan dalam makna negara memiliki,
tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan
pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan
pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad). Hak
Menguasai Negara juga dibatasi oleh hak-hak seseorang dan badan hukum. Penjelasan
Umum UUPA menyatakan bahwa kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah
dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai
seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan
haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut.90
4. Nilai Ekonomi

88
Salim HS, Op.Cit., hlm.43.
89
Ibid., hlm.42.
90
Ibid., hlm.45
44

Sesuai dengan landasan konstitusional dan landasan ideologis dalam peraturan


perundang-undangan, maka mineral dan batubara sebagai kekayaan alam tidak
terbaharukan melalui penguasaan negara dapat meningkatkan nilai perekomian
nasional untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
berdasarkan keadilan. Sistem hukum pertambangan mineral dan batubara seharusnya
meningkatkan perekonomian masyarakat terutama masyarakat yang tinggal disekitar
wilayah petambangan baik melalui disediakannya lapangan pekerjaan, pemberian
bantuan biaya pendidikan, pembangunan berbagai infrastruktur.91
5. Nilai Hukum
Dalam sistem hukum pasti yang menonjol adalah nilai hukum. Nilai hukum
dalam sistem hukum pertambangan mineral dan batubara terdapat dalam mekanisme
memperoleh izin, jangka waktu izin, berakhirnya izin, substansi dari izin tersebut,
serta penyelesaian sengketa. Nilai hukum ini melekat dalam dasar hukum dari
pelaksanaan pertambangan mineral dan batubara yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pertambangan mineral dan batubara tidak hanya dalam undang-undang yang berlaku
di Indonesia saja melainkan juga yang ada di negara lain. Peraturan perundang-
undangan di Indonesia tersebut antara lain Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Peraturan Pemerintah nomor 22 Tahun
2010 tentang Wilayah Pertambangan, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010
tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan
Pemerintah nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelnggaraan Pengeolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dan
Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang.92
6. Nilai Ilmu Pengetahuan
Penyelidikan dan penelitian pertambangan oleh
menteri/gubernur/bupati/walikota sesuai kewenangannya dalam sistem hukum
pertambangan mineral dan batubara adalah guna menunjang penyiapan wilayah
pertambangan dan menunjang ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai
pertambangan.
91
Ibid..
92
Ibid., hlm.46-47.
45

G. Invetaris Masalah
Hemat penulis yang menjadi permasalahan dalam sistem hukum pertambangan mineral
dan batubara di Indonesia akan diuraikan sebagai berikut
1. Bagaimana permasalahan perijinan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia
saat ini ?
2. Bagaimana kesesuaian penetapan wilayah Pertambangan dengan tata ruang nasional?
3. Bagaimana peran sistem hukum pertambangan mineral dan batubara dalam
pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat ?
4. Apakah kawasan hutan lindung dapat dijadikan Wilayah Pertambangan?
5. Bagaimana implementasi reklamasi pascatambang mineral dan batubara saat ini ?
6. Bagaimana perkembangan Mafia Tambang Mineral dan Batubara di Indonesia saat
ini?
7. Apa saja manfaat dan kerugian yang diderita masyarakat akibat adanya kegiatan
usaha pertambangan mineral dan batubara ?
8. Bagaimana kerugian yang diderita negara akibat adanya kegiatan usaha
pertambangan mineral dan batubara?
9. Bagaimana permasalahan dalam RUU Minerba yang menjadi perdebatan di Indonesia
akhir-akhir ini?
H. Pembahasan
1. Permasalahan Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia
Pasca reformasi, pertambangan mineral dan batubara di Indonesia menurun
diakibatkan adanya perubahan pada sistem yang diterapkan. Perubahan yang dilakukan
yaitu dari sistem pemerintahan yang sebelumnya sentralistik menjadi desentralistik.
Hal ini didasari dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
kemudian diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan terakhir
menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan
kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Peraturan
Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001, yang merupakan perubahan kedua Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Pokok
Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 diatur bahwa pemda
46

(Bupati/Walikota/Gubernur) sesuai dengan kewenangannya dapat menerbitkan Kuasa


Pertambangan. Periode 2000-2009 terdapat banyak Kuasa Pertambangan yang
diterbitkan oleh pemda. Kuasa Pertambangan yang dikeluarkan oleh pemda membuat
pembagian wilayah pertambangan menjadi rumit. Beberapa wilayah pertambangan
yang saling tumpang tindih dikarenakan setiap daerah berhak mengeluarkan Kuasa
Pertambangan sehingga sulit dikontrol oleh pemerintah pusat.93
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 telah mengakhiri skema kontrak atau
perjanjian yang ada, kemudian skema perizinan beralih menggunakan pola izin Usaha
Pertambangan (IUP). Seluruh Kuasa Pertambangan yang telah terbit harus diubah
menjadi IUP. Namun kendati demikian, dalam kurun 2001 sampai April 2010, telah
terbit ribuan izin Kuasa Pertambangan di daerah. Kendali dan pengawasan Pemerintah
Pusat nyaris hilang sama sekali dalam kurun waktu 10 tahun itu, akibatnya hilang
kendali dan pengawasan Pemerintah Pusat, muncullah berbagai problem yang
membuat permasalahan atau persoalan sektor pertambangan Indonesia. Permasalahan
umum izin Kuasa Pertambangan yang diterbitkan Pemda, diantaranya:
a. IUP diterbitkan tanpa didasari dukungan data teknis yang memadai;
b. Dalam satu wilayah izin usaha pertambangan diterbitkan beberapa izin Kuasa
Pertambangan sehingga tumpang tindih (overlapping) wilayah Kuasa
Pertambangan;
c. Kerap terjadi penciutan lahan Kuasa Pertambangan yang dilakukan sepihak oleh
bupati atau walikota dengan dalih penataan, tanpa sepengetahuan pemegang Kuasa
Pertambangan;
d. Kerap terjadi pembatalan Kuasa Pertambangan secara sepihak dengan alasan yang
tidak jelas oleh pejabat pemda, dan memindahkan kepada pemegang Kuasa
Pertambangan yang baru;
e.Banyak aktivitas pertambangan yang dilakukan di luar koordinat wilayah Kuasa
Pertambangan;
f. Banyak pula kasus aktivitas pertambangan dilakukan di wilayah Kuasa
Pertambangan orang lain. 94
93
Nazaruddin Lathif , Tinjauan Yuridis Tentang Kewenangan Pemerintah Provinsi Dalam Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan Batubara, Jurnal Panorama Hukum, Vol. 2 No. 2 Desember 2017 Issn : 2527-6654, hlm.159
94
Ibid.
47

Berbagai permasalahan yang mendera Kuasa Pertambangan itu, merupakan


akibat tidak adanya kendali Pemerintah Pusat kepada Pemda dalam menerbitkan izin
Kuasa Pertambangan. Kuasa Pertambangan sebagian besar diterbitkan oleh Bupati dan
Walikota tanpa memenuhi syarat administrasi, teknis, lingkungan dan finansial,
semua itu disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan. Kondisi pembagian
wilayah pertambangan ada yang tumpang tindih maka penataan IUP perlu
dilaksanakan. IUP terbagi menjadi 2 yaitu, IUP Clear and Clean (CnC) dan IUP Non
Clear and Clean (Non CnC). IUP Clear and Clean adalah IUP yang wilayahnya tidak
tumpang tindih dan/atau perizinannya tidak bermasalah sehingga dapat masuk dalam
Wilayah Usaha Pertambangan. IUP Non Clear and Clean adalah IUP yang
perizinannya bermasalah dan /atau wilayahnya tumpang tindih. Perusahaan yang IUP
berstatus non CnC akan menghadapi beberapa permasalahan.95
Aspek bisnis, ketika perusahaan ingin menjual atau bekerjasama engan pihak
lain tentunya akan dilihat potensi bisnis kedepan terkait legalitas IUP tersebut.
Perusahaan yang IUP berstatus non CnC akan mengurangi minat penjual atau investor
untuk menerima tawaran bisnis tersebut. Ekspor pertambangan mineral diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 dan Permen Nomor 1 Tahun 2014 bahwa
salah satu persyaratannya adalah IUP berstatus CnC. Pemerintah harus tegas untuk
permasalahan ini, perusahaan yang IUP berstatus non CnC diberi peringatan dan
jangka waktu untuk menyelesaikan masalah perizinan dan/atau wilayah yang masih
tumpang tindih. Pada saat melewati batas waktu yang telah ditentukan, pemerintah
berhak memberikan sanksi administratif dengan sanksi paling berat berupa pencabutan
IUP. Semangat awal dilakukannya rekonsiliasi nasional IUP ini baik, yakni
menyelesaikan masalah yang terkait dengan penerbitan IUP yang tidak memenuhi
syarat. Perjalanannya hingga hampir lima tahun sejak Undang-Undang Minerba terbit,
program rekonsiliasi nasional IUP ini ternyata tidak kunjung menyelesaikan masalah.
Penyebabnya adalah pelaksanaan rekonsiliasi atau penetapan IUP CnC dan Non CnC
IUP tidak dilakukan dengan benar yaitu pejabat yang ditugaskan melakukan verifikasi
untuk rekonsiliasi IUP, tidak melakukan pengecekan fisik di lapangan. Penetapan IUP

95
Ibid. hlm.161.
48

Clear and Clean atau IUP Non Clear and Clean, hanya didasarkan pada tumpukan
kertas data administratif.96
2. Kesesuaian Penetapan Wilayah Pertambangan dengan Tata Ruang Nasional
Putusan Mahkamah Konstitusi No.10/PUU-X/2012 telah mengabulkan
sebagian gugatan Bupati Kabupaten Kutai Timur Isran Noor dalam uji materi Undang
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. MK
mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Minerba. Pasal-pasal
yang tidak dikabulkan adalah Pasal 1 angka 29 dan Pasal 171 ayat 1. Intinya, putusan
MK memutuskan Wilayah Pertambangan (WP) ditetapkan oleh pemerintah pusat,
setelah ditentukan oleh pemda dan berkonsultasi dengan DPR. Penetapan WP, WUP,
WIUP itu ditentukan oleh daerah, dan baru kemudian secara berjenjang berdasarkan
pendekatan RTRW itu baru diputuskan oleh pemerintah pusat setelah berkonsultasi
dengan DPR. Wilayah Pertambangan (WP) yang dimaksud dalam undang-undang
minerba adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batu bara dan tidak
terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata
ruang nasional. Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat
(WPR), Wilayah Pencadangan Negara (WPN) merupakan bagian dari WP. Wilayah
Izin Usaha Pertambangan (WIUP) adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang
IUP.97
Keputusan tersebut berakibat pada kewenangan menetapkan wilayah
pertambangan, wilayah usaha pertambangan, dan luas serta batas wilayah izin usaha
pertambangan mineral logam dan batubara kini di tangan pemerintah daerah.
Pemerintah pusat masih bisa membatalkan penetapan itu apabila tidak sesuai dengan
rencana tata ruang dan wilayah serta tumpang-tindih dengan izin yang sudah ada
amar putusan, wilayah pertambangan (WP) ditetapkan oleh pemerintah daerah dan
dikoordinasikan dengan DPR. Undang-Undang Minerba sebelumnya mengatur bahwa
WP ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan
DPR. MK juga menyatakan, penetapan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP)

96
Ibid.
97
Aditya Revianur, 2012, MK: Pemda Berwenang Tetapkan Wilayah Pertambangan, 
https://ekonomi.kompas.com/read/2012/11/23/08171458/MK.Pemda.Berwenang.Tetapkan.Wilayah.Pertambangan ,
diakes pada 9 November 2019 pukul 1.51 WIB
49

dilakukan pemerintah setelah ditentukan oleh pemerintah daerah. Hal itu juga harus
disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Mahfud menjelaskan, luas dan batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP)
mineral logam dan batubara ditetapkan Pemerintah. Penetapan itu diberikan setalah
ada berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh
Pemerintah.. Putusan MK tersebut, terangnya, adalah hal yang baik mencegah
pemerintahan sentralistik.98
3. Permasalahan Pemenuhan Kebutuhan Listrik Masyarakat
Penggunanaan batubara di Indonesia adalah untuk ekspor dan domestik.
Perizinan batubara  terbilang sangat mudah. Keadaan ini, terlihat dari statistik izin
eksplorasi batubara sebanyak 40,21 persen dari keseluruhan izin tambang di Indonesia.
Batubara di Indonesia dipakai untuk beberapa sasaran utama, seperti listrik dan
industri semen. Sejak jaman kolonial, lebih dari 50% produksi batubara telah diekspor
ke luar Indonesia. Cadangan batubara Indonesia yang tidak sebanding dengan
cadangan batubara di negara lain di dunia (0,6%), tetapi tingkat ekspor yang semakin
tinggi setiap tahunnya. Batubara konsumsi dalam negeri hanya berkisar 20-25 persen.
Mayoritas 70-77 persen itu diekspor. Jika pemerintah masih memaksakan
memprioritaskan batubara sebagai ekspor, dalam 10-20 tahun mendatang
perekonomian Indonesia akan kolaps. Hal ini harus menjadi perhatian secara serius,
karena cadangan batubara di Indonesia sebagai penunjang energi dan ekonomi akan
habis dalam waktu 100-an tahun kedepan. Hingga 2020,  pemerintah Indonesia
menargetkan penggunaan batubara pembangkit listrik hingga 64%, sedangkan energi
terbarukan sangat kecil. Gas 17 persen, gheotermal 12 persen, minyak 1 persen dan
hydro 6 persen.99
Pemanfaatan tambang batubara juga dipergunakan untuk industri PLTU,
mutalurgi, semen, tekstil, pupuk, dan pulp dalam negeri. Negara mendapatkan manfaat
langsung berupa pajak, penciptaan lapangan kerja dan program pengentasan

98
Ibid.
99
Irsan dan Meria Utama, Kajian Filsafat Ilmu terhadap Pertambangan Batubara sebagai Upaya Meningkatkan
Kesejahteraan Rakyat Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 23 Oktober 2016: 633 – 651, Fakultas
Hukum Universitas Sriwijaya, hlm.21.
50

kemiskinan berupa corporate social responsibility yang diberikan perusahaan kepada


masyarakat. Masalah yang lain juga timbul diantaranya terjadi kerusakan lingkungan,
pelanggaran HAM dan keadilan sosial (social justice), ketimpangan dan kemiskinan
(welfare and equality), serta masalah tenaga kerja (labor exploitation). Berdasarkan
raian di atas, harusnya sumberdaya alam tambang batubara sebagai tambang yang
tidak dapat diperbaharui tersebut dikelola secara bijaksana agar dapat dimanfaatkan
secara berdaya guna, berhasil guna, dan berkelanjutan demi kesejahteraan rakyat
Indonesia, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang bukan
sebaliknya dikelola dan dimanfaatkan oleh pihak asing.100

4. Permasalahan Penggunaan Kawasan Hutan Lindung sebagai Wilayah


Pertambangan
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) ditenggarai sebagai sarana untuk
mencegah kerusakan hutan jangka panjang. Fakta lapangan menunjukkan
problematika implementasi izin yang tidak sesuai dengan regulasi yang ada.
Permasalahan pertama yang muncul adalah banyaknya regulasi kehutanan yang
masing-masing substansinya justru tumpang tindih satu sama lain. Hal tersebut
menyebabkan ketidakjelasan informasi mengenai tata batas wilayah kawasan hutan,
penentuan fungsi hutan, dan alih fungsi lahan hutan yang justru berakhir pada konflik
kepemilikan lahan oleh pihak ketiga dalam kawasan hutan. Kasus yang menyeruak
adalah kisah dibalik pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 menjadi UndangUndang Nomor 19 Tahun 2004, dimana
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut mengatur mengenai
dispensasi bagi tiga belas pengusaha tambang yang melakukan penambangan terbuka
dalam wilayah hutan lindung. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
tersebut secara yuridis bertentangan dengan Pasal 38 ayat (4) Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.101
100
Ibid, hlm.22
101
Tutut Ferdiana Mahita, Rekonstruksi Kebijakan Publik Tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Yang
Berbasis Sustainable Development , Diponegoro Law Journal Volume 6, Nomor 3, Tahun 2017, hlm.3
51

Kedua, permasalahan mengenai dampak dari informasi kawasan hutan yang


tidak clean and clear. Hal tersebut mengakibatkan banyaknya kasus marginalisasi
masyarakat yang menempati wilayah lahan kawasan hutan. Masyarakat tersebut
tergolong ke dalam suku adat yang telah menghuni hutan sejak regulasi kehutanan
belum terlahir. Kasus pemukiman Suku Dayak di Kecamatan Sajingan Besar, Sambas,
Kalimantan Barat di dalam kawasan hutan lindung merupakan salah satu kasus yang
terjadi. Ketiga, implementasi pelaksanaan pemenuhan persyaratan pengajuan
penerbitan izin pinjam pakai kawasan hutan yang tidak tepat. Hal tersebut ditelaah
berdasarkan kasus pencabutan Izin Lingkungan PT. Semen Indonesia guna pendirian
pabrik semen dan penambangan batu kapur di kawasan Gunem, Rembang, Jawa
Tengah.102
5. Permasalahan Reklamasi Pascatambang Batu Bara dan Mineral
Sistem perijinan di daerah (IUP-Operasi Produksi) tidak memiliki daya paksa
terhadap pemegang izin dalam menempatkan dana jaminan reklamasi, penempatan
dana reklamasi harus dilaksanakan oleh pemeganag jizin dan pemerintah daerah dapat
melakukan reklamasi melalui penunjukkan pihak ketiga dengan menggunakandana
jaminan reklamasi milik pemegang izin. Sistem perizinan yang dipraktikkan oleh
pemerintah daerah biasanya tidak mensyaratkan ada rencana reklamasi yang
ditempatkan sebagai bagian persyaratan pada fase pengajuan izin, baik IUP
Eksplorasi amaupun IUP-Operasi Produksi. Rencana rekamasi pada umumnya tidak
ditempatkan pemerintah daerah sehingga tidak memiliki kejelasan untuk melakukan
pengawasan terhadap proses pelaksanaan reklamasi. Pengaturan mengenai
pengawasan, mekanisme kerja, distribusi pengawas di area-area pertambangan, model
penindakan merupakan permasalahan yang tidak pernah terselesaikan dengan baik
hingga saat ini. Jumlah inspektur tambang seperti di provinsi Kalimantan Timur
hingga saat ini hanya berjumlah 44 orang sehingga menjadi alas an tidak optimal
melakukan pengawasan pada 1.443 tambang batubara. Dinas kehutanan juga hanya
melakukan peninjauan sekali dalam setahun itupun jika dalam area tambang batubara
terdapat penggunaan kawasan hutan. Balai Lingkungan Hidup juga belum melakukan
pengawasan yang memadai terhadap kegiatan pertambangan. Selama ini perusahaan

102
Ibid.
52

penerima penialaian lingkungan dalam kategori baik meskipun tidak melakukan


reklamasi sebagaimana mestinya. Perusahaan yang tidak melakukan reklamasi
sebenarnya menjadi beban pemerintah ke depan karena rusakanya ekeologis dan
menjadi berkurangnya kemampuan daerah dalam memaastikan daya dukung
lingkungan ke depannya. Lahan-lahan pertambangan batubara ditinggalkan begitu saja
oleh pemegang ijin karena berbagai alasan sekaligus menghilangkan areal hutan
alamiah.103
Penyimpangan terhadap kewajiban reklamasi berasal dari konstruksi Permen
ESDM Nomor 7 Tahun 2014 sekaligus menguburkan status hukum kewajiban
reklamasi. Peruntukkan dana reklamasi menjadi tidak jelas karena berubah menjadi
dana pengembangan pariwisata atau jaminan penyediaan air. Upaya-upaya
perlindungan hutan menjadi terbatas karena reklamasi pertambangan batubara pada
areal bekas hutan tidak dilakukan atau jika dilakukan reklamasi terbukti tidak seperti
kondisi semula. Peraturan perundang-undangan saat ini tidak cukup memadahi oleh
karena adanya pilihan-pilihan kewajiban reklamasi yang menyebabkan hilangnya
hutan. Praktik reklamasi sebagai kewajiban hukum tidak dilakukan sebagaimana
mestinya dan terjadi di hampir semua kabupaten/kota yang memiliki areal
pertambangan batubara di kawasan hutan.104
6. Mafia Tambang Mineral dan Batubara Sebagai Rumah Nyaman Korupsi
Agenda Koordinasi dan Supervisi sektor Mineral dan Batubara yang telah
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di 12 provinsi, semakin
memperjelas bagaimana sektor pertambangan menjadi sumber besar kerugian Negara.
Carut marut pengelolaan sumber daya alam di Indonesia seolah menjadi ironi. Temuan
KPK, dari 10.857 izin pertambangan di Indonesia, sebanyak 4.868 izin dinyatakan
bermasalah, yang sebagian besar di antaranya tidak menyetorkan pajak dan royaltinya.
KPK secara resmi juga menyampaikan potensi kerugian Negara dari sektor minerba
ini sebesar Rp. 6,77 triliun setiap tahunnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
sektor ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan menjadi “ATM” bagi para

103
Muhammmad Muhdar, Aspek Hukum Reklemasi Pertambangan Batubara pada Kawasan Hutan di Kalimantan
Timur, 2016, Departemen Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam, Fakultas Hukum Universitas
Mulawarman, Samarinda, hlm.21.
104
Ibid.
53

politisi untuk mendapatkan modal politik secara cepat dalam Pemilu ataupun
Pilkada.105
Demokrasi Indonesia yang telah menjadi sebuah industry. Industri mendorong
perebutan dukungan dari pihak pemodal atau yang sering disebut investor. Perwujudan
demokrasi di Indonesia dalam bentuk Pilkda, Pilleg dan Pilpres merupakan momentum
membangun komitmen kepada investor khususnya tambang dan energi. Visi tersebut
hanya mengedepankan langgengnya kekuasaan, kemenangan dengan segala cara
digunakan termasuk penggunanan uang untuk mendapatkan dukungan, secara
langsung maupun tidak langsung penjarahan SDA untuk kepentingan pembiayaan
politik terjadi melalui.
a) Kedudukan Politik
Posisi sebagai pimpinan mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur hingga Bupati
punya peran penting berlangsungnya penjarahan. Kekuasaan yang akan diperoleh dan
dalam upaya mempertahankannya, pemberian izin menjadi komitmen untuk
mendapatkan sokongan modal. Kedudukan atau jabatan politik sebagai pimpinan,
sangat membuka kemungkinan yang sangat besar menggunakan kewenangan untuk
mengobral SDA. Era otonomi kewenangan perizinan ada di kepala daerah terutama
Bupati. Inilah sebabnya saat era otonomi daerah izin pertambangan seperti tak henti-
hentinya dikeluarkan. Undang-Undang Minerba muncul hanya semakin memperparah,
sejak Undang-Undang ini berlaku jumlahnya ijin melonjak pesat, di akhir 2009,
jumlah izin tambang ada 2.559 izin, hanya dalam tempo 4 tahun jumlah telah
mencapai 11.625 izin.106
b) Produk Kebijakan
Produk-produk hukum yang diterbitkan secara tidak demokratis. Kebijakan ini
memungkinkan komodifikasi hutan (kawasan lindung) untuk konsesi tambang hingga
dukungan finansial internasional yang pada intinya menjaga kestabilan aliran bahan
mentah. Ruang hidup dan ruang publik yang sengaja diprivatisasi untuk menjamin
eksploitasi tetap berjalan. Undang-Undang Minerba adalah produk hukum yang paling

105
JATAM, 2015, Negara Absen Ketika Kejahatan Tambang Merajalela, Presiden Harus Berpihak Pada
Keselamatan Rakyat, http://www.jatam.org/wp-content/uploads/2015/05/Kertas-Posisi-Hari-Anti-Tambang-
2015.pdf, diakses pada 06.33.
106
Ibid.
54

nyata sangat berpihak kepada para pemodal. Undang-Undang Minerba tidak


memberikan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat yang memiliki hubungan
langsung terhadap sumber tambang dan lingkungan. Secara tidak langsung lahirnya
Undang-Undang Minerba atas mandat TAP MPR IX tahun 2001. Undang-Undang
Minerba tak mampu menerjemahkan dengan baik bunyi Pasal 5 ayat (2) TAP MPR
IX. Lebih parah lagi UU 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas. Undang-undang
yang juga dikenal sebagai Undang-Undang Liberalisasi sektor hilir ini, telah
berulangkali di gugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Anehnya, keputusan MK yang
memenangkan dari pihak penggugat, namun hingga kini tak jelas ujungnya revisi
Undang-Undang tersebut oleh DPR. Salah satu hasil putusan MK pada penghujung
2012 lalu adalah pembubaran Badan Pengatur (BP) Migas. Justru direspon pemerintah
dengan membentuk SKK (Satuan Kerja Khusus) Migas, notabene masih sama hanya
berganti nama saja. Padahal, sejak lama diduga BP Migas sebagai mafia adalah sapi
perah pihak-pihak tertentu. Penangkapan dan pengakuan Ketua SKK Migas, Rudi
Rubiandi, menunjukkan mengapa BP Migas harus dibubarkan. Produk hukum yang
ditenggarai berkaitan betul antara kepentingan politik dan pengusaha, seperti telah
disebutkan sebelumnya, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah 2 Tahun 2008. Karena umumnya
deposit mineral maupun fosil yang ada, berada dikawasan hutan lindung, konservasi
maupun cagar alam, dimudahkan dengan kedua aturan tersebut. Selain itu, ada
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.
Peraturan Pemerintah ini makin memudahkan pembongkaran kawasan hutan karena
memberikan ruang kepala daerah propinsi untuk memberikan izin pinjam pakai
kawasan hutan. Masih banyak produk kebijakan yang dilahirkan guna menguntungkan
pihak investor. Termasuk kebijakan di sektor lainnya seperti Kehutanan, Perkebunan,
Kelautan dan sebagainya. Kebijakan-kebijakan yang lahir ini kemudian berpihak
kepada investor, otomatis akan ada kompensasi yang diberikan.107
c) Bargaining Politik
Sebagai alat tukar dari bargaining politik, biasanya pemberian jabatan strategis
atau politis di pemerintahan. Akibat budaya politik yang mahal, ongkos politik yang

107
Ibid.
55

diperoleh dari dukungan politik yang mempunyai kekuatan modal, berujung pada
bagi-bagi SDA tambang dan energi. Dukungan politik itu bisa berasal dari partai
sendiri atau dari partai yang berbeda. Apalagi jika dalam tubuh partai yang
bersangkutan ada pengusaha tambangnya. Sehingga pengusaha tersebut dapat
menggunakan kendaraan partai dalam proses pemilihan untuk memperoleh
keuntungannya.108
d) Investasi Langsung
Para pengusaha saat ini sudah tidak malu-malu lagi untuk terlibat langsung
dalam dunia politik. Selain mendapat privilage untuk mengakses informasi, dan yang
terpenting adalah jaminan politik yang didapat, karena itu adalah hal penting dalam
dunia usaha di Indonesia. Orang-orang seperti ini tak hanya soal posisi politik yang
dikejar. Pengaruh dan wewenangnya akan memudahkan memperoleh yang diinginkan.
Tak heran motif ekonomi lebih mayoritas ketimbang soal-soal yang berkaitan dengan
urusan rakyat.109

e) Kroni
Potret yang paling kita sering lihat dan dengar adanya korupsi secara ber-
jamah. Modus ini juga berlangsung dalam upaya mengeruk keuntungan di SDA.
Perkawanan antara pengusaha dan pengurus negara sering juga disebut
perselingkuhan. Perselingkuhan ini tak lepas dari hubungan perkawanan dalam upaya
saling menguntungkan. Pengurus negara atau legislatif dengan kewenagan akan
memaksakan sebuah kebijakan untuk kepentingan kroninya. 110
f) Jaminan Politik dan keamanan
Apabila di Indonesia para investor telah mendapatkan jaminan politik, diyakini
rintangan dihadapi akan dengan mudah terlewati. Pengurus negara dan politisi diduga
menggunakan menyalah gunakan kewenangannya untuk menekan kelompok tertentu,
khususnya rakyat untuk menerima investasi, jika ada perlawanan dari rakyat. Tak
kalah penting adalah jaminan keamanan, kadangkala dengan kewenangannya pengurus
108
Ibid.
109
Ibid.
110
Ibid.
56

negara dan politisi menggunakan aparat keamanan untuk menjamin berjalannya


investasi. Apalagi, pengurus negara atau politis tersebut memiliki latar belakang
kesatuan aparat keamanan.111
7. Sistem Hukum Pertambangan Minerba dan Batubara terhadap kesejahteraan
Masyarakat
Sistem hukum pertambangan mineral dan batubara di Indonesia saat ini kontruksi
hukumnya masih kacau. Perspektif regulasi bisa dilihat bahwa sistem ini hanya
mengarah pada kesejahteraan subjek hukum berbentuk koorporasi-korporasi besar
semata, masyarakat tidak pernah diberi kesempatan dalam mengutarakan pandangan
terkait intervensi dalam pertambangan. Pemerintah cenderung represif dalam hal ini,
kepentingan masyarakat dilegitimasi dalam salah satu pasal yakni Pasal 163 yang
cenderung mengkriminalisasi masyarakat. Pasal tersebut mengatur bahwa barang siapa
yang mengganggu izin tambang yang sah akan diproses secara hukum dan akan dikenai
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak 100.000.000
(seratus juta rupiah). Posisi masyarakat pun menjadi rentan setiap kali mengajukan
protes terhadap adanya pertambangan di wilayahnya seperti yang terjadi di Kabupaten
Kutai Barat provinsi Kalimantan Timur dimana masyarat menolak kehadiran tambang
PT.Kencana Wilsa yang dikhawatirkan akan merusak, seharusnya ada ruang kepada
masyarakat dalam menolak suatu kegiatan pertambangan saja dan tidak hanya ikut serta
mengajukan IPR ataupun IUP saja. Sistem hukumnya mengarah pada kesejahteraan
sedangkan tidak tercapainya sejahtera disebabkan sistem hukum itu sendiri, yang hanya
dapat mengubahnya adalah sistem hukum itu tersendiri yang dikonsepkan secara baik,
teratur, konsisten, dan tidak bersifat resistensi.112
Sistem hukum pertambangan mineral dan batubara seharusnya meningkatkan
perekonomian masyarakat terutama masyarakat yang tinggal disekitar wilayah
petambangan baik melalui disediakannya lapangan pekerjaan, pemberian bantuan biaya
pendidikan, pembangunan berbagai infrastruktur. Data riset yang berhasil diperoleh oleh
Jaringan Advokasi Indonesia (JATAM) menunjukkan bahwa 80% dari seluruh wilayah
pertambangan di Indonesia berisiko terhadap ketahanan pangan dan berujung pada
111
Ibid.
112
JATAM, Anomali Kemiskinan di Wilayah Tambang Batubara https://www.jatam.org/2019/08/21/anomali-kemiskinan-
di-wilayah-tambang-batubara/, diakses pada 20 September 2019.
57

kemiskinan. Tambang mineral dan batubara sangat berpotensi menimbulkan merusak


potensi lahan untuk berocok tanam dan petani kehilangan 50% produktivitasnya untuk
padi. Daerah yang paling banyak terkena dampak ini adalah daerah dengan IUP
terbanyak di Indonesia yakni Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera
Selatan.113 Pertanyaan yang muncul kemudian apakah ada regulasi yang mengatur
tentang ini ? Bagaimana tindakan pemerintah seharusnya? Dimanakah sistem hukum
pertambangan dan mineral tersebut? Mengapa masyakarat semakin melarat. Oleh sebab
itu dari aspek ekonomi pun kerugian yang ditimbulkan kepada masyarakat akibat
aktivitas pertambangan mineral dan batubara jauh lebih dominan daripada keuntungan
yang diperoleh.
Sistem hukum pertambangan mineral dan batubara yang berasaskan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan juga tidak konsisten terhadap sistem
hukumnya. Hubungan antara negara dengan subyek hukum pertambangan seharusnya
diatur dimulai sejak penelitian hingga pascatambang. Pemerintah pun disini berperan
sampai pada pengawasan terhadap kegiatan reklamasi dan pascatambang melalui
rencana reklamasi dan pascatambang yang harus diserahkan oleh pemegang IUP dan
IUPK. Regulasi memang mengatur tetapi struktur dalam hal ini adalah penegakkannya
yang masih berjalan di tempat. Lubang-lubang tambang batubara yang banyak dijumpai
di Provinsi Jambi maupun Kalimantan Timur sangat banyak dijumpai, jumlahnya tidak
hanya satu atau dua melainkan ada ribuan. Mayoritas lubang tersebut ditinggalakan oleh
perusahaan tambang batubara yang telah mengantongi IUP. Kolam raksasa tersebut
berada dekat dengan pemukiman warga serta tidak ada tanda bahaya atau larangan
mendekat. PH dari air kolam tersebut sangat tinggi karena mengandung berbagai
kandungan logam berat seperti Besi, Mangan, Timbal, Arsenik, Merkuri, Selenium, dan
Boron. Efek dari kandungan logam berat ini dapat membahayakan bahkan dapat
membunuh manusia. Penyakit yang dapat ditimbulkan berupa gatal-gatal, muntah,
kanker, dan menyerang organ tubuh yang lain. Apalagi jika masyarakat mengkonsumsi
ikan dari kolam tersebut bisa berakibat sangat fatal sebab racun dalamnya tidak dapat
dinetralisir.114

113
Ibid.
114
Ibid.
58

Hemat penulis hukum pertambangan mineral dan batubara sebagai sistem


berarti sangat dipengaruhi oleh lingkungannya terutama dari para mafia yang hanya
mengambil keuntungan semata tanpa memperhatikan kepetingan masyarakat. Hukum
pertambangan mineral dan batubara disini harus juga memperhatikan UUPLH (Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009) agar jangan sampai kegiatan pertambangan merusak
lingkungan, akan tetapi undang-undang ini cenderung diabaikan dan dipreteli kekuatan
hukumnya. Hemat penulis sistem hukum pertambangan mineral dan batubara ini masih
berjalan di tempat.

8. Kerugian Negara Akibat Sistem Hukum Pertambangan


Pengaturan mengenai pendapatan negara dan daerah diatur dalam Bab XVIII
Pasal 128-133 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara. Kewajban membayar 10% dari keuntungan bersih oleh pemegang IUPK
Operasi Produksi memang dirasakan berat bagi perusahaan pertambangan mineral dan
batubara, sebab belum termasuk biaya-biaya lain yang diatur. Pembayaran royalty ini
masuk kategori jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Selain royalty,
perusahaan juga diwajibkan membayar pendapatan terdiri dari pajak (bea masuk, bea
cukai), serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (iuruan produksi, iuran eksplorasi,
kompensasi data informasi). 115
Akan tetapi sepertinya tujuan dari regulasi tersebut
hanyalah ius constituendum karena fakta berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi
Pemberantasan korupsi (KPK) yang dirilis oleh media.com, menunjukkan bahwa
diperkiran kerugian negara dari pemasukkan sector batubara diperkirakan mencapai
1,3 triliun per tahun. Perkiraan ini tak jauh berbeda dengan temuan Indonesian
Corruption Watch (ICW), di mana kerugian negara dalam dari sektor batu bara
mencapai Rp 133 triliun dalam kurun waktu 10 tahun ini. ICW menemukan indikasi
transaksi yang tidak dilaporkan mencapai Rp.365,3 triliun. 116 Kerugian ini disebabkan
karena adanya kebocoran yang cukup signifikan pada penerimaan negara akibat

115
Adrian Sutedi, Op.Cit. hlm.115.
116
Merdeka, Potensi Kerugian Negara Rp 1,3 T Per Tahun, KPK Tinjau Tambang Batu Bara di Kaltim ,
https://www.merdeka.com/peristiwa/potensi-kerugian-negara-rp-13-t-per-tahun-kpk-tinjau-tambang-batu-bara-di-
kalt.html, diakses 15 September 2019 pukul 11.52 WIB.
59

perbedaan data yang ada di Kementrian ESDM, Kementrian Perdagangan, Dirjen


Perhubungan dan Laut, serta Bea Cukai seperti pada pertambangan batu bara yang ada
di Provinsi Kalimantan Timur.117
Perbedaan data juga turut ditemukan dalam sector eskpor antara data Indonesia
dengan data negara pembeli. Catatan kementrian perdaganagan RI selama kurun waktu
2006-2016 volume ekspor batubara sebanyak 3.421 juta ton sedangkan data yang
dicatat negara pembeli sebanyak 31.475 juta ton. Perbedaan selisihnya sangat jauh
mencapai 299,8 juta ton. Berdasarkan data yang diperoleh dari detikfinance.com
bahwa kerugian negara diperkirakan akan meningkat karena maraknya penambangan
illegal. Penyebab dari ini adalah bagian dari sistem hukum sendiri yakni strukturnya
karena pengawasan pemerintah masih lemah di lapangan mengenai volume dan harga
yang hanya mengandalkan surveyor, serta belum terintegrasinya sistem antar-
kementrian sehingga menimbulkan perbedaan data. Hemat penulis karena masih
kacaunya sistem hukum pertambangan mineral dan batubara pasti merugikan
keuangan negara dan akhirnya tidak akan mencapai tujuannya yakni sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat Indonesia.
9. Konstruksi Ius Constitutum Sistem Hukum Pertambangan Mineral dan
Batubara sebagai Hukum yang Responsif
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara yang mengantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan tidak terlepas dari kekurangan atau
kelemahan. Undang-undang ini masih melanggengkan rezim perampokan kekayaan
negara terutama dengan tambang liar yang dilakukan secara sistematis yang tidak
disertai dengan sanksi yang tertera dalam normanya. Pasal 165 mengatur bahwa setiap
yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK bertentangan dengan undang-undang dan
menyalahgunakan kewenangannaya akan diberi sanksi paling lama dua tahun penjara
dan denda paling banyak Rp.200.000.000,-. Bagi perusahaan tambang kelas kakap
sanksi ini termasuk ringan akan tetapi menjadi sial bagi penambang kecil yang
melakukan kegiatan pertambangan di pinggiran jika sewaktu-waktu melakukan
117
Tribun News, Kerugian Negara Mencapai Rp 1,2 T Dari Batu Bara, Ketua KPK Turun Langsung Ke Sungai
Mahakam, https://www.tribunnews.com/regional/2018/11/15/kerugian-negara-mencapai-rp-12-t-dari-batu-bara-
ketua-kpk-turun-langsung-ke-sungai-mahakam?page=2., diakses 15 September 2019 pukul 12.03 WIB
60

kesalahan. Undang-undang minerba yang baru ini juga berpotensi kepada obral
perijinan sehingga peluang melakukan korupsi sangatlah besar. Korupsi dapat timbul
pada pra-perizinan maupun pasca-perijinan. Korupsi pra-perizinan yang biasanya
dilakukan melalu sogokan maupun suap. Korupsi pasca-perzinan bias melalui
pembayaran pajak, iuran , royalty yang seharusnya diterima pemerintah atau daerah,
dalam hal ini sering terjadi manipulasi volume hasil tambang sehingga setoran ke khas
negara menjadi berkurang.118
Konstuksi sistem hukum pertambangan mineral dan batubara setidaknya
terdapat 5 problematika hukum berdasarkan yang penulis dapatkan dari
hukumonline.com, yang secara mudah bisa diidentifikasi dari keberadaan regulasi
tentang Mineral dan batubara Problem pertama, terkait hilangnya kata pemurnian
dalam Pasal 112 C ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017. Aktivitas
hilirisasi sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 2009,
Pasal 102 dan Pasal 103 mewajibkan peningkatan nilai tambah sumber daya mineral
dan/atau batubara dengan cara melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Namun, dalam Pasal 112 C angka 4 berbunyi
“ Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang
melakukan kegiatan penambangan dan telah melakukan kegiatan pengolahan,
dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu”. 119

Ketiadaan kata pemurnian setelah kata pengolahan dalam pasal 112 C angka 4
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tersebut merupakan bentuk
penghilangan terhadap satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan pemegang
IUP/IUPK. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengatur bahwa tidak ada 1 pun
kata pengolahan yang berdiri sendiri, selalu bersanding dengan pemurnian. Sehingga
hal ini ketentuan ini melanggar pasal 102 dan 103 ayat (1). Problem kedua, soal
bentuk subdelegasi pengaturan peningkatan nilai tambah ke dari Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 kepada Permen ESDM. Pasal 112 C angka 5 Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 menyatakan
118
Adrian Sutedi, Op.Cit. hlm.116.
119
Hukum Online, 2017, Membongkar Kerancuan Regulasi Minerba di Indonesia,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58cf8ccc54b2d/membongkar-kerancuan-regulasi-minerba-di-
indonesia/, diakses 9 November 2019 pukul 13.01 WIB.
61

 “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengolahan dan pemurnian,


batasan minimum pengolahan dan pemurnian serta penjualan ke luar negeri
diatur dengan Peraturan Menteri.”120

Pasal ini mengatur ketentuan mengenai pelaksanaan pengolahan dan


pemurnian, batasan minimum pengolahan dan pemurinan, serta penjualan ke luar
negeri diatur dengan menggunakan instrumen Peraturan Menteri.
Seharusnya, ketentuan mengenai peningkatan nilai tambah seperti yang disebut dalam
pasal 112C angka 5 tersebut, diatur dengan menggunakan Peraturan pemerintah,
bukan dengan Permen ESDM. Hal ini sebagaimana yang diatur Pasal 103 ayat (3)
Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 2009 yang menyatakan
“Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan  peraturan pemerintah.”121
Problemtik ketiga mengenai proses dan tahapan pembentukan Permen ESDM.
Waktu dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor. 1 Tahun 2017, Permen ESDM
Nomor.5 Tahun 2017, dan Permen ESDM Nomor. 6 Tahun 2017 adalah 11 Januari
2017. Artinya, dapat dikatakan bahwa secara periodik, ketiga instrumen hukum ini
dikeluarkan secara bersamaan. Hal ini yang membuat ketiganya menarik untuk dikaji
menggunakan Undang-Undang Nomor.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Konsideran Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017
menyebutkan dasar hukumnya Permen ESDM Nomor. 5 Kemudian, Konsideran
Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017 yang menyebutkan dasar hukum Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017. Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor. 12 Tahun
2011 menyatakan, 
“Pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan melalui
tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan”122

Hal berarti teknik pembuatan peraturan perundang-undangan harus melewati


tahapan-tahapan tersebut. Berkaitan dengan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan, dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
disebutkan adanya asas keterbukaan. Asas ini dimaknai bahwa dalam pembentukan
120
Ibid.
121
Ibid.
122
Ibid.
62

peraturan perundang-undangan, dalam setiap tahapannya harus bersifat transparan dan


terbuka, sehingga ada ruang bagi partisipasi publik untuk memberikan masukan,
koreksi, dan aspirasi. Durasi pembentukan 3 peraturan perundang-undangan ini
sedemikian singkat dan sangat diragukan mengenai partisipasi publik di dalamnya. 123
Problem keempat, terkait pemberian izin ekspor mineral logam. Pada Permen
ESDM Nomor 5 Tahun 2017 yang mengatur tentang peningkatan nilai tambah mineral
melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral dalam negeri dan Permen ESDM
Nomor.6 Tahun 2017 yang mengatur tata cara dan persyaratan pemberian rekomendasi
ekspor, pada intinya adalah membolehkan melakukan penjualan ke luar negeri dengan
beberapa prasyarat tertentu. Hal yang mesti dimaknai secara hukum,ini bertentangan
dengan Pasal 103 Undang-Undang Mineral dan batubara, yang mewajibkan
melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.124
Problem kelima, yakni terkait perubahan Kontrak Karya menjadi IUPK. Pasal
17 angka 2 mengatur bahwa
“ Pemegang Kontrak Karya Mineral Logam dapat melakukan penjualan hasil
pengolahan ke luar negeri dalam jumlah tertentu paling lama 5 (lima) tahun
sejak berlakunya Peraturan Menteri ini setelah melakukan perubahan bentuk
pengusahaan pertambangannya menjadi IUPK Operasi Produksi dan
membayar bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan serta memenuhi batasan minimum pengolahan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini”125

Hal ini bermaksud untuk memberikan izin ekspor mineral logam sepanjang
pemegang Kontrak Karya telah berubah menjadi IUPK.
 Jika dibandingkan dengan tata cara terbitnya IUPK sebagaimana yang diatur Pasal 13,
Pasal 27-Pasal 32, dan Pasal 74–Pasal 83 Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 2009
tentang Mineral dan batubara. IUPK sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang
Nomor. 4 Tahun 2009, sebenarnya adalah izin usaha yang diberikan berasal dari
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). WIUPK ini berasal dari
Wilayah Pencadangan Negara (WPN).126

123
Ibid.
124
Ibid.
125
Ibid.
126
Ibid.
63

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibahas. Kesimpulan dari
makalah ini bahwa sistem hukum pertambangan mineral dan batubara belum
berjalan dengan baik dikarenakan unsur-unsur hukum serta lingkungan dalam
pertambangan mineral dan batubara sebagai suatu sistem masih belum berorientasi
pada kesejahteraan masyarakat. Sistem hukum pertambangan mineral dan batubara
belum dapat mencapai tujuan dalam sistem itu sendiri yaitu untuk sebesar-
sebesarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat berdasarkan keadilan sesuai
amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

B. Saran
1. Pemerintah lebih meningkatkan pengawasan terhadap perizinan maupun
ekspor komoditas tambang mineral dan batubara
2. Pelaku tambang untuk memperhatikan kesejahteraan masyarakat maupun
negara
64

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta.

Adrian Sutedi, 2012, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta

Boedi Harsono, 1997, Sejarah Pembentukan Undang-undang pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.

Iman Soetiknyo, 1990, Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia dengan Tanah yang
Berdasarkan Pancasila, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta.

Salim.H.S, 2012, Hukum Pertembangan Mineral dan Batubara, Sinar Grafika, Jakarta.

Soedikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberti, Yogyakarta.

Sunarjati Hartono , 1976, , Apakah The Rule of Law, Alumni, Bandung.

Yance Arizona, 2010 Konstitusionalisme Agraria, STPN Press, Yogyakarta.

JURNAL
65

Ana Sofa Yuking, 2011,”Kepastian Hukum Dalam Undang-Undang Minerba”, Law Review
Volume XI No. 1 - Juli 2011

Hayatul Ismi, 2014, “Hukum Hak Atas Tanah Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Mineral
Dan Batubara“ , Volume 4 No. 2 Februari-Juli 2014 Jurnal Ilmu, Fakultas Hukum
Universitas Riau, Pekanbaru
Irsan dan Meria Utama, 2016, “Kajian Filsafat Ilmu terhadap Pertambangan Batubara sebagai
Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat Indonesia”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum
No. 4 Vol. 23 Oktober 2016: 633 – 651, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.
Julius Sembiring, 2018, “Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria, BHUMI”, Jurnal
Agraria dan Pertanahan.

Nazaruddin Lathif , 2017, “Tinjauan Yuridis Tentang Kewenangan Pemerintah Provinsi Dalam
Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Batubara” , Jurnal Panorama Hukum, Vol. 2 No. 2
Desember 2017 Issn : 2527-6654.

Suprapto, 2019, “Mempertentangkan Atau Mempersatukan? Pembelajaran Dari Terbitnya


Kebijakan Pinjam Pakai Kawasan Hutan Di Indonesia” , Ecogreen Vol. 5 No. 1, April
2019, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada

Tutut Ferdiana Mahita, 2017, “Rekonstruksi Kebijakan Publik Tentang Izin Pinjam Pakai
Kawasan Hutan Yang Berbasis Sustainable Development” , Diponegoro Law Journal
Volume 6, Nomor 3, Tahun 2017.

MEDIA ONLINE

Aditya Revianur, 2012, MK: Pemda Berwenang Tetapkan Wilayah Pertambangan,


https://ekonomi.kompas.com/read/2012/11/23/08171458/MK.Pemda.Berwenang.Tetapka
n.Wilayah.Pertambangan, diakes pada 9 November 2019 pukul 13.51 WIB
 

Detik News, Kontroversi di Balik 4 RUU yang Pengesahannya Diminta Ditunda,


https://news.detik.com/berita/d-4718715/kontroversi-di-balik-4-ruu-yang-pengesahannya-
diminta-ditunda/4, diakses pada 1 Oktober 2019 Pukul 17.00 WIB

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Komisi VII Terima 938 DIM RUU Minerba
dari
Pemerintah,http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/26039/t/Komisi+VII+Terima+938+DIM
+RUU+Minerba+dari+Pemerintah, diakses pada 1 Oktober 2019 pukul 16.00 WIB.
66

Dunia Tambang, Pertambangan: Orde Baru VS Reformasi Ditinjau dari Undang-Undang yang
Berlaku, https://duniatambang.co.id/Berita/read/101/Pertambangan-Orde-Baru-VS-
Reformasi-Ditinjau-dari-Undang-Undang-yang-Berlaku, diakses pada 8 November 2019
pukul 06.26 WIB.

https://ekonomi.kompas.com/read/2012/11/23/08171458/
MK.Pemda.Berwenang.Tetapkan.Wilayah.Pertambangan, diakes pada 9 November 2019
pukul 1.51 WIB.

Hukum Online, 2017, Membongkar Kerancuan Regulasi Minerba di Indonesia,


https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58cf8ccc54b2d/membongkar-kerancuan-
regulasi-minerba-di-indonesia/, diakses 9 November 2019 pukul 13.01 WIB.

JATAM, 2015, Negara Absen Ketika Kejahatan Tambang Merajalela, Presiden Harus Berpihak
Pada Keselamatan Rakyat, http://www.jatam.org/wp-content/uploads/2015/05/Kertas-
Posisi-Hari-Anti-Tambang-2015.pdf, diakses pada 06.33.

JATAM, Anomali Kemiskinan di Wilayah Tambang Batubara


https://www.jatam.org/2019/08/21/anomali-kemiskinan-di-wilayah-tambang-batubara/,
diakses pada 20 September 2019.

Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, 2018, Struktur Organisasi,
https://www.esdm.go.id/id/profil/struktur-organisasi, diakses 18 November 2019
Pukul.16.46 WIB

Martha Pigome, 2015, Politik Hukum Pertambangan Indonesia Dan Pengaruhnya Pada
Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Era Otonomi Daerah,
https://media.neliti.com/media/publications/4701-ID-politik-hukum-pertambangan-
indonesia-dan-pengaruhnya-pada-pengelolaan-lingkungan.pdf, diakses 14 September
2019 pukul 17.41 WIB.

Merdeka, Potensi Kerugian Negara Rp 1,3 T Per Tahun, KPK Tinjau Tambang Batu Bara di
Kaltim , https://www.merdeka.com/peristiwa/potensi-kerugian-negara-rp-13-t-per-tahun-
kpk-tinjau-tambang-batu-bara-di-kalt.html, diakses 15 September 2019 pukul 11.52 WIB.

Rizky Alika, Bahas RUU Minerba, Presiden Jokowi dan DPR Dinilai Bohongi
Rakyat , https://katadata.co.id/berita/2019/09/26/bahas-ruu-minerba-presiden-jokowi-
dan-dpr-dinilai-bohongi-rakyat, diakes pada 1 Oktober 2019.

Tribun News, Kerugian Negara Mencapai Rp 1,2 T Dari Batu Bara, Ketua KPK Turun Langsung
Ke Sungai Mahakam, https://www.tribunnews.com/regional/2018/11/15/kerugian-negara-
mencapai-rp-12-t-dari-batu-bara-ketua-kpk-turun-langsung-ke-sungai-mahakam?
page=2., diakses 15 September 2019 pukul 12.03 WIB.
67

Anda mungkin juga menyukai