Anda di halaman 1dari 12

PERLINDUNGAN HAK HAK MASYARAKAT ADAT DALAM AKTIVITAS

PERTAMABANGAN : STUDI KASUS PERTAMBANGAN BATU BARA


DISAWAH LUNTO

DISUSUN OLEH :
Almer Adiyatma R (2018200143)
M Nugi Prasetya (2018200142
Kelas D

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
TAHUN 2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hukum pertambangan tidak pernah terlepas dari bagian lingkungan hidup merupakan
anugerah tuhan yang maha esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan
kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan
makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.

Dewasa ini, kejahatan lingkungan sering terjadi di sekeliling lingkungan kita, namun
semua itu tanpa kita sadari. Misalnya saja pada pertambangan, pertambangan merupakan
usaha untuk menggali berbagai potensi-potensi yang terkandung dalam perut bumi.

Negara menguasai secara penuh semua kekayaan yang terkandung di dalam bumi dan di
pergunakan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi kenyataannya rakyat
melakukan kegiatan penambangan dengan tidak memperhatikan aspek-aspek yang
penting di dalamnya, seperti tidak memperhatikan akibat yang ditimbulkan atau pengaruh
dengan adanya pertambangan tersebut (pertambangan liar), namun tidak menutup
kemungkinan pertambangan juga dilakukan oleh perusahaan tambang yang telah
memiliki ijin resmi.

Istilah hukum pertambangan merupakan terjemahan dan bahasa inggris, yaitu mining
law. Hukum pertambangan adalah : "hukum yang mengatur tentang penggalian atau
pertambangan bijih-bijih dan mineral-mineral dalam tanah".definisi ini hanya difokuskan
pada aktivitas penggalian atau pertambangan bijih-bijih. Penggalian atau pertambangan
merupakan usaha untuk menggali berbagai potensi-potensi yang terkandung dalam perut
bumi. Didalam defmisi ini juga tidak terlihat bagaimana hubungan antara pemerintah
dengan subyek hukum. Padahal untuk menggali bahan tambang itu diperlukan
perusahaan atau badan hukum yang mengelolanya.

Pengertian pertambangan menurut undang-undang no. 4 tahun 2009 tentang


pertambangan mineral dan batubara, pasal 1 ayat (1) pertambangan adalah sebagian atau
seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral

2
atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan
pascatambang, ayat (6) usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan
mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi,
studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan
dan penjualan, serta pascatambang, dan ayat (19) penambangan adalah bagian kegiatan
usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral
ikutannya.

Namun sebelum itu perlu diketahui secara jelas sejak kapan pengaturan pertambangan di
indonesia dimulai. Pertambangan di indonesia dimulai berabad-abad lalu. Namun
pertambangan komersial baru dimulai pada zaman penjajahan belanda, diawali dengan
pertambangan batubara di pengaron kalimantan timur (1849) dan pertambangan timah di
pulau bilitun (1850). Sementara pertambangan emas modern dimulai pada tahun 1899 di
bengkulu sumatera. Pada awal abad ke 20, pertambangan-pertambangan emas mulai
dilakukan di lokasi-lokasi lainnya di pulau sumatera.

Pada dasarnya pengaturan pengelolaan bahan galian atau bidang pertambangan di


indonesia, sama halnya dengan landasan hukum bidang lain pada umumnya, yaitu
dimulai sejak pemerintahan hindia belanda. Sehingga, sampai dengan pemeritahan orde
lama, secara konkret pengaturan pengelolaan bahan galian atau bidang pertambangan
masih mempergunakan hukum produk hindia belanda yang langsung diadopsi menjadi
hukum pertambangan indonesia

Perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat, merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam merencanakan dan mengimplementasikan pembangunan nasional.
Azas pemerataan merupakan salah satu landasan yang digunakan dalam melaksanakan
pembangunan nasional undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, terutama
pada pasal 6 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa dalam rangka penegakkan hak
asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah dan dalam ayat (2)
yang berbunyi indentitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman. Demikian pula dalam perkembangan

3
hukum internasional, juga telah mengakui eksistensi masyarakat adat. Khusus dalam
pengelolaan sumber daya alam sebagaimana tersirat dalam free and prior informed
consent principl (lynch, owe, and kirk talbott dalam imamulhadi, 2011) dan juga secara
tegas diakui dalam konvensi ilo 169 mengenai bangsa pribumi dan masyarakat adat di
negara-negara merdeka. Konvensi ilo 169 menetapkan agar pemerintah negara peserta
konvensi bertanggung jawab menggembangkan dengan partisipasi masyarakat yang
terkait, mengkoordinasi dan mengambil tindakan sistematis untuk melindungi hak-hak
bangsa dan masyarakat adat dan menjamin pengakuan terhadap integritas mereka.
Pemerintah juga harus melakukan langkah-langkah untuk memastikan bahwa masyarakat
adat mendapatkan keuntungan berdasarkan hakhak dan kesempatan yang sama dengan
anggota penduduk lainnya.

Pasal 1 ayat (1) konvensi ILO 169 mengatur bahwa hak-hak masyarakat adat dan bangsa
pribumi terhadap sumber daya alam yang berhubungan dengan tanah mereka, harus
secara khusus dilindungi. Hak-hak ini termasuk hak masyarakat tersebut untuk
berpartisipasi dalam pemanfaatan, pengelolaan, dan konservasi sumber daya alam.
(imamulhadi, ibid).

Sehingga tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui sejauh manakah
efektivitas dari hukum konstitusi dalam menegakkan hak hak masyarakat adat dalam
wilayah pertambangan, terkhususnya studi kasus mengenai kasus pertambangan batu bara
disawahlunto.

1.2 Rumusan Masalah

1. Mengetahui hak hak masyarakat adat yang diamanahkan oleh Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ?
2. Bagaimana penegakan hak hak masyarakat adat sawahlunto yang terdampak dalam
wilayah pertambangan

BAB II

PEMBAHASAN

4
2.1 Masyarakat Adat

Masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki perasaan yang sama dalam
kelompok, tinggal di satu tempat karena genealogi atau faktor geologi. Mereka memiliki
hukum adat mereka sendiri yang mengatur tentang hak dan kewajiban pada barang-
barang material dan immateri. Masyarkat seperti ini terbentuk karena faktor teritorial
yaitu terbentuknya masyarakat hukum karena kesamaan tempat tinggal. Atas dasar
kesamaan tempat tinggal dalam usatu wilayah ini kemudian terbentuk suatu masyarakat
yang memiliki keterikatan dengan orang-orang di sekitarnya dan memiliki serangkaian
pertaturan yang mengatur kehidupan antara anggota kelompoknya. Hanya saja
masyarakat ini tidak memiliki kekayaan bersama seperti halnya masyarakat adat.
Didalam termiologi hukum , masyarakat bukan merupakan subyek hukum. Namun jika
mencermati beberapa pasal perundangan yang sudah disebutkan diatas, menunjukan
bahwa masyarakat dapat menjadi subyek hukum apabila masyarakat tersebut berkaitan
langsung dengan masalah masalah pertambangan didaerahnya.

Masyarakat merupakan subyek hukum di dalam peraturan perundangan Sumber Daya


Tambang. Sehingga ada hak-hak yang mereka peroleh dari setiap kegiatan pertambangan
yang dilakukan di daerahnya. Hak masyarakat yang dimaksud adalah hak-hak masyarakat
dalam mengakses sumber daya tambang di daerahnya.

Hak masyarakat lokal di wilayah pertambangan bisa diberikan dalam bentuk


pertambangan rakyat seperti yang diatur pada Pasal 67 ayat 1 Undang- undang Mineral
dan Batu Bara. Pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR) hanya diberikan kepada
masyarakat yang merupakan penduduk setempat baik dalam bentuk perorangan,
kelompok masyarakat dan atau koperasi. Untuk memperoleh IPR, maka masyarakat harus
menyampaikan surat permohonan kepada bupati/ walikota. Masyarakat boleh melakukan
penambangan setelah memperoleh Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dari pemerintah
setempat.

Masyarakat juga mempunyai hak untuk memperoleh pengembangan dan pemberdayaan


masyarakat seperti yang tertuang dalam Pasal 95 huruf d undang- undang Mineral dan
Batu Bara di mana pengembangan masyarakat sekitar merupakan kewajiban hukum yang

5
harus dilaksanakan oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Hal yang sama juga
diatur dalam Pasal 40 ayat 5 Undang- undang Minyak dan Gas Bumi, yang menegaskan
bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha
Minyak dan Gas Bumi ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan
masyarakat setempat. Sehingga kewajiban hukum pemenggang IUP ini harus
dilaksanakan agar terpenuhinya hak masyarakat dalam mendapatkan pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat. Program pemberdayaan masyarakat ini juga harus sesuai
dengan kebutuhan masyarakat yang menjadi sasaran dari program tersebut. Melalui
program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat ini diharapkan setelah tambang
ditutup, masyarakat disekitar lokasi tambang telah menjadi masyarakat yang lebih
mandiri dan sejahtera juga dapat mengembangkan dirinya dari hasil penambangan di
daerah mereka.

Hak masyarakat yang berikutnya adalah dalam memperoleh ganti rugi akibat dampak
negatig langsung dari kegiatan pertambangan yang diatur dalam Pasal 145 UU Minerba.
Masyarakat diberi dua pilihan yaitu memperoleh ganti rugi yang layak atau
memperkarakan ke pengadilan. Jika ganti rugi yang dimaksud tidak mencapai kata
sepakat maka pilihan keduanya adalah mengajukan gugatan ke pengadilan.

Masyarakat adat merupakan subyek hukum, yang mana sudah banyak peraturan yang
mengakomodir hak-hak masyarakat adat di Indonesia. Dalam berbagai peraturan dan
pendapat para ahli masyarakat adat biasa disebut masyarakat hukum adat.

Eksistensi masyarakat adat di Indonesia diakui secara konstitusional, sebagaimana


tertuang dalam Pasal 18 huruf B ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisional sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang.”

Dan Pasal 28 huruf I ayat 3 yang menyebutkan bahwa :

6
”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.”

UUD 1945 tidak menggunakan istilah masyarakat adat akan tetapi masyarakat tradisional
yang maknanya hampir sama. Filosofi yang terkandung dalam pengakuan Negara
terhadap hak-hak tradisional, menyatakan bahwa adat istiadat dan atau kebiasaan-
kebiasaan yang telah berlaku dalam masyarakat, sudah ada sebelum lahirnya Negara dan
karena itu diakui dan selaras dengan perkembangan zaman.

Hak-hak masyarakat tradisional salah satunya yaitu hak ulayat yang merupakan hak
masyarakat-masyarakat hukum adat atas tanah-tanah dalam wilayahnya, yang disebut
tanah ulayat. Tanah ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat-masyarakat
hukum adat yang bersangkutan.

Masyarakat adat adalah masyarakat asli suatu daerah yang hidup secara turun temurun
dalam suatu wilayah tertentu. Masyarakat adat hidup secara tradisional yang memiliki
aturan yang mengatur para anggota masyarakatnya seperti mengatur mengenai
perkawinan, kematian dan hubungan antar anggotanya.

Pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat tidak hanya berhenti pada konstitusi,
tetapi lebih dari itu juga dioperasionalkan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang
HAM, khususnya Pasal 6 yang berbunyi :

“Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam
masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan
Pemerintah.”

“Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi,
selaras dengan perkembangan zaman.”

Sehingga masyarakat adat juga memiliki hak untuk dilindungi keberadaannya oleh
hukum, masyarakat dan pemerintah.

Tanah milik masyarakat adat, terdapat juga jaminan hak-hak masyarakat adat yang

dimasukkan ke dalam kontrak kerja sama sebagai ketentuan pokok yang harus

7
dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan yang terdapat dalam Pasal 11 ayat 3

UU Migas. Melalui ketentuan pasal 11 ayat 3 ini, sekali lagi menegaskan bahwa hak-

hak masyarakat adat memang harus mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah,

hukum dan masyarakat.

Menurut H.P Panggabean, Dengan memperhatikan eksistensi masyarakat adat dan


dengan telah diberlakukannya Undang-undang Mineral dan Batu Bara, dan untuk
menghindari benturan-benturan kepentingan atas pengelolaan sumber daya alam,
khususnya dibidang pertambangan, maka untuk memberikan jaminan kepastian hak
penguasaan atau pemilikan masyarakat adat yang telah dirampas. Dapat memfasilitasi
pulihnya ekonomi masyarakat adat dan ekosistem sekitar pertambangan. Serta dapat
memfasilitasi proses penegakan hukum atas berbagai pelanggaran yang terjadi selama ini
disekitar lingkungan pertambangan. Dimana paradoks selama ini menunjukkan bahwa
daerah potensial dengan kegiatan pertambangan, justru identik dengan kemiskinan dan
intensitas konflik yang tinggi. tanah milik masyarakat adat, terdapat juga jaminan hak-
hak masyarakat adat yang dimasukkan ke dalam kontrak kerja sama sebagai ketentuan
pokok yang harus dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan yang terdapat dalam
Pasal 11 ayat 3 UU Migas. Melalui ketentuan pasal 11 ayat 3 ini, sekali lagi menegaskan
bahwa hak- hak masyarakat adat memang harus mendapatkan perhatian khusus dari
pemerintah, hukum dan masyarakat.

Menurut H.P Panggabean, Dengan memperhatikan eksistensi masyarakat adat dan


dengan telah diberlakukannya Undang-undang Mineral dan Batu Bara, dan untuk
menghindari benturan-benturan kepentingan atas pengelolaan sumber daya alam,
khususnya dibidang pertambangan, maka untuk memberikan jaminan kepastian hak
penguasaan atau pemilikan masyarakat adat atas wilayah adat dan sumber daya mineral
(bahan galian) yang ada didalamnya haruslah sesuai dengan amanat UUD 1945

Di dalam Undang- undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara ada dua hak masyarakat
yang terkena dampak, yaitu mendapat ganti rugi jika terjadi kesalahan dalam
pengusahaan kegiatan pertambangan dan mengajukan gugatan ke pengadilan, itupun jika

8
perusahaan menyalahi ketentuan. Namun hal ini akan menjadi masalah kembali dikaitkan
dengan hak-hak masyarakat adat, antara lain :

a. Hak veto masyarakat hukum adat tidak diakui karena hanya memiliki dua pilihan,
yaitu ganti rugi sepihak atau memperkarakan ke pengadilan. Bahkan penduduk lokal
beresiko dipidana setahun atau denda Rp 100 juta jika menghambat kegiatan
pertambangan.

b. Kawasan lindung dan hutan adat yang diakui oleh masyarakat hukum adat akan
terancam alih fungsinya bisa dilaksanakan setelah ada izin dari pemerintah.

Dua pilihan itu sama pahit, pilihan pertama menegaskan tidak diakuinya hak veto atau
hak untuk menentukan nasib sendiri, khususnya jika masyarakat adat menolak
pertambangan. Sementara itu, ganti rugi akan diatur dalam peraturan perundang-
undangan.

Seharusnya pemerintah melalui Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara


dapat memfasilitasi pemulihan dan pengembalian hak masyarakat adat yang telah
dirampas. Dapat memfasilitasi pulihnya ekonomi masyarakat adat dan ekosistem sekitar
pertambangan. Serta dapat memfasilitasi proses penegakan hukum atas berbagai
pelanggaran yang terjadi selama ini disekitar lingkungan pertambangan. Dimana
paradoks selama ini menunjukkan bahwa daerah potensial dengan kegiatan
pertambangan, justru identik dengan kemiskinan dan intensitas konflik yang tinggi.

2.2 Kondisi Masyarkat Adat Sawahlunto

Kota Sawahlunto adalah salah satu kota di provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Kota yang
terletak 95 km sebelah timur laut kota Padang ini, dikelilingi oleh tiga kabupaten di
Sumatra Barat, yaitu kabupaten Tanah Datar, kabupaten Solok, dan kabupaten Sijunjung.
Kota Sawahlunto memiliki luas 273,45 km² yang terdiri dari empat kecamatan dengan
jumlah penduduk lebih dari 62.000 jiwa. Pada masa pemerintah Hindia Belanda, kota
Sawalunto dikenal sebagai kota tambang batu bara. Kota ini sempat mati, setelah
penambangan batu bara dihentikan.

9
Saat ini kota Sawahlunto berkembang menjadi kota wisata tua yang multi etnik, sehingga
menjadi salah satu kota tua terbaik di Indonesia. Di kota yang didirikan pada tahun 1888
ini, banyak berdiri bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda. Sebagian telah
ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah setempat dalam rangka mendorong
pariwisata dan mencanangkan Sawahlunto menjadi "Kota Wisata Tambang yang
Berbudaya.

10
BAB III

PENUTUP

Masyarakat adat merupakan salah satu warisan budaya di Indonesia yang harus terus

dijaga keasliannya, sehingga pemenuhan hak hak terhadap masyarakat adat dalam

wilayah pertambangan haruslah terus ditegakkan karenanya negara wajib hadir dalam

hal ini, Kota Sawahlunto memanglah sempat meredup cahayanya karena kegagalannya

dalam mengatur dan hanya bergantung pada sector tambang, pun begitu hari ini dapat

kita lihat sendiri daerah daerah yang pernah digunakan sebagai tempat galian tambang

membuatnya mempunyai daya tarik tersendiri karena keunikan wisata yang disimpan

oleh bekas galian tambang yang diolah sedemikian rupa menjadi tempat yang menarik,

tentunya dengan tidak melupakan ciri khas masyarakat daerah, tata Bahasa, dan cara

berpakaian adat yang terus harus dijaga, hal hal seperti ini memberi semangat positif

untuk daerah daerah yang memang mempunyai banyak bekas galian tambang seperti

daerah Kalimantan,Sulawesi,dan papua memberikan harapan kepada kita untuk terus

merawat alam meskipun alam itu sumber daya tambangnya sudah habis ia tetap dapat

dimanfaatkan selama jatuh kepada orang yang benar benar ingin berubah dan

berkeingan tinggi untuk membuat semuanya terjadi.

11
Daftar Puskata

Franky Butar Butar. (2010), Penegakan Hukum Lingkungan di Bidang Pertambangan, Yuridika

Vol. 25 No. 2, Mei–Agustus 2010: 151–168

Kerаf, А. Sonny. (2014). Filsаfаt Lingkungаn Hidup Аlаm Sebаgаi Sebuаh Sistem Kehidupаn,

Yogyаkаrtа: PT. Kаnisius

Sutedi, Adrian. 2012. Hukum Pertambangan. Sinar Grafika. Jakarta.

Adeng Sunardi, 100 tahun Tambang Baru Bara Ombilin. Sawah Lunto: (Tanpa Penerbit, 1991)

Andi Asoka, dkk. Sawahlunto Dulu, Kini dan Esok Menyonsong Kota Wisata Tambang Yang

Berbudaya. Padang: Pusat Studi Humaniora Universitas Andalas Kerjasama dengan Kantor

Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Sawahlunto Sumatera Barat, 2005,

Alfan Miko. Dinamika Kota Tambang Sawahlunto: Dari Ekonomi Kapitalis ke Ekonomi Rakyat.

Padang: Andalas University Press, 2006.

12

Anda mungkin juga menyukai