0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
4 tayangan3 halaman
Dokumen tersebut membahas undang-undang pertambangan dari sudut pandang filosofis, yuridis, dan sosiologis. Secara filosofis, pertambangan dianggap sebagai sistem kepemilikan sumber daya alam yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Dari sisi yuridis, undang-undang mengatur pengelolaan sumber daya tambang untuk kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi sosiologis, undang-undang positif belum sepenuhnya se
Deskripsi Asli:
Judul Asli
Tugas 3 -Analisis UU Pertambangan (Sri Ospinawati)
Dokumen tersebut membahas undang-undang pertambangan dari sudut pandang filosofis, yuridis, dan sosiologis. Secara filosofis, pertambangan dianggap sebagai sistem kepemilikan sumber daya alam yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Dari sisi yuridis, undang-undang mengatur pengelolaan sumber daya tambang untuk kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi sosiologis, undang-undang positif belum sepenuhnya se
Dokumen tersebut membahas undang-undang pertambangan dari sudut pandang filosofis, yuridis, dan sosiologis. Secara filosofis, pertambangan dianggap sebagai sistem kepemilikan sumber daya alam yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Dari sisi yuridis, undang-undang mengatur pengelolaan sumber daya tambang untuk kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi sosiologis, undang-undang positif belum sepenuhnya se
Secara filosofi terkait anggapan hukum bahwa pertambangan adalah suatu sistem kepemilikan, sangat berpangaruh pada negara-negara penganut tradisi hukum, dalam pendapat John Locke, mengajarkan konsep kepemilikan (property) kaitannya dengan HAM (Human rights) dengan pernyataan: life, liberty, and property. Dia mengemukakan bahwa semula dalam status naturalis (state of nature) suasana aman, tentram dan tidak ada hukum positif yang membagi kepemilikan atau pemberian wewenang seorang tertentu untuk memerintahkan orang lain. Hal ini merupakan kewajiban moral atas pelaku seseorang terhadap orang. Kewajiban dimana dibebankan oleh Tuhan, namun status naturalis tidak dapat terus dipertahankan negara tersebut, tidak memiliki hakim yang dapat memberikan terjemahaan mengikat dari hukum alam untuk menyelesaikan pertentangan kepentingan antara individu. Hak penambang terhadap sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, selalu berkolarasi dengan hak yang lain. Dalam hal harus memperhatiakn hak seseorang terhadap berhak atas lingkungan yang baik dan sehat, yang merupakan hak asasi yang bersifat univesal yang dijamin oleh suatu negara, harus memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang, lingkungan sekitar dan masyarakat.
B. Dari Sisi Yuridis
kegiatan usaha pertambangan dipergunakan untuk mengelola bahan galian yang ada di dalam bumi maupun di permukanaan dikarenakan pertambangan merupakan sala satu SDA yang sangat potensial dalam rangka peningkatan devisa dalam hal pembangunan nasional. Oleh sebab itu, industri pertambangan memberikan andil yang sangat besar dalam hal pertumbuhan perekonomian di Indonesia secara umum dan di daerah- daerah secara khusus dalam hal pengelolaan usaha pertambangan. Kegiatan pertambangan merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan oleh manusia di dalam mengolah sumber daya alam (SDA) meliputi air, udara, tanah dan kekayaan alam lainnya. Yang mana mengenai kekayaan alam ini di atur pula di dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) segala kekayaan alam dikuasai oleh nagara yang dapat dipergunakan untuk kemakmuran rakyat yang seluas-luasnya. Dalam pasal ini menyebutkan bahwa segala sesuatu yang terdapat didalamnya “dikuasai oleh negara” yang mana dalam kalimat tersebut menunjukkan konsep hak penguasaan negara yang diamanatkan di dalam konstituri. Hal tersebut memerluka pengkajian yang cukup mendalam mengenai hak menguasai negara dan apa yang sebenarnya menjadi hak penguasaan oleh negara. Oleh sebab itu sangat diperlukan sebuah kajian yang mendalam mengenai hal tersebut. Hak menguasai negara di jabarkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menyatakan bahwa konsep menguasai oleh negara bukan memiliki, melainkan hanya sebatas menguasai. Hal ini dapat kita pahami bahwa negara hanya memiliki suatu kewenangan untuk dapat mengurus mengenai kekayaan alam, air, udara dan tanah sebagaimana yang di maksud dalam Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Namun sampai dengan saat ini kalimat “negara mengusai” masih dimaknai sebagai “negara mimiliki.” Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terbentuklah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Sebelum lahirnya UU Minerba terjadi dualisme pemahaman konsep “menguasai negara” antara Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA, namun didalam UU Minerba mengubah konsep kontrak karya dimana pemerintah bertindak sebagai pihak yang sejajar kedudukannya dengan perusahaan pertambangan karena pemahaman konsep penguasaan negara yang mana negara menguasai semua bahan galian dengan sepenuh-penuhnya untuk kepentingan negara serta kemakmuran rakyat karena bahan- bahan galian tersebut merupakan kekayaan nasional. C. Dari Sisi Sosiologis Dalam realitanya masyarakat kita , indonesia yang beragam dalam berbagai hal, termasuk hukumnya. kita mempunyai kelaziman-kelaziman dan tradisi turun temurun, mempunyai hukum tradisional yang digunakan mengatur antara lain pembagian tanah dan konflik, bahkan punya lembaga-lembaga yang bertugas menyelesaikan berbagai persoalan atau lebih dikenal dengan hukum masyarakat. Di dalam persoalan agraria seperti pertambangan, misalnya, hukum positif negara, termasuk konstitusi, berusaha mengakui eksistensi hukum adat. Berbeda dengan hukum masyarakat yang bersifat bottom-up dan mampu menjamin terwujudnya keadilan, hukum negara-yakni hukum positif yang dilahirkan oleh aparat negara tidak otomatis merupakan hukum yang sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat, bahkan sering kali merupakan produk yang dirasa asing oleh masyarakat (Sholahudin, 2017). Secara faktual, sampai saat ini belum ada solusi normatif yang berperspektif sosio-kultural untuk menyelesaikan persoalan panjang dan sangat meletihkan terkait dengan konflik agraria serta belum adanya kesadaran yang kuat dari negara (pemerintah) terhadap konsep pembangunan yang lebih berkeadilan dan berperspektif hak asasi manusia.