Anda di halaman 1dari 3

NAMA : SRI OSPINAWATI ISMAIL

NIM : 1011419122

KELAS : E/SEM VI

TUGAS : HUKUM PERTAMBANGAN

Komentar Terhadap Undang-Undang Pertambangan


(Dari Sisi Filosofi, Yuridis dan Sosiologis)

A. Dari sisi Filosofis


Secara filosofi terkait anggapan hukum bahwa pertambangan adalah suatu
sistem kepemilikan, sangat berpangaruh pada negara-negara penganut tradisi hukum,
dalam pendapat John Locke, mengajarkan konsep kepemilikan (property) kaitannya
dengan HAM (Human rights) dengan pernyataan: life, liberty, and property. Dia
mengemukakan bahwa semula dalam status naturalis (state of nature) suasana aman,
tentram dan tidak ada hukum positif yang membagi kepemilikan atau pemberian
wewenang seorang tertentu untuk memerintahkan orang lain.
Hal ini merupakan kewajiban moral atas pelaku seseorang terhadap orang.
Kewajiban dimana dibebankan oleh Tuhan, namun status naturalis tidak dapat terus
dipertahankan negara tersebut, tidak memiliki hakim yang dapat memberikan
terjemahaan mengikat dari hukum alam untuk menyelesaikan pertentangan
kepentingan antara individu.
Hak penambang terhadap sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui,
selalu berkolarasi dengan hak yang lain. Dalam hal harus memperhatiakn hak
seseorang terhadap berhak atas lingkungan yang baik dan sehat, yang merupakan hak
asasi yang bersifat univesal yang dijamin oleh suatu negara, harus memperhatikan
kepentingan generasi yang akan datang, lingkungan sekitar dan masyarakat.

B. Dari Sisi Yuridis


kegiatan usaha pertambangan dipergunakan untuk mengelola bahan galian
yang ada di dalam bumi maupun di permukanaan dikarenakan pertambangan
merupakan sala satu SDA yang sangat potensial dalam rangka peningkatan devisa
dalam hal pembangunan nasional.
Oleh sebab itu, industri pertambangan memberikan andil yang sangat besar
dalam hal pertumbuhan perekonomian di Indonesia secara umum dan di daerah-
daerah secara khusus dalam hal pengelolaan usaha pertambangan. Kegiatan
pertambangan merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan oleh manusia di dalam
mengolah sumber daya alam (SDA) meliputi air, udara, tanah dan kekayaan alam
lainnya. Yang mana mengenai kekayaan alam ini di atur pula di dalam Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) segala kekayaan alam dikuasai oleh
nagara yang dapat dipergunakan untuk kemakmuran rakyat yang seluas-luasnya.
Dalam pasal ini menyebutkan bahwa segala sesuatu yang terdapat didalamnya
“dikuasai oleh negara” yang mana dalam kalimat tersebut menunjukkan konsep hak
penguasaan negara yang diamanatkan di dalam konstituri. Hal tersebut memerluka
pengkajian yang cukup mendalam mengenai hak menguasai negara dan apa yang
sebenarnya menjadi hak penguasaan oleh negara.
Oleh sebab itu sangat diperlukan sebuah kajian yang mendalam mengenai hal
tersebut. Hak menguasai negara di jabarkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang
menyatakan bahwa konsep menguasai oleh negara bukan memiliki, melainkan hanya
sebatas menguasai. Hal ini dapat kita pahami bahwa negara hanya memiliki suatu
kewenangan untuk dapat mengurus mengenai kekayaan alam, air, udara dan tanah
sebagaimana yang di maksud dalam Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Namun sampai
dengan saat ini kalimat “negara mengusai” masih dimaknai sebagai “negara
mimiliki.”
Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terbentuklah Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Sebelum lahirnya UU Minerba terjadi dualisme pemahaman konsep “menguasai
negara” antara Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA, namun didalam UU Minerba
mengubah konsep kontrak karya dimana pemerintah bertindak sebagai pihak yang
sejajar kedudukannya dengan perusahaan pertambangan karena pemahaman konsep
penguasaan negara yang mana negara menguasai semua bahan galian dengan
sepenuh-penuhnya untuk kepentingan negara serta kemakmuran rakyat karena bahan-
bahan galian tersebut merupakan kekayaan nasional.
C. Dari Sisi Sosiologis
Dalam realitanya masyarakat kita , indonesia yang beragam dalam berbagai
hal, termasuk hukumnya. kita mempunyai kelaziman-kelaziman dan tradisi turun
temurun, mempunyai hukum tradisional yang digunakan mengatur antara lain
pembagian tanah dan konflik, bahkan punya lembaga-lembaga yang bertugas
menyelesaikan berbagai persoalan atau lebih dikenal dengan hukum masyarakat.
Di dalam persoalan agraria seperti pertambangan, misalnya, hukum positif
negara, termasuk konstitusi, berusaha mengakui eksistensi hukum adat. Berbeda
dengan hukum masyarakat yang bersifat bottom-up dan mampu menjamin
terwujudnya keadilan, hukum negara-yakni hukum positif yang dilahirkan oleh aparat
negara tidak otomatis merupakan hukum yang sesuai dengan cita-cita keadilan
masyarakat, bahkan sering kali merupakan produk yang dirasa asing oleh masyarakat
(Sholahudin, 2017).
Secara faktual, sampai saat ini belum ada solusi normatif yang berperspektif
sosio-kultural untuk menyelesaikan persoalan panjang dan sangat meletihkan terkait
dengan konflik agraria serta belum adanya kesadaran yang kuat dari negara
(pemerintah) terhadap konsep pembangunan yang lebih berkeadilan dan berperspektif
hak asasi manusia.

Anda mungkin juga menyukai