Anda di halaman 1dari 8

Nama : Sri Ospinawati Ismail

NIM : 1011419122

A. REKONSTRUKSI 10 PASAL UU NO 31 TAHUN 1997 TENTANG


PERADILAN MILITER
10 pasal di UU Peradilan Militer yang menurut saya harus di
rekonstruksi atau diperbaiki sesuai dengan keadaan pada saat adalah pasal
1, pasal 10, pasal 16, pasal 25, pasal 106, pasal 198, pasal 199, pasal 202,
pasal 215 dan pasal 216. Berikut adalah penjelasannya :

1. Pasal 1
Pasal 1 angka (9) menyatakan:
“Atasan yang Berhak Menghukum adalah atasan
langsung yang mempunyai wewenang untuk
menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
berwenang melakukan penyidikan berdasarkan
undang-undang ini.”
Dalam angka (10) didefinisikan:
“Perwira Penyerah Perkara adalah perwira yang oleh
atau atas dasar undang-undang ini mempunyai
wewenang untuk menentukan suatu perkara pidana
yang dilakukan oleh prajurit Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia yang berada di bawah wewenang
komandonya diserahkan kepada atau diselesaikan di
luar pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.”
Berdasarkan ketentuan di atas dimungkinkan sebuah kasus
yang melibatkan anggota TNI untuk tidak diteruskan ke pengadilan
atau penghentian proses penyelidikan dan penyidikan, bahkan
diselesaikan lewat mekanisme di luar hukum.
2. Pasal 10
Dalam pasal 10 UU No 31 Tahun 1997 disebutkan bahwa:
“Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh mereka
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 yang:
a. tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya;
atau b. terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang
berada di daerah hukumnya.”
Berdasarkan pasal diatas terlihat bahwa ada inkonsistensi untuk
menunjuk di mana pengadilan harus digelar atas kejahatan yang
terjadi. Apakah akan digelar di pengadilan yang wilayah kerjanya
melingkupi daerah kejahatan (poin a) atau digelar di pengadilan yang
wilayah kerjanya melingkupi daerah kesatuan pelaku kejahatan (poin
b). Berdasarkan pasal di atas ada kemungkinan, berdasarkan poin b,
bahwa pengadilan dilakukan di wilayah yang sama dengan
keberadaan kesatuan dari pelaku kejahatan.
Hal ini jelas akan menyulitkan kinerja peradilan karena peradilan
untuk perkara pidana harus dilakukan di atau oleh lembaga yang
berada di wilayah kejahatan terjadi. Namun hal ini untuk memudahkan
proses pengambilan barang bukti (investigasi) serta memudahkan
saksi untuk hadir. Jika peradilan dilaksanakan di wilayah lain sudah
barang tentu hal itu akan menyulitkan pembuktian, akan memakan
jarak, waktu dan biaya yang banyak.

3. Pasal 16
Pasal 16 ayat (5) menyatakan:
“Dalam hal terdakwanya berpangkat kolonel, hakim
anggota, dan oditur sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling rendah berpangkat setingkat dengan
pangkat terdakwa dan dalam hal terdakwanya perwira
tinggi hakim ketua, hakim anggota dan oditur
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling rendah
berpangkat setingkat dengan pangkat terdakwa.”
Soal kepangkatan pelaku dan hakim menjadi persoalan dan
ukuran untuk mengadili sebuah kejahatan di pengadilan militer
berdasarkan UU No 31 Tahun 1997. Dalam bagian keempat tentang
susunan pengadilan, diatur hal-hal yang berkenaan dengan
kepangkatan. Hal ini menunjukkan intervensi struktur komando dalam
sistem pengadilan militer

4. Pasal 25
Dalam pemberhentian hakim peradilan militer, sebagaimana
alasan-alasannya diatur dalam UU No 31 Tahun 1997 Pasal 25.
Hakim tersebut dapat melakukan pembelaan di hadapan Majelis
Kehormatan Hakim (Pasal 25 ayat 2), sementara pembentukan Majelis
Kehormatan tersebut ditetapkan oleh Panglima TNI (Pasal 25 ayat 3 jo
pasal 1).
Selain itu dominasi panglima juga terlihat dalam pengangkatan
dan pemberhentian Panitera Pengadilan Militer (Pasal 29) melalui
keputusan panglima. Selain itu perlu diingat bahwa status hakim dalam
peradilan militer adalah militer aktif sehingga akan terjadi kekacauan
administrasi terhadap seseorang yang menjadi hakim dalam peradilan
militer karena harus tunduk pada 2 institusi; institusi kehakiman di
bawah MA dan institusi TNI. Di sisi lain, Panglima TNI juga aktif
menentukan keberlanjutan sebuah perkara. Hal ini dikarenakan
Panglima TNI berposisi sebagai Papera. Posisi ini sangat dominan
untuk menentukan proses peradilan (Pasal 1 angka 10 jo 123). Salah
satu alasan yang bisa digunakan oleh Papera untuk menghentikan
perkaranya adalah alasan pertahanan dan keamanan negara.
Sesungguhnya alasan ini bukan sesuatu yang dilarang. Akan
tetapi soal wewenang tersebut sangatlah tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip demokratisasi. Bahwa ancaman dan keputusan untuk
merespon ancaman merupakan keputusan politik. Maka haruslah
dengan pertimbangan politik oleh pemegang kekuasaan yang politis
pula seperti presiden dan DPR, dan bukan Panglima TNI.
Di sisi lain, akibat adanya Pepera mengakibatkankan bertambah
panjangnya proses yang harus dilalui agar suatu perkara dapat
disidangkan di pengadilan. Hal ini dapat disebabkan kinerja-
subjektifitas Pepera dan juga proses yang harus dilalui apabila ada
perbedaan pendapat antara oditur militer dengan Papera.

5. Pasal 106

“Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan


terhadap tersangka, penasihat hukum dapat
mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat
serta mendengar pemeriksaan.”

Dalam pasal ini tidak dijelaskan apakah penasihat hukum boleh


melakukan penyanggahan terhadap sesuatu yang ditujukan kepada si
tersangka. Lebih parah lagi adalah apa yang dinyatakan dalam ayat
(2) pada pasal yang sama, di mana penasihat hukum dilarang untuk
mendengar pemeriksaan jika terkait dengan kasus kejahatan negara.
Ayat tersebut menyatakan bahwa dalam hal kejahatan terhadap
keamanan negara, penasihat hukum dapat hadir dengan cara melihat
tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka.

6. Pasal 198
Dalam Pasal 198, dijelaskan mengenai definisi dan kewenangan
koneksitas,
“(1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama
oleh mereka yang termasuk justisiabel peradilan
militer dan justisiabel peradilan umum, diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum kecuali apabila menurut keputusan menteri
dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu
harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.”
Penyidikan perkara koneksitas dilaksanakan oleh sebuah tim
gabungan antara polisi militer, oditur, dan penyidik dalam lingkungan
peradilan umum (198 ayat 2).
Hal ini berarti penyidikan dilakukan bukan oleh institusi
permanen. Hal ini jelas menimbulkan inefisiensi kerja. Karena akan
banyak tim yang dibentuk jika kasusnya merupakan kasus yang
tergolong koneksitas. Inefisiensi juga tergambar dalam upaya
menentukan apakah sebuah kasus perlu diadili di pengadilan militer
atau pengadilan umum.

7. Pasal 199
“Untuk menetapkan apakah pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum yang akan mengadili
perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
198 ayat (1), diadakan penelitian bersama oleh
jaksa/jaksa tinggi dan oditur atas dasar hasil
penyidikan tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal
198 ayat (2).”
Keputusan untuk mengadili di pengadilan militer atau
pengadilan umum ditentukan oleh kerugian yang muncul akibat dari
kejahatan yang terjadi (Pasal 200). Jika kerugian banyak terjadi dipihak
militer maka pengadilan dilakukan di pengadilan militer. Begitu pula
sebaliknya.
Konsepsi koneksitas ini merupakan konsepsi yang berbasis
pada kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama antara anggota
TNI dengan anggota masyarakat sipil. Artinya kompentensi hukumnya
masih menggunakan subjek. Selain itu konsepsi koneksitas ini
memungkinkan sipil diadili di pengadilan militer hanya karena
bersama-sama dengan anggota TNI melakukan sebuah kejahatan.
Sesungguhnya konsepsi koneksitas memungkinkan anggota TNI diadili
di pengadilan umum, akan tetapi ukurannya sangat negosiatif; jika
kejahatan tersebut dilakukan secara bersama dan menimbulkan
kerugian yang banyak di kalangan masyarakat umum. Padahal setiap
kejahatan, siapapun yang melakukan, pasti menimbulkan kerugian
secara umum di kalangan masyarakat. Termasuk kejahatan terhadap
TNI sekalipun.
8. Pasal 202
Ketidak jelasan lainnya adalah ketika muncul perbedaan
pendapat di mana yurisdiksi tempat mengadili. Menurut Pasal 202 ayat
(2):
“Jaksa agung dan oditur jenderal bermusyawarah
untuk mengambil keputusan guna mengakhiri
perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pada akhirnya ketidak jelasan tersebut diselesaikan melalui
musyawarah. Pertimbangan-pertimbangan dilakukan secara bersama-
sama, antara sipil-anggota TNI, dan bentuk-banyaknya kerugian tidak
menjadi hal yang penting. Selain itu metode penyelesaiannya juga
tidak menunjukkan otoritas yang layak dan tunggal.

9. Pasal 215
Pasal 215 ayat 2 menyatakan

“Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) diutamakan dari dinas bantuan hukum yang ada
di lingkungan angkatan bersenjata.“

10. Pasal 216


Selain itu penasihat hukum tersebut juga harus mendapatkan
izin atau atas perintah Papera. Dalam Pasal 216 (1) hal ini dinyatakan
bahwa :
“Penasihat hukum yang mendampingi tersangka di
tingkat penyidikan atau terdakwa di tingkat
pemeriksaan di sidang pengadilan harus atas
perintah atau seizin Perwira Penyerah Perkara atau
pejabat lain yang ditunjuknya.”
Hal ini menunjukkan ke-tidakindependen-an penasihat hukum,
sekaligus dominasi Papera dalam proses peradilan. UU No 31 Tahun
1997 tentang Pengadilan Militer mengandung sejumlah kelemahan
dalam konteks demokratisasi di Indonesia saat ini. UU ini bertentangan
dengan prinsip non-diskriminasi, peradilan yang jujur, tidak efektif dan
efisien serta tidak kontekstual dalam reformasi sistem peradilan dan
reformasi sektor keamanan. Kelemahan-kelemahan ini terbukti
menghambat upaya mewujudkan keadilan dan hak korban atas kasus-
kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di beberapa daerah di
Indonesia, terutama hambatan untuk memberlakukan pengadilan HAM
atas kasus-kasus pelanggaran berat HAM.

B. PERBANDINGAN UU NO 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN


MILITER DENGAN UU NO 8 TENTANG KUHAP
1. Kejahatan yang terjadi dalam masyarakat tidak menutup kemungkinan
dilakukan oleh oknum militer atau prajurit TNI bersama-sama dengan
orang sipil yang secara yuridis formal harus diadili dalam satu lingkup
peradilan umum (Pengadilan Negeri) atau dalam lingkup peradilan
militer (Pengadilan Militer). Inilah yang disebut Acara Pemeriksaan
Koneksitas yang selengkapnya dirumuskan dalam Bagian Kelima,
Pasal 198 sampai dengan Pasal 203 UU No. 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer atau ada juga pakar hukum menyebutkan dengan
Peradilan Koneksitas atau Koneksitas yang selengkapnya dirumuskan
dalam BAB XI Pasal 89 sampai dengan Pasal 94 UU No. 8 Tahun
1981 tentang KUHAP.
2. Jika terjadi penyertaan antara orang militer (yang tunduk kepada
peradilan militer) dan orang sipil (yang tunduk kepada peradilan
umum), maka primus interpares yang berwenang mengadili ialah
pengadilan dalam lingkup peradilan umum. 1Para tersangka (sipil
bersama militer) diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer, merupakan pengecualian. Pengecualian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang telah menentukan kewenangan keputusan berada
pada Ketua Mahkamah Agung, sedangkan pada ketentuan Pasal 89
Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Pasal 198 UU No. 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer berada pada Keputusan Menteri
Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman.
3. Dalam peradilan perkara koneksitas, KUHAP dan KUHAP Militer
mengatur mengenai wewenang mengadili. Kewenangan mengadili
perkara koneksitas, berdasarkan Pasal 91 KUHAP 20 , yang berbunyi
sebagai berikut: ` (1) Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 90 Ayat (3) titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh
tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan karenanya
perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, maka Perwira Penyerah Perkara segera membuat
Surat Keputusan Penyerahan Perkara yang diserahkan melalui Oditur
Militer atau Oditur Militer Tinggi kepada Penuntut uUmum, untuk
dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada Pengadilan
Negeri yang berwenang.

Anda mungkin juga menyukai