Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS KASUS KORUPSI KABASARNAS MENURUT UNDANG-

UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

Disusun oleh:

Muhammad Istaqi Maulaka 212131071

Mahmud Yunus 212131077

Aisyah Nurul Fadillah 212131078

Kelas: HPI 5C

A. DESKRIPSI KASUS
Kasus dengan dugaan korupsi di Basarnas yang menyeret Kepala Badan
SAR Nasional Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi
Kepala Basarnas Letkol Afri Budi beserta pihak-pihak yang diduga terlibat
dalam kasus tersebut akan diadili sesuai dengan jabatannya. Bagi Henri
Alfiandi dan Afri Budi akan diadili di Pengadilan Militer, sedangkan pihak lain
yang terlibat dalam kasus tersebut akan diadili di Pengadilan Umum.
B. KRONOLOGI KASUS
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan perasi tangkap
tangan (OTT) terkait kasus dugaan adanya korupsi berupa suap pengadaan
barang dan jasa di Badan Sar Nasional (Basarnas) dari tahun 2021 sampai
tahun 2023. Operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK menghasilkan
penetapan 5 orang tersangka. Dari 5 tersangka tersebut salah satunya adalah
mantan Kepala badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), yaitu
Marsekal Madya TNI (Purn) Henri Alfiandi.
Alexander Marwata, yaitu merupakan Wakil Ketua KPK menyatakan
pihaknya menindaklanjuti informasi adanya penyerahan uang ke
penyelenggara negara atau yang mewakilinya terkait pengondisian pemenang
tender proyek di Basarnas. Dalam hal ini, Direktur Utama PT Interfekno
Grafika Sejati, Marliya kepada Afri Budi Cahyanto yang merupakan Korrsmin
Kepala Basarnas sebagai perwakilan Henri Alfiandi disalah satu parkiran Bank
di Mabes TNI Cilangkap. Kemudian, tim dari KPK mengamankan semua pihak
yang berada di parkiran tersebut ketika berada di salah satu Restoran Soto yang
berlokasi di Bekasi.
Selain melakukan pengamanan terhadap pelaku, KPK juga menyita
goodie bag yang berisikan uang sebesar Rp999,7 juta yang berasal dari hasil
profit sharing atau pembagian keuntungan dari pekerjaan pengadaan alat
pencarian korban reruntuhan yang sudah dikerjakan oleh PT Intertekno Grafika
Sejati. Pemeriksaan yang dilakukan KPK membuahkan hasil, yaitu
menemukan adanya peristiwa pidana sehingga terdapat bukti permualaan yang
cukup. Setelah itu, KPK menaikkan status kasus ini dari penyelidikan menjadi
penyidikan dengan menetapkan dan mengumumkan tersangka. Tersangka
tersebut ialah Henri Alfiandi (mantan Kabasarnas), Mulsunadi Gunawan
(Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati), Marilya (Direktur Utama PT
Intertekno Grafika Sejati), Roni Aidil (Direktur Utama PT Kindah Abadi
Utama), dan Afri Budi Cahyanto (Koorsmin Kabasarnas RI).
Pelaku ditangkap oleh KPK karena terdapat dugaan korupsi dalam
pengadaan barang jasa di Basarnas berupa alat pendeteksian korban
reruntuhan. Adapun nilai kontrak dari alat pendeteksi tersebut sebesar Rp9,9
miliar. Selain itu, terdapat pengadaan public safety diving equipment dengan
nilai kontrak sebesar Rp17,4 miliar dan pengadaan kendaraan kendali jarak
jauh untuk KN Sar Ganesha yang mencapai Rp89,9 miliar. Dari dugaan korupsi
tersebut, Puspom TNI dan KPK sepakat menetapkan para tersangka melanggar
Pasal 12 A atau B, atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah jadi Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pada akhirnya, kasus
korupsi tersebut dilimpahkan ke Puspom untuk dilaksanakan sidang lanjutan.
C. ANALISIS KELOMPOK 5 BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
TINDAK PIDANA KORUPSI
Dalam penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala Basarnas,
maka secara harfiah kasus korupsi di Indonesia ditangani oleh pihak lembaga
yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, dalam hal ini
KPK tidak bisa menangani kasus korupsi tersebut, karena Kepala Basarnas
merupakan seorang perwira tinggi militer Angkatan Udara yang masih aktif
serta berpangkat Marsekal Madya. Dengan demikian, proses penanganan kasus
korupsi tersebut dilakukan pusat polisi militer dan sidang dilaksanakan di
pengadilan militer. Hal tersebut sudah jelas dalam Undang-Undang Nomor 31
tahun 1997 tentang peradilan militer bahwa pengadilan dalam lingkungan
militer berhak mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anggota
TNI.1 Hal tersebut dilakukan agar penegakan hukum dan keadilan di
lingkungan militer sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman agar diselenggarakan
peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Penyelenggara kekuasaan kehakiman tersebut diserahkan kepada
badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan undang -undang dengan tugas
pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili setiap perkara yang
diajukan. Akan tetapi, dalam undang-undang no. 31 tahun 1997 tentang
peradilan militer ini ada beberapa ketentuan yang sudah tidak sesuai dengan
perkembangan kehidupan masyarakat, sehingga perlu dilakukan perubahan,
salah satunya megenai yuridiksi peradilan militer terhadap oknum anggota TNI
yang melakukan tindak pidana korupsi. UU peradilan militer saat ini mengatur
bahwa peradilan peradilan berwenang mengadili anggota yang melakukan
tindak pidana militer saja, sebagaimana yang telah diatur dalam KUHPM,
tetapi tidak untuk untuk tindak pidana yang tidak diatur dalam KUHPM.
Namun dalam praktek peradilan militer juga mengadili tindan pidana
korupsi yang tidak diatur dalam KUHPM, salah satu contohnya adalah
peradilan militer mengadili tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum
anggota TNI. Pasal yang digunakan dalam mengadili adalah Undang-Undang

1
Lihat Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun Tentang Peradilan Militer
Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi. Perundang-undangan yang
menjadi landasan hukum terkait keberadaan lembaga KPK yaitu Undang-
undang Nomor 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana
korupsi yang secara substansional mengatur kewenangan, tugas dan fungsi
KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.2
Dalam penanganan kasus korupsi pengadaan barang dan jasa search
and rescue periode 2021-2023 dengan jumlah total mencapai Rp. 88,3 miliar
yang menjerat kepala basarnas terjadi pelemik. Seharusnya kekhilafan ini tidak
terjadi karena kurangnya koordinasi antara KPK dengan puspom. Apabila KPK
memahami dengan baik perkara koneksitas yang telah diatur dalam undang-
undang No. 8 tahun 1981. Perkara koneksitas memiliki dua unsur yaitu objek
atau personal yang melakukan tindak pidana dan kompetensi peradilan yang
mengadili personal. Pertama, unsur pelaku tindak pidana memiliki dua kategori
yaitu sipil dan TNI dan keduanya harus bermufakat atau menyadari bekerja
bersama-sama melakukan tindak pidana UU Peradilan Militer sudah mengatur
pembentukan tim koneksitas terlebih dahulu sepanjan ditemukan perkara yang
melibatkan sipil dan militer. KUHAP pun memadatkan pembentukan tim
koneksitas pada tahap pra-penuntutan / penuntutan menyertakan kegiatan
penelitian bersama.
Puspom TNI dan KPK sepakat menetapkan para tersangka melanggar
Pasal 12 atau Pasal 12 B atau pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah jadi
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999, junto pasal 55 ayat ke-1 KUHP. Dalam Pasal
12 atau Pasal 12 B, pelaku dapat dijatuhi pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh
tahun) serta denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah).

2
Danil Elwi, Tindak Pidana Korupsi Dan Pemberantasannya, (Padang: PT raja Grafindo Persada,
2001), hlm. 45
Pelaku juga menerima suap dari tiga pihak swasta yang memenangkan
tender dalam sebuah proyek, diantaranya pengadaan peralatan pendeteksi
korban reruntuhan yang nilai kontraknya Rp9,9 miliar, selanjutnya pengadaan
public safety diving equipment dengan nilai kontrak sebesar Rp17,4 miliar, dan
pengadaan kendaraan kendali jarak jauh untuk KN SAR Ganesha yang
mencapai Rp89,9 miliar. Praktik suap tersebut berlangsung melalui
persekongkolan antara pejabat di dalam instansi dengan perusahaan peserta
lelang demi mengakali sistem pengadaan elektronik atau e-procurement.
Dalam hal tersebut, maka pihak yang menyuap dapat dikenakan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 5
huruf (a), yang menyatakan “memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negera dengan maksud supaya pegawai
negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya”. Dalam pasal
tersebut pelaku suap dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).3

3
Lihat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Anda mungkin juga menyukai