Anda di halaman 1dari 8

Jurnal MAHUPAS: Mahasiswa Hukum Unpas (Journal MAHUPAS: Law Student of Unpas), Vol. 1 No.

1,
November 2021, hlm-hlm

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEJABAT TINGGI MILITER YANG


MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Muhammad Zia Ulhaq 201000053
Fakultas Hukum Universitas Pasundan
E-mail: mziaulhaq126@gmail.com

ABSTRAK
Indonesia adalah negara yang diperintah berdasarkan supremasi hukum Artinya, segala
ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia harus dipatuhi oleh warga negara dan
penyelenggara negara. Faktanya, masih banyak peraturan perundang-undangan yang
dilanggar oleh masyarakat dan penyelenggara negara, seperti tindak pidana korupsi Korupsi
semakin merajalela di Indonesia. Oleh karena itu, untuk mewujudkan supremasi hukum,
melindungi keadilan, dan mewujudkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, perlu
dilakukan penindakan terhadap tindak pidana korupsi. Korupsi merupakan salah satu
permasalahan serius yang mengancam sendi-sendi kehidupan bangsa, termasuk di lingkungan
militer. Dilingkungan militer sendiri banyak Pejabat tinggi militer yang terlibat dalam tindak
pidana korupsi yang tentunya merugikan keuangan negara, dan juga mencoreng citra dan
kredibilitas institusi militer. Oleh karena itu, penegakan hukum yang tegas dan konsisten
terhadap mereka menjadi sangat penting. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
pelaksanaan Penegakan Hukum terhadap Pejabat Militer yang melakukan tindak pidana
korupsi, dan bagaimana penanganan Tindak Pidana korupsi yang dilakukan Pejabat Militer.
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan dengan beberapa sumber bahan hukum primer dan
sekunder, serta penelusuran bahan hukum melalui perundang_undangan dan literatur lainnya
yang mencakup kedalam penelitian ini.
Kata Kunci : korupsi, peradilan militer,TNI.
ABSTRACT
Indonesia is a country governed by the rule of law. This means that all legal provisions that
apply in Indonesia must be obeyed by citizens and state administrators. In fact, there are still
many laws and regulations that are violated by the public and state administrators, such as
corruption Corruption is increasingly rampant in Indonesia. Therefore, to realize the rule of
law, protect justice, and realize peace in social life, it is necessary to take action against
corruption. Corruption is one of the serious problems that threaten the joints of the nation's
life, including in the military. In the military itself, many high-ranking military officials are
involved in corruption crimes which certainly harm state finances, and also tarnish the
image and credibility of military institutions. Therefore, strict and consistent law enforcement
against them is very important. This research aims to analyze the implementation of Law
Enforcement against Military Officials who commit corruption crimes, and how the handling
of corruption crimes committed by Military Officials. This research will use a normative
Jurnal MAHUPAS: Mahasiswa Hukum Unpas (Journal MAHUPAS: Law Student of Unpas), Vol. 1 No. 1,
November 2021, hlm-hlm

juridical approach using a statutory approach with several sources of primary and secondary
legal materials, as well as tracing legal materials through legislation and other literature
that covers this research.
Keywords : corruption, military, TNI.

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dijelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya, semua warga
negara dan penyelenggara negara harus tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku. Dalam
negara hukum, peraturan hukum dibuat untuk ditaati dan diimplementasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, pada kenyataannya, masih banyak sekali aturan
hukum yang dilanggar oleh masyarakat, seperti halnya kasus tindak pidana korupsi di Negara
Indonesia.
Sebagai negara hukum, Negara Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan
proses penegakan hukum tindak pidana korupsi guna untuk mewujudkan tegaknya supremasi
hukum, tegaknya keadilan dan mewujudkan perdamaian dalam kehidupan di masyarakat.
Namun, jelas bahwa penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia masih lemah. Hal
ini disebabkan oleh fakta bahwa banyak pembuat peraturan atau penegak hukum yang terus
melakukan tindak pidana korupsi. Adanya pembuat peraturan atau penegak hukum yang
melakukan tindak pidana korupsi dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap
pembuat peraturan atau penegak hukum itu sendiri
Korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan
manusia dan termasuk jenis kejahatan yang tertua serta merupakan salah satu penyakit
masyarakat, sama dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian yang sudah ada sejak
manusia ada di atas bumi ini. Masalah utama yang dihadapi adalah korupsi meningkat seiring
dengan kemajuan teknologi. Pengalaman memperlihatkan bahwa semakin maju
pembangunan suatu bangsa semakin meningkat pula kebutuhan hidup dan salah satu
dampaknya dapat mendorong orang untuk melakukan kejahatan, termasuk korupsi.
Hukum pidana militer merupakan hukum pidana khusus karena sifatnya yang berbeda
dengan hukum pidana umum lainnya. Hukum pidana khusus adalah undang-undang yang
ditetapkan untuk beberapa subjek hukum khusus atau peristiwa tertentu. Oleh karena itu,
hukum pidana khusus memuat ketentuan dan asas yang hanya dapat dilaksanakan oleh badan
hukum tertentu.
Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer bahwa
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah anggota TNI.
Tujuannya adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan di lingkungan militer sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Jurnal MAHUPAS: Mahasiswa Hukum Unpas (Journal MAHUPAS: Law Student of Unpas), Vol. 1 No. 1,
November 2021, hlm-hlm

agar diselenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan


Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Repulblik Indonesia.
Peradilan militer tetap dalam konteks yang sama yaitu bertugas melaksanakan
kekuasaan kehakiman sesuai apa yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia. Dalam rangka penegakan hukum di lingkungan militer tersebut dibutuhkan
peradilan militer tersendiri tidak hanya menegakkan hukum militer tetapi juga hukum umum
yang juga berlaku bagi militer. Karena peradilan militer juga melakukan penegakan hukum
umum terhadap anggota militer seperti halnya pembunuhan, pencurian, pemerkosaan dan lain
sebagainya, penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota
militer juga tidak luput dari tugas dan fungsi peradilan militer. Menurut Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi
adalah setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan oknum TNI berkaitan dengan hal-hal sensitif di
lingkungan militer dan negara, serta pertahanan dan keamanan negara. Sebagaimana
tercantum dalam salah satu pasal Undang-Undang Peradilan Militer, peradilan militer adalah
pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkungan militer untuk memelihara hukum dan
keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan dan keamanan
negara. Artinya, masih banyak lagi pertimbangan karena aspek pertahanan dan keamanan
menjadi salah satu pertimbangan utama. Dalam hal ini, ada baiknya untuk segera melihat
amandemen undang-undang di lingkungan militer, namun amandemen ini belum diselesaikan
atau dilaksanakan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimanakah Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan olehPejabat Militer ?
2. Bagaimanakah Penanganan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan di Lingkungan
Militer?

II. METODE PENELITIAN


Metode penulisan yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis
normatif, di mana penelitian yang dilakukan adalah dengan cara meneliti bahan-bahan
kepustakaan yang merupakan data sekunder. Adapun bahan-bahan kepustakaan yang
merupakan data sekunder. Adapun bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Sebagai
Jurnal MAHUPAS: Mahasiswa Hukum Unpas (Journal MAHUPAS: Law Student of Unpas), Vol. 1 No. 1,
November 2021, hlm-hlm

bahan hukum primer dalam penulisan ini antara lain berupa Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 pemberantasan tindak pidana korupsi dan Undang
Undang 31 Tahun1997 tentang peradilan militer, kemudian bahan hukum sekunder adalah
buku-buku literatur, dan tulisan-tulisan yang ada kaitannya dengan penulisan jurnal.
III. PEMBAHASAN
A. Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan oleh Pejabat Militer
Sebagai prajurit TNI yang terlatih dan bersenjata, ia berhak membela negara
kesatuan Republik Indonesia, yang semua itu diberikan berdasarkan undang-undang.
Namun jika prajurit TNI melanggar hukum pidana militer berdasarkan KUHPM,
maka mereka akan diadili oleh pengadilan militer berdasarkan UU No. 31/1997
tentang Peradilan Militer, namun anehnya prajurit TNI yang bersalah melakukan
korupsi tetap diadili di Peradilan militer.
Asas Kepentingan Militer (Military Necessity) sering digunakan dalam hukum
humaniter, dan kemudian diterapkan oleh negara kita, dalam hal ini TNI, untuk
melaksanakan tugas pokok dan tugas pembinaan personel. Asas hukum humaniter ini
berarti bahwa pihak yang berselisih (pihak-pihak yang berkonflik) mempunyai hak
untuk melakukan tindakan apa pun yang dapat membawa keberhasilan suatu operasi
militer, dengan tidak melanggar. Hukum perang memperhatikan asas : batasan dan
proporsi.
Prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) ditinjau dari kedudukannya di
hadapan hukum adalah warga negara Indonesia yang patuh, taat hukum dan
berdisiplin tinggi, taat kepada atasannya, dan setia kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia.(NKRI) berdasarkan Pancasila dan Konstitusi.UUD 1945. TNI harus
mematuhi undang-undang yang bersifat umum dan khusus, baik domestik maupun
internasional, bahkan TNI harus mematuhi undang-undang yang hanya berlaku bagi
TNI. Anggota TNI sebagai warga negara Indonesia tunduk pada syarat dan ketentuan
Hukum Pidana Militer dan Hukum Acara Pidana Militer sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Pada dasarnya, Pertanggungjawaban pidana militer berfungsi sebagai tindakan
preventif atau pembalasan karena setelah perkara berakhir, terpidana harus kembali
menjalani dinas militer.Seorang tentara atau mantan tahanan harus kembali bertugas
jika ingin kembali menjalankan tugasnya.Peradilan militer dapat mengadili tindak
pidana yang dilakukan oleh anggota militer yang terlibat.
Namun, hukuman militer merupakan bentuk pendidikan bagi prajurit yang
dijatuhi hukuman dinas militer. Kejahatan militer terdiri dari intelijen dan pencegahan
militer, kecuali terpidana yang dibebaskan dari dinas militer. Pertanggungjawaban
pidana merupakan konsekuensi dari kesalahan yang dilakukan atau dilakukan,
terutama kesalahan yang dilakukan secara serampangan oleh anggota militer.

Mengingat keanggotaan militer memiliki. aturan atau penerapan hukum sesuai


dengan kebutuhan anggota militer, dalam Pasal 2 KUHPM menjelaskan bahwa bagi
orang-orang yang tunduk dalam ruang lingkup KUHPM, apabila tidak diatur dalam
KUHPM, maka berlakulah pidana umum, dan ketentuanketeentuan lain yang diatur
Jurnal MAHUPAS: Mahasiswa Hukum Unpas (Journal MAHUPAS: Law Student of Unpas), Vol. 1 No. 1,
November 2021, hlm-hlm

oleh UndangUndang yang berlaku di Indonesia. Selanjutnya sebagaimana penjelasan


unsur yang telah tertulis dalam Pasal 12 B menginterpretasikan bahwa anggota militer
adalah sebagai penyelenggara negara yang melaksanakan tugas, fungsi, dan
wewenangnya dalam ketahanan negara Indonesia. Termaksud dalam hal penerapan
lamanya sanksi hukuman pemidanaan penjara dan pidana denda, dalam hal ini
berlakulah asas konkordansi (kesetaraan) dengan subjek hukum lainnya yang
bertanggungjawab atas perbuatan Tindak Pidana Gratifikasi yang telah dilakukannya
menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan
ditambah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi

B. Penanganan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan di Lingkungan Militer


Perundang-undangan yang menjadi landasan hukum terkait keberadaan lembaga komisi
pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK) yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang secara
substansional mengatur kewenangan, tugas dan fungsi KPK dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi di indonesia. Kewenangan dan fungsi KPK mencakup legitimasi hukum
atas nama kekuasaan negara, seperti halnya ruang lingkup administrasi negara yang
diberikan kepada bidang kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Sumber daya yang
digunakan untuk menjalankan administrasi ketatanegaraan dan administrasi
ketatapemerintahan dikenal sebagai aparatur negara.
Kewenangan penyidikan yang dilakukan KPK dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi pengadaan Alutsista khususnya yang dilakukan oleh prajurit Angkatan Bersenjata.
Dalam hal ini, tindak pidana korupsi pengadaan alutsista yang terjadi di Indonesia yang
melibatkan Prajurit TNI/Oknum Militer yaitu pada perkara korupsi ranah militer yang
dilakukan perwira aktif TNI yakni perkara terpidana Brigadir Jenderal TNI
(Purnawirawan) Teddy Hernayadi saat menjabat sebagai Kepala Bidang Pelaksanaan
Pembiayaan Kementrian Pertahanan di Kementrian Pertahanan (Kemenhan) pada tahun
2010-2014. Fachri adalah mantan pejabat pembuat komitmen atau kepala staf pengadaan
TNI AU pada tahun 2016-2017telah melakukan kontrak langsung dengan produsen
pengadaan Helikopter AW101 senilai Rp 514 miliar. Pada bulan Febuari 2016, setelah
menandatangani kontrak dengan TNI AU PT. Diratama Jaya menaikan nilai jualnya
menjadi Rp. 738 miliar.
Dalam perkara korupsi yang melibatkan tersangka dalam lingkup peradilan umum dan
peradilan militer, diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Mekanisme pemeriksaan koneksitas juga diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer).
Adapun pengaturan mekanisme koneksitas dalam KUHAP maupun UU Peradilan Militer
salah satu prosedur penanganan tindak pidana korupsi yang melibatkan tersangka yang
masuk ruang lingkup peradilan umum dan peradilan militer adalah dibentuknya tim tetap.
Jurnal MAHUPAS: Mahasiswa Hukum Unpas (Journal MAHUPAS: Law Student of Unpas), Vol. 1 No. 1,
November 2021, hlm-hlm

Namun, terdapat pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan masyarakat
sipil dan anggota militer.
Dalam hal suatu perkara tidak dilakukan splitsing, maka penyidikan koneksitas akan
berlanjut pada penuntutan dan pemeriksaan persidangan sesuai dengan peraturan
mekanisme koneksitas yang ada di dalam peraturan perundang-undangan. Adapun dalam
prosespenanganan korupsi kurang lebih alurnya sama dengan yang diatur di dalam
peraturan perundang-undangan di atas. Selain berlaku peraturan perundang-undangan di
atas berlaku juga undang-undang tindak pidana korupsi lainnya misalnya Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Tindak Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), UndangUndang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan
Undang-Undang 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga
dalam hal ini apabila terdapat kasus korupsi sebagaimana yang dimaksud Pasal 11 UU
KPK dan melibatkan pelaku masyarakat sipil dan anggota militer maka pemeriksaannya
selain melibatkan unsur pejabat yang menangani perkara yang berasal dari militer, dalam
perkara tersebut juga melibatkan anggota KPK. KPK juga memiliki kewenangan
mengkoordinasikan atau mengendalikan penanganan perkara tindak pidana korupsi
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 42 KPK.
Korupsi telah menjadi duri dalam daging dalam upaya negara menyejahterakan rakyat
dan membangun perekonomian di dalamnya. Karena sifatnya yang sangat merusak,
korupsi telah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime oleh
berbagai negara, termasuk Indonesia. Dengan status ini, negara-negara memperlakukan
korupsi dengan sangat serius karena dianggap sangat berbahaya. Hal inilah yang menjadi
dasar dibentuknya KPK. KPK dibentuk melalui amanat Pasal 43 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pada kasus sidang praperadilan kasus
Helikopter AW 101, hakim menolak permohonan praperadilan dari salah satu
tersangka yakni l Direktur PT. Dirgantara Jaya Mandiri, Irfan Saleh dalam kasus
dugaan Helikoptelr AW 101. Hakim menyatakan bahwa dalam kasus tersebut KPK
telah sesuai dengan bukti permulaan cukup yang sebagaimana diatur didalam putusan
Mahkamah Konstitusi. Hakim mendasarkan pada Pasal 42 UU KPK yang
menyatakan bahwa KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan
bersamasama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Sehingga, KPK dapat menetapkan tersangka dalam hal ini tanpa membentuk tim
koneksitas seperti SKB Menhankam dan Menkeh.

Meskipun tidak ada tim koneksitas, seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka jika ada
bukti yang cukup, seperti yang diatur dalam putusan MK nomor 21/PUUXII/2014
(permenkes 9 tahun 2014).
Jurnal MAHUPAS: Mahasiswa Hukum Unpas (Journal MAHUPAS: Law Student of Unpas), Vol. 1 No. 1,
November 2021, hlm-hlm

Menurut hukum yang berlaku, penyidikan perkara pidana dilakukan oleh tim tetap yang
terdiri dari penyidik dari peradilan umum dan peradilan militer, masing-masing dengan
wewenang masing-masing. Dalam kasus penyidikan perkara pidana, namun, penyidikan
dilakukan oleh penyidik sipil apabila pelaku tindak pidana memiliki hubungan dengan
masyarakat sipil dan memenuhi syarat hukum acara yang berlaku di peradilan umum.
Untuk menyelesaikan masalah koenksitas yang kompleks, pemisahan, atau pemisahan,
digunakan tanpa mekanisme koenksitas. Dalam kasus tindak pidana masyarakat sipil, ada
dua mekanisme penyelesaian karena mekanisme koneksitas yang kompleks. Pertama,
kasus yang melibatkan anggota militer diajukan ke Mahkamah Militer, dan kedua, kasus
yang melibatkan anggota masyarakat sipil diselesaikan melalui pengadilan negeri.
Tim tetap yang memeriksa perkara-perkara yang berkaitan terdiri dari unsur-unsur
peradilan umum dan militer dan memeriksa perkara-perkara yang berkaitan menurut
undang-undang, dalam wilayah hukum yang sama dan hanya dalam kerangka peradilan
umum atau dalam kerangka peradilan militer. Menteri Pertahanan dan Keamanan
dengan persetujuan Menteri Kehakiman.Jika keputusan pengadilan didasarkan pada
keseriusan kerugian, baik demi kepentingan umum atau kepentingan militer, investigasi
yang dilakukan oleh tim konektivitas akan mengubah insiden yang sedang diselidiki
menjadi serangkaian investigasi yang sepenuhnya terhubung untuk mengidentifikasi
pelakunya.
IV. KESIMPULAN
Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Pejabat TNI dimaknai sebagai
pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 25 tahun 2014 tentang Hukum Disiplin
Militer dan pemenuhan unsur tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam
UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Pejabat Tentara Nasional Indonesia yang
termasuk ke dalam kriteria berdasarkan UU KPK Pasal 11, maka KPK berwenang
melakukan penyidikan, hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh dapat dijadikan sebagai
dasar penyidikan oleh KPK dan untuk penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan
bersama-sama oleh orang tunduk dalam lingkungan peradilan militer dan peradilan
umum, KPK dapat bekerjasama melakukan penyidikan dengan Polisi Militer/Oditur
Militer serta berwenang mengendalikan penyidikan perkara koneksitas dan jika tidak
terkait koneksitas maka penanganannya dilakukan sepenuhnya menurut sistem peradilan
militer.

DAFTAR PUSTAKA
- Ardiansyah, A. (2020). Analisis Yuridis Kewenangan Komisi Pemberantasan
Korupsi Dalam Penyidikan Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Alat
Utama Sistem Senjata Oleh Oknum Tentara Nasional Indonesia. Vii, 1–15.
Jurnal MAHUPAS: Mahasiswa Hukum Unpas (Journal MAHUPAS: Law Student of Unpas), Vol. 1 No. 1,
November 2021, hlm-hlm

- Dewi, V. O. (2023). Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi Oleh Subjek Militer


Saat Sedang Menduduki Jabatan Sipil. 1(4).
- Indonesia, P. (1981). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
No. 8 Tahun 1981. Kuhap, 871.Indonesia, P. (1997). UU NOMOR 31 TAHUN 1997
Tentang Peradilan Militer. Nucl. Phys., 13(1), 1–122.
- Buchari Said, Sekilas Pandang Tentang Hukum Pidana Militer (Militair Strafrecht),
Fakultas Hukum Universitas Pasundang Bandung, 2008
- Edward Febriyatri Kusuma, Dihukum Seumur Hidup, Ini Modus Brigjen
Teddy Korupsi Dana Alusista, https://news.detik.com/berita/d3388384/dihukum-
seumur-hidup-ini-modus-brigjen-teddy-korupsi-dana-alusista, Kamis 05 Januari
2017. https://m.cnnindonesia.com/nasional/2018/kpkmengeluh-perwira-tni-
aupersulit-usut-korupsi-helikopter diaksespada tanggal 23 Januari 2020 pada
Pukul 13:45WIB
- Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer

Asas Kepentingan Militer (Military Necessity) sering digunakan dalam hukum humaniter,
dan kemudian diterapkan oleh negara kita, dalam hal ini TNI, untuk melaksanakan tugas
pokok dan tugas pembinaan personel. Asas hukum humaniter ini berarti bahwa pihak yang
berselisih (pihak-pihak yang berkonflik) mempunyai hak untuk melakukan tindakan apa pun
yang dapat membawa keberhasilan suatu operasi militer, dengan tidak melanggar. Hukum
perang memperhatikan asas : batasan dan proporsi. Prajurit Tentara Nasional Indonesia
(TNI) ditinjau dari kedudukannya di hadapan hukum adalah warga negara Indonesia yang
patuh, taat hukum dan berdisiplin tinggi, taat kepada atasannya, dan setia kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia.(NKRI) berdasarkan Pancasila dan Konstitusi.UUD 1945. TNI
harus mematuhi undang-undang yang bersifat umum dan khusus, baik domestik maupun
internasional, bahkan TNI harus mematuhi undang-undang yang hanya berlaku bagi TNI.
Anggota TNI sebagai warga negara Indonesia tunduk pada syarat dan ketentuan Hukum
Pidana Militer dan Hukum Acara Pidana Militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Anda mungkin juga menyukai