Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

TAHAP PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN


Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana
Dosen Pengampu: Abdul Fattah. S.H., M.H.

Disusun oleh:
1. Destian Rizky Cahyo Prabowo 212131023
2. Wiwin Nofita Sari 212131054
3. Muhammad Istaqi Maulaka 212131071
4. Aisyah Nurul Fadhilah 212131078
5. Arstia Ariffiyanti 212131079
6. Rizky Putri Guritno 212131082
7. Syamsul Arifin 212131089
8. Anggie Layli Syiyam C 212131092
9. Hilmi Zainal Abidin 212131095
10. Vella Mai Anjani 212131098
11. Nandya Ayu Wulandari 212131100
12. Dea Restu Puji L 212131102

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirabbil’alamin Segala Puji syukur kehadirat Tuhan Yang


Maha Esa. atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah yang berjudul “Tahap Penyelidikan dan Penyidikan” ini dengan
sebaik-baiknya.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Acara
Pidana. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Tahap Penyelidikan dan Penyidikan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Abdul Fattah, S.H,.


M.H. selaku dosen pengampu Mata Kuliah Hukum Acara Pidana. Ucapan terma
kasih juga disampaikan kepada pihak yang telah membantu diselesaikannya
makalah ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Surakarta, Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Pembahasan
C. Tujuan Makalah
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Penyelidikan Dan Penyelidik


A. Definisi Penyelidikan
Penyelidikan merupakan usaha dalam hal mencari dan
menemukan suatu objek yang berhubungan dengan kejahatan dan
pelanggaran dalam tindak pidana atau suatu perbuatan yang disangkakan
sebagai sebuah tindak pidana. Dengan adanya penyelidikan yaitu usaha
mencari dan menemukan kejanggalan dalam suatu peristiwa bertujuan
untuk pejabat penyelidik membuat keputusan, apakah dari suatu peristiwa
dapat dilanjutkan ke tahap penyidik atau tidak. Hal tersebut sesuai dengan
aturan dalam KUHAP Pasal 1 butir 5.1
Adapun bunyi definisi penyelidikan dalam Pasal 1 Angka 5
KUHAP jo Pasal 1 Angka 9 Undang-Undanng RI No. 2 Tahun 2002, yang
dimaksud dengan penyelidikan adalah “Serangkaian tindakan penyelidik
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. 2 Penyelidikan
dilaksanakan oleh Polisi Negara Republik Indonesia. Pejabat polisi akan
melaksanakan penyelidikan jika dari suatu peristiwa terdapat suatu tindak
pidana.3
Andi Hamzah menyebutkan bahwasannya KUHAP membedakan
antara penyidikan dan penyelidikan. Menurutnya, istilah penyidikan
sederajat dengan definisi menyidik (osporing) dan investigasi
(investigation). Adanya perbedaan dari dua istilah tersebut tidak
berdasarkan dengan penjelasan yang sama atau biasa. Dalam penjelasan
tersebut kata penyidikan dan penyelidikan merupakan berasal dari kata

1
Suyanto, Hukum Acara Pidana, (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2018), hlm. 25
2
Riadi Asra Rahmad, Hukum Acara Pidana, (Depok: Rajawali Pers, 2019), hlm. 31
3
Sugianto, Hukum Acara Pidana: Dalam Praktek Peradilan Di Indonesia, (Sleman:
Deepublish, 2018), hlm. 20
“sidik”. Namun dalam istilah penyelidikan hanya saja terdapat sisipan dua
huruf, yaitu “e dan l” yang menjadi “penyelidikan”. Maka dari itu, di
dalam KUHAP kedua istilah tersebut dijelaskan secara berbeda.4
B. Definisi Penyelidik
Menurut Pasal 1 angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana jo Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Republik Indonesia No. 2
tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, yang dimaksud dengan
penyidik adalah “Pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan peyelidikan”,
sedangkan menurut Pasal 4 KUHAP, yang dimaksud dengan penyelidik
adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.5
C. Tugas Dan Wewenang Penyelidik
Berdasarkan pada Pasal 5 KUHAP, tugas dan wewenang aparat
penyelidik terbagi menjadi 4:
1. Menerima Laporan dan Pengaduan
Dengan adanya pihak yang melaporkan dan pengaduan atas suatu
tindak pidana, maka pihak yang diberikan kewenangan dalam hal
tersebut akan melakukan penyelidikan. Oleh karena itu, ketika
pihak yang berwenang menerima laporan atau pengaduan dari
seseorang tentang peristiwa yang diduga tindak pidana, maka
pihak yang berwenang tersebut wajib membuktikan kebenaran
dengan melakukan langkah-langkah yang bertujuan untuk
mengetahui peristiwa yang diduga tindak pidana tersebut.
2. Mencari keterangan dan Barang Bukti
Dalam kewenangan ini, pihak yang berwenang (polisi) melakukan
pengumpulan data-data dan fakta yang sesuai dengan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Pengumpulan data-
data dan fakta tersebut dilakukan ketika sudah mengetahui
seluruh kebenaran dari suatu peristiwa yang diduga tindak pidana.

4
Suyanto, Hukum Acara Pidana…, hlm. 25
5
Riadi Asra Rahmat, Hukum Acara Pidana…, hlm. 31
Apabila seluruh data-data dan fakta dalam suatu peristiwa yang
diduga tindak pidana, maka pihak yang berwenang (polisi) dapat
menentukan kebenaran dari terjadinya peristiwa yang diduga
tindak pidana. Maka setelah itu, jika peristiwa yang diduga tindak
pidana tersebut akan dinaikkan status tahapannya menjadi tahap
penyidikan atau penyidik dalam melaksanakan penyidikan.
3. Menyuruh Berhenti Seorang Yang Dicurigai
Dalam hal ini, pihak yang berwenang (polisi) memiliki
kwewnangan untuk menyuruh berhenti kepada seorang yang
dicurigainya. Apabila Penyelidik mengalami kendala dalam
melakukan hal tersebut, maka hal yang harus dilakukan oleh
Penyelidik adalah melaporkan kepada Penyidik atau melakukan
penangkapan yang didasari dengan surat penangkapan, kemudian
pihak yang dicurigai tersebut dihadapkan pada Penyidik.
4. Tindakan Lain Menurut Hukum
Menurut Yahya Harahap, tindakan lain menurut hukum yaitu
dengan meminta surat perintah kepada penyidik dengan dalih
untuk dihadapkan pada Penyidik. Hak tersebut dilakukan ketika
seseorang yang dicurigai tidak ingin berhenti dan tidak ingin
menyerahkan identitasnya, serta Penyelidik tidak dapat
melakukan pemaksaan. Perintah yang diberikan oleh Penyidik
dapat berupa:
a. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan;
b. Pemeriksaan serta melakukan penyitaan surat;
c. Menyimpan sidik jari dari orang yang dicurigai dan memotretnya;
d. Membawa dan menghadapkan pada pihak Penyidik.6
Penyelidikan memiliki tujuan dalam berupa tuntutan tanggung
jawab agar aparat hukum tidak melakukan kesalahan ketika menjalankan

6
M. Abdim Munib, Tinjauan Yuridis Kewenangan Kepollisian Republik Indonesia Dalam
Penyelidikan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jurnal, 2018, hlm. 65-66
tugasnya, yaitu merendahkan harkat dan martabat manusia. Adapun
tujuan utama dari penyelidikan adalah tentunya untuk mengetahui apakah
peristiwa yang diduga tindak pidana dapat dinaikkan statusnya menjadi ke
penyidikan atau tidak. Jika suatu peristiwa tersebut merupakan tindak
pidana, maka akan dilakukan penyidikan.7
D. Pemanggilan
E. Pemeriksaan Tersangka, Saksi dan Ahli
1.2 pePenyidikan
A. Definisi Penyidik
Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesiaatau
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-
undang untuk melakukan penyidikan.8
B. Tugas dan Wewenang
Berdasarkan [ada Bab IV KUHAP Pasal 7 ayat (1) mempunyai
wewenang, sebagai berikut:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana.
2. Melakukan tindakan pertama pada saat kejadian.
3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal tersangka.
4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan.
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi.
8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara.
9. Mengadakan penghentian penyidikan.

7
Moch Choirul Rizal, Diktat Hukum Acara Pidana, (Kediri: Lembaga Studi Hukum Pidana, 2021)
8
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, (Sinar Grafika: Jakarta Timur, 2022), hlm. 80
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.9
C. Penyidik Pembantu
Penyidik Pembantu adalah pejabat kepolisian Negara Republik
Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan. Syarat Kepangkatan diatur
dengan Peraturan Pemerintah, meliputi:
1. Berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi
2. Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi
fungsi reserse criminal
3. Bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua)
tahun
4. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter, dan
5. Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
Penyidik Pembantu mempunyai wewenang seperti penyidik
pada umumnya yang terdapat pada BAB IV KUHAP pasal 7 ayat (1),
kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan
wewenang dari penyidik. Penyidik Pembantu membuat berita acara dan
menyerahkan berkas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengn
pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada penuntut
umum.10
D. Penangkapan
Penangkapan dalam proses penyidikan adalah suatu tindakan
yang dilakukan oleh penyidik untuk mengekang sementara kebebasan
tersangka atau terdakwa jika terdapat cukup bukti bahwa mereka
melakukan tindak pidana. Penangkapan dilakukan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, atau peradilan. Penyidik yang berwenang

9
KUHAP dan KUHP, (Sinar Grafika: Jakarta), hlm. 205
10
KUHAP dan KUHP, (Sinar Grafika: Jakarta), hlm. 206
melakukan penangkapan adalah penyidik Polri, penyidik pembantu, atau
penyidik khusus.
Penyidik yang melakukan penangkapan harus memperhatikan
beberapa hal, antara lain:
1. Penangkapan harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang termuat
dalam Pasal 184 KUHAP.
2. Penangkapan harus dilakukan menurut cara-cara yang telah ditentukan
dalam KUHAP.
3. Penyidik harus memberitahukan alasan penangkapan kepada tersangka
atau terdakwa dan memberikan surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan alasan penangkapan
serta tempat ia ditahan.
4. Penyidik harus segera mengirimkan berita acara penangkapan dan surat
perintah penangkapan kepada penuntut umum melalui atasan.
5. Penyidik harus memberitahukan penangkapan kepada keluarga tersangka
atau terdakwa atau orang lain yang ditunjuk oleh tersangka atau terdakwa.
Syarat Penangkapan:
1. Penangkapan wajib didasarkan pada bukti permulaan yang cukup
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
memutus bahwa frasa “bukti permulaan yang cukup” bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai sebagai minimal dua alat bukti yang termuat dalam
Pasal 184 KUHAP.
2. Melakukan penangkapan tidak sewenang-wenangnya
Perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan
sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-
betul melakukan tindak pidana. Kewajiban Polri dalam melakukan
penangkapan adalah untuk tidak berlaku sewenang-wenang
terhadap “terduga”/tersangka tindak pidana .11 selain itu, penting

11
diingat bahwa alasan untuk kepentingan penyelidikan dan
kepentingan penyidikan jangan diselewengkan dengan maksud
selain diluar kepentingan penyelidikan dan penyidikan.
3. Berpijak pada landasan hukum
Masih berkaitan dengan fungsi penangkapan, menurut M.
Yahya Harahap, wewenang yang diberikan kepada penyidik
sedemikian rupa luasnya. Bersumber atas wewenang tersebut,
penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang
asal masih berpijak pada landasan hukum. Salah satu wewenang ini
adalah melakukan penangkapan. Akan tetapi harus diingat bahwa
semua tindakan penyidik mengenai penangkapan itu adalah
tindakan yang benar-benar diletakkan pada proporsi demi untuk
kepentingan pemeriksaan dan benar-benar sangat diperlukan sekali.
4. Tidak menggunakan kekerasan
Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan
penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat
dalam kejahatan. Hal ini juga berkaitan dengan salah satu hak
tahanan, yaitu bebas dari tekanan, seperti diintimidasi, ditakut-
takuti dan disiksa secara fisik. Penyidik juga tidak boleh
menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah
kejahatan atau membantu melakukan penangkapan terhadap
pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan
penggunaan kekerasan.
5. Melengkapi penangkapan dengan surat perintah penangkapan
Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas
Polri dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada
tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan
identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta
uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat
ia diperiksa. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan
tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkapan harus
segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada
kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.12
Dalam melaksanakan penanghkapan wajib mempertimbangkan
nhal-hal sebagi berikut:
a. Keseimbangan antara tindakan yang dilakukan dengan bobot
ancaman;
b. Senantiasa menghargai/menghormati hak-hak tersangka yang
ditangkap;
c. Tindakan penangkapan bukan merupakan penghukuman bagi
tersangka.
Secara umum, kewaijban petugas Polri atau pihak yang
berwenang dalam melakukan penangkapan, yaitu:
a. Memberitahu/menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas
Polri;
b. Menunjukkan surat perintah penangkapan kecuali dalam keadaan
tertangkap tangan;
c. Memberitahukan alasan penangkapan;
d. Menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan termasuk
ancaman hukuman kepada tersangka pada saat penangkapan;
e. Menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana
dan memberitahukan orang tua atau wali anak yang ditangkap
segera setelah penangkapan;
f. Senantiasa melindungi hak privasi tersangka yang ditangkap;
g. Dan memberitahukan hak-hak tersangka dan cara menggunakan
hak-hak tersebut, berupa hak untuk diam, mendapatkan bantuan
hukum dan/atau didampingi oleh penasihat hukum, serta hak-hak
lainnya sesuai KUHAP.
Penyidik juga harus menghormati hak-hak tersangka atau
terdakwa yang ditangkap, antara lain:

12
M. Yahya Harahap, Dalam buku yang sama menyatakan bahwa kasus penangkapan harus
dilakukan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP, hlm. 157
a. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau
lebih penasihat hukum sejak awal penangkapan hingga
berakhirnya pemeriksaan disidang pengadilan.
b. Hak untuk tidak dituntut atas dasar pengakuan sendiri.
c. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan jika sakit atau
luka.
d. Hak untuk meminta penangguhan penahanan dengan
jaminan atau tanpa jaminan.13

E. Penahanan
1. Definisi Penahanan
Untuk kepentingan penyidikan, maka penyidik dapat melakukan
penahanan kepada tersangka. Penyidik pembantu atas perintah penyidik
juga dapat melakukan penahanan. Penahanan pada dasarnya adalah
pembatasan kebebasan bergerak seseorang yang melanggar hak asasi
manusia yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara. Penahanan
dalam penyidikan adalah tindakan penahanan seseorang oleh pihak
berwenang atau aparat penegak hukum untuk menyelidiki suatu
kejahatan atau pelanggaran hukum. Dalam melakukan penahanan,
petugas yang berwenang bertumpu pada surat perintah penahanan atau
kepurusan hakim yang mencantumkan identitas tersangka dan alasan
penahanan.14 Pihak-pihak yang berwenang melakukan penahanan dalam
berbagai tingkat pemeriksaan antara lain, untuk kepentingan penuntutan
yang berwenang adalah penuntutan umum, untuk kepentingan
pemeriksaan disidang Pengadilan yang berwenang untuk menahan adalah
Hakim. Terdapat 2 (dua) syarat untuk melakukan penahanan diantaranya:
1. Syarat Subyektif

13
M. Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan
Penuntutan, (Sinar Grafika, 2006), hlm. 157-159
14
Sugianto, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek Peradilan DI Indonesia, (Yogyakarta: CV Budi
Utama, 2018). hlm. 35
Disebut keadaan subyektif karena tergantung pada siapa yang
memerintah penahanan dan dalam kondisi ini apakah syarat itu
ada atau tidak. Syarat subyektif ini terdapat dalam Pasal 21 ayat
(1). Syarat subyektif adalah syarat yang berkaitan dengan niat
atau maksud subjek yang menahan seseorang. Salah satu yang
berkaitan dengan niat atau maksud subjek yang menahan
seseorang. Salah satu aspek syarat subyektif adalah bahwa
penegak hukum harus memiliki niat yang sah dan sah secara
hukum untuk melakukan penahanan.
2. Syarat Obyektif
Disebut syarat obyektif karena syarat tersebut dapat diuji ada
atau tidak oleh orang lain. syarat obyektif ini diatur dalam Pasal
21 ayat (4) KUHAP. Syarat obyektif adalah persyaratan yang
berkaitan dengan fakta atau faktor objektif yang harus ada agar
penahanan seseorang dianggap sah. Ini berhubungan dengan
apakah tindakan penahnan tersebut memenuhi persyaratan
hukum yang telah diatur dalam undang-undang atau peraturan
yang berlaku. Beberapa unsur obyektif yang secara umum harus
dipenuhi agar penahanan sah mencakup kecurigaan yang cukup
terhadap suatu kejahatan, bukti yang cukup untuk menahan
tersangka, alasan penahnan yang jelas dan sah, dan kepatuhan
terhadap hukum, mematuhi prosedur hukum yang berlaku.15
2. Dasar Hukum Penahanan
Adapun dasar hukum penahanan. Menurut peraturan
perundang-undangan seseorang yang telah ditetapkan sebagai
tersangka atau terdakwa dalam suatu perkara tindak pidana, boleh
dilakukan penahanan terhadap dirinya. Akan tetapi penahanan
tersebut tetap harus mengacu kepada prosedur hukum yang berlaku
saat ini. Maksud Ketentuan tentang sahnnya penahanan dicantumkan
dalam Pasal 21 ayat 4 KUHAP dimana “Penahanan adalah

15
Suyanto, Hukum Acara Pidana…, hlm. 53
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik
atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
KUHAP dengan jelas mengatur unsur yang harus ada untuk
melakukan penahanan sementara, berdasarkan ketentuan Pasal 21
ayat (4) KUHAP, penahanan hanya dapat dikenakan terhadap
tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana atau
percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut
yang dimana Penahanan hanya dilakukan atau diterapkan terhadap
tindak pidana yang ancaman hukumannya lima tahun penjara atau
lebih. Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal
296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal
372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal
459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(“KUHP”), Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonantie (pelanggaran
terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan
Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 UU
Tindak Pidana Imigrasi (UU No. 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran
Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42,
Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 UU Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3086).16

3. Jenis Tahanan

16
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), hlm.131
Mengenai jenis tahanan menurut KUHAP, diatuur dalam
ketentuan Pasal 22 ayat (1). Menurut ketentuan ini, jenis penahanan
dapat berupa:
1. Penahanan di rumah tahanan negara (Rutan)
Rutan adalah tempat tahanan tersangka atau terdakwa yang
masih sedang dalam proses penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan pengadilan. Dari ketiga jenis penahanan tersebut,
penahanan di rumah tahanan negaralah yang paling banyak
menimbulkan permasalahan. Pemerintah menghadapi masalah dalam
membangun pusat penahanan dalam jumlah besar, yang memerlukan
biaya besar. Sementara itu, tahanan terus berdatangan
2. Tahanan Rumah
Penahanan sementara tersebut dilakukan di “tempat tinggal”
tersangka atau terdakwa. Selama tersangka/terdakwa berada dalam
tahanan rumah, ia harus “diawasi”. Oleh karena itu, metode
pemantauan tahanan rumah bergantung sepenuhnya pada keputusan
pejabat yang terlibat. Perlu atau tidaknya pengawasan atau
pengamatan terhadap hal-hal tersebut tergantungpada kebutuhan dan
keadaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang didakwakan
kepada tersangka/terdakwa, serta sifat dan perilaku tindak pidana
tersebut. Tujuan utama kepolisian adalah menghindari segala sesuatu
yang dapat menyulitkan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di
pengadilan.
3. Tahanan kota.
Penahanan kota dilakukan di kota tempat tinggal tersangka
atau terdakwa. Berdasarkan cara berpikir tersebut, pengertian
penahanan perkotaan mencakup penahanan “desa” atau “kampung”
atau “dusun”. Oleh karena itu, kewenangan pengambilan keputusan
sepenuhnya diserahkan kepada pejabat kota yang mengeluarkan
perintah penahanan. Sama halnya dengan tahanan rumah, meskipun
ditahan di kota, tersangka/terdakwa dilarang keluar kota. Hal ini
sesuai dengan yang diatur dalam penjelasan Pasal 22 ayat 3.17
F. Penggeledahan
1. Definisi Penggeledehan
Penggeledahan adalah tindakan penyidikan yang di benarkan
undang-undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan dirumah
tempat kediaman seorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap
badan dan pakaian seorang. Bahkan tidak hanya melakukan
pemeriksaan, tapi bisa juga sekaligus untuk melakukan penangkapan
dan penyitaan. Hal ini sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Pasal
32 untuk kepentingan penyidikan, penyelidikan dapat melakukan
penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau
penggeledahan badan menurut tata cara yang di tentukan dalam
undang-undang ini. Mengenai penggeledahan hal ini diatur dalam UU
No 8 Tahun 1982 pasal 32 Samapi 37.
Penggeledahan yang baik dan tepat adalah apabila
penggeledahan dilakukan di siang hari, hal ini disebabkan pada siang
hari anak-anak tersangka sedang berada di sekolah dan tetanggapun
sibuk di luar rumah, kecuali dalam hal-hal tertentu. Sama-sama kita
ketahui bahwa penggeledahan menimbulkan akibat yang luas terhadap
kehidupan pribadi dan mengundang perhatian masyarakat, maka
waktu penggeledahan harus di pilih dengan tepat. Sementar itu
penggeledahan pada malam hari adalah saat tidak tepat dan tidak baik,
karena penggeladahan pada malam hari akan menimbulkan ketakutan
dan kekagetan yang sangat, trauma bagi anak-anak, itu sebabnya
berdasarkan Stbl 1865, Pasal 3, melarang penggeledahan rumah
dilakukan pada malam hari. Oleh karena itu penggeledahan sebisa
mungkin untuk bisa dilakukan di siang hari, itupun hendaknya di cari
waktu dan momen yang dapat menghindari akibat sampingan, yang

17
Suyanto, Hukum Acara Pidana…, hlm. 57
bisa merusak pertumbuhan kejiwaan dan mental anak-anak keluarga
tersangka.
2. Penggeledahan Rumah Kediaman
Membicarakan penggeledahan rumah tempat kediaman, dapat
di bedakan sifatnya. Pertama bersifat biasa atau dalam keadaan
normal, kedua bersifat atau dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak. Perbedaan sifat ini dengan sendirinya membawa perbedaan
dalam tata cara pelaksanaan.
3. Penggeledahan Biasa
Penggeledahan Biasa diatur dalam pasal 33 KUHAP. Tata cara
penggeledahan yang di atur dalam pasal pada sarannya merupakan
aturan pedoman umum penggeledahan.
Tata cara penggeledahan dalam hal ini biasa:
1. Harus ada surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, petugas
kepolisian membawa dan memperlihatkan surat tugas. Setiap
penggeledahan rumah tempat kediaman harus ada pendamping,
didampingi dua orang saksi, jika tersangka atau penghuni rumah
yang di masuki dan di geledah menyetujui. Jika tersangka atau
penghuni rumah tidak setuju, dan tidak menghadiri, maka
petugas harus menghadirkan Kepala Desa atau Kepala
Lingkungan (RW) sebagai saksi dan di tambah dua orang saksi
lain yang diambil dari lingkungan warga yang bersangkutan.
2. Kewajiban membuat berita acara penggeledahan (Diatur dalam
Pasal 126 dan 127 KUHAP). Dalam waktu dua hari atau paling
lambat dalam tempo dua hari setelah memasuki rumah dan atau
menggeledah rumah, harus di buat berita acara yang membuat
penjelasan tentang jalannya dan hasil penggeledahan rumah.
Setelah berita acara siap di buat, penyidik atau petugas yang
melakukan penggeledahan membacakan lebih dulu berita acara
kepada yang bersangkutan.
3. Setelah siap di bacakan, kemudian berita acara penggeledahan di
tanda tangani oleh penyidik maupun oleh tersangka atau
keluarganya/penghuni rumah serta oleh kedua orang saksi dan
satu kepala desa/kepala lingkungan. Dalam hal tersangka atau
keluarga tidak mau membubuhkan tanda tangan. hal itu di
catatan dalam berita acara dan sekaligus menyebut alasan
penolakannya.
4. Penggeledahan Dalam Keadaan Mendasak
Hal ini diatur dalam pasal 34 KUHAP yang menegaskan dalam
keadaan yang sangat perlu dan mendesak, bilamana penyidik harus
segera bertindak dan tidak mungkin untuk lebih dulu mendapat surat
izin Ketua Pengadilan Negeri, penyidik dapat langsung bertindak
mengadakan penggeledahan.
Tata cara penggeledahan dalam keadaan mendesak.
Penggeledahan dapat langsung di laksanakan Tampa terlebih dahulu
ada izin Ketua Pengadilan Negeri. Tempat - tempat yang di geledah
meliputi:
1. Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau
ada, dan yang ada di atasnya. Pada setiap tempat lain tersangka
bertempat tinggal, berdiam atau ada. Ditempat penginapan dan
tempat umum lainnya. Dalam tempo dua hari setelah
penggeledahan, penyidik membuat berita acara, yang berisi
jalannya dan hasil penggeledahan.
2. Berita acara di bacakan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan,
diberi tanggal, di tanda tangani oleh penyidik maupun oleh
tersangka atau keluarga/penghuni rumah serta oleh kedua orang
saksi dan satu kepala desa /kepala lingkungan. Dalam hal tersangka
atau keluarga tida mau membubuhkan tanda tangan, hal itu di catat
dalam berita acara dan sekaligus menyebut alasan penolakannya.
Kewajiban penyidik segera melapor penggeledahan yang telah
di lakukan kepada ketua pengadilan negeri, dan sekaligus dalam
laporan itu penyidik meminta persetujuan ketua pengadilan negeri atas
penggeledahan yang telah di lakukan dalam keadaan yang sangat
perlu dan mendesak.
5. Larangan Memasuki Tempat Tertentu
Pembuat UU telah memberikan penghormatan yang tinggi
yang mulia terhadap beberapa tempat tertentu, selama dalam tempat
tertentu sedang berlangsung upacara leradatan, UU melarang penyidik
memasuki dan melakukan penggeledahan di dalamnya, kecuali dalam
hal-hal tertangkap tangan, selain dari pada tertangkap tangan penyidik
dilarang bertindak memasuki dan melakukan penggeledahan pada saat
ruang dimana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), atau Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Tempat sedang berlangsung ibadah atau
upacara keagamaan dan ruang dimana sedang berlangsung sidang
pengadilan.
6. Penggeledahan Diluar Daerah Hukum
Dalam hal ini penyidik memperkirakan alternatif terbaik yang
harus di tempuh, ditinjau dari efektivitas dan efisiensi penyidik yang
bersangkutan kurang memahami seluk beluk daerah lain tampak
dimana penggeledahan akan dilakukan,dimikian juga halnya
mengenai efisiensi, untuk apa harus membuang tenaga baiya dan
waktu jika penggeledahan dapat dilimpahkan atau didelegasikan
kepada penyidik yang ada di daerah tersebut.Dalam Pasal 36 KUHAP
disebutkan Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan
rumah di luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan
tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus diketahui
oleh ketua pengadilan negeri dan di dampingi oleh penyidik dari
daerah hukum di mana penggeladahan itu dilakukan.
7. Penggeledahan Badan
Mengenai penggeledahan badan dijelaskan pada Pasal 1 butir
18 yang berbunyi: Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik
untuk mengadakan pemeriksaan badan dan pakaian tersangka untuk
mencari benda yang di duga keras ada pada badannya atau di
bawahnya serta untuk di sita.18
G. Penyitaan
1. Definisi Penyitaan
Penyitaan merupakan rangkaian tindakan yang dilakukan oleh
penyidik untuk mengambil alih atau menyimpan benda, baik yang
bersifat bergerak maupun tidak, yang dapat berupa benda berwujud atau
tidak berwujud. Hal ini dilakukan untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan peradilan.
Penyitaan diatur secara terpisah pada dua bagian hukum utama.
Sebagian besar regulasi terkait penyitaan terdapat dalam Bagian Keempat
dari Bab V, mulai dari Pasal 38 hingga Pasal 46. Namun, ada juga
beberapa ketentuan yang memuat informasi tentang penyitaan pada
Bagian Kedua dari Bab XIV, yaitu dari Pasal 128 hingga 130. Hanya
penyidik yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyitaan pada
tahap penyidikan. Setelah melewati tahap penyidikan, penyitaan tidak
dapat dilaksanakan lagi atas nama penyidik. Oleh karena itu, Pasal 38
dengan jelas menyatakan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh
penyidik.
Dalam penyitaan biasa dan prosedurnya mencakup persyaratan
harusnya ada izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri, penyidik
harus memperlihatkan atau menunjukkan tanda pengenal sesuai dengan
Pasal 128, serta menunjukkan benda yang akan disita sebagaimana diatur
dalam Pasal 129. Selain itu, proses penyitaan dan pameran barang sitaan
harus disaksikan oleh Kepala Desa, Ketua Lingkungan, dan dua orang
saksi. Terakhir, berita acara penyitaan harus dibuat.19

18
Suyanto, Hukum Acara Pidana…, hlm. 65-76
19
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Penyidikan dan Penuntutan, edisi kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Hlm. 264
Memberikan dokumen turunan dari proses penyitaan, mengemas
barang bukti merupakan bagian dari prosedur penyitaan dalam keadaan
mendesak dan penting, adapun persyaratannya yang diatur dalam Pasal
128 hingga 130, yaitu:
a. Tanpa izin tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri
b. Terbatas pada barang yang dapat bergerak
c. Wajib melaporkan untuk memperoleh persetujuan.
2. Penyitaan Dalam Keadaan Tertangkap Tangan dan
Wewenangnya
Selanjutnya terdapat pula penyitaan dalam keadaan tertangkap
tangan yang dalam situasi ini penyidik dapat langssung menyita barang
atau alat. Ini berlaku untuk barang atau alat yang jelas digunakan dalam
tindak pidana, atau barang lain yang dapat berfungsi sebagai bukti.
Dalam kasus tertangkap tangan, penyidik diberikan wewenang
yang sangat besar. Selain wewenang untuk menyita barang dan alat
seperti yang diatur dalam Pasal 40. Dalam Pasal 41 juga memperluas
kewenangan ini untuk mencakup segala jenis surat atau paket, serta
barang yang dikirim atau diangkut melalui lembaga pos, telekomunikasi,
atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan. Asalkan surat, paket
atau barang tersebut diperuntukkan yang berasal dari tersangka. Namun,
dalam kasus penyitaan benda-benda dari layanan pos atau
telekomunikasi, penyidik harus mengeluarkan surat tanda terima kepada
tersangka atau kepada pihak terkait dari instansi perusahaan yang
bersangkutan. Penyitaan tidak bersifat langsung, maksudnya tindakan
penyidik dalam melakukan penyitaan tidak dilakukan secara langsung
dan terbuka saat mengembalikan benda yang disita, melainka nbenda
tersebut diantarkan atau diserahkan oleh individu yang bersangkutan.
Prosedur pelaksanaan penyitaan tidak langsung yang diatru dalam Pasal
42 adalah sebagai berikut:
a. Seseorang yang mengendalikan atau memegang benda yang
dapat disita.
b. Dokumen-dokumen yang dimiliki oleh seseorang yang berasal
dari tersangka atau terdakwa.
c. Jika benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak
pidana.
d. Penyidik memerintahkan kepada pihak yang mengendalikan
atau memegang benda untuk menyerahkan kepada penyidik.20
Dalam penyitaan surat atau tulisan, sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 43, mengacu pada surat atau tulisan yang disimpan ayau
dikuasai oleh pihak tertentu, di mana pihak tersebut yang menyimpan
atau mengendalikan dokumen tersebut. Hal ini diatur dalam undang-
undang untuk memastikan keamanan. Adapun jenis-jenis benda yang
dapat disita dalam Pasal 39 KUHAP ayat (1) sebagai berikut:
a) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau
sebagian diduga peroleh dari tindak pidana atau sebagian dari
tindak pidana.
b) Benda yang telah dipergunakan secara langsung melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana.
c) Benda yang dipergunakan menghalang-halangi penyidikan
tindak pidana.
d) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak
pidana.
e) Benda lain yang mepunyai hubungan langsung dengan tindak
pidana.
Adapun dalam ayat 2 yang bendanya dalam sitaan karena
perkara pailit dapat juga disita telah membedakan beberapa
bentuk dan tata cara penyitaan:
1. Penyitaan biasa dan tata caranya
Adapun tata cara pelaksanaan penyitaan dalam bentuk yang
biasa dan umum dapat diuraikan sebagai berikut:

20
Suyanto, Hukum Acara Pidana…, hlm. 79
a. Harus ada surat izin penyitaan dari ketua pengadilan
negeri.
b. Memperlihatkan atau menunjuan tanda pengenal.
c. Memperlihatkan benda yang akan disita (Pasal 129
KUHAP).
d. Penyitaan dan memperlihatkan benda sitaan harus
disaksikan kepada desa dan dua orang saksi.
e. Membuat berita acara penyitaan
f. Menyampaikan turunan berita acara penyitaan
g. Membungkus benda sitaan (Pasal 38 jo 129 KUHAP).
H. Hak Tersangka
I. Penghentian Penyidikan
J. Pelimpahan Berkas Perkara ke Kejaksaan dan Prapenuntutan

Anda mungkin juga menyukai